"Sakit tau!"
Dewa langsung membungkam mulutku. "Jangan berisik, nanti Mami dengar." Kemudian, dia melepaskan tangannya.
"Iya, tapi sakit banget." Aku meringis kesakitan sambil memegangi lengan.
"Halah, manja. Cuma dicubit gitu aja sakit." Dewa bangkit dan menuju sofa di ujung kamar. Dia kembali asyik dengan ponselnya.
"Dasar manusia jahat, gak punya perasaan," timpalku geram.
Dewa tak menanggapi omelanku, dia justru asyik dengan ponsel. Kuduga dia sedang bermesraan dengan kekasih hatinya. Melihatnya seperti itu, aku makin kesal.
"Kenapa nasibku apes banget." Aku meremas-remas bantal.
"Salah siapa juga mau dijodohkan. Perempuan aneh." Tiba-tiba Dewa menyolot. Kemudian, dia menghampiriku. Bantal yang kuremas dia ambil, lalu menarik selimut yang terbentang di ujung ranjang.
Setelah itu, kulihat dia berbaring di sofa dan masih asyik dengan ponselnya. Tak lama kemudian, dia bergegas bangun. Tampak sedang merogoh saku celananya. Kulihat dia mengeluarkan amplop berwarna putih dan langsung melemparkannya padaku.
"Punya sopan gak, sih?" Aku mengomel sambil mengambil amplop yang dilempar oleh Dewa.
"Bodo amat." Dia tetap fokus pada ponselnya.
Kemudian, kubuka amplop tersebut. Ternyata berisi tiket bulan madu kami ke Bali. Pasangan seperti Tom and Jerry saja pakai acara bulan madu segala. Aku terus mengomel dalam hati.
***
"Wei, bangun! Jangan molor aja." Suara Dewa terdengar nyaring. Terasa pula badanku digoyang-goyangkan.
Spontan mataku terbuka lebar. Dewa telah berada di sampingku dengan penampilan rapi. "Mau ke mana? Pagi-pagi gini udah rapi aja." Aku mengucek-ngucek mata.
Dewa spontan menepuk jidatnya. "Yaelah, kita mau ke Bali, Furi! Kamu ini gimana, sih. Buruan, bisa-bisa kita ketinggalan pesawat." Matanya langsung mengarah ke pergelangan tangannya.
"Cepetan bangun!" Dewa menarik selimut, lalu menarik paksa tanganku.
Karena merasa kesal diperlakukan kasar, aku langsung berdiri. "Hah! Hah!" Kubuka mulutku lebar-lebar dan mengarahkan di hadapan Dewa.
Lelaki di depanku itu refleks menutup mulutnya. "Bau, tau! Dasar perempuan jorok."
"Please, Furi, cepetan. Ini udah jam delapan. Jangan bikin aku dimarahi Papi. Belum lagi perjalanan dari rumah ke bandara dua jam. Ngeselin baget, sih kamu." Dewa hendak mencubit pipiku, tapi segera dia urungkan.
"Hah? Jam delapan? Astaga! Aku belum siap-siap pula." Aku seketika gelagapan.
"Pokoknya dalam hitungan sepuluh semuanya udah beres. Jadi istri tentara itu harus terlatih. Satu!" Dewa mulai menghitung.
Aku makin panik menyiapkan barang yang akan kubawa liburan ke Bali. Sampai-sampai kakiku menabrak meja dan ranjang tempat tidur. Ah, sial apa aku bisa terlambat bangun.
"Dua!" Dewa kembali menghitung.
Karena tak ingin repot, aku langsung menarik koper yang kubawa menginap di hotel kemarin. Setelah itu, kusambar handuk dan bergegas ke kamar mandi.
"Tujuh!" Dewa berteriak dari luar.
Aku cepat-cepat berganti pakaian di dalam kamar mandi. Kemudian, kulangkahkan kaki keluar. "Ah, beres." Aku bernapas lega.
"Tujuh setengah!" Kulihat Dewa sedang berdiri di samping tempat tidur sambil melirik ke arah jam tangannya.
Aku langsung menyisir rambut kilat dan menguncir biasa. Toh, wajahku juga mendukung walau dandan sederhana tetap terlihat cantik.
"Udah beres!" Aku menghampiri Dewa sambil menggeret koper. "Mana kopermu?"
"Udah aku bawa keluar," jawabnya santai.
Aku seketika mengernyit. "Cepet amat."
"Udah, jangan banyak bacot. Ayo, kita berangkat." Dewa menarik tanganku. Lagi-lagi dia membiarkan aku menggeret koper sendirian.
Setelah tiba di ruang tamu, tampak Mami dan Papi telah menunggu. Dewa langsung menyuruh Mang Dikin untuk membawa koperku ke mobil.
"Maaf, Mi, Pi, kami agak lama. Soalnya Furi terlambat bangun."
Aku spontan mencubit lengan Dewa. "Apaan, sih."
Mendengar omelanku, Mami justru tertawa. "Nggak papa, Sayang. Maklum, kalian semalam, kan---" Ucapan Mami terputus.
"Ah, maksud Mami kalian, kan pengantin baru. Jadi, Mami maklumin." Beliau melanjutkan kembali ucapannya yang terputus.
Sontak aku dan Dewa saling tatap. Jika mengingat kejadian semalam aku ingin tertawa, tapi berusaha kutahan. Astaga, ada-ada saja akal bulusnya Dewa.
"Ya udah, kita berangkat dulu, Mi." Dewa langsung menyalami kedua orang tuanya.
"Hati-hati, Sayang. Kalau udah sampai jangan lupa kabari Mami." Mami langsung mencium keningku.
Usai berpamitan, aku dan Dewa segera keluar. Ternyata Mang Dikin telah menunggu kami di mobil. Aku dan Dewa pun langsung masuk ke kendaraan tersebut.
"Ah, akhirnya aku bisa bebas dari kandang macan." Dewa tampak mengelus dadanya.
Melihatnya seperti itu, aku hanya diam. Bibirku seketika mencebik. Kutahu maksud dari ucapannya barusan. Jika di dalam rumah orang tuanya, Dewa tak berani memperlakukanku semena-mena. Ya Tuhan, tolong lindungi aku dari manusia jahat ini selama liburan. Balik aku yang mengelus dada.
Spontan Dewa menatapku sinis. "Kamu kenapa?"
Aku menggeleng pelan. "Gak ada."
Setelah melakukan perjalanan yang lumayan panjang, kami tiba di bandara. Usai check in, aku dan Dewa langsung menuju ruang tunggu. Di sela-sela waktu kami menunggu, tiba-tiba muncul wanita berpenampilan seksi dan rambut pirang menghampiri kami. Wajahnya sangat mulus dan glowing. Kupastikan jika semut melintas di pipinya bisa terpleset.
Dewa langsung menyambut wanita tersebut dan mencium pipinya di depanku. Astaga! Dasar! Benar-benar manusia tak tahu malu. Bisa-bisanya mereka mengumbar kemesraan di depan publik.
"Oh, ini istrimu?" Wanita tersebut menatapku sinis.
Aku pun membalas tatapannya tak kalah sinis. Kuduga wanita itu adalah Nindi, wanita yang sering ditelepon Dewa.
"Ya begitulah. Udahlah, gak usah urusin dia. Yang penting kita bisa bersenang-senang di Bali nanti." Suara Dewa spontan membuatku menoleh ke arahnya.
Aku tak habis pikir ternyata mereka telah merencanakan niat busuknya untuk pergi ke Bali bersama-sama. Gila. Benar-benar pasangan tak ada akhlaknya. Otakku seketika bekerja keras memikirkan cara untuk mengerjai mereka. Lihat saja pembalasanku.
"Penumpang dengan nomor penerbangan GA-019 tujuan Denpasar, harap segera naik ke pesawat." Suara dari pengeras suara terdengar nyaring.
Gegas kulihat boarding pass, ternyata yang disebut barusan pesawat yang kutumpangi. Aku segera berdiri dan berjalan menuju Gate 4. Ketika kutoleh ke belakang, Dewa dan wanita tadi berjalan mengikutiku sambil bergandengan tangan.
Saat tiba di pesawat, Dewa dan wanita itu telah memilih tempat duduk sendiri. Dewa sepertinya telah hafal posisi duduknya sehingga dia meminta wanita tak tahu malu itu menggantikan posisiku. Ternyata si Glowing itu juga satu pesawat dengan kami. Ah, menyebalkan.
"Kamu di sebelah sana aja." Dewa langsung menyambar boarding pass dari tanganku dan menukar dengan boarding pass milik wanita tak tahu malu itu.
Tak berselang lama, seorang pramugari menghampiri mereka sambil membawa buket bunga berukuran kecil. Kuduga ini rencana dari Papi yang menyiapkan bulan madu kami.
"Apa benar ini Tuan Dewa dan Nyonya Furi?" tanya pramugari tersebut sangat lembut dan sopan.
Dewa semangat menganggukkan kepala. "Iya, Mbak. Kami pasangan yang Mbak sebut tadi." Kulihat dia menggenggam tangan Nindi dan wajahnya tampak semringah.
Karena tak rela wanita itu menggantikan posisiku, aku terpaksa mendekati mereka. "Maaf, Mbak. Saya Furi." Segera kusodorkan kartu identitasku.
Setelah melihat benda yang kuberikan, pramugari tersebut memperhatikan Dewa dan Nindi. Kemudian, dia menangkupkan kedua tangannya padaku. "Maaf, Bu. Saya kira ibu ini yang bernama Furi."
Aku seketika tertawa. "Bukan, Mbak. Dia ini assisten saya."
"Ya udah, Bu. Silakan Ibu duduk di sini. Selamat menikmati penerbangan bersama kami, ya." Pramugari tersebut mengulurkan buket bunga mini padaku.
"Permisi," ucapku sinis.
Mendengar ucapanku, Nindi langsung bangkit dari tempat duduknya dan menuju posisi tempat yang sebenarnya. Kulihat dia sangat kesal dan menatapku nyalang.
Namun, aku tak menghiraukannya. Tidak akan kubiarkan sesuatu yang menjadi milikku direbut wanita lain.
Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan
"Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De
Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi
Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud
Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi
"Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g