"Oke, gak masalah. Aku bisa memaklumi." Dewa pun mengalihkan tatapannya. Hening seketika merajai suasana.Perlahan kakinya menginjak pedal gas dan melajukan mobil dalam diam. Namun, riak wajahnya tampak bahagia. Senyumnya sesekali merekah dan sedikit mencuri-curi menatapku. Mentari yang telah meninggi serta pesona awan putih berarak-arakan di atas sana pun turut mengiringi perjalanan kami. Beberapa saat kemudian, tangan kirinya melepas kemudi dan meraih jemariku hingga membuat jantungku berdentum tak beraturan. Suasana tenang dan nyaman pun seketika tercipta."Kita mau ke mana ini?" tanyaku yang akhirnya memecah kesunyian."Kamu maunya ke mana?" Dewa balik bertanya padaku. Tangannya masih memegang jemariku. Tatapannya kali ini terbagi antara fokus mengemudi dan sesekali menatapku penuh perhatian.Sejenak kukernyitkan kening. "Loh, bukannya katanya tadi mau beli perabotan?" Segera kulepaskan tangan seraya berpura-pura merapikan rambut, padahal sebenarnya menyembunyikan riak kecanggung
Mendengar ucapannya barusan membuatku tak berhenti tertawa. "Wah, bagus juga itu. Kelakuanmu selama ini kan persis sayton."Dewa seketika mencebik sembari memegang dadanya. "Astaghfirullah, masa kamu bilang aku sayton?" Nada bicaranya terdengar begitu pasrah.Aku makin terkekeh dan tak mau berhenti. Benar-benar momen yang sangat menghibur diri."Kita jadi belanja gak nih? Kelamaan cerita malah keburu tutup tokonya nanti," ujarku mengalihkan pembicaraan.Dewa lalu mengembalikan ponselku dan perlahan melajukan mobil menuju pertokoan yang ada di depan sana.Kemudian, kami turun dan berjalan beriringan. Karyawan toko menyapa sangat ramah dan menampilkan senyum terindah mereka. Aku dan Dewa menyusuri tiap lorong toko seraya memilih produk yang akan kami beli.Ketika sampai di bagian kasur, aku seketika melirik Dewa. Dia asyik memilih dan sesekali bertanya harga pada karyawannya."Kamu gak butuh sofa? Biasanya kalau mau tidur yang dicari sofa," kelakarku seraya mengingatkan Dewa. Sontak De
"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" Ternyata Dewa memperhatikan gerak-gerikku.Namun, aku seketika menyembunyikan perasaanku. "Oh, itu. Aku tiba-tiba ingat aktingmu sama Winda tadi. Padahal dia udah ke-PD-an mau deketin kamu. Eh, ternyata kena prank.""Hahaha." Gelak tawa Dewa pun pecah.Ketika hendak berbelok ke arah batalyon, melintas motor melewati mobil kami. Spontan Dewa menambah kecepatan."Sialan! Itu Nindi sama Jems. Aku harus bisa berhentikan mereka. Kayaknya mereka pura-pura kabur dari kota ini." Dewa makin menambah laju kecepatan hingga menerobos lampu merah. Untung saja tidak ada kendaraan dari arah berlawanan.Kutajamkam penglihatan ke arah depan. Memang benar, tampak Nindi sedang berboncengan dengan Jems.Tepat di samping toko bangunan, Dewa berhasil menghentikan motor yang dikendarai mereka berdua. "Turun." Dewa melongokkan kepala, lalu turun dari mobil.BUGH!Satu pukulan melayang ke arah kepala Jems. Sontak lelaki yang menjadi tunangan Nindi itu segera memarkir motor
"Asal jangan tambahin embel-embelnya aja," kekeh Dewa sembari menyambar ponsel yang berada di dashboard. Matanya tak lepas memandangi benda yang kini sedang dia pegang."Terus apa, dong?" sahutku datar. Jujur, aku sangat canggung jika harus memanggil Dewa dengan sebutan lain. Apalagi dengan panggilan sayang. Ah, rasanya bibir ini kelu. Aku sengaja berpura-pura menyisir rambut untuk menghalau riak kecanggungan.Dewa seketika menjauh dari mobil seraya menegakkan badannya ketika ada seorang lelaki berseragam loreng melintas mengendarai sepeda motor. "Siang, Bang."Kemudian, Dewa kembali melongokkan kepala dan menatapku tajam, sementara tangan kanannya menempel di pintu mobil. "Terserah kamu aja, deh. Yang penting aku manggil kamu Yang, ya? Boleh, kan?" Dia memandangiku makin lekat.Perlahan kukembalikan sisir berwarna pink ke dalam tas. "Boleh, asal bukan Yangti aja."Tampak kening Dewa berkerut. "Yangti? Apa artinya itu?" Sepertinya dia benar-benar tak paham dengan selorohan yang kulont
"Ya udah, aku ke depan dulu, ya?" pamitku seraya melangkah keluar.Ketika di teras, Bu Soni mengambil alih Zara dari gendonganku. Kemudian, seorang wanita mengendarai motor melintas di depan. Begitu melihatku, wanita tersebut berhenti."Bu Soni, siapa yang nempatin rumah itu?" tanyanya sambil mengarahkan pandangan pada tetangga sebelah."Om Dewa, Bu Dar," balas Bu Soni setengah berteriak.Sontak wanita pemilik nama Bu Dar itu menepikan motor dan berjalan menuju pekarangan rumah. "Oh, Om Dewa yang dulu pacarnya selebgram itu, ya? Denger-denger gak jadi nikah, kan? Duh, sayang banget, ya. Padahal serasi lho. Omnya ganteng, mbaknya juga cantik."Bu Soni seketika melirikku, seperti ada rasa tak enak hati. "Ya, namanya juga jodoh, Bu. Mau dikejar sampe mana juga kalau gak jodoh ya percuma. Ya kan, Tante?"Aku hanya tersenyum tipis. Rupanya orang di asrama telah mengetahui hubungan Dewa dan Nindi. Namun, aku tidak terlalu mengambil pusing. Toh, sekarang yang menjadi istri sahnya adalah aku.
Aku berpura-pura menelepon Mama. Beberapa saat kemudian, kukembalikan ponsel pada Dewa. Suamiku itu mematung sambil menatapku heran."Kok cepat?""Gak diangkat sama Mama. Mungkin lagi sibuk," jawabku santai.Jika tadi kuputar otak mencari cara mendapatkan nomor telepon mencurigakan itu, sekarang justru aku sedang memikirkan bagaimana caranya agar bisa berkomunikasi dengan si pemilik nomor itu. Ah, iya, nanti kalau sudah sampai rumah Mami akan kuhubungi."Aku bantu apa lagi nih?" ucapku kemudian untuk mencairkan suasana agar Dewa tak mencurigaiku."Gak ada, udah beres semuanya, Yang. Oh iya, masih ada sampah di serokan. Bisa minta tolong buang di sampah belakang gak?" Dewa berbicara sembari memeras alat pel yang terakhir.Aku gegas mengambil serokan sampah dan membuangnya. Sejenak mataku mengitari sekeliling. Ternyata halaman belakang di rumah dinas ini lumayan luas. Antara halaman rumahku dengan tetangga hanya disekat dengan pagar yang terbuat dari kayu. Di sebelah juga kulihat ada be
Setelah berada di mobil, mulai kutanyakan satu per satu mengenai sikap aneh Bu Dar padaku. "Bu Dar tadi kenapa sih ngeliatin aku kayak gitu?"Dewa langsung memasang wajah heran sebelum menyalakan mesin mobil. "Aneh gimana?""Sinis banget. Kayak gak suka gitu sama aku.""Perasaanmu aja kali. Gak usah diambil hati orang-orang kayak gitu. Kamu sendiri nanti yang pusing mikirnya," jawab Dewa menenangkan.Aku sejak terdiam. Ada benarnya juga apa yang dikatakan. Namun, sebagai manusia normal, aku juga ada perasaan tak enak. "Atau mungkin dia merasa tersaingi dengan kecantikanmu," lanjut Dewa diikuti kekehan.Aku pun ikut terkekeh. "Ah, ada-ada aja."Kemudian, Dewa melajukan mobil membelah jalanan. Selama perjalanan, segera kusimpan nomor telepon mencurigakan itu di ponselku. Seketika muncul ide untuk menghubungi nomor tersebut. Mumpung ada waktu, pikirku.Setelah itu, segera kukirimi pesan. Aku sengaja menggunakan pesan biasa, bukan aplikasi WhatsApp agar nomor tersebut tak bisa menemukan
"Ada apa ini?" tanyaku bingung.Dewa hanya tersenyum manis padaku. Begitu juga dengan dua wanita itu. Salah satu dari mereka kemudian menyerahkan sesuatu pada Dewa."Maaf, ya, Mbak. Pas mbaknya angkat telepon dari saya, saya matikan. Habisnya sudah dipesan sama Pak Dewa buat rahasiain semuanya. Nomor yang sering hubungi Pak Dewa itu nomor saya. Nomor yang Mbak SMS tadi juga itu saya," ucap wanita berbadan tambun menggunakan dres selutut seraya tersenyum.Aku seketika salah tingkah. Apalagi ketika Dewa melihatku seperti terkejut. Ah, kedokku terbongkar. Kan, jadi malu."Udah kuduga. Makanya aku sengaja kasih nomormu sama mbaknya buat antisipasi. Aku udah curiga tadi. Habisnya kamu itu melebihi tim intel," sahut Dewa sambil tertawa."Maaf ya, Mbak." Wanita itu mengatupkan tangannya seraya tersenyum.Namun, aku masih penasaran. "Tapi, maksudnya apa ini?" Kulihat Dewa senyum-senyum padaku."Udah ya, Pak. Tugas kami selesai. Permisi." Dua wanita itu gegas meninggalkanku dan Dewa.Aku kemba