Share

Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!
Aku Jenuh Menjadi Istrimu, Mas!
Author: YOZA GUSRI

Bab 1. Kesibukan Sebagai Menantu

"Elena, kamu di mana? Kenapa piring yang ada di atas meja masih kurang?" 

Baru saja duduk untuk menyendok opor ayam, suara ibu mertua kembali terdengar. Aku menarik napas. Bibir pun berkata "iya, Bu!" Aku sedikit berteriak agar Ibu Mertua dapat mendengar. 

Tanpa menunggu lama, aku langsung berdiri dan berjalan tergesa-gesa sambil mengangkat piring yang sudah tersusun rapi. Sebelum mengangkat, aku menghitung terlebih dahulu, piring ini berjumlah dua belas. Sangat berat, tetapi tidak mungkin aku mengangkat dalam jumlah yang sedikit. Ibu mertua pasti akan mengomel jika melihatku mengangkat piring hanya sedikit.

Aku pikir sudah cukup, ternyata belum. Ibu mertua kembali menyuruh untuk menambah piring yang ada di atas meja hidangan. 

"Elena, kenapa kue yang ada di kamar belum dikeluarkan? Kamu kerja jangan lelet. Tidak lama lagi keluarga besar Mas Raim datang." Kali ini Mbak Intan yang berteriak. Dia adalah kakak kesayangan Mas Daris. 

"Iya, Mbak." Aku menjawab ucapan Mbak Intan dengan suara yang tak kalah besar agar Mak Intan dapat mendengar.

Sejak kemarin aku sangat sibuk. Melakukan aktivitas tiada henti. Bahkan semalam hanya tidur dua jam karena harus menyiapkan keperluan hari ini. Tidak ada waktu untuk bersantai. Di saat semua orang sudah terlelap, aku masih sibuk dengan aktifitas masak memasak yang harus dituntaskan.

Aku membawa aneka macam kue yang sudah tersedia di piring. Kembali melangkah dengan tergesa-gesa. Tidak ingin membuat Mbak Intan berteriak lagi memanggil namaku.

"Mbak, hiasan rambut aku mana?" 

Baru saja masuk dalam rumah untuk menuju ke dapur, suara Lona terdengar. Aku berhenti tepat di depan pintu kamar Lona. Dia sedang berdiri tepat depan pintu dengan rambut yang masih terurai.

Aku mengerutkan alis. Tidak paham dengan perkataan adik Mas Daris ini. 

"Hiasan rambutku mana, Mbak? Aku cari di plastik yang Mbak kasih kemarin kok nggak ada." Lona kembali berujar.

"Memangnya kemarin kamu suruh aku beli hiasan rambut? Kemarin kamu hanya nyuruh aku beli masker dan keperluan make-up yang kurang. Kenapa tanya ke aku?" 

Dasar orang aneh. Kemarin Lona tidak menyuruhku membeli hiasan rambut. Dia pasti lupa. Aku tidak mau disalahkan karena memang aku tidak salah.

"Ya Ampun, Mbak! Kamu ya! Pasti uangnya kamu ambil!" Lona nampak murka. Dia bahkan ingin mencakar wajahku tetapi aku menahan tangannya dengan satu tanganku yang kosong.

"Ada apa ini?" Suara ibu mertua terdengar tidak jauh dari tempatku berdiri.

"Mbak Elena mencuri uangku, Bu. Kemarin aku kasih uang ke Mbak Lena untuk belikan hiasan rambut. Tetapi dia malah pura-pura tidak tahu. Uangku juga tidak dikembalikan." 

Aku langsung melangkah. Teriakan ibu mertua terdengar nyaring di telinga. Apa mereka tidak malu, suara amukannya didengar orang? Saat ini rumah sedang ramai. Mungkin urat malu mereka sudah putus. 

Aku tidak peduli dengan bahasa kasar yang keluar dari bibir Lona. Enak saja menuduhku telah mencuri. Padahal uang yang kemarin dikasih ke aku saja masih kurang. Aku bahkan membelikan keperluannya yang kurang memakai uangku sendiri. 

Aku melangkah menuju dapur. Tadi Mbak Intan kembali menyuruhku. Kalau aku terlalu lama menggubris ucapan Lona, pasti Mbak Intan akan marah karena lama menunggu.

"Kenapa sih, gerakanmu terlalu lelet? Bisa dipercepat, nggak? Mereka tidak lama lagi akan tiba. Makanan di atas meja belum beres." Mbak Intan menatapku dengan penuh emosi.

Aku tak mampu untuk banyak berkata. Masih kah pergerakanku dianggap lambat? Dari tadi aku kesana-kemari. Satu persatu orang memanggil namaku. Satu persatu menyuruh. Bahkan sejak subuh, aku belum istirahat. Sekedar meluruskan badan pun tak bisa. Kenapa aku masih disalahkan? Dasar manusia-manusia tak punya hati.

"Kenapa masih berdiri di sini? Pergi ambil opor ayam di dapur!" Suara Mbak Intan mengagetkan aku yang masih berdiri di sampingnya. 

Aku kembali melangkah. Sungguh, kaki ini sudah sangat lelah. Rasanya ingin beristirahat.

Aku mengambil opor ayam sesuai perintah Mbak Intan, lalu membawanya ke depan rumah, tempat acara akan dilaksanakan. Saat opor ayam sudah berada di atas meja, aku berdiri sejenak melihat sekeliling. Pesta pertunangan yang sangat indah. Padahal biasanya yang terjadi di kampung ini, acara pertunangan dibuat seadanya di dalam rumah tanpa dekorasi. 

Acara hari ini sangat berbeda denganku dulu. Aku maklumi, yang terjadi padaku memang berbeda. Tanpa pertunangan dan tanpa acara megah meriah diacara pernikahan. Aku menarik napas. Berusaha untuk tidak mengenang kejadian di masa itu

"Elena! Kue yang di meja masih kurang! Tambah dua piring lagi!"

Aku tersadar ketika mendengar suara ibu mertua. Mata langsung melihat ke atas meja. Lalu melangkah masuk ke dalam rumah, tanpa menggubris perkataan ibu mertua. Aku melangkah dengan tergesa ke dalam rumah karena tidak ingin dikatakan lelet lagi. 

"Mbak, kue di atas meja kurang dua piring lagi. Ibu menyuruhku untuk menambah. Ini Mbak kuenya," ujarku sambil tersenyum pada Mbak Intan yang sedang berdiri sambil merapikan meja hidangan. 

Aku menyerahkan kue yang ada di tangan untuk dirapikan ke atas meja. Mbak Intan memalingkan wajah dan langsung mengambil kue yang aku beri tanpa membalas senyum. Perlahan garis bibir kembali pada semula. Seharusnya tidak perlu tersenyum. Sejak menikah dengan Mas Daris, Mbak Intan memperlakukan aku dengan sangat tidak baik. Bahkan sekedar tersenyum pun tak sudi. Ya, sejak menikah. Aku belum pernah melihat senyum diwajahnya. Aku bersikap ramah padanya karena hari ini banyak orang. Aku juga harus menjaga nama baik Mas Daris, jangan sampai ada yang menganggapku istri jutek karena tidak tersenyum.

Rombongan keluarga Mas Raim — Calon tunangan Lona, sudah datang. Aku langsung masuk ke dalam rumah dengan tergesa-gesa. Tidak mungkin menjamu keluarga calon tunangan adik iparku dengan pakaian lusuh yang menempel dibadan. Aku juga belum sempat mandi. Walau bagaimana pun, aku istri Mas Daris. Setidaknya, harus berpenampilan menarik seperti yang lain.

Setibanya di kamar, aku membuka lemari. Mencari baju yang layak untuk di pakai hari ini. Tak terelakkan, pikiranku teringat pada kejadian satu minggu yang lalu. 

"Daris, ini baju untuk kamu." Aku tersenyum ceria saat ibu mertua memberikan kantung hitam pada Mas Daris. Saat itu kami semua sedang berada di ruang keluarga. 

"Kamu tidak dapat baju, Elena. Hanya Daris dan Caca yang ibu belikan. Ternyata kain yang ibu beli tidak cukup kalau kamu juga harus dijahitkan baju," ujar ibu mertua tanpa raut bersalah.

Aku tersenyum ceria, menutupi rasa sakit. Aku sebenarnya mampu membeli, bahkan untuk baju yang lebih bagus. Hanya saja tidak mungkin aku melakukan itu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status