"Terserah kamu. Intinya kamu gak bakal bisa misahin aku dan Nindi." Dewa langsung berlalu menuju kamar mandi.Di sela-sela Dewa ke toilet, aku membuka hasil screenshoot foto Nindi di Instagram. Akan kuperlihatkan foto tangan tersebut pada Dewa. Aku sangat yakin bahwa tangan lelaki yang memegang Nindi itu bukanlah suamiku.Saat Dewa keluar dari kamar mandi, aku telah bersiap-siap. Sayangnya, lelaki berwajah tegas itu tidak menghampiriku. Dia malah melenggang keluar kamar. Ah, gagal.***Ketika aku asyik menonton siaran televisi, Dewa kembali. Dia masuk kamar dengan mimik tak biasa. Seperti ada gurat kecewa di wajah tampannya."Kenapa?" tanyaku basa-basi."Bukan urusanmu." Dewa masih enggan membuka mulut.Aku tak menanggapinya dan melanjutkan menonton televisi. Namun, ide seketika menancap di otak. Kusuruh Dewa duduk di dekatku. Mungkin aku tak bisa menunjukkan bukti rekaman suara Nindi saat di toilet, tapi aku bisa menunjukkan bukti yang lainnya."Kamu mau apa?" tanyanya dengan wajah p
Ketika tiba di kafe, aku duduk sambil menikmati alunan lagu. Pelayan kafe kemudian menghampiriku sambil membawa daftar menu. Segera kupesan minuman.Cukup lama menunggu, kumainkan ponsel seraya memantau sosial media. Semenjak menikah, aku memang jarang berselancar di dunia maya, bahkan sering temanku bertanya kenapa aku hiatus. Tentunya semua ada alasannya. Lagi pula untuk apa aktif di dunia maya jika rumah tanggaku saja tidak jelas.Aku bermain sosial media hanya ingin mencari hiburan. Aku lebih suka menonton video atau membaca cerita di grup novel online. Tak lebih dari itu. Kemudian, sengaja kucek akun Dewa. Ternyata suamiku itu tak pernah menggunakan sosial medianya lagi.Beberapa saat kemudian, pesananku datang. Ketika sedang asyik menyedot minuman, mataku tak sengaja melirik ke arah ujung kafe. Tampak Nindi bersama lelaki lain. Mereka duduk berdampingan dan bermesraan. Dasar, wanita tidak beres.[Cepat ke sini. Aku di kafe. Ada sesuatu yang harus kamu tau]Kukirim pesan pada Dew
"Hancur? Dewa bersama keluarganya hancur?" gumamku sambil memandangi punggung lelaki tadi yang tengah berjalan."Hei, tunggu!" teriakku pada lelaki tersebut.Lelaki itu perlahan menghentikan langkahnya dan kembali menghampiriku. "Ada apa?""Kita kenalan dulu. Namaku Furi, istri sementaranya Dewa." Kuulurkan tanganku padanya."Jems!" Dia membalas tanganku. "Ada perlu apa?""Aku gak mau mencampuri urusanmu, tapi aku cuma mau tau kenapa kamu seperti dendam sama keluarganya Dewa? Tenang, aku gak akan bocorkan karena aku juga jadi bagian dari keluarga mereka cuma sementara." Aku sengaja berpura-pura agar bisa mengorek sedikit informasi."Gak penting kamu tau semuanya. Toh, gak ada hubungannya sama kamu. Aku cuma mau balaskan rasa sakit hati keluargaku sama papinya Dewa. Ya, meskipun harus mengorbankan tunanganku sendiri."Aku tercekat. Tunangan? Jadi, Nindi itu tunangan lelaki ini? Ya Tuhan, ini benar-benar tidak masuk akal."Terus, kenapa Nindi mau?" "Ya, demi uang. Kalau dia bisa takluk
"Kamu benar-benar gila, Nindi. Yang licik itu sebenarnya kamu. Kamu sengaja dekatin Dewa untuk menjalankan misimu dan tunanganmu, kan? Kamu sama Dewa itu bukan atas dasar cinta," lanjutku sangat geram."Furi! Tutup mulutmu!" teriak Dewa seolah lebih membela Nindi."Tunangan? Kamu tadi bilang tunangan?" lanjut Dewa terlihat kaget."Sayang, apa maksudnya? Apa benar yang dibilang Furi?" Mata Dewa seketika mengarah pada Nindi."Jangan percaya sama dia, Sayang. Itu fitnah. Dia sengaja memfitnah aku demi dapatin kamu." Nindi makin menempel di lengan Dewa.Aku hanya menyeringai. Mentertawakan kebodohan lelaki yang telah menghalalkanku. Bisa-bisanya dia terperangkap dalam permainan Nindi.Karena keadaan yang tak kunjung kondusif, Nindi langsung menyambar tasnya yang tergeletak di ranjang. Dia juga langsung mengenakan high heel-nya dan keluar kamar begitu saja dan menyenggolku dengan sengaja.Setelah Nindi pergi, Dewa kembali duduk di ujung ranjang. Tangannya berkali-kali meremas rambut cepakn
"Kenapa? Kamu penasaran? Apa pun yang aku bilang, pasti kamu gak akan percaya," jawabku sambil fokus memasukkan pakaian ke dalam koper. Setelah semuanya beres, aku beranjak ke tempat tidur dan duduk di tepi. Kulihat Dewa masih mengemasi barang-barangnya.Kemudian, Dewa menyusulku. Dia duduk tepat di samping dengan tatapan yang entah. Sepertinya dia masih memikirkan apa yang kukatakan barusan."Sejauh apa kamu tau soal Nindi?" Dewa sedikit merapatkan posisi duduknya.Aku tak menjawab pertanyaannya. Kejadian tadi masih membekas di ingatan. Semakin kuingat, semakin sakit yang kurasakan. Seketika penyesalan melintas di pikiran. Seandainya kutahu akan seperti ini, lebih baik tak melihatnya. Dadaku mendadak terasa sesak.Bayangan Mami dan Papi pun seketika menyeruak di benak. Aku tak bisa membayangkan jika hubunganku dengan Dewa harus berhenti di tengah jalan, tapi jika tetap kulanjutkan pernikahan ini, dirikulah yang semakin tersiksa. Ya Tuhan, kenapa jadi seruwet ini?"Jawab pertanyaanku,
Dewa masih memelototi ponsel dengan kata-kata yang tidak terlalu jelas kudengar. Ocehannya itu persis seperti orang yang sedang mengomel."Ayo, angkat teleponku Nindi! Kamu ke mana aja jam segini?" racaunya yang sempat terdengar di telingaku.Kemudian, Dewa melirik pada benda yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ah, mungkin dia udah tidur. Atau dia marah sama aku gara-gara kejadian tadi?" Spontan Dewa mengacak rambutnya sangat kasar.Setelah itu, aku menarik selimut dan berusaha memejamkan mata karena esok aku tak boleh terlambat bangun.***Setelah membereskan kamar, aku keluar membawa barang-barang. Kemudian, berpamitan pada owner juga karyawan resort. Mereka tampak heran dengan kepulangan kami yang terkesan mendadak. Ya, masa liburanku dengan Dewa seharusnya masih seminggu lagi. Namun, karena kejadian menjijikkan kemarin yang membuatku tak tahan berlama-lama di sini.""Maaf, Pak, kami mendadak ada urusan penting," ucapku beralasan."Benar tidak ada sesuatu, kan, Nyonya?" balas
Selepas Gali dan calon istrinya pergi, Dewa langsung mencecarku. "Kamu tadi nyindir aku, ya?" Dia spontan menghempaskan bokong di kursi ruang tunggu."Kamu tersinggung?" balasku seraya ikut duduk di sampingnya."Udahlah, gak usah berdebat. Gak enak diliat orang," lanjutku sambil memasang syal."Kamu itu emang nyebelin." Dewa justru menarik syalku dan mengikat ke leherku."Eh, eh. Kamu mau bunuh aku, ya?" Namun, dia justru terkekeh. Hatiku seketika merasakan debar yang tak biasa. Semenjak di resort kemarin, Dewa selalu ingin menghabiskan waktu dengan Nindi. Sekarang dia berada di dekatku dan sudah mau bercanda. Sayangnya, potongan adegan ketika bersama Nindi melintas di pikiran. Perasaanku seketika ambyar. Entah kenapa jika mengingat kejadian itu hatiku masih merasakan sakit, bahkan melupakannya saja sangat sulit."Kamu kenapa?" Dewa memandangku lekat.Aku menggeleng. "Kamu gak ngerasa curiga sama Nindi, ya?" Segera kualihkan obrolan."Emang kenapa?""Gak ada. Cuma aku ngerasa ada yan
"Astaga! Dewa harus tau masalah ini." Aku spontan bergegas pergi.Namun, Mami langsung mencekal tanganku. "Jangan kasih tau Dewa dulu.""Tapi, kenapa, Mi?" jawabku pelan sambil membalikkan badan.Mataku mengitari sekitar, ternyata Dewa sudah tidak ada, entah ke mana dia pergi. Sepertinya dia ke kamar karena sempat kulihat tadi Mang Dikin membawa masuk koper kami."Kenapa Dewa gak boleh tau soal ini, Mi?" Ulangku sekali lagi.Sejenak Mami tampak menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Mami gak mau dia tersangkut masalah ini. Dia itu aparat yang instansinya punya aturan ketat. Kalau Dewa tau, pasti dia bakal cari tau dan Mami takut dia main hakim sendiri. Mami gak mau gara-gara kasus ini Dewa kena masalah. Jadi, biar orang-orang Papi yang selidiki."Aku seketika terdiam. Memang ada benarnya apa yang dikatakan Mami, tapi sebagai anak Dewa harus mengetahui. Terlebih lagi jika semua ini ada kaitannya dengan wanita yang dicintainya."Please, jangan kasih tau Dewa." Kedua tangan Mami men