Air mata mulai tergenang di kelopak sambil menatap Mas Daris. Setiap kali merayu untuk melakukan hubungan haram, Mas Daris selalu berjanji akan menikahi ku. Kalimat manis yang keluar dari bibirnya membuat hati luluh dan melakukan segala pintanya.
Kamarku menjadi saksi dosa kami. Hampir setiap kali Tante Mita dan Om Bima keluar daerah, Mas Daris ke rumah dan kami melakukannya. Ya, melakukan aktivitas terlarang. Dia memanfaatkan saat rumah sedang kosong untuk merayuku.Setiap kali selesai melayani nafsu laknat, aku selalu menyesal dan takut, hingga hidup tak pernah tenang. Takut akan hamil, takut ibu tahu kelakuanku, takut masa depan hancur, takut Tante Mita dan Om Bima tahu kelakuanku. Takut membuat orang-orang kecewa padaku. Hingga akhirnya ketakutan itu terjadi. Aku hamil saat duduk di bangku SMA, menjelang ujian kelulusan sekolah. Terlalu dini! Tetapi semua sudah terjadi."Kamu yang pertama merayuku, Mas! Hingga akhirnya aku luluh dan mau melayani kamu. Kamu juga sering memaksa aku, Mas. Sudah berulang kali aku menolak karena takut. Tetapi kamu meyakinkan akan menikahi ku. Kamu juga mengatakan selalu memakai pengaman. Kenapa sekarang aku bisa hamil? Aku juga tidak ingin hamil. Semua ini gara-gara kamu, Mas! Sekarang kamu memaksaku untuk menggugurkan kandungan. Kamu mau membunuhku, hah!""Kenapa kamu marah ke aku? Kenapa kamu menyalahkan aku? Kamu juga mau 'kan? Berarti bukan aku yang salah. Kita sama-sama mau. Jadi jangan saling menyalahkan. Kamu juga beberapa kali yang pertama meminta. Berarti kamu juga menginginkan kita melakukannya."Saat itu, air mata langsung keluar dengan sangat deras. Dada terasa sangat sesak. Aku tidak menyangka, Mas Daris akan berkata begitu. Aku akui, benar yang diucap oleh Mas Daris. Aku pernah memintanya ke Rumah saat Tante Mita dan Om Bima tidak di Rumah, untuk melakukan hubungan terlaknat itu.Aku salah, namun tak bisa mengelak jika telah ketagihan. Merasa murahan dan tak punya harga diri, tetapi sungguh sangat berat untuk meredam keinginan yang aku anggap telah menjadi kebutuhan. Hanya saja, jika bukan dia yang memperkenalkan hal haram itu padaku, tidak mungkin musibah terjadi. Aku bahkan belum pernah pacaran sebelum mengenalnya."Apa maksud kamu menyalahkan aku? Kamu yang pertama mengajarkan padaku. Sehingga aku ketagihan. Sekarang kamu menyalahkan aku. Maksud kamu apa, hah? Kalau tidak ingin bertanggung jawab, ya sudah, tidak apa-apa! Aku tidak butuh tanggung jawabmu. Tetapi jangan salahkan aku jika setelah ini aku akan ke Rumahmu untuk bicara pada orang tuamu. Tidak usah khawatir, aku tidak akan meminta agar kamu menikahiku. Aku hanya ingin memberi tahu ke mereka dan semua orang, saat ini tengah mengandung anakmu. Aku hanya ingin menyebarkan kelakuan bejatmu pada orang tuamu. Hubungan kita berakhir hari ini, Mas! Aku tidak bisa melanjutkan. Kita putus!"Telapak tangan lembut Mas Daris melayang di pipiku. Aku merasakan perih yang tiada tara. Sekarang bukan hanya hati yang sakit, fisik pun ikut sakit. Mas Daris yang aku kenal lembut, hari ini pertama kali berbuat kasar. Perkataannya pun tak kalah kasar."Kamu berani melawan perintah ku? Kalau kamu berani cerita ke orang tuaku jika sedang hamil anakku, sama saja bunuh diri. Bukan hanya aku saja yang malu, tetapi kamu juga. Bahkan kamu akan menjadi orang yang paling disalahkan. Solusinya hanya satu, gugurkan kandunganmu dan kita hidup seperti biasa. Banyak obat penggugur yang aman. Kamu tidak usah takut, aku yang akan belikan."Saat itu wajah Mas Daris sudah memerah. Dia terlihat sangat marah dan murka."Iya, aku tahu. Aku akan menjadi orang yang paling disalahkan. Perempuan akan menjadi sosok yang bersalah dan lelaki selalu benar. Semua orang akan menyalahkan aku, karena mau melayani nafsu bejatmu, karena tidak bisa menolak rayuanmu. Dan karena itu semua aku ingin membocorkan. Setidaknya semua orang juga akan menyalahkan kamu karena tidak mau bertanggung jawab setelah berbuat. Aku tidak ingin menderita, menanggung semua ini sendiri dan kamu tetap tertawa bahagia diluar sana." Aku tersenyum sendu menatap Mas Daris. Saat itu luka terlalu sakit. Dan aku sangat tidak menyangka, Mas Daris kembali melayangkan tamparan di pipi. Dua kali tamparan sudah cukup membuat hati rapuh."Kita putus saja, Mas! Aku tidak bisa bertahan bersama kamu! Pergilah!" ujarku sambil mengusap pipi bekas tamparan."Iya, kita putus! Dan aku tidak mau tahu, hari ini juga kamu harus menggugurkan kandunganmu!"Saat itu, Mas Daris langsung meninggalkan aku di taman setelah dia berkata. Langkah kakinya terburu. Dia bahkan tidak berbalik untuk sekedar tahu keadaanku.Aku menyandarkan punggung ke dinding. Mata tak dapat melihat jelas ke depan. Buram, air memenuhi kelopak. Berulang kali bening tumpah membasahi pipi. Saat kejadian hari itu, aku berusaha menjalani hari-hari seolah tak punya masalah. Pulang pergi sekolah dengan rajin. Masih tersenyum saat ada yang menyapa. Berusaha tegar menerima kenyataan jika Mas Daris membiarkan aku menjalaninya sendiri. Setelah satu bulan tidak bertemu, Mas Daris datang lagi. Aku sangat terkejut melihatnya berdiri di depan pintu rumah sambil menatap sendu. Dia tak menghubungi terlebih dahulu jika akan datang. Saat itu aku sangat kaget dengan kedatangannya.Sejak sekolah SMP, aku tinggal di rumah saudara ibu. Aku dirawat dan dianggap sebagai anak, karena mereka tidak memiliki anak. Ibu tidak mampu untuk menyekolahkan aku. Tante Mita dan Om Bima sangat baik, mereka yang menggantikan peran ibu membiayai semua kebutuhan sekolahku. Jika tidak tinggal bersama Tante Mita dan Om Bima, mungkin aku tidak bisa sekolah hingga ke jenjang SMA. Aku merasa bersalah, sudah sebulan lebih ada janin dalam kandungan, tetapi aku belum memberitahu mereka. Aku takut! Saat kedatangan Mas Daris hari itu, di Rumah hanya aku sendiri. Tante Mita dan Om Bima sedang ada acara. Aku masih mengingat jelas percakapan antara aku dan Mas Daris."Ngapain lagi ke sini?" tanyaku setelah beberapa menit terpaku menatap Mas Daris.Terlalu banyak hal yang membuatku kaget. Bagaimana tidak, aku mendapat informasi dari ibu jika Mas Daris masuk penjara karena telah menjadi pelaku pembunuhan. Seperti mimpi, aku sungguh sulit untuk percaya. Yang lebih mengagetkan, kata ibu, perempuan yang dibunuh adalah perempuan yang telah Mas Daris hamili. Apa selama hidup denganku Mas Daris selingkuh? Atau dia menjalin hubungan dengan perempuan itu setelah aku pergi dari rumah. Tetapi bisakah aku membenarkan jika Mas Daris selingkuh. Tiga tahun setelah pernikahan kami, Mas Daris sudah sangat jarang meminta melakukan aktivitas ranjang layaknya pasangan suami istri. Bisa saja dia melakukan bersama selingkuhannya tanpa sepengetahuanku. Ya, aku sangat mengenal Mas Daris, dari sejak kami pacaran, dia memiliki nafsu yang sangat sulit dikendalikan. Bagaimana mungkin berubah? Jika bukan melakukan denganku, pasti dia melakukan dengan selingkuhannya. Hanya saja sekarang bisa ketahuan karena perempuan itu telah hamil. Handphone ku berd
“Dia siapa lagi, Daris? Vina yang mana? Anak siapa? Apa kamu berulah lagi, Daris?” ujar Ayah, pelan namun tegas. Mba Intan mundur dari hadapanku. Dia lalu duduk di samping ibu. Begitu pun dengan Lona. Dia pun duduk di samping Mba Intan, sambil melipat tangan di depan dada. Aku terdiam, tak punya nyali untuk menjawab pertanyaan Ayah. Tidak mungkin aku jujur jika telah menghamili Vina. Tak mungkin aku berkata jika telah berselingkuh di belakang Elana. Kedua orang tuaku pasti akan lebih murka. “Vina siapa yang kamu maksud, Daris? Yang perempuan pelacur itu?” Suara Mba Intan membuatku melihatnya. Nama Vina di kampung ini hanya satu. Sudah jelas jika Mba Intan bisa menebak, Vina mana yang aku maksud. Dalam hati kecil masih ingin berbohong, tetapi takut jika nanti akan menjadi masalah besar. Setelah cukup lama terdiam, aku akhirnya hanya mengangguk sebagai jawaban. Kepala menunduk, tak kuasa melihat wajah ayah dan ibu. Mereka jelas pasti bertanya-tanya. Ada apa dan apa hubungan Vina
“Jadi selama ini ulah kamu, Vani? Dasar wanita iblis! Jangan bermimpi untuk aku menikahi kamu! Kita tidak akan pernah menikah sampai kapan pun!” ujarku dengan sangat marah. Bagaimana tidak, selama ini dia lah yang membuat masalah dalam keluargaku. Dia yang membuat semua pelanggan ibu di Pasar lari ke orang lain. Dia yang membuat orang tuaku bangkrut. Aku sungguh tidak bisa memaafkan perbuatannya. Gara-gara ulah nya, aku bahkan sudah menuduh Elena, seperti yang dikatakan oleh Pak Udin. Ternyata dukun sialan itu hanya asal bicara. Selama ini, bukan Elena pelakunya. “Kenapa, kamu mau marah? Ya silahkan marah saja! Kamu dan keluargamu pantas mendapatkan itu. Kamu terlalu sombong. Kalian layak untuk jatuh miskin!” Vani berkata sambil tersenyum. Bahkan di akhir ucapannya, dia tertawa. Seolah menghinaku. “Kurang ajar kamu, Vina! Aku akan membalas semua perbuatan kamu. Aku tidak akan membiarkanmu hidup. Aku akan membunuhmu!” Aku mencengkram kedua tanganku dengan kuat. Sebenarnya ingin me
Seluruh makanan yang baru saja memenuhi perut rasanya ingin aku muntahkan saat ini juga. Perkataan yang sungguh membuat mual. Aku ingin berucap, tetapi takut jika kalimat kasar yang keluar dari bibirku. Hati pasrah, membiarkan Roni yang berucap dan aku menjadi pendengar. “Apa kabar, Elena?” Kenapa rasanya merinding ditatap seperti ini oleh Roni. Suaranya yang lembut, membuat bibir pun tak kuasa untuk berucap. Ada apa ini? “Aku tahu kalau kamu dan suamimu hanya menikah siri. Aku juga tahu kalau dia sudah menjatuhkan talak pada kamu. Makanya sekarang aku berani untuk datang lagi … menikahlah denganku!” Mataku terbelalak. Bibir pun bersuara, “maksud kamu apa, Roni? Jangan buat lelucon. Omong kosong apa yang baru saja kamu ucapkan. Ada apa? Dulu sewaktu SMA belum cukup menghina dan membully ku, sehingga sekarang ingin menikahi ku dan kembali menyiksaku. Sebenarnya niat kamu apa, Roni? Dulu, aku tidak pernah mau berurusan dengan kamu. Tetapi kamu selalu saja berbuat ulah padaku. Sekar
“Om kenapa membela ibu?” tanya Caca dengan wajah cemberut. Aku kembali melirik Roni. Dia tersenyum lembut pada Caca. “Anak manis, makan lah! Dan jangan banyak bicara lagi. Okey, Cantik.” Caca hanya cemberut, tanpa membalas ucapan Roni. Sedangkan Roni, dia hanya tersenyum manis melihat respon Caca atas perkataannya. Aku kembali fokus dengan bakso yang ada dihadapan. Kini aku merasa canggung. Caca mengikuti perintah untuk diam dan hanya makan. Sedangkan Roni, dia juga tidak mengucap sepatah kata lagi. Aku sedikit menyesal telah menyuruh Caca diam. Jika saja dia tetap cerewet, situasi tidak akan secanggung ini. Setelah makan, rasanya aku ingin langsung pulang saja. Besok saja aku membeli handphone, setelah mengantar Caca ke sekolah barunya. Jangan sampai Roni mengikuti kami seperti yang dulu dia lakukan padaku. Roni sudah selesai makan, tetapi dia masih saja duduk. Belum mengangkat kaki dari warung ini. Kalau saja tidak ada Caca dihadapanku, sudah pasti mulutku akan berkata kasar p
Lelaki ini, setelah kembali bertemu dia terlihat sangat aneh. Selalu saja tersenyum manis saat bertemu denganku. Bukan seperti saat di sekolah dulu. Lelaki yang sangat aku benci karena selalu mengejek dan membully. Padahal aku tak pernah mengusik hidupnya. Setelah membayar di kasir, aku langsung melangkah. Tetapi lagi dan lagi di usik oleh seorang Roni. Aku menatapnya tajam, sedangkan dia membalas dengan senyuman indah di wajahnya. “Awas aku mau lewat!” ujarku sambil menampilkan wajah tak bersahabat. Roni terus saja menghalangi langkahku. “Bagaimana kabarmu? Kenapa tidak jadi mengambil rumah yang pernah kita lihat?” tanya Roni dengan wajah yang terus saja tersenyum. Tanpa menjawab, aku langsung melangkah. Kebetulan Roni tidak menghalangi karena ada pelanggan lain yang ingin ke kasir. Aku membenci keadaan ini. Bertemu lagi dengan Roni adalah mimpi buruk. Kenapa aku tidak bisa hidup tenang? Apa dosaku terlalu besar, sehingga Tuhan tidak ingin mengampuni, sehingga selalu saja mengirim