Setelah Dewa berlalu, tiba-tiba terdengar suara seperti orang menendang meja. Ketika aku menoleh, ternyata dia yang tersandung meja guci. Untung saja bukan gucinya yang jatuh. Melihatnya mengaduh kesakitan, aku makin mentertawakannya.
"Seneng banget liat orang sakit," omelnya pelan sambil melirik ke arahku dengan ekor matanya. Kemudian, dia bergegas pergi.
"Furi, tolong bantuin Mami." Suara maminya Dewa sontak mengalihkan perhatianku. Gegas aku menghampiri beliau.
"Ini, tolong aturin di sini." Beliau menyodorkan piring ceper dan keranjang buah.
Setelah itu, Mami beranjak pergi. Katanya beliau ingin mengecek Papi di luar. Usai mengatur puding dan buah, mataku perlahan mengarah ke wastafel. Di sana banyak piring kotor yang menumpuk. Aku langsung menuju tempat pencucian piring tersebut.
Baru mencuci satu piring, Bik Marni datang tergopoh-gopoh. Kulihat beliau sangat panik. Kemudian, Bik Marni langsung mengambil alih benda yang kupegang.
"Udah, Non, gak usah cuci piring. Biar Bibik aja yang nyuci. Non Furi diem aja di sana."
"Gak papa, Bik. Aku udah biasa kerja di rumah, kok." Aku tetap kekeh ingin membantu.
"Jangan, Non. Bibik aja yang kerjain ini semua."
"Gak papa, Bik. Biarin aja dia yang kerjain. Jangan dimanja, nanti kebiasaan pas tinggal di asrama. Kalo perlu suruh kerjain semua pekerjaan di rumah ini." Suara Dewa tiba-tiba mengejutkanku.
Sontak aku menoleh ke sumber suara. Kulihat dia telah berada di meja makan sambil memakan buah. Ketika dia mengetahui aku melihatnya, Dewa menatapku sinis.
"Kenapa? Gak terima? Itung-itung training sebelum hidup mandiri sama aku. Nanti kamu yang repot kalo gak biasa kerja. Jangan harap aku mau bantu."
Bibirku seketika mencebik dan mendengkus kesal. Kenapa bisa ada manusia seperti dia? Manusia yang tak punya perasaan dan jiwa sosial sama sekali. Terbuat dari apa hatinya?
"Jangan, Den, nanti Bibik yang dimarah sama Nyonya." Bik Marni mati-matian berusaha mengambil alih piring dari tanganku.
Ketika baru kulepas piring, maminya Dewa datang. Beliau langsung menghampiriku dan Bik Marni. Kulihat wanita berpenampilan modis itu meletakkan kedua tangannya di pinggang dan matanya melebar ke arah Bik Marni.
"Bik, kenapa bisa sampe Furi yang cuci piring? Kalo kayak gini, gaji Bibik nanti aku potong."
"Jangan, Nya. Maafkan saya. Tadi saya sudah bilang sama Non Furi gak usah nyuci piring, tapi Den Dewa malah nyuruh," jawab Bik Marni berusaha mencari pembelaan.
Mendengar alasan Bik Marni, aku tertawa dalam hati. Tanpa aku bertindak, keusilan Dewa telah terbalaskan. Mataku langsung mengarah ke Dewa. Kulihat suamiku itu mematung, tangannya pun mendadak berhenti ketika hendak memasukkan buah jeruk ke mulutnya.
"Apa benar, Dewa?" Mami menghampiri Dewa.
"Iya, Mi. Eh, nggak, Mi. Ampun, Mi." Dewa langsung ngacir pergi dari ruang makan sambil membawa satu buah jeruk.
Melihatnya yang setengah berlari, aku makin tertawa puas. Sekarang sudah tahu kelemahannya. Jadi, kalau dia berani macam-macam, tinggal laporkan maminya saja. Ha-ha.
Seketika otak warasku bekerja baik. Ah, tidak. Tidak akan kulakukan hal seperti itu. Aku bukan tipe wanita pelapor. Biarkan Dewa tersadar dengan sendirinya.
***
Papi dan maminya Dewa telah berkumpul di ruang makan. Kami baru saja makan malam bersama. Di sela-sela waktu santai, papinya Dewa menanyakan tentang rencana kami ke depannya. Beliau meminta aku dan putranya tinggal di rumah ini. Namun, Dewa menolak mati-matian.
"Aku mau hidup mandiri, Pi." Dewa berkata sambil asyik memegang ponsel.
"Emang kalo tinggal di sini kalian gak bisa mandiri?" Papi membalikkan pertanyaan.
Dewa masih asyik berkutat dengan benda di tangannya. Sontak kuinjak kakinya. Dia pun langsung menoleh dan memelototiku.
"Kalo orang tua bicara itu didengerin, jangan asyik main HP." Aku balas memelotot.
Sambil mendengkus kasar, Dewa langsung meletakkan ponsel di meja. "Bukan gitu, Pi. Aku kan, tentara. Jadi, ya, harus tinggal di asrama."
Aku seketika mencebik. Sebenarnya bukan itu alasan utama Dewa ingin tinggal di asrama, melainkan ingin bertindak semena-mena terhadapku. Aku tahu betul rencana busuknya itu. Selain itu, dia juga tak bebas berhubungan dengan Nindi jika hidup bersama orang tuanya.
Beberapa saat kemudian, benda tersebut kembali bergetar. Papi dan maminya hanya saling pandang dan menggeleng melihat tingkah anaknya yang tak bisa lepas dari benda ajaib itu.
"Dari siapa, sih? Kamu kayaknya sibuk banget sama HP," celetuk Mami.
"Em, ini, Mi. Dari kantor. Monitor kegiatan aja," jawab Dewa sekenanya. Tangannya menggaruk-garuk belakang kepalanya.
Ketika Dewa mengangkat ponselnya, sekilas nama "Honey" yang tertera di layar. Melihat tingkahnya yang sok sibuk, aku melirik dan mencebikkan bibir padanya.
"Dari Nindi aja pake bilang dari kantor," bisikku.
"Dari siapa, Furi?" Rupanya Mami mendengar ocehanku. Kukira suaraku sudah dalam volume terendah, nyatanya masih ada yang bisa mendengar.
"Eh, nggak ada, Mi. Itu, aku liat kontaknya di HP Dewa, kok, nama abangnya kayak nama cewek. Bang Nindi."
Mami sontak tertawa. "Ada-ada aja."
Dewa kembali melirikku. Kemudian, dia menyenggol kakiku. Aku tahu, dia seperti itu hanya ingin memberi kode untukku agar tutup mulut.
"Udah, udah. Gak usah ribut. Terus rencana kalian mau bulan madu ke mana? Kamu cuti berapa hari, Wa?" Papi gantian menatap ke arah Dewa.
"Aku dapat libur cuti 12 hari di tempat, Pi. Gak tau, nih, Furi maunya ke mana." Dewa sejenak melirikku sambil menaikkan kepalanya.
"Kok, aku? Terserah kamu, dong."
"Ya udah, kalo gitu Papi kasih tiket bulan madu ke Bali." Akhirnya Papi yang memberi solusi.
"Habisnya kamu dulu disuruh kelola perusahaan Papi malah maunya jadi tentara. Kalo kerja di perusahaan sendiri, kan banyak waktu, gak terikat," lanjut Papi.
"Gak menantang, Pi." Dewa menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
Setelah berbincang dengan keluarga Dewa, aku segera masuk ke kamar. Baru beberapa langkah, Mami mengejarku dari belakang.
"Gimana, Mi?" Aku menghentikan langkah dan menoleh ke belakang sejenak.
"Ini, tadi mamamu nitip ini. Bilang Dewa suruh minum ini." Beliau menyodorkan botol berisi minuman berwarna cokelat dan telur ayam kampung satu butir. Kuduga minuman tersebut adalah jamu.
"Tapi, untuk apa, Mi?" tanyaku polos.
"Udah, gak usah banyak tanya. Nanti suruh Dewa minum ini." Beliau langsung meletakkan botol tersebut dan telur ayam kampung ke tanganku.
Terpaksa kuterima. Kemudian, aku bergegas masuk kamar. Tak berselang lama, Dewa menyusulku. Kulihat dia masih asyik dengan ponsel.
"Lagi apa, Sayang?" Kembali Dewa berbicara sambil menempelkan ponsel di telinga. Siapa lagi kalau bukan Nindi yang diteleponnya.
Melihat tingkah Dewa, dadaku mendadak bergemuruh hebat. Ada rasa cemburu di dalam hati. Namun, aku tak mau menonjolkan di depannya.
Karena risi mendengar Dewa terus mengumbar kemesraan, aku langsung menghampirinya. "Nih, ada titipan dari Mami." Kusodorkan botol jamu dan telur ayam kampung.
"Untuk apa ini?" Dewa sejenak menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Diminum lah. Itu jamu kuat." Aku sengaja berbicara seperti itu. Padahal, diriku sendiri tak tahu khasiat dari minuman tersebut.
Mata Dewa sontak melotot. "Bukan, Sayang. Itu Furi cuma bercanda aja. Gimana aku mau minum jamu kuat, kalo tidur aja pisah. Percaya sama aku, deh. Aku sama dia itu gak bakal ngapa-ngapain." Tangan Dewa bergerak-gerak memberi kode agar aku menjauh.
Sepertinya Nindi mendengar ucapanku. Rasain. Sekalian aja berantem hebat.
Aku langsung berjalan menjauh meski rasa dongkol bercokol di dalam hati. Dewa benar-benar tidak mempunyai perasaan. Di mana-mana, lelaki berselingkuh itu sembunyi-sembunyi. Tapi, tidak dengan Dewa. Dia justru sengaja mengumbar kemesraan di depanku. Ya, aku tahu. Dia berbuat seperti itu hanya ingin membuat hatiku sakit. Tidak lebih.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Dewa langsung mengakhiri panggilan dan menatap ke arahku.
"Siapa?" teriak Dewa dari dalam kamar. Perlahan dia mendekatiku yang sedang duduk di tepi tempat tidur.
"Mami, Wa!" balas suara Mami dari luar.
Sontak aku dan Dewa saling pandang. Ketika aku hendak berdiri, Dewa langsung menarik tanganku hingga membuatku kembali terduduk di ranjang.
"Tunggu, Mi. Ini lagi---" Dewa sengaja menggantung ucapannya begitu saja. Kemudian, dia mencubit lenganku sangat kuat.
Secara bersamaan aku menjerit kesakitan. "Auuwwww!"
"Oh, ya udah, Wa. Mami cuma mau ngecek aja. Ternyata khasiat jamu tadi manjur juga."
Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan
"Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De
Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi
Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud
Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi
"Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g