แชร์

2. Awal Pernikahan Pertama

ผู้เขียน: W.M.G
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-09-20 14:13:56

Hujan turun lebat. Tepat ketika Sira melipat sajadahnya usai sholat Isya yang tertunda karena kedatangan Gavin. Sementara laki-laki itu seperti sudah pergi beberapa menit yang lalu usai mendapat telepon dari calon istri tercintanya.

Sira merebahkan tubuhnya, istirahat. Semesta seperti sedang memburunya untuk melakukan semua hal dalam waktu yang singkat. Rasanya baru kemarin ia bertemu lagi dengan Gavin setelah hari perpisahan di wisuda lima tahun lalu. Dan tiba-tiba di hari pertemuan itu jugalah semesta seakan menjebaknya untuk menikah dengan lelaki itu.

Hari itu Gavin baru saja dipindahkan jadi kepala sekolah di tempat Sira mengajar selama dua tahun ini. Mereka masih berbincang-bincang ketika telepon dari Ibu Sira masuk dan mengabarkan tenang ayahnya yang terus saja mengeluhkan nyeri yang luar biasa meski sudah diberi perawatan di rumah sakit.

Sira masih ingat kejadian hari itu dengan jelas. Ketika ia bergegas turun dari mobil Gavin di parkiran rumah sakit tanpa sempat mengucapkan terima kasih pada teman lamanya itu.

"Itu siapa, Ra?" Tanya Ayah tiba-tiba perhatiannya teralihkan ke arah pintu setelah berbincang beberapa saat dengan Sira mengenai rasa sakitnya tadi. 

Sira menoleh dan mengikuti arah pandang Ayahnya, di sana Gavin telah berdiri dengan tatapan khawatir. Sejenak Sira tertegun menatapnya, tak tau harus berbuat apa. Dia pikir Gavin langsung pulang begitu menurunkannya di parkiran tadi.

"Saya Gavin, temannya Sira, Pak." Ucapnya memperkenalkan diri dengan sopan sambil mencium tangan Ayah. Membuat laki-laki yang sedang terbaring lemah itu tersenyum lega dengan tatapan bahagia melihat Gavin. Namun membuat Sira curiga.

"Ayah mau ngomong sebentar sama Gavin, kamu sama ibu tunggu di luar sebentar ya, Ra." Ucap ayah berubah pikiran yang sontak membuatku bingung dan semakin khawatir.

"Yah..., Ayah mau ngomong apa? Ngomong sama Sira aja."

"Sebentar, Ra. Ayah cuma mau ngomong sebentar. Kamu tunggu di luar dulu."

"Tapi, Yah..." Ibu menarik tangan Sira, seakan meminta untuk menuruti saja apa keinginan ayahnya. Sejenak Sira ragu, sebelum ia melihat Gavin mengangguk dan menyetujui untuk meninggalkannya.

Dengan langkah berat Sira akhirnya meninggalkan Gavin di sana dengan ribuan tanya yang semakin lama semakin memenuhi isi kepalanya.

Gavin menutup pintu sesuai permintaan ayah begitu Sira dan ibu keluar kamar.

"Udah tenang aja, Ra. Ayah kamu gak akan macem-macem juga sama temen kamu." Ucap ibu menenangkan lalu duduk di samping kedua adik Sira, Dinda dan Lisa.

Setelah 15 menit berlalu akhirnya pintu kamar terbuka dan Gavin keluar. Wajahnya berkerut, ia tampak terkejut dan bingung, tapi kalimat yang keluar dari mulutnya hanya meminta Sira masuk untuk segera menemui ayah.

"Duduk, Ra." Pinta ayahnya begitu ia masuk ke kamar itu. 

"Ayah gak mau di operasi, Ra." Ucap lelaki paruh baya itu lemah sambil menatap Puteri sulungnya.

"Kenapa, Yah? Operasinya kan sudah dijadwalkan 2 hari lagi."

"Maaf gak bisa jadi Ayah yang baik buat kamu dan adik-adikmu, Ra." Sejenak ayah menarik nafas dan menghempuskannya dengan perlahan, sedikit menahan rasa nyeri yang seperti mulai terasa kembali.

"Sepertinya Ayah gak akan punya waktu untuk menunggu 2 hari lagi, Ra." lanjutnya kemudian, sambil tersenyum. Membuat air mata yang selalu berusaha Sira bendung tiba-tiba menetes deras dengan sendirinya.

"Sebelum Ayah pergi, keinginan Ayah cuma satu, Ra. Yaitu menikahkan kamu." Kini air mata ayah juga ikut menetes. 

Sungguh, tidak pernah sebelumnya Sira melihat ayahnya yang terlihat selalu kuat itu menangis atau pun sekedar meneteskan air mata. Tapi apa yang harus ia lakukan jika permintaan ayahnya terlalu berat untuk diwujudkan dalam waktu sesingkat ini.

"Tapi Sira belum punya calonnya, Yah." jawab Sira sambil menghapus setetes aira mata ayahnya yang tadi sempat terjatuh.

"Ayah sudah bicara sama teman kamu, dan dia juga sudah setuju."

"Maksud Ayah, Gavin? Dia setuju apa, Yah?" Kini Sira hanya bisa melongo tak percaya dengan apa yang barusan diucapkan oleh ayahnya sendiri.

"Menikahimu." Jawab ayah sambil tersenyum.

"Tapi, Yah..., Sira sama Gavin itu cuma teman."

"Ayah tau, Ra. Dan Ayah juga tau kalau kamu tidak pernah membawa teman laki-laki mu menemui Ayah, jadi kalau sampai kamu membawanya maka tidak mungkin dia teman biasa untukmu, kan?"

"Iya, tapi gak gitu..., Yah..." Sira kehabisan cara untuk menjelaskan kepada ayahnya. Bagi Sira, Gavin memang bukan teman bisa, tapi bagi Gavin, Sira hanya teman biasa. Dan sebenarnya ia juga tidak berniat membawanya kemari, lelaki itu datang sendiri tanpa di minta.

"Ayah gak punya keinginan apa-apa lagi selain ini, Ra. Ayah rasa, Ayah akan bisa mati dengan tenang setelah menikahkan kamu, Ra." Ucap ayahnya lagi masih dengan tatapan penuh harap.

Hening sesat, Sira berusaha menenangkan diri lalu menghela nafas dengan berat.

"Sira ngomong sama Gavin dulu ya, Yah." Ucap Sira sambil menghapus air matanya dan keluar dari ruang rawat ayahnya.

Sira mengajak Gavin ke ujung parkiran rumah sakit, tempat yang tidak banyak dilalui orang-orang.

"Maksud kamu apa, Vin? Kamu tau apa yang barusan kamu lakukan? Bagaimana bisa kamu menyetujui ide Ayahku tanpa berpikir panjang? kamu lupa kalau dua minggu lagi kamu mau menikah?" Sira tidak bisa menahan amarahnya atas apa yang terjadi meski tahu ini bukan sepenuhnya salah Gavin. Sementara Gavin hanya bisa menghelana nafas pelan.

"Gavin...."

"Kamu punya solusi lain, Raa?" Tanya gavin tiba-tiba memotong ucapan Sira yang sudah akan memarahinya lagi.

"Belum, tapi seandainya kamu tidak menyetujuinya aku mungkin akan menemukan solusi lain." Sahut Sira sambil mengalihkan pandangannya dari Gavin.

Entah kenapa semuanya terasa salah bagi Sira saat berhadapan dengan Gavin. Terutama dalam keadaan ini. Ia memang pernah berharap untuk menikah dengannya, tapi tentu tidak dalam keadaan ini.

"Apa? Kamu mau mencari sembarang pria terus menikahinya begitu saja? Gila kamu, Raa!" Kini Gavin yang gantian marah pada Sira.

"Mungkin itu lebih baik dari pada menikahi calon suami orang." Sahut Sira sekenanya tanpa memedulikan amarah Gavin.

"Bicaralah lagi dengan ayahku, bilang kamu tidak bisa menikahiku." 

"Tega kamu, dengan keadaan ayahmu yang seperti itu, Raa?" Sahut Gavin pelan, yang kemudian langsung membuat Sira kembali meneteskan air mata mengingat keadaan ayahnya.

"Menikahlah denganku, Sira." Ucap Gavin lagi, membuat Sira terkejut dengan lamarannya yang tiba-tiba.

"Tapi aku tidak bisa menjanjikan apapun, aku hanya bisa menikahimu secara siri, aku tidak bisa menjanjikan kebahagiaan dan masa depan untukmu. Tapi aku hanya bisa menjanjikan satu hal, bahwa aku bisa mewujudkan keinginan terakhir ayahmu."

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Aku Istri Pertama, Tapi Hanya Jadi Simpanannya    57. Terpesona

    Sabtu. Hari perjanjian itu tiba.Tepat pukul dua siang, ponsel Sira berdering. Nama Orang Tua Bintang terpampang di layarnya."Halo?" Sira menjawab dengan suara sedikit bergetar, ada keraguan dan ketakutan dalam dirinya untuk menghadapi pesta malam ini."Aku sudah di depan," suara bariton Prabu terdengar tenang. "Sekarang? Tapi aku belum siap! Kenapa tidak memberi tahu dari tadi?" nada suara Sira berubah menjadi bingung dan terkejut dengan kehadiran Prabu yang tiba-tiba sudah ada di depan rumahnya."Tenang, Sira!" Prabu terkekeh mendengar kehebohan suara Sira."Bagaimana aku bisa tenang? Aku bahkan belum tahu harus mengenakan apa dan berdandan seperti apa? Bagaimana kalau aku mempermalukanmu? Bagaimana—""Hei, tenang!" Prabu buru-buru memotong kalimat Sira, sebelum perempuan itu semakin bingung dengan ketakutan di pikirannya sendiri. "Tenang, dan dengarkan aku bicara!"Sira menghela napas, mencoba menenangkan dirinya dan menunggu Prabu melanjutkan bicaranya."Aku di sini untuk memban

  • Aku Istri Pertama, Tapi Hanya Jadi Simpanannya    56. Fakta yang Meragukan

    Tantangan Sira menggema di seluruh ruang tamu. Kalimat-kalimat yang menyinggung pernikahan tanpa hak dan kewajiban mereka menusuk jantung Gavin, namun tidak seperti yang Sira harapkan, Gavin tidak gentar.Gavin menatap Sira lurus, wajahnya keras dan menahan emosi. "Jangan bercanda, Sira," ujar Gavin, suaranya kembali sedingin es. "Aku tidak bisa menceraikanmu semudah itu.""Kenapa? Bukankah itu yang kamu inginkan sejak awal?" Sira balas menuntut, air matanya masih mengalir deras. "Kamu tidak mencintaiku, dan kamu sendiri yang bilang kita tidak punya hak dan kewajiban! Jadi apa lagi yang menahanmu, Gavin?"Gavin melangkah mundur sedikit, seolah ingin menghindari pertanyaan dan tuntutan Sira yang penuh amarah.Tepat di saat yang sama, ponsel Gavin yang tergeletak di meja berdering nyaring. Nama My Wife dengan emoticon love merah muncul di layar. Suara dering itu bagai alarm yang mengingatkan Gavin akan kenyataan lain. Ia mendadak terlihat lelah, seluruh emosi yang memuncak tadi seketik

  • Aku Istri Pertama, Tapi Hanya Jadi Simpanannya    55. Pertengkaran

    Pukul menunjukkan jam tujuh malam lebih ketika Sira akhirnya tiba di rumah. Matahari telah lama tenggelam, meninggalkan langit dalam nuansa hitam dan abu-abu. Sira berjalan gontai, kelelahan fisik dan emosional setelah seharian menghadapi berbagai masalah dan mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya.Lampu ruang tamu menyala. Sira menoleh dan jantungnya langsung mencelos. Gavin telah duduk tegak dengan kemeja kantor yang masih rapi, tapi raut wajahnya sama sekali tidak santai. Ia menatap Sira dengan tatapan mata yang keras, penuh ketegangan, seperti menahan emosi yang siap meledak.Sira menelan ludah. Sebelumnya ia berharap laki-laki itu akan menghawatirkannya dan berempati padanya. Tapi sekarang sepertinya dia hanya akan menambah beban mental dan emosinya."Dari mana?" tanya Gavin dingin, tanpa mengucapkan salam, tanpa sedikit pun keramahan. Suaranya rendah, tetapi menusuk.Sira berjalan mendekat, meletakkan tas dan ponselnya yang sebelumnya ia genggam di atas meja. "Ada urusan,"

  • Aku Istri Pertama, Tapi Hanya Jadi Simpanannya    54. Teman Pesta

    Sira kehabisan akal. Otaknya buntu tak menemukan jalan keluar, kecuali ide gila yang akhirnya membawanya untuk bertemu Prabu sore ini.Seharian terjebak di sekolah dengan kisah pelakor yang masih menjadi topik hangat di sekolah benar-benar membuatnya jengah. Apalagi ketika ia dimintai pendapat oleh salah seorang guru yang mengatai pelakor dalam surat ancaman itu."Sira, menurut kamu pelakor itu benar-benar ada apa gak di sekolah kita? Kalau menurut aku nih, ya.... Pasti ada, gak mungkin lah orang itu iseng dengan membuat ancaman kayak gitu. Masalahnya kan ini ancaman buat guru, bukan buat anak-anak yang cuma sakit hati karena cinta monyet." Bisik Bu Tuti memulai perghibahannya siang itu ketika jalan beriringan dengan Sira usai keluar dari kelas yang meraka ajar menuju kantor.Sementara Sira hanya bisa menggigit bibir bawahnya, menahan malu sambil menggeleng pelan, tak ingin menanggapi guru sejarah yang terkenal dengan 'lambe turah' nya karena senang sekali membicarakan orang lain."Ja

  • Aku Istri Pertama, Tapi Hanya Jadi Simpanannya    53. Masalah Baru

    Semangkuk mie kuah masih mengepul mengeluarkan panas di atas meja makan. Sira menghela napas sebelum mulai menyendok kuahnya.Sejak pagi tadi, ini adalah makan pertama yang masuk melewati tenggorokannya. Saat ini ia lapar, tapi sama sekali tak memiliki nafsu untuk makan.Gavin masih tak menghubunginya, menambah luka dan duka yang meliputi hatinya. Setelah apa yang ia lakukan selama akhir pekan ini, kini ia kembali menghilang seakan tak pernah terjadi apapun, seperti sebelumnya mengganggap Sira seakan tidak ada.Sira tahu Gavin sibuk mengurusi semua kekacauan karena surat ancaman itu, dan Sira tahu sifatnya yang kadang cuek itu juga tidak bisa dirubah, tapi bagi Sira tetap terasa menyakitkan mengingat bagaimana perhatian Gavin padanya kemarin tapi sama sekali tidak peduli sekarang.Sira sempat berpikir rasa cintanya untuk Gavin telah sepenuhnya hilang, tapi sepertinya ia salah. Sebelumnya ia hanya terbiasa tanpa Gavin, tapi begitu lelaki hadir lagi rasa itu akan dengan mudah kembali.S

  • Aku Istri Pertama, Tapi Hanya Jadi Simpanannya    52. Tawaran Prabu

    Sira menatap sekotak tisu dari mobil Prabu yang disodorkan di hadapnya tanpa memedulikan beberapa orang yang berlalu lalang sambil melihatnya di taman kota siang itu.Prabu menggoyangkan kotak tisunya yang tak kunjung mendapat sambutan.Sira menghela napas, lalu menarik selembar tisu dari kotak dan menghapus sisa-sisa air mata dan menyeka hidungnya yang berair tanpa sungkan pada Prabu yang kini membuang muka setelah meletakkan kotak tisu di bangku taman, tepat di tengah-tengah mereka duduk."Gak mau tanya saya nangis kenapa?" tanya Sira akhirnya membuka suara setelah keheningan panjang di antara mereka.Prabu menggeleng pelan, lalu berbalik menatap Sira."Jari kamu kenapa?" Tanya Prabu yang sepertinya baru menyadari jari telunjuk Sira yang dibungkus plaster luka lucu berwarna biru."Luka, kemarin.""Kenapa?""kena pisau." "Kok bisa?""Ya bisa, kenapa enggak," sahut Sira sekenanya."Dalam ya lukanya?" tanya Prabu lagi seakan terus mencari topik pembicaraan lain yang tak penting."Gak,

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status