Share

Bab 06

Penulis: Ririn Irma
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-02 08:48:02

Setelah melakukan penerbangan kurang lebih satu jam lima puluh lima menit, kami tiba di Bandar Udara Ngurah Rai, Bali. Ketika turun dari pesawat, Dewa justru menggandeng Nindi. Mereka sama sekali tak memedulikanku. Dalam hatiku sangat sakit, tapi tak ingin menampakkan pada mereka. Akan kuhadapi permainan mereka dengan cara halus.

Ketika menunggu bagasi, hatiku terasa seperti teriris. Dewa malah asyik bermesraan dengan Nindi. Mereka tidak tanggung-tanggung berswafoto bersama. Untung saja tak ada orang yang melihat kekonyolan mereka. Jika sempat ada teman kantor Dewa yang mengetahui, entah apa yang akan terjadi. Terlebih lagi Mami dan Papi. Mereka pasti sangat kecewa karena putra kesayangannya telah mengkhianati jodoh pilihan orang tua.

Memandangi dua manusia layaknya sedang dimabuk asmara itu, di dalam sini terasa diremas-remas. Wanita mana yang terima melihat dengan matanya sendiri suaminya bersama wanita lain. Meski kutahu Dewa tak pernah menaruh rasa padaku, hatiku tetap sakit karena sejak awal pernikahan aku telah berusaha mencintainya dan berdamai dengan keadaan.

Kebetulan koperku telah nampak. Aku langsung menerobos di antara mereka hingga membuat keduanya memisahkan diri sejenak. Aku sudah tak peduli.

"Permisi!"

Mereka berdua menatapku nyalang. Namun, tak kuhiraukan. Tetap kuambil koper, lalu berjalan keluar. Tak berselang lama, kudengar suara teriakan dari belakang. Aku menoleh sejenak.

"Kenapa?" Kunaikkan kedua alisku dan menatap keduanya cuek.

"Kamu mau ninggalin aku?" Dewa balik tanya. Dia telah berada di belakangku sambil menggandeng tangan Nindi.

Wanita tak tahu malu itu justru makin melingkarkan tangannya ke pinggang Dewa. Melihat mereka seperti itu, aku jadi risi sendiri. Dewa dan Nindi benar-benar telah kehilangan rasa malu.

"Urusin aja pacarmu itu. Aku mau bersenang-senang, gak mau liat adegan konyol kalian." Aku melangkah meninggalkan Dewa dan Nindi.

"Kamu sakit hati?"

Ucapan Dewa berhasil membuatku menghentikan langkah. Sejenak kutoleh ke belakang, tampak dia menyunggingkan senyum seringai seolah ingin meledekku.

Aku spontan tertawa, berusaha menutupi gejolak yang bergemuruh di dalam hati. "Sakit? Big no! Aku bukan sakit hati liat kalian, tapi jijik."

Aku sudah kepalang emosi. Tak kupedulikan lagi orang lalu-lalang yang melewati kami sambil memperhatikan. Lagi pula aku tak mengenal mereka.

Beberapa detik kemudian, ponselku berdering. Segera kuambil benda tersebut dari dalam tas. Ternyata Mami yang menelepon.

"Mami!" Aku mengangkat ponsel ke arah Dewa. Ingin melihat bagaimana respons-nya ketika mengetahui Mami meneleponku.

Dewa seketika melepaskan tangan Nindi dan langsung berjalan mendekatiku. "Sini! Biar aku aja yang angkat." Dia berusaha mengambil alih ponsel.

Namun, tak kubiarkan. "Gak usah. Mau apa? Kamu mau bohongi Mami lagi? Biar sekalian Mami tau yang sebenarnya." Langsung kugeser tombol berwarna hijau di layar ponsel.

"Maaf, Mi, belum sempat ngabari. Ini baru nyampe bandara." Kulihat Dewa seperti cacing kepanasan. Dia sangat gelisah melihatku menerima telepon dari maminya.

"Alhamdulillah. Kalian tenang aja, di bandara sudah disiapkan orang buat jemput kalian. Mereka pake papan nama tulisan nama kalian berdua. Kalau liat laki-laki dengan ciri seperti itu, berarti dia orang suruhan Papi," jelas Mami panjang lebar.

"Oh, iya, Mi. Nanti kita cari."

"Terus Dewa mana?" Mami gantian menanyakan putra kesayangannya.

"Dewa? Oh, Dewa lagi---" Aku sengaja memotong pembicaraan dan sejenak melirik ke arah Dewa.

Spontan Dewa merampas ponselku. "Mi, ini Dewa. Mami gak usah khawatir, aku akan jagain Furi. Pokoknya kita akan bersenang-senang di sini." Sambil berbicara, dia melirik sinis ke arahku.

Bibirku seketika menyeringai. Dasar, pinter ngeles. Aku terus saja menggerutu sendiri. Benar-benar kesal dengan tingkah Dewa. Sementara Nindi dia melengos ketika melihatku memperhatikannya.

"Sini!" Kuambil alih ponsel.

"Ya udah, Mi. Nanti kalau udah nyampe resort aku kabari lagi." 

Setelah mengakhiri panggilan dari Mami, Dewa kembali ke tempat semula dan menggandeng Nindi. Aku tak menghiraukan mereka meski dalam hatiku nyeri. Kakiku kembali melangkah menuju pintu kedatangan.

Ketika di luar, mataku memindai sekitar. Kulihat dua orang lelaki mengenakan baju stelan hitam dan menggantung papan nama bertuliskan "Dewa dan Furi." Aku langsung menghampiri mereka.

"Non Furi?" Salah satu dari lelaki tersebut membungkukkan badannya sangat sopan, sedangkan lelaki satunya langsung membawa koperku menuju mobil.

Aku mengangguk. "Iya, saya Furi."

"Dan saya Dewa." Tiba-tiba Dewa menyembul di sampingku.

"Terus yang ini siapa, Non? Kami ke sini hanya disuruh menjemput Non Furi dan Tuan Dewa."

Sejenak aku menengok ke arah Nindi. Dia berdiri tegak seolah tak ada salah dan dosa. Melihat wanita tak tahu malu itu, aku semakin kesal. Sudah nyata-nyata Dewa tidak berjodoh dengannya, masih saja berharap.

"Tapi, Pak. Dia ini juga keluarga saya." Dewa berusaha membela Nindi. 

Senyum kebanggaan terlihat jelas di wajah Nindi. Dia semakin menegakkan badannya karena mendapat pembelaan dari Dewa. Namun, aku justru mentertawakannya dalam hati.

"Maaf, Tuan. Tapi Pak Himawan menginformasikan kami hanya dua orang saja. Sekali lagi maaf, Tuan. Saya harus mengikuti apa kata Pak Himawan." Lelaki itu langsung berjalan menuju mobil.

 Aku hanya diam dan berdiri sambil meletakkan kedua tanganku di depan dada. Sejenak kuperhatikan dua orang di sampingku sedang tawar menawar layaknya pembeli dan penjual di pasar.

"Maaf, Sayang. Nanti kita ketemuan aja di sana." Dewa berusaha membujuk Nindi.

"Tapi, Yang. Aku takut sendirian. Kamu temani aku aja, Yang. Biar perempuan kampungan ini pergi sama orang tadi." Nindi semakin merengek dan memegangi tangan Dewa seperti anak kecil yang merajuk meminta dibelikan sesuatu.

"Maaf, Sayang. Aku gak bisa. Kalau Papi tau, tamatlah riwayatku." Dewa perlahan meninggalkan Nindi.

Sontak Nindi menghentakkan kakinya ke lantai. "Sialan!"

Melihatnya seperti itu, aku spontan terbahak. Sementara Nindi terlihat sangat kesal dan balas menatapku sinis. Namun, tak kuhiraukan wanita tak tahu malu itu.

Sejenak kuhampiri dia. "Makanya jangan berharap sama suami orang. Sabar, ya, Cantik." Kuelus pipinya yang super mulus.

Nindi berusaha mengelak dan menghindari tanganku. Dia terlihat sangat murka. Kutahu karena wajahnya yang putih telah berubah warna sedikit kemerahan. Kemudian, aku berlalu meninggalkannya penuh kekesalan. Rasakan. Ini baru permulaan.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 102

    Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 101

    "Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 100

    Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 99

    Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 98

    Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 97

    "Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status