LOGINHujan turun lebat. Tepat ketika Sira melipat sajadahnya usai sholat Isya yang tertunda karena kedatangan Gavin. Sementara laki-laki itu seperti sudah pergi beberapa menit yang lalu usai mendapat telepon dari calon istri tercintanya.
Sira merebahkan tubuhnya, istirahat. Semesta seperti sedang memburunya untuk melakukan semua hal dalam waktu yang singkat. Rasanya baru kemarin ia bertemu lagi dengan Gavin setelah hari perpisahan di wisuda lima tahun lalu. Dan tiba-tiba di hari pertemuan itu jugalah semesta seakan menjebaknya untuk menikah dengan lelaki itu.
Hari itu Gavin baru saja dipindahkan jadi kepala sekolah di tempat Sira mengajar selama dua tahun ini. Mereka masih berbincang-bincang ketika telepon dari Ibu Sira masuk dan mengabarkan tenang ayahnya yang terus saja mengeluhkan nyeri yang luar biasa meski sudah diberi perawatan di rumah sakit.
Sira masih ingat kejadian hari itu dengan jelas. Ketika ia bergegas turun dari mobil Gavin di parkiran rumah sakit tanpa sempat mengucapkan terima kasih pada teman lamanya itu.
"Itu siapa, Ra?" Tanya Ayah tiba-tiba perhatiannya teralihkan ke arah pintu setelah berbincang beberapa saat dengan Sira mengenai rasa sakitnya tadi.
Sira menoleh dan mengikuti arah pandang Ayahnya, di sana Gavin telah berdiri dengan tatapan khawatir. Sejenak Sira tertegun menatapnya, tak tau harus berbuat apa. Dia pikir Gavin langsung pulang begitu menurunkannya di parkiran tadi.
"Saya Gavin, temannya Sira, Pak." Ucapnya memperkenalkan diri dengan sopan sambil mencium tangan Ayah. Membuat laki-laki yang sedang terbaring lemah itu tersenyum lega dengan tatapan bahagia melihat Gavin. Namun membuat Sira curiga.
"Ayah mau ngomong sebentar sama Gavin, kamu sama ibu tunggu di luar sebentar ya, Ra." Ucap ayah berubah pikiran yang sontak membuatku bingung dan semakin khawatir.
"Yah..., Ayah mau ngomong apa? Ngomong sama Sira aja."
"Sebentar, Ra. Ayah cuma mau ngomong sebentar. Kamu tunggu di luar dulu."
"Tapi, Yah..." Ibu menarik tangan Sira, seakan meminta untuk menuruti saja apa keinginan ayahnya. Sejenak Sira ragu, sebelum ia melihat Gavin mengangguk dan menyetujui untuk meninggalkannya.
Dengan langkah berat Sira akhirnya meninggalkan Gavin di sana dengan ribuan tanya yang semakin lama semakin memenuhi isi kepalanya.
Gavin menutup pintu sesuai permintaan ayah begitu Sira dan ibu keluar kamar.
"Udah tenang aja, Ra. Ayah kamu gak akan macem-macem juga sama temen kamu." Ucap ibu menenangkan lalu duduk di samping kedua adik Sira, Dinda dan Lisa.
Setelah 15 menit berlalu akhirnya pintu kamar terbuka dan Gavin keluar. Wajahnya berkerut, ia tampak terkejut dan bingung, tapi kalimat yang keluar dari mulutnya hanya meminta Sira masuk untuk segera menemui ayah.
"Duduk, Ra." Pinta ayahnya begitu ia masuk ke kamar itu.
"Ayah gak mau di operasi, Ra." Ucap lelaki paruh baya itu lemah sambil menatap Puteri sulungnya.
"Kenapa, Yah? Operasinya kan sudah dijadwalkan 2 hari lagi."
"Maaf gak bisa jadi Ayah yang baik buat kamu dan adik-adikmu, Ra." Sejenak ayah menarik nafas dan menghempuskannya dengan perlahan, sedikit menahan rasa nyeri yang seperti mulai terasa kembali.
"Sepertinya Ayah gak akan punya waktu untuk menunggu 2 hari lagi, Ra." lanjutnya kemudian, sambil tersenyum. Membuat air mata yang selalu berusaha Sira bendung tiba-tiba menetes deras dengan sendirinya.
"Sebelum Ayah pergi, keinginan Ayah cuma satu, Ra. Yaitu menikahkan kamu." Kini air mata ayah juga ikut menetes.
Sungguh, tidak pernah sebelumnya Sira melihat ayahnya yang terlihat selalu kuat itu menangis atau pun sekedar meneteskan air mata. Tapi apa yang harus ia lakukan jika permintaan ayahnya terlalu berat untuk diwujudkan dalam waktu sesingkat ini.
"Tapi Sira belum punya calonnya, Yah." jawab Sira sambil menghapus setetes aira mata ayahnya yang tadi sempat terjatuh.
"Ayah sudah bicara sama teman kamu, dan dia juga sudah setuju."
"Maksud Ayah, Gavin? Dia setuju apa, Yah?" Kini Sira hanya bisa melongo tak percaya dengan apa yang barusan diucapkan oleh ayahnya sendiri.
"Menikahimu." Jawab ayah sambil tersenyum.
"Tapi, Yah..., Sira sama Gavin itu cuma teman."
"Ayah tau, Ra. Dan Ayah juga tau kalau kamu tidak pernah membawa teman laki-laki mu menemui Ayah, jadi kalau sampai kamu membawanya maka tidak mungkin dia teman biasa untukmu, kan?"
"Iya, tapi gak gitu..., Yah..." Sira kehabisan cara untuk menjelaskan kepada ayahnya. Bagi Sira, Gavin memang bukan teman bisa, tapi bagi Gavin, Sira hanya teman biasa. Dan sebenarnya ia juga tidak berniat membawanya kemari, lelaki itu datang sendiri tanpa di minta.
"Ayah gak punya keinginan apa-apa lagi selain ini, Ra. Ayah rasa, Ayah akan bisa mati dengan tenang setelah menikahkan kamu, Ra." Ucap ayahnya lagi masih dengan tatapan penuh harap.
Hening sesat, Sira berusaha menenangkan diri lalu menghela nafas dengan berat.
"Sira ngomong sama Gavin dulu ya, Yah." Ucap Sira sambil menghapus air matanya dan keluar dari ruang rawat ayahnya.
Sira mengajak Gavin ke ujung parkiran rumah sakit, tempat yang tidak banyak dilalui orang-orang.
"Maksud kamu apa, Vin? Kamu tau apa yang barusan kamu lakukan? Bagaimana bisa kamu menyetujui ide Ayahku tanpa berpikir panjang? kamu lupa kalau dua minggu lagi kamu mau menikah?" Sira tidak bisa menahan amarahnya atas apa yang terjadi meski tahu ini bukan sepenuhnya salah Gavin. Sementara Gavin hanya bisa menghelana nafas pelan.
"Gavin...."
"Kamu punya solusi lain, Raa?" Tanya gavin tiba-tiba memotong ucapan Sira yang sudah akan memarahinya lagi.
"Belum, tapi seandainya kamu tidak menyetujuinya aku mungkin akan menemukan solusi lain." Sahut Sira sambil mengalihkan pandangannya dari Gavin.
Entah kenapa semuanya terasa salah bagi Sira saat berhadapan dengan Gavin. Terutama dalam keadaan ini. Ia memang pernah berharap untuk menikah dengannya, tapi tentu tidak dalam keadaan ini.
"Apa? Kamu mau mencari sembarang pria terus menikahinya begitu saja? Gila kamu, Raa!" Kini Gavin yang gantian marah pada Sira.
"Mungkin itu lebih baik dari pada menikahi calon suami orang." Sahut Sira sekenanya tanpa memedulikan amarah Gavin.
"Bicaralah lagi dengan ayahku, bilang kamu tidak bisa menikahiku."
"Tega kamu, dengan keadaan ayahmu yang seperti itu, Raa?" Sahut Gavin pelan, yang kemudian langsung membuat Sira kembali meneteskan air mata mengingat keadaan ayahnya.
"Menikahlah denganku, Sira." Ucap Gavin lagi, membuat Sira terkejut dengan lamarannya yang tiba-tiba.
"Tapi aku tidak bisa menjanjikan apapun, aku hanya bisa menikahimu secara siri, aku tidak bisa menjanjikan kebahagiaan dan masa depan untukmu. Tapi aku hanya bisa menjanjikan satu hal, bahwa aku bisa mewujudkan keinginan terakhir ayahmu."
Sinar matahari pagi menyelinap melalui jendela besar, menerangi ruang guru di SMA Cendekia Nusantara. Ruangan yang biasanya riuh dengan sapaan dan tumpukan berkas itu pagi ini terasa sedikit lebih lengang. Meja-meja guru berjejer rapi, dengan papan tulis putih besar mendominasi salah satu sisi dinding, sementara dinding lain dipenuhi struktur organisasi dan jadwal mengajar .Sira melangkah masuk dengan langkah gontai. Kepalanya masih terasa berat menanggung beban peristiwa semalam, pesta pernikahan, tatapan Gavin, genggaman tangannya, dan pengakuan Arwan yang kini terasa semakin nyata. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan kembali fokusnya.Begitu sampai di meja kerjanya yang berada di pojok ruangan, berdekatan dengan meja Arwan, pandangan Sira langsung tertuju pada sebuah kotak bekal berwarna biru muda. Di sampingnya, segelas kopi hangat yang asapnya masih mengepul pelan.Di atas kotak bekal itu, menempel sebuah sticky note berwarna merah muda yang mencolok. Sira mengambilnya
Menjelang waktu Ashar, Sira dan teman-teman yang lain memutuskan pamit pulang. Mobil Arwan melaju perlahan membelah jalanan yang masih basah sisa hujan beberapa saat yang lalu. Setelah mengantar Melati pulang, kini hanya tersisa Sira dan Arwan di dalam mobil. Suasana di antara mereka terasa berat, diselimuti keheningan yang tebal meski di luar terdengar riuh suara kendaraan dan sesekali di selingi suara klaksok mobil lain.Sira menyandarkan kepala ke kaca jendela, matanya menerawang ke luar. Namun, alih-alih melihat bagaimana pemandangan padatnya kota, yang terbayang justru adegan demi adegan di pesta pernikahan tadi.Tatapan tajam Gavin saat melihatnya datang bersama Arwan. Senyum cerah Raina yang terasa menusuk saat bertanya tentang hubungannya dengan suaminya. Dan yang paling mengganggu, genggaman tangan Gavin di bawah meja, sebuah sentuhan rahasia yang terasa dingin sekaligus panas di saat yang bersamaan.Genggaman itu terasa seperti perselingkuhan, sebuah pengkhianatan ganda, pen
Sira baru saja turun dari pelaminan, masih dengan jantung yang berdebar dan perasaan yang kacau diikuti oleh Arwan yang terus ada di sampingnya.Belum sempat Sira bernapas lega, suara riang tiba-tiba memanggil namanya dari arah belakang.“Sira? Ya ampun, ini beneran Sira Aghnia Aziza, kan?”Sira menoleh, dan seketika senyum tipis muncul di wajahnya. Beberapa teman kuliah yang dulu sering nongkrong bareng di kampus melambai ke arahnya. “Oh, kalian juga datang…” Sira menghampiri dengan langkah pelan, menyembunyikan gejolak hatinya yang masih bergetar.Sebelum ia benar-benar sampai, Sira menoleh ke Arwan yang masih setia berdiri di sampingnya.“Kak, kamu nyusul ke meja guru-guru lain aja, ya. Aku mau ngobrol sebentar sama teman-teman kuliahku.”Arwan menatapnya sejenak, seolah ragu untuk meninggalkannya sendirian, namun akhirnya ia mengangguk.“Jangan lama-lama, Ra,” katanya pelan, lalu berlalu."Siapa, Ra? Suami kamu? Jangan bilang kamu udah nikah tapi gak ngabarin kita?" Tanya Merry
"Terima kasih, Kak Arwan. Sejujurnya kamu baru saja menambah beban di pikiranku. Karena masalahku bukan sekadar perasaan suka terhadap Gavin. Saat ini masalahku adalah statusku, statusku yang kini sebenarnya adalah istrinya." Ucap Sira dalam hati, sambil melangkah lemah mengikuti Arwan yang berjalan lebih dulu.Begitu masuk aula, suasana masih ramai. Beberapa tamu tengah sibuk mengambil makanan prasmanan, rendang, sate ayam, soto betawi, dan aneka kue manis yang tersaji rapi. Anak-anak kecil berlarian sambil memegang balon, sementara orang dewasa sibuk bercakap-cakap tentang betapa serasinya pengantin hari itu.“Eh, dari mana kalian?” Tanya Melati, teman sekaligus rekan kerja di sekolah. Ia menatap penuh curiga begitu melihat Sira dan Arwan masuk bersama setelah menghilang beberapa saat tanpa berpamitan padanya.“Mau tahu urusan orang aja kamu, Mel.” Sahut Arwan santai.“Udah, ayo Ra. Kita salaman dulu sama pengantin.” lanjut Arwan lagi sambil menarik lengan Sira."Aku dari toilet tad
Mewah. Satu kata yang terlintas di kepala Sira begitu melangkah masuk ke aula pernikahan Gavin dan Raina.Aula itu dihiasi rangkaian bunga mawar putih dan lily yang ditata indah di setiap sudut ruangan. Lampu kristal bergantungan di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya keemasan yang hangat. Karpet merah terbentang dari pintu masuk hingga ke pelaminan, seolah mengantar setiap tamu menuju panggung kebahagiaan pengantin. Aroma harum bunga bercampur dengan wangi masakan katering yang terus menguar dari area prasmanan, membuat suasana semakin ramai sekaligus hangat.Dari kejauhan Raina terlihat berdiri dengan anggun, senyumnya cerah menyambut setiap tamu. Sesekali ia bergelayut manja di lengan Gavin yang berusaha tersenyum mengimbangi keceriaannya."Ya Allah, beri aku kekuatan untuk melewati hari ini." Bisik Sira dalam hati. Sakit rasanya mengakui bahwa meraka tampak serasi bersanding di pelaminan.Setelah beberapa saat Gavin akhirnya menangkap kehadiran Sira, dan tanpa sengaja mata me
Hujan turun lebat. Tepat ketika Sira melipat sajadahnya usai sholat Isya yang tertunda karena kedatangan Gavin. Sementara laki-laki itu seperti sudah pergi beberapa menit yang lalu usai mendapat telepon dari calon istri tercintanya.Sira merebahkan tubuhnya, istirahat. Semesta seperti sedang memburunya untuk melakukan semua hal dalam waktu yang singkat. Rasanya baru kemarin ia bertemu lagi dengan Gavin setelah hari perpisahan di wisuda lima tahun lalu. Dan tiba-tiba di hari pertemuan itu jugalah semesta seakan menjebaknya untuk menikah dengan lelaki itu.Hari itu Gavin baru saja dipindahkan jadi kepala sekolah di tempat Sira mengajar selama dua tahun ini. Mereka masih berbincang-bincang ketika telepon dari Ibu Sira masuk dan mengabarkan tenang ayahnya yang terus saja mengeluhkan nyeri yang luar biasa meski sudah diberi perawatan di rumah sakit.Sira masih ingat kejadian hari itu dengan jelas. Ketika ia bergegas turun dari mobil Gavin di parkiran rumah sakit tanpa sempat mengucapkan te







