Share

Bab 6. Cobaan Terberat

Saat itu aku tidak berniat lagi untuk menyuruh Mas Daris masuk ke dalam rumah. Entah apa tujuannya datang, aku sudah tidak peduli. Aku hanya memikirkan janin dalam kandungan. Takut jika dia memaksa untuk menggugurkan malaikat tak bersalah dalam rahimku. Aku sudah berbuat dosa yang fatal, tak ingin lagi menambah dosa. Tidak mau menjadi pembunuh. 

"Kita bicara di dalam. Tidak enak bicara di pintu seperti ini." Suara Bas milik Mas Daris seolah menghipnotis. Tanpa berkata, aku bergeser dari depan pintu, berdiri ke samping. Mas Daris seakan mengerti pergerakanku, dia pun masuk ke dalam rumah, dengan gaya lambat. Aku pun menutup pintu.

"Aku minta maaf sudah marah-marah ke kamu."

Perkataan Mas Daris yang pelan saat itu membuatku mengerutkan alis. Apa dia sedang kerasukan jin baik? Kenapa tiba-tiba datang dan mengatakan maaf?

"Aku akan bertanggung jawab. Aku tidak bisa kehilangan kamu, Elena. Aku tak ingin hubungan kita berakhir. Aku tak bisa hidup tanpa kamu." Mas Daris berkata sambil menatap tulus. Dia lalu mencium punggung telapak tanganku. Perilaku yang selalu dia lakukan saat merasa telah berbuat salah. 

Aku luluh. Sungguh aku akui sangat sulit marah pada mas Daris. Mungkin karena  terlalu mencintainya. Mungkin karena kami telah memiliki ikatan batin. Atau mungkin karena hubungan kami telah jauh dari kata normal. 

"Kenapa, ada apa? Bukankah kemarin kamu tidak ingin bertanggung jawab? Tidak apa-apa kok. Aku bisa membesarkan janin yang ada dalam kandunganku. Aku bisa merawatnya sendiri. Aku tidak akan menggugurkan kandungan. Kita sudah berdosa, Mas. Aku tahu kamu juga sadar jika yang kita lakukan adalah dosa. Sudah tak terhitung berapa kali kita melakukannya." 

Aku tersedu. Mata berkaca, buram melihat sosok dihadapan. Aku berusaha menahan dengan menatap langit-langit. Cukup! Aku tidak boleh menangis lagi. Janin yang ada dalam kandunganku harus sehat. Jika aku bersedih, dia pasti juga ikut bersedih.

"Tidak. Kamu tidak akan menggugurkan anak kita. Aku akan bertanggung jawab. Maafkan perkataanku. Aku benar-benar minta maaf sudah menyuruhmu menggugurkan." 

Mas Daris kembali mencium punggung tanganku. Dia langsung memeluk. Bibirnya kembali berkata, "aku tidak bisa kalau kita putus. Aku sudah terlalu sayang pada kamu. Kamu mau 'kan maafkan aku? Kita jalani dan hadapi semuanya berdua. Aku tidak akan membiarkan kamu sendiri." 

Mas Daris menatap dengan penuh rasa bersalah. Mata yang selalu membuatku lemah. Aku langsung mengangguk dan memeluk Mas Daris. Itu kelemahan ku, selalu luluh dengan kata maafnya. 

Aku memang plin-plan jika sudah berhadapan dengan Mas Daris. Hari ini membenci, besoknya memaafkan. Hari ini terluka, besok bisa saja tersenyum karena ucapan manisnya. Tidak pernah konsisten dengan perasaan sendiri. 

Aku pikir Mas Daris akan berubah pikiran, ternyata tidak. Syukurlah dia menepati perkataannya untuk bertanggung jawab. Mengakui ke orang tuanya atas perbuatan yang telah dilakukan. Begitupun denganku yang juga jujur pada ibu. 

Tangisku pecah saat mendengar amarah murka dari ibu. Tetapi aku tak lari. Telinga menadah semua ucapan dengan lapang. Semua kalimat marah dari ibu masih terekam jelas.

"Ibu sudah membesarkan kamu, Elena! Tanpa ayah. Sejak kecil ayahmu sudah meninggal. Ibu berjuang sendiri agar kamu dan adikmu bisa makan. Kamu anak pertama, seharusnya bisa menjadi contoh yang baik untuk kedua adikmu. Kamu sudah membuat ibu merasa gagal mendidik anak. Kamu telah membuat ibu gagal menjadi seorang ibu." 

Suara ibu sangat besar. Aku yakin jika para tetangga dapat mendengar. Saat itu aku hanya bisa menangis mendengar isakan ibu. Tak membantah, aku memang salah. Aku sangat merasa bersalah. 

"Apa kamu tidak kasihan melihat ibu? Bangun dari subuh untuk membuat roti. Kerja dari subuh untuk mencari uang agar kamu dan adik-adikmu bisa makan. Ibu selalu berdoa agar semua jerih payah ini digantikan dengan kesuksesan kalian. Tetapi kenapa ini balasan untuk ibu? Ya Allah, dosa apa yang sudah aku perbuat hingga engkau memberi cobaan sebesar ini? Kamu juga seharusnya bersyukur sudah di rawat oleh Mita dan Bima. Mereka mau menyekolahkan kamu, sehingga kamu bisa sekolah sampai SMA. Kenapa kamu tega mengecewakan mereka? Ibu malu, Elena! Ibu malu punya anak seperti kamu! Tidak ada gunanya kamu berprestasi di sekolah. Tidak ada guna nya kamu sekolah, Elena. Masa depanmu sudah hancur!"

Melihat ibu yang murka, tangisku semakin pecah. Jika bisa mengulang waktu, aku tidak ingin melakukan dosa. Aku terbuai dengan kalimat cinta. Aku terlena dengan janji manis Mas Daris, jika tak akan hamil. Dia selalu berkata jika memakai pengaman. Bahkan beberapa kali, dia juga tidak mengeluarkan di dalam. Aku pun terlalu yakin jika musibah tak akan terjadi. 

"Sudah berapa lama kamu pacaran? Sudah berapa kali kamu melakukan dengan lelaki itu?" Ibu berkata dengan suara lemahnya. 

Saat itu aku hanya bisa terdiam. Tak berani menjawab pertanyaan ibu. Aku tak pernah jujur pada ibu, jika memiliki pacar. Yang ibu tahu, aku anaknya yang polos dan rajin belajar. Aku yakin, ibu pasti tak menyangka dengan musibah yang terjadi.

"Ibu sangat kecewa pada kamu, Elena. Pergi dari hadapan ibu!" Ibu bahkan berkata sambil melihat ke arah lain. Tak sudi lagi melihatku.

Saat Mas Daris datang ke rumah, ibu tak melihat wajahnya. Saat itu Mas Daris datang untuk berkata jujur pada ibu dan ingin bertanggung jawab. Ibu langsung mengusirnya. Butuh waktu berhari-hari untuk menerima. Dengan keadaan yang sangat hancur, ibu akhirnya merestui pernikahan kami. 

Kehancuran bukan hanya aku rasa saat mendengar kalimat dari ibu. Tante Mita dan Om Bima sangat marah dan kecewa padaku. Hinaan dan makian juga terdengar, saat di hari itu mas Daris membawaku ke rumahnya. Memperkenalkan pada orang tuanya.

"Jangan-jangan kamu sengaja merayu adikku agar mendapatkan warisan dari harta orang ku. Kamu 'kan miskin! Bisa saja sengaja mendekati Daris karena punya tujuan lain." 

Mataku nanar, namun berusaha menahan bening agar tidak tumpah. Itu lah hari dimana aku tahu jika Mbak Intan tidak menyukaiku. Dia bahkan menuduh aku yang mendekati Mas Daris. Padahal kebenarannya, adiknya lah yang mengejarku. Merayuku untuk berpacaran dan melakukan hubungan yang menghasilkan benih dalam kandungan. 

"Aku tidak sudi kamu memanggilku ibu!" Bisik ibu mertua ketika aku bersalaman setelah sah menjadi istri anaknya. Momen itu tak pernah aku lupa. Tepat di Rumahku, setelah Mas Daris mengabulkan ijab pernikahan. 

"Aku sudah merestui pernikahan kalian. Tetapi bukan berarti aku menerimamu menjadi menantu. Kamu telah  mempermalukan keluarga kami, Elena. Gara-gara kamu, sekarang keluarga kami menjadi bahan gosip di kampung. Jangan pernah berharap aku akan menyukai kamu!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status