Saat itu aku tidak berniat lagi untuk menyuruh Mas Daris masuk ke dalam rumah. Entah apa tujuannya datang, aku sudah tidak peduli. Aku hanya memikirkan janin dalam kandungan. Takut jika dia memaksa untuk menggugurkan malaikat tak bersalah dalam rahimku. Aku sudah berbuat dosa yang fatal, tak ingin lagi menambah dosa. Tidak mau menjadi pembunuh.
"Kita bicara di dalam. Tidak enak bicara di pintu seperti ini." Suara Bas milik Mas Daris seolah menghipnotis. Tanpa berkata, aku bergeser dari depan pintu, berdiri ke samping. Mas Daris seakan mengerti pergerakanku, dia pun masuk ke dalam rumah, dengan gaya lambat. Aku pun menutup pintu."Aku minta maaf sudah marah-marah ke kamu."Perkataan Mas Daris yang pelan saat itu membuatku mengerutkan alis. Apa dia sedang kerasukan jin baik? Kenapa tiba-tiba datang dan mengatakan maaf?"Aku akan bertanggung jawab. Aku tidak bisa kehilangan kamu, Elena. Aku tak ingin hubungan kita berakhir. Aku tak bisa hidup tanpa kamu." Mas Daris berkata sambil menatap tulus. Dia lalu mencium punggung telapak tanganku. Perilaku yang selalu dia lakukan saat merasa telah berbuat salah. Aku luluh. Sungguh aku akui sangat sulit marah pada mas Daris. Mungkin karena terlalu mencintainya. Mungkin karena kami telah memiliki ikatan batin. Atau mungkin karena hubungan kami telah jauh dari kata normal. "Kenapa, ada apa? Bukankah kemarin kamu tidak ingin bertanggung jawab? Tidak apa-apa kok. Aku bisa membesarkan janin yang ada dalam kandunganku. Aku bisa merawatnya sendiri. Aku tidak akan menggugurkan kandungan. Kita sudah berdosa, Mas. Aku tahu kamu juga sadar jika yang kita lakukan adalah dosa. Sudah tak terhitung berapa kali kita melakukannya." Aku tersedu. Mata berkaca, buram melihat sosok dihadapan. Aku berusaha menahan dengan menatap langit-langit. Cukup! Aku tidak boleh menangis lagi. Janin yang ada dalam kandunganku harus sehat. Jika aku bersedih, dia pasti juga ikut bersedih."Tidak. Kamu tidak akan menggugurkan anak kita. Aku akan bertanggung jawab. Maafkan perkataanku. Aku benar-benar minta maaf sudah menyuruhmu menggugurkan." Mas Daris kembali mencium punggung tanganku. Dia langsung memeluk. Bibirnya kembali berkata, "aku tidak bisa kalau kita putus. Aku sudah terlalu sayang pada kamu. Kamu mau 'kan maafkan aku? Kita jalani dan hadapi semuanya berdua. Aku tidak akan membiarkan kamu sendiri." Mas Daris menatap dengan penuh rasa bersalah. Mata yang selalu membuatku lemah. Aku langsung mengangguk dan memeluk Mas Daris. Itu kelemahan ku, selalu luluh dengan kata maafnya. Aku memang plin-plan jika sudah berhadapan dengan Mas Daris. Hari ini membenci, besoknya memaafkan. Hari ini terluka, besok bisa saja tersenyum karena ucapan manisnya. Tidak pernah konsisten dengan perasaan sendiri. Aku pikir Mas Daris akan berubah pikiran, ternyata tidak. Syukurlah dia menepati perkataannya untuk bertanggung jawab. Mengakui ke orang tuanya atas perbuatan yang telah dilakukan. Begitupun denganku yang juga jujur pada ibu. Tangisku pecah saat mendengar amarah murka dari ibu. Tetapi aku tak lari. Telinga menadah semua ucapan dengan lapang. Semua kalimat marah dari ibu masih terekam jelas."Ibu sudah membesarkan kamu, Elena! Tanpa ayah. Sejak kecil ayahmu sudah meninggal. Ibu berjuang sendiri agar kamu dan adikmu bisa makan. Kamu anak pertama, seharusnya bisa menjadi contoh yang baik untuk kedua adikmu. Kamu sudah membuat ibu merasa gagal mendidik anak. Kamu telah membuat ibu gagal menjadi seorang ibu." Suara ibu sangat besar. Aku yakin jika para tetangga dapat mendengar. Saat itu aku hanya bisa menangis mendengar isakan ibu. Tak membantah, aku memang salah. Aku sangat merasa bersalah. "Apa kamu tidak kasihan melihat ibu? Bangun dari subuh untuk membuat roti. Kerja dari subuh untuk mencari uang agar kamu dan adik-adikmu bisa makan. Ibu selalu berdoa agar semua jerih payah ini digantikan dengan kesuksesan kalian. Tetapi kenapa ini balasan untuk ibu? Ya Allah, dosa apa yang sudah aku perbuat hingga engkau memberi cobaan sebesar ini? Kamu juga seharusnya bersyukur sudah di rawat oleh Mita dan Bima. Mereka mau menyekolahkan kamu, sehingga kamu bisa sekolah sampai SMA. Kenapa kamu tega mengecewakan mereka? Ibu malu, Elena! Ibu malu punya anak seperti kamu! Tidak ada gunanya kamu berprestasi di sekolah. Tidak ada guna nya kamu sekolah, Elena. Masa depanmu sudah hancur!"Melihat ibu yang murka, tangisku semakin pecah. Jika bisa mengulang waktu, aku tidak ingin melakukan dosa. Aku terbuai dengan kalimat cinta. Aku terlena dengan janji manis Mas Daris, jika tak akan hamil. Dia selalu berkata jika memakai pengaman. Bahkan beberapa kali, dia juga tidak mengeluarkan di dalam. Aku pun terlalu yakin jika musibah tak akan terjadi. "Sudah berapa lama kamu pacaran? Sudah berapa kali kamu melakukan dengan lelaki itu?" Ibu berkata dengan suara lemahnya. Saat itu aku hanya bisa terdiam. Tak berani menjawab pertanyaan ibu. Aku tak pernah jujur pada ibu, jika memiliki pacar. Yang ibu tahu, aku anaknya yang polos dan rajin belajar. Aku yakin, ibu pasti tak menyangka dengan musibah yang terjadi."Ibu sangat kecewa pada kamu, Elena. Pergi dari hadapan ibu!" Ibu bahkan berkata sambil melihat ke arah lain. Tak sudi lagi melihatku.Saat Mas Daris datang ke rumah, ibu tak melihat wajahnya. Saat itu Mas Daris datang untuk berkata jujur pada ibu dan ingin bertanggung jawab. Ibu langsung mengusirnya. Butuh waktu berhari-hari untuk menerima. Dengan keadaan yang sangat hancur, ibu akhirnya merestui pernikahan kami. Kehancuran bukan hanya aku rasa saat mendengar kalimat dari ibu. Tante Mita dan Om Bima sangat marah dan kecewa padaku. Hinaan dan makian juga terdengar, saat di hari itu mas Daris membawaku ke rumahnya. Memperkenalkan pada orang tuanya."Jangan-jangan kamu sengaja merayu adikku agar mendapatkan warisan dari harta orang ku. Kamu 'kan miskin! Bisa saja sengaja mendekati Daris karena punya tujuan lain." Mataku nanar, namun berusaha menahan bening agar tidak tumpah. Itu lah hari dimana aku tahu jika Mbak Intan tidak menyukaiku. Dia bahkan menuduh aku yang mendekati Mas Daris. Padahal kebenarannya, adiknya lah yang mengejarku. Merayuku untuk berpacaran dan melakukan hubungan yang menghasilkan benih dalam kandungan. "Aku tidak sudi kamu memanggilku ibu!" Bisik ibu mertua ketika aku bersalaman setelah sah menjadi istri anaknya. Momen itu tak pernah aku lupa. Tepat di Rumahku, setelah Mas Daris mengabulkan ijab pernikahan. "Aku sudah merestui pernikahan kalian. Tetapi bukan berarti aku menerimamu menjadi menantu. Kamu telah mempermalukan keluarga kami, Elena. Gara-gara kamu, sekarang keluarga kami menjadi bahan gosip di kampung. Jangan pernah berharap aku akan menyukai kamu!"Setelah ijab kabul, aku di bawa oleh Mas Daris untuk tinggal di rumahnya. Beberapa hari tinggal di Rumah Mas Daris, aku tetap mendapatkan perlakuan buruk. Bahkan saat ada Mas Daris pun, aku tetap di hina. Mas Daris tak membantu, dia hanya diam saja dengan alasan, tak ingin membuat masalah lagi karena dia telah mempermalukan keluarganya. Apapun kalimat jahat yang keluar dari bibir orang tua dan keluarganya, Mas Daris hanya menyuruhku bersabar. Pernikahan ternyata tak seindah yang aku bayangkan. Aku pikir setelah Mas Daris bertanggung jawab, aku akan merasakan hidup yang sangat bahagia. Ternyata itulah awal dari penderitaan. Semua orang menganggap aku lah yang bersalah. Aku perempuan murahan, tidak lebih baik dari seorang pelacur."Ayah marah lagi? Apa Ayah bicara kasar lagi ke ibu, makanya sekarang ibu menangis?" Suara Caca menyadarkan lamunan dan menghentikan Isak tangis. Aku menatap, tangan kecilnya sedang menghapus air mataku. Jika bukan karenanya, mungkin aku sudah tidak kuat menj
Bunyi ketukan pintu menyadarkan aku. Terdengar suara mas Daris dari balik pintu. Apa mungkin tadi dia belum puas untuk marah? Apa dia masih ingin melanjutkan amarahnya? Apa mungkin dia belum puas berkata kasar?Aku menghapus bening yang terus berjatuhan. Di sampingku masih ada Caca, malaikat kecil penguatku. Aku berdiri, membawa Caca untuk duduk di kasur, lalu membuka pintu. Tidak ingin membuat orang di luar kamar bertanya-tanya, jika melihat Mas Daris lama berdiri di depan pintu kamar. "Mata kamu kenapa? Menangis?" tanya Mas Daris sambil menatap lekat. Tak perlu dijawab, Mas Daris pasti sudah tahu jawabannya. Keadaanku sudah sangat acak-acakan. Rambut yang tidak rapi dan baju yang kusut. Aku berjalan ingin duduk di kasur. Tidak mau menjawab pertanyaan Mas Daris karena di sini ada Caca. Tidak ingin pula Caca melihat Mas Daris dan aku bertengkar. Caca pasti akan takut. Aku semakin terpukul jika melihat Caca menangis histeris."Kenapa kamu menangis? … Kenapa kamu terlalu cengeng, Elen
***"Bu, kita mau kemana? Kenapa pakai baju bagus?" tanya Caca dengan lembut. Mungkin dia heran karena aku memakaikan baju yang dibeli saat lebaran. "Hari ini kita pergi jalan-jalan, sayang." Aku memakaikan baju di badan Caca dengan terburu. Kami harus keluar dari sekarang. Saat ini di Rumah hanya ada aku dan Caca. Semua orang sedang berada di pasar dan akan pulang ke Rumah di malam hari. Kebetulan ini hari minggu. Biasanya jika hari Minggu, pasar akan tetap ramai hingga malam. Jika ada yang melihatku keluar rumah dengan berpakaian rapi, pasti akan ada banyak lontaran pertanyaan."Kalau ada yang tanya kita ke mana, katakan saja kalau kita mau ke Rumah Nenek." Setelah Caca sudah rapi, aku pun mengganti baju. Memakai celana hitam dan baju marun. Rambut di ikat, tak lupa masker yang menutupi wajah. Aku melihat pantulan diri depan cermin. Benar kata Mas Daris, aku kini sangat gemuk. Sudah lama tidak menimbang badan. Tak tahu berapa kenaikan berat badanku saat ini. Setelah melahirkan
Kami tiba di Mall ketika jarum jam menunjuk pukul sebelas. Aku melihat wajah Caca yang sangat ceria. Berjalan sambil menampakan wajah yang bahagia."Bu, Caca boleh beli mainan?" tanya Caca saat kami melewati toko mainan. "Nak, kamu main saja ya di sini. Jangan beli mainan. Terserah mau main apa saja. Pokoknya hari ini Caca bisa main sepuasnya. Tetapi ibu tidak mengizinkan untuk membeli mainan dan dibawa pulang." "Memangnya kenapa, Bu? Kenapa aku tidak bisa beli mainan? Aku ingin beli barbie, beli boneka panda, beli tas sekolah. Tidak apa-apa kalau aku tidak main, Bu. Asalkan bisa beli dan dibawa pulang. Uang yang dikasih oleh ayah dibelikan saja mainan ya, Bu." Andai saja kami sudah tinggal terpisah dengan keluarga Mas Daris, aku akan menyuruh Caca untuk membeli sepuasnya yang dia mau. Aku tak akan membiarkan dia menjadi anak yang seakan memiliki ibu tidak mampu. Hanya saja, sekarang tidak bisa. Jika aku membelikan mainan untuk Caca, ibu mertua pasti akan banyak bertanya tentang asa
***"Elena, setelah Caca sarapan, kamu mencuci! Semua baju sudah ada di mesin cuci," ujar Mbak Intan yang kini berdiri di hadapanku dengan pakaiannya yang sudah rapi. Mungkin dia mau ke Pasar."Caca sedang sakit, Mba. Aku sulit untuk mencuci kalau dia sedang rewel. Di dapur juga masih ada piring kotor bekas sarapan tadi, belum sempat aku cuci."Aku berkata sambil menyuapi Caca. Tanpa perlu melihat wajah Mbak Intan. Baru saja beristirahat, dia sudah menyuruhku lagi. Ya, aku menganggap menyuapi Caca adalah istirahat. Setidaknya bisa duduk dan meluruskan badan. Sejak bangun jam lima subuh, aku sudah menyibukan diri dengan membuat sarapan untuk semua orang di rumah. Mencuci piring bekas makan semalam yang belum sempat dicuci. Sekarang Mbak Intan menyuruhku lagi. Tidak bisakah dia membiarkan aku beristirahat sejenak?"Ya Allah, Elena! Ya kan Caca tidak rewel. Jadi, kamu bisa tinggal sebentar untuk nyuci bajuku. Lagipula tidak banyak kok. Jangan malas. Jangan hanya mau tinggal gratis di sin
"Caca duduk di sini dulu ya, ibu mau bersihkan dapur. Kalau nanti ayah pulang, terus rumah masih kotor, ayah akan memarahi ibu. Jadi Caca main sendiri dulu ya."Setelah mendapat anggukan dari Caca, aku langsung menurunkannya dari pangkuan dan menuju dapur. Aku berdiri di pintu. Kepala menggeleng melihat pekerjaan yang harus diselesaikan. Mencuci piring, mengepel rumah, dan memasak untuk makan siang. Mungkin pekerjaan rumah tidak akan terasa berat jika aku hanya mengurus keluarga kecilku. Tetapi jika dijadikan pembantu di Rumah mertua, rasanya sungguh sangat berat. Apalagi diam-diam aku bekerja mencari nafkah. Ya, aku selalu meluangkan waktu siang sampai jam empat sore untuk menulis. Selain karena waktu itu aku tidak sibuk mengurus rumah, semua orang juga jarang ada di rumah. Tetapi meskipun ada orang di rumah, aku juga sering menyempatkan untuk menulis. Kebetulan aku menulis menggunakan handphone, sehingga tidak menaruh curiga di banyak orang jika aku sering memegang handphone dalam w
Terdengar tawa dari sosok lelaki yang terbaring di sampingku. Entah apa yang membuatnya tertawa? Entah apa yang menurutnya lucu?"Mau jadi apa kamu kalau kita bercerai? Bisa apa kamu, Elena? Kamu hanya perempuan yang tidak lulus SMA. Kamu masih sadar 'kan kalau tidak punya ijazah SMA? Dulu kamu dikeluarkan karena telah mempermalukan sekolah. Sekarang ini kalau mau keterima kerja, minimal harus punya ijazah SMA. Kamu mau makan apa kalau pisah dari aku? Memangnya ibumu masih mau menampung kamu? Dan lelaki mana yang mau menikah dengan kamu kalau nanti kita berpisah, perempuan janda yang dulunya menikah karena hamil duluan. Di kampung ini namamu sudah terlalu buruk. Tidak ada lelaki yang akan menjadikan kamu istri. Kalau pisah denganku, selamanya kamu akan menjadi janda. Coba lihat dirimu, betapa jeleknya kamu sekarang. Badan gendut tidak berbentuk, lelaki mana yang akan naksir kamu. Jangan menambah masalah di hidupmu dengan bercerai denganku. Sudah untung di rumah ini bisa hidup tenang da
***Aku pulang ke Rumah untuk istirahat, tetapi Elena membuat mood ku rusak. Dia sudah banyak berubah. Perempuan yang dulu sangat dicinta, kini menjadi perempuan yang aku benci. Sifatnya yang dulu lembut dan penurut, sekarang berubah sebaliknya. Dia selalu saja membantah ucapanku. Aku tidak suka perempuan yang selalu mengajak debat. Sebagai istri, seharusnya dia diam saja ketika aku menasehati. Yang tadi aku katakan benar, rumah berantakan karena mainan Caca, aku tidak suka melihatnya. Sedangkan Elena hanya bermain handphone di kamar. Wajar jika aku marah!"Lah kok datang lagi, bukannya tadi Mas katakan kalau mau pulang istirahat karena ngantuk," ujar Lona — adik bungsu ku yang cerewet. Dia sedang menyantap bakso yang ada di hadapannya."Aku tidak bisa istirahat. Capek berdebat dengan Elena." Aku berkata dengan nada gusar. Pikiran kembali mengingat perkataan Elena. Selama ini dia belum pernah meminta pisah. Berani sekali dia berkata begitu. Aku bukan takut kehilangan Elena. Sungguh,