Setelah melakukan penerbangan kurang lebih satu jam lima puluh lima menit, kami tiba di Bandar Udara Ngurah Rai, Bali. Ketika turun dari pesawat, Dewa justru menggandeng Nindi. Mereka sama sekali tak memedulikanku. Dalam hatiku sangat sakit, tapi tak ingin menampakkan pada mereka. Akan kuhadapi permainan mereka dengan cara halus.
Ketika menunggu bagasi, hatiku terasa seperti teriris. Dewa malah asyik bermesraan dengan Nindi. Mereka tidak tanggung-tanggung berswafoto bersama. Untung saja tak ada orang yang melihat kekonyolan mereka. Jika sempat ada teman kantor Dewa yang mengetahui, entah apa yang akan terjadi. Terlebih lagi Mami dan Papi. Mereka pasti sangat kecewa karena putra kesayangannya telah mengkhianati jodoh pilihan orang tua.
Memandangi dua manusia layaknya sedang dimabuk asmara itu, di dalam sini terasa diremas-remas. Wanita mana yang terima melihat dengan matanya sendiri suaminya bersama wanita lain. Meski kutahu Dewa tak pernah menaruh rasa padaku, hatiku tetap sakit karena sejak awal pernikahan aku telah berusaha mencintainya dan berdamai dengan keadaan.
Kebetulan koperku telah nampak. Aku langsung menerobos di antara mereka hingga membuat keduanya memisahkan diri sejenak. Aku sudah tak peduli.
"Permisi!"
Mereka berdua menatapku nyalang. Namun, tak kuhiraukan. Tetap kuambil koper, lalu berjalan keluar. Tak berselang lama, kudengar suara teriakan dari belakang. Aku menoleh sejenak.
"Kenapa?" Kunaikkan kedua alisku dan menatap keduanya cuek.
"Kamu mau ninggalin aku?" Dewa balik tanya. Dia telah berada di belakangku sambil menggandeng tangan Nindi.
Wanita tak tahu malu itu justru makin melingkarkan tangannya ke pinggang Dewa. Melihat mereka seperti itu, aku jadi risi sendiri. Dewa dan Nindi benar-benar telah kehilangan rasa malu.
"Urusin aja pacarmu itu. Aku mau bersenang-senang, gak mau liat adegan konyol kalian." Aku melangkah meninggalkan Dewa dan Nindi.
"Kamu sakit hati?"
Ucapan Dewa berhasil membuatku menghentikan langkah. Sejenak kutoleh ke belakang, tampak dia menyunggingkan senyum seringai seolah ingin meledekku.
Aku spontan tertawa, berusaha menutupi gejolak yang bergemuruh di dalam hati. "Sakit? Big no! Aku bukan sakit hati liat kalian, tapi jijik."
Aku sudah kepalang emosi. Tak kupedulikan lagi orang lalu-lalang yang melewati kami sambil memperhatikan. Lagi pula aku tak mengenal mereka.
Beberapa detik kemudian, ponselku berdering. Segera kuambil benda tersebut dari dalam tas. Ternyata Mami yang menelepon.
"Mami!" Aku mengangkat ponsel ke arah Dewa. Ingin melihat bagaimana respons-nya ketika mengetahui Mami meneleponku.
Dewa seketika melepaskan tangan Nindi dan langsung berjalan mendekatiku. "Sini! Biar aku aja yang angkat." Dia berusaha mengambil alih ponsel.
Namun, tak kubiarkan. "Gak usah. Mau apa? Kamu mau bohongi Mami lagi? Biar sekalian Mami tau yang sebenarnya." Langsung kugeser tombol berwarna hijau di layar ponsel.
"Maaf, Mi, belum sempat ngabari. Ini baru nyampe bandara." Kulihat Dewa seperti cacing kepanasan. Dia sangat gelisah melihatku menerima telepon dari maminya.
"Alhamdulillah. Kalian tenang aja, di bandara sudah disiapkan orang buat jemput kalian. Mereka pake papan nama tulisan nama kalian berdua. Kalau liat laki-laki dengan ciri seperti itu, berarti dia orang suruhan Papi," jelas Mami panjang lebar.
"Oh, iya, Mi. Nanti kita cari."
"Terus Dewa mana?" Mami gantian menanyakan putra kesayangannya.
"Dewa? Oh, Dewa lagi---" Aku sengaja memotong pembicaraan dan sejenak melirik ke arah Dewa.
Spontan Dewa merampas ponselku. "Mi, ini Dewa. Mami gak usah khawatir, aku akan jagain Furi. Pokoknya kita akan bersenang-senang di sini." Sambil berbicara, dia melirik sinis ke arahku.
Bibirku seketika menyeringai. Dasar, pinter ngeles. Aku terus saja menggerutu sendiri. Benar-benar kesal dengan tingkah Dewa. Sementara Nindi dia melengos ketika melihatku memperhatikannya.
"Sini!" Kuambil alih ponsel.
"Ya udah, Mi. Nanti kalau udah nyampe resort aku kabari lagi."
Setelah mengakhiri panggilan dari Mami, Dewa kembali ke tempat semula dan menggandeng Nindi. Aku tak menghiraukan mereka meski dalam hatiku nyeri. Kakiku kembali melangkah menuju pintu kedatangan.
Ketika di luar, mataku memindai sekitar. Kulihat dua orang lelaki mengenakan baju stelan hitam dan menggantung papan nama bertuliskan "Dewa dan Furi." Aku langsung menghampiri mereka.
"Non Furi?" Salah satu dari lelaki tersebut membungkukkan badannya sangat sopan, sedangkan lelaki satunya langsung membawa koperku menuju mobil.
Aku mengangguk. "Iya, saya Furi."
"Dan saya Dewa." Tiba-tiba Dewa menyembul di sampingku.
"Terus yang ini siapa, Non? Kami ke sini hanya disuruh menjemput Non Furi dan Tuan Dewa."
Sejenak aku menengok ke arah Nindi. Dia berdiri tegak seolah tak ada salah dan dosa. Melihat wanita tak tahu malu itu, aku semakin kesal. Sudah nyata-nyata Dewa tidak berjodoh dengannya, masih saja berharap.
"Tapi, Pak. Dia ini juga keluarga saya." Dewa berusaha membela Nindi.
Senyum kebanggaan terlihat jelas di wajah Nindi. Dia semakin menegakkan badannya karena mendapat pembelaan dari Dewa. Namun, aku justru mentertawakannya dalam hati.
"Maaf, Tuan. Tapi Pak Himawan menginformasikan kami hanya dua orang saja. Sekali lagi maaf, Tuan. Saya harus mengikuti apa kata Pak Himawan." Lelaki itu langsung berjalan menuju mobil.
Aku hanya diam dan berdiri sambil meletakkan kedua tanganku di depan dada. Sejenak kuperhatikan dua orang di sampingku sedang tawar menawar layaknya pembeli dan penjual di pasar.
"Maaf, Sayang. Nanti kita ketemuan aja di sana." Dewa berusaha membujuk Nindi.
"Tapi, Yang. Aku takut sendirian. Kamu temani aku aja, Yang. Biar perempuan kampungan ini pergi sama orang tadi." Nindi semakin merengek dan memegangi tangan Dewa seperti anak kecil yang merajuk meminta dibelikan sesuatu.
"Maaf, Sayang. Aku gak bisa. Kalau Papi tau, tamatlah riwayatku." Dewa perlahan meninggalkan Nindi.
Sontak Nindi menghentakkan kakinya ke lantai. "Sialan!"
Melihatnya seperti itu, aku spontan terbahak. Sementara Nindi terlihat sangat kesal dan balas menatapku sinis. Namun, tak kuhiraukan wanita tak tahu malu itu.
Sejenak kuhampiri dia. "Makanya jangan berharap sama suami orang. Sabar, ya, Cantik." Kuelus pipinya yang super mulus.
Nindi berusaha mengelak dan menghindari tanganku. Dia terlihat sangat murka. Kutahu karena wajahnya yang putih telah berubah warna sedikit kemerahan. Kemudian, aku berlalu meninggalkannya penuh kekesalan. Rasakan. Ini baru permulaan.
Bersambung
Setelah pintu mobil mewah bergeser menutup, Pak Sopir melaju pelan. Kulihat Nindi masih mematung di sana. Sepertinya dia sangat kesal. Rencana bulan madunya bersama Dewa tergerus sia-sia. Sementara Dewa duduk manis mengenakan kacamata hitam sambil memainkan ponsel. Dia fokus pada benda di tangannya tanpa memperhatikan keberadaanku. Kami seperti orang yang tak saling mengenal. Namun, aku tak peduli. Diriku fokus menikmati suasana kota Bali. Sepanjang jalan yang kami lalui sangat tenang dan lengang. Berbeda jauh dengan suasana di ibukota. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, Pak Sopir membawa kami ke sebuah resort. Pasalnya tempat kami menginap tersebut telah disiapkan oleh Papi. Ya, mertuaku itu memang telah lama bergelut di dunia bisnis kuliner dan mempunyai banyak rekanan di seluruh kota. Ketika sampai di resort yang berada di daerah Ubud, lelaki berseragam hitam tadi membukakan pintu mobil. Kemudian, aku dan Dewa turun. Tampak di depan sana kami telah disambut oleh o
Sontak Dewa melompat ke arahku. "Eh, jangan. Jangan. Ya udah aku beliin, tapi tunggu aku mandi dulu." Dia langsung beranjak ke kamar mandi. Seketika aku tertawa puas. Pokoknya akan terus kukerjai dia selama masih memperlakukanku tidak baik. Setelah cukup lama menunggu, Dewa keluar dari kamar mandi. Melihatnya datang, seketika aku bernapas lega karena segera mendapat bala bantuan. "Nyusahin aja, sih, kamu." Dewa menggerutu sambil menyisir rambutnya. Aku hanya diam. Dalam hati juga merasa kasihan harus menyuruhnya seperti itu. Tapi, kalau bukan dia siapa lagi yang menolongku? "Pasti kamu sengaja ngerjain aku, kan?" lanjutnya lagi. Kali ini dia mengambil tas, lalu memasukkan ponsel ke dalamnya. "Ya, daripada aku laporin Mami kalo kamu di sini sama Nindi? Pilih mana?" Dewa sontak menghadap ke arahku. "Dasar, perempuan licik." Dia langsung keluar begitu saja. "Cepetan! Jangan lama-lama!" Aku berteriak dari dalam. Entah dia mendengar atau tidak karena bersamaan dengan pintu yang ter
"Astaga. Untung aja HP-ku gak ikut jatuh." Nindi berteriak dari arah sawah.Aku sontak melongo. Dalam keadaan seperti itu masih sempat memikirkan hartanya. Ah iya, aku lupa. Bagaimana dia tidak kepikiran jika ponselnya jatuh? Ponsel yang kupegang ini senilai puluhan juta. Maklum ponsel terkenal dengan tiga mata kamera bermerek Ipun. Sontak Dewa menatapku, lalu mengalihkan pandangan ke Nindi. Seketika kulihat lelaki di sampingku itu tertawa. Namun, saat itu juga dia segera menutupi. "Astaga, Nindi. Ngapain kamu di sana?" Dewa juga tampak heran. Kulihat Nindi sebagian kakinya telah dipenuhi lumpur. Wajahnya yang cantik seketika terlihat tak bercahaya. Dia sepertinya benar-benar marah. "Jangan banyak tanya. Cepetan bantuin!" tekan Nindi. Dewa mengulurkan tangannya pada Nindi. Wanita itu pun segera naik, tapi kulihat sandalnya tak ada. Astaga. Rasanya aku ingin tertawa sekencang-kencangnya melihat penampilan si Glowing itu. Saat ini bukan lagi Glowing namanya, tapi si Butek. "Pasti k
"Kamu, sih, ngomongin tempat tidur aja sampe ribut. Kedengeran sama Mami, kan? Tambah lagi Mami salah paham." Aku mengomel pada Dewa. Kulihat suamiku itu sedang duduk sambil memegangi ponselnya. Sejenak pandangannya mengarah padaku. "Emang kenapa? Bagus, kan biar Mami gak curiga sama kita." "Iya, deh, terserah kamu." Aku bangkit dan berjalan menuju jendela. Sesaat kulirik ke arah Dewa, dia masih saja asyik dengan benda yang berada di tangannya. Seketika dia senyum-senyum sendirian. Kuduga dia sedang asyik pacaran dengan Nindi. Hatiku rasanya seperti terbakar. Lagi-lagi kukendalikan diri. "Awas, aku mau tidur." Kuusir Dewa dari tempat tidur. Sontak matanya melotot ke arahku. "Udah kubilang kamu yang tidur di bawah." "Gak mau. Laki-laki apaan kamu? Sama perempuan aja gak mau ngalah. Minggir." Kutepuk pundaknya. "Nggak sopan." Dewa makin emosi. "Habisnya kamu diusir secara halus gak mau minggir, ya udah aku kasarin aja sekalian." Perlahan Dewa berdiri. Dia sejenak mematung sambil
Dewa mondar-mandir sambil memegangi perutnya. Berkali-kali pula dia ke kamar mandi. Melihatnya seperti itu sempat terlintas rasa iba padanya. Namun, diriku sudah kehabisan cara agar Dewa tidak terus menerus menyakiti hatiku. Entah mengapa makin hari rasa cintaku padanya semakin tumbuh subur."Ah, kenapa rencanaku setiap mau ketemuan sama Nindi selalu gagal." Dewa mengomel sambil bolak balik kamar mandi."Pasti kamu senang, kan?" Dewa bersuara lantang.Sontak aku menoleh ke arahnya lagi, lalu menunjuk diriku sendiri. "Aku? Apa hubungannya sama aku?" Kupasang wajah datar."Kamu gak suka, kan kalo aku ketemu sama Nindi?" Lelaki berwajah tegas itu menekan kalimatnya.Namun, aku berusaha tenang. "Aku sama sekali gak masalah kalo kamu ketemuan sama Nindi. Tuhan aja yang gak restui hubungan kalian. Buktinya selalu gagal, kan? Niat kamu jelek, sih.""Huh, dasar perempuan nyebelin. Kenapa juga aku dijodohkan sama kamu. Pembawa sial aja." Dewa kali ini bangkit."Pembawa sial? Gak salah, tuh? Ka
"Udah belum? Ambil jepit gitu aja, kok lama banget." Nindi rupanya sudah tak sabar.Namun, aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kapan lagi kupegang kepala sekaligus menjambak rambut Nindi. Sebenarnya ini merupakan tindakan yang kurang sopan, tapi aku sudah kehabisan akal untuk memberinya pelajaran. Jika kulakukan secara bar-bar, bisa-bisa Dewa semakin ilfeel padaku. Satu-satunya cara, ya secara halus."Bentar lagi, Mbak Cantik. Beneran nih, hairspray-nya kebanyakan. Makanya jepit kecilnya ikut nyelip di dalam. Maaf, ya, Mbak kalau aku agak berantakin rambutnya." Aku berbicara sangat lembut agar Nindi tak mencurigai aksi balas dendamku."Gak papa, Fur. Yang penting jepitnya Nindi diambil. Kamu yang ambil aja susah begitu, apalagi aku? Pasti tambah sakit lagi Nindi. Sayang, sabar dulu, ya, biar Furi ambilin jepit kamu." Dewa berusaha menenangkan kekasihnya itu.Melihatnya bersikap romantis, semakin kutambah tenagaku menjambak rambutnya Nindi hingga wanita itu berteriak dan me
Kemudian, kuputuskan untuk mencari mobil online dan mendatangi sebuah klinik kecantikan di kota ini. Jika melihat penampilan Nindi, rasa minder seketika menyelinap di hati. Pantasan saja Dewa tergila-gila padanya. Sedangkan diriku? Hanyalah wanita rumahan dengan penampilan seadanya. Meskipun wajahku terbilang cantik, tetap saja harus ditunjang dengan perawatan.Setelah tiba di sebuah klinik kecantikan, aku memilih serangkaian perawatan. Mulai dari spa, peeling hingga laser. Aku sudah tak peduli dengan biayanya. Kali ini akan kumanjakan diriku sendiri.Ketika sedang melakukan spa, ponselku berdering. Namun, tak kuhiraukan. Aku lebih menikmati perawatan ketimbang memikirkan ponsel. Palingan telepon dari Dewa. Kurileks-kan diriku sejenak dari bayang-bayang dua manusia tak tahu malu itu. Aku benar-benar ingin menenangkan pikiran.Kurang lebih enam jam, aku menghabiskan waktu di klinik kecantikan. Ketika keluar, ternyata hari telah gelap. Segera kucek ponsel, dua puluh kali panggilan tak t
Segera kulihat aplikasi WhatsApp, tapi tak ada balasan dari Dewa. Pesanku yang terakhir kali kukirim juga belum dia baca, masih centang dua tanpa warna biru. Dia pasti sedang bersenang-senang bersama Nindi. Ya Tuhan, kenapa bisa nasibku semiris ini?Tepat jam setengah delapan waktu setempat, aku kembali ke resort. Setibanya di sana, Dewa belum juga pulang. Ah iya, bagaimana bisa dia masuk kamar sedangkan kuncinya kubawa? Setelah kuletakkan tas di atas meja, aku bergegas ke kamar mandi. Entah kenapa badanku masih terasa gerah. Sepertinya aku ingin merileks-kan badan dengan mandi air hangat.Kunikmati guyuran dari shower. Tiba-tiba bayangan Dewa dan Nindi berkelebat di pikiran. Terlebih lagi foto mesra mereka. Air mataku tak terasa mengalir begitu saja. Aku makin berlama-lama berdiam diri di bawah guyuran air sambil mengeluarkan semua beban yang menghimpit dada.Setelah kurasa hati ini cukup membaik, aku segera mengambil handuk dan membalut badan. Mumpung tak ada Dewa, pikirku. Jadi, a