Share

Bab 06

Setelah melakukan penerbangan kurang lebih satu jam lima puluh lima menit, kami tiba di Bandar Udara Ngurah Rai, Bali. Ketika turun dari pesawat, Dewa justru menggandeng Nindi. Mereka sama sekali tak memedulikanku. Dalam hatiku sangat sakit, tapi tak ingin menampakkan pada mereka. Akan kuhadapi permainan mereka dengan cara halus.

Ketika menunggu bagasi, hatiku terasa seperti teriris. Dewa malah asyik bermesraan dengan Nindi. Mereka tidak tanggung-tanggung berswafoto bersama. Untung saja tak ada orang yang melihat kekonyolan mereka. Jika sempat ada teman kantor Dewa yang mengetahui, entah apa yang akan terjadi. Terlebih lagi Mami dan Papi. Mereka pasti sangat kecewa karena putra kesayangannya telah mengkhianati jodoh pilihan orang tua.

Memandangi dua manusia layaknya sedang dimabuk asmara itu, di dalam sini terasa diremas-remas. Wanita mana yang terima melihat dengan matanya sendiri suaminya bersama wanita lain. Meski kutahu Dewa tak pernah menaruh rasa padaku, hatiku tetap sakit karena sejak awal pernikahan aku telah berusaha mencintainya dan berdamai dengan keadaan.

Kebetulan koperku telah nampak. Aku langsung menerobos di antara mereka hingga membuat keduanya memisahkan diri sejenak. Aku sudah tak peduli.

"Permisi!"

Mereka berdua menatapku nyalang. Namun, tak kuhiraukan. Tetap kuambil koper, lalu berjalan keluar. Tak berselang lama, kudengar suara teriakan dari belakang. Aku menoleh sejenak.

"Kenapa?" Kunaikkan kedua alisku dan menatap keduanya cuek.

"Kamu mau ninggalin aku?" Dewa balik tanya. Dia telah berada di belakangku sambil menggandeng tangan Nindi.

Wanita tak tahu malu itu justru makin melingkarkan tangannya ke pinggang Dewa. Melihat mereka seperti itu, aku jadi risi sendiri. Dewa dan Nindi benar-benar telah kehilangan rasa malu.

"Urusin aja pacarmu itu. Aku mau bersenang-senang, gak mau liat adegan konyol kalian." Aku melangkah meninggalkan Dewa dan Nindi.

"Kamu sakit hati?"

Ucapan Dewa berhasil membuatku menghentikan langkah. Sejenak kutoleh ke belakang, tampak dia menyunggingkan senyum seringai seolah ingin meledekku.

Aku spontan tertawa, berusaha menutupi gejolak yang bergemuruh di dalam hati. "Sakit? Big no! Aku bukan sakit hati liat kalian, tapi jijik."

Aku sudah kepalang emosi. Tak kupedulikan lagi orang lalu-lalang yang melewati kami sambil memperhatikan. Lagi pula aku tak mengenal mereka.

Beberapa detik kemudian, ponselku berdering. Segera kuambil benda tersebut dari dalam tas. Ternyata Mami yang menelepon.

"Mami!" Aku mengangkat ponsel ke arah Dewa. Ingin melihat bagaimana respons-nya ketika mengetahui Mami meneleponku.

Dewa seketika melepaskan tangan Nindi dan langsung berjalan mendekatiku. "Sini! Biar aku aja yang angkat." Dia berusaha mengambil alih ponsel.

Namun, tak kubiarkan. "Gak usah. Mau apa? Kamu mau bohongi Mami lagi? Biar sekalian Mami tau yang sebenarnya." Langsung kugeser tombol berwarna hijau di layar ponsel.

"Maaf, Mi, belum sempat ngabari. Ini baru nyampe bandara." Kulihat Dewa seperti cacing kepanasan. Dia sangat gelisah melihatku menerima telepon dari maminya.

"Alhamdulillah. Kalian tenang aja, di bandara sudah disiapkan orang buat jemput kalian. Mereka pake papan nama tulisan nama kalian berdua. Kalau liat laki-laki dengan ciri seperti itu, berarti dia orang suruhan Papi," jelas Mami panjang lebar.

"Oh, iya, Mi. Nanti kita cari."

"Terus Dewa mana?" Mami gantian menanyakan putra kesayangannya.

"Dewa? Oh, Dewa lagi---" Aku sengaja memotong pembicaraan dan sejenak melirik ke arah Dewa.

Spontan Dewa merampas ponselku. "Mi, ini Dewa. Mami gak usah khawatir, aku akan jagain Furi. Pokoknya kita akan bersenang-senang di sini." Sambil berbicara, dia melirik sinis ke arahku.

Bibirku seketika menyeringai. Dasar, pinter ngeles. Aku terus saja menggerutu sendiri. Benar-benar kesal dengan tingkah Dewa. Sementara Nindi dia melengos ketika melihatku memperhatikannya.

"Sini!" Kuambil alih ponsel.

"Ya udah, Mi. Nanti kalau udah nyampe resort aku kabari lagi." 

Setelah mengakhiri panggilan dari Mami, Dewa kembali ke tempat semula dan menggandeng Nindi. Aku tak menghiraukan mereka meski dalam hatiku nyeri. Kakiku kembali melangkah menuju pintu kedatangan.

Ketika di luar, mataku memindai sekitar. Kulihat dua orang lelaki mengenakan baju stelan hitam dan menggantung papan nama bertuliskan "Dewa dan Furi." Aku langsung menghampiri mereka.

"Non Furi?" Salah satu dari lelaki tersebut membungkukkan badannya sangat sopan, sedangkan lelaki satunya langsung membawa koperku menuju mobil.

Aku mengangguk. "Iya, saya Furi."

"Dan saya Dewa." Tiba-tiba Dewa menyembul di sampingku.

"Terus yang ini siapa, Non? Kami ke sini hanya disuruh menjemput Non Furi dan Tuan Dewa."

Sejenak aku menengok ke arah Nindi. Dia berdiri tegak seolah tak ada salah dan dosa. Melihat wanita tak tahu malu itu, aku semakin kesal. Sudah nyata-nyata Dewa tidak berjodoh dengannya, masih saja berharap.

"Tapi, Pak. Dia ini juga keluarga saya." Dewa berusaha membela Nindi. 

Senyum kebanggaan terlihat jelas di wajah Nindi. Dia semakin menegakkan badannya karena mendapat pembelaan dari Dewa. Namun, aku justru mentertawakannya dalam hati.

"Maaf, Tuan. Tapi Pak Himawan menginformasikan kami hanya dua orang saja. Sekali lagi maaf, Tuan. Saya harus mengikuti apa kata Pak Himawan." Lelaki itu langsung berjalan menuju mobil.

 Aku hanya diam dan berdiri sambil meletakkan kedua tanganku di depan dada. Sejenak kuperhatikan dua orang di sampingku sedang tawar menawar layaknya pembeli dan penjual di pasar.

"Maaf, Sayang. Nanti kita ketemuan aja di sana." Dewa berusaha membujuk Nindi.

"Tapi, Yang. Aku takut sendirian. Kamu temani aku aja, Yang. Biar perempuan kampungan ini pergi sama orang tadi." Nindi semakin merengek dan memegangi tangan Dewa seperti anak kecil yang merajuk meminta dibelikan sesuatu.

"Maaf, Sayang. Aku gak bisa. Kalau Papi tau, tamatlah riwayatku." Dewa perlahan meninggalkan Nindi.

Sontak Nindi menghentakkan kakinya ke lantai. "Sialan!"

Melihatnya seperti itu, aku spontan terbahak. Sementara Nindi terlihat sangat kesal dan balas menatapku sinis. Namun, tak kuhiraukan wanita tak tahu malu itu.

Sejenak kuhampiri dia. "Makanya jangan berharap sama suami orang. Sabar, ya, Cantik." Kuelus pipinya yang super mulus.

Nindi berusaha mengelak dan menghindari tanganku. Dia terlihat sangat murka. Kutahu karena wajahnya yang putih telah berubah warna sedikit kemerahan. Kemudian, aku berlalu meninggalkannya penuh kekesalan. Rasakan. Ini baru permulaan.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status