Share

Tino dan Pak Doni

Author: Kutudollar
last update Last Updated: 2023-11-18 21:30:00

Sore itu aku berhasil menjual seluruh nasi uduk. Ya, meski aku harus pulang saat adzan maghrib sudah berkumandang. Ibu pun tidak marah karena aku pulang terlambat. Mungkin karena aku berhasil kali ini. Ibu bahkan sudah menyiapkan nasi hangat—yang masih bagus—dan sayur asem. Selepas mandi aku makan dengan nikmat. Semakin nikmat saat kutahu nenek dan adikku juga sudah makan. Hanya Bapak yang entah ke mana.

"Siapa yang kasih kamu sepatu?"

Aku yang tengah menyiapkan peralatan sekolah menoleh ke arah Ibu yang tengah menidurkan Kinara.

"Pak Doni."

"Siapa dia?"

"Guru olahragaku, Bu."

Ibu diam. Aku lantas menatap sepatu pemberian Pak Doni dan sepatu lamaku yang kuletakkan di bawah rak.

Selamat tinggal sepatu buaya.

****

Langkahku terasa ringan. Sepatu pemberian Pak Doni sedikit kebesaran, tapi aku menyumpalnya dengan gumpalan kertas agar tidak terlepas ketika berjalan.

Hingga kemudian langkahku sampai di depan rumah kemarin sore. Rumah tempat bocah lelaki yang kulihat kemarin. Pintunya tertutup. Sepi. Keadannya pun sedikit suram. Halamannya kotor oleh daun rambutan di halaman dan beberapa ranting kayu.

Aku terkesiap ketika tiba-tiba daun pintu itu terbuka. Seorang anak lelaki yang juga mengenakan seragam sepertiku keluar rumah. Aku langsung meneruskan perjalanan, takut dia akan memarahiku lagi.

Aku tahu dia tepat di belakangku, hanya terpisah beberapa meter saja. Namun aku tidak berani untuk menoleh.

Sesampainya di sekolah, aku baru tahu jika bocah lelaki itu satu kelas denganku. Dia duduk berselang dua baris kursi di sampingku. Sama, dia duduk sendirian, di kursi paling belakang.

Siapa namanya?

Kok aku baru tahu kalau dia satu kelas denganku?

Saat istirahat, Pak Doni mendatangi kursiku. Dia tersenyum penuh kehangatan dan duduk di depan kursiku. Aku melirik bocah lelaki itu yang menundukkan kepala. Sesekali dia melirik ke arahku atau ... ke arah Pak Doni?

"Kenapa kemarin nggak sekolah?" tanya Pak Doni menatapku.

"Seragamku basah, Pak!"

"Ow." Pak Doni melirik bocah lelaki itu yang langsung menundukkan kepala dalam-dalam, seolah takut. "Seragam kamu cuma satu?"

Aku mengangguk cepat.

"Ehm gitu. Nanti ke ruangan Bapak, ya. Ada seragam bekas tapi masih bisa dipakai. Kamu pakai aja. Spertinya juga muat."

Aku mengangguk dan tak henti mengucap terima kasih. Pak Doni lantas pamit kembali ke kantor.

Jadi, beliau ke sini hanya untuk bertanya tentang itu?

Terima kasih, Tuhan, ternyata masih ada orang baik di sekitarku.

Kulihat Pak Doni mendatangi kursi bocah lelaki itu. Dia menepuk pundaknya pelan dan ....

"Tino? Kamu sakit?" tanya Pak Doni menempelkan punggung tangannya ke dahi bocah itu.

Ow, namanya Tino.

Tino menggeleng dengan posisi yang masih menunduk.

"Ke ruangan Bapak, yuk. Nanti Bapak kasih obat!"

Tino menggeleng keras. Dia bahkan berpegangan pada meja ketika Pak Doni menarik tangannya untuk ikut.

"Kalau kamu tetap begini, bagaimana bisa mengikuti pelajaran selanjutnya? Jam pulang masih lama, lho!"

Aku tetap memperhatikan mereka. Terutama Tino. Bocah yang kuperkirakan lebih tinggi dariku itu tetap diam di kursinya, seolah menempel. Sekuat tenaga dia menolak tarikan Pak Doni. Hingga Pak Doni menunduk, mendekatkan wajah ke wajah Tino. Aku hanya mengerutkan kening, tidak tahu apa yang mereka bicarakan sehingga harus berbisik.

Entah apa yang dibisikkan Pak Doni, nyatanya Tino akhirnya mau menurut. Dia berdiri lantas melangkah pelan, mengikuti langkah lebar Pak Doni yang memegangi tangannya.

Aku hanya tersenyum. Pak Doni baik sekali. Saat guru lain tak menganggap kami ada, beliau bahkan dengan senang hati membantu.

Aku tetap menatap kepergian Tino hingga sampai di pintu kelas. Tak kusangka Tino menoleh, menatapku dan menggeleng. Bukan hanya menggeleng, dia juga seolah ketakutan. Itu terlihat jelas dari sorot matanya ke arahku.

Ada apa?

Apa yang dia takutkan?

****

"Wih, dia punya sepatu baru. Kemarin nggak sekolah mungkin buayanya lagi bertelur."

Tawa berderai dengan cepat memenuhi ruangan kelas. Bocah lelaki yang biasa mengejekku, kini berulah lagi. Dia membawa rombongan lebih banyak. Ada enam orang anak yang kini tengah mengerumuniku. Dua wanita di antara mereka juga terlihat sangat senang melihat aku ditertawakan. Mungkin bagi mereka aku adalah hiburan.

"Paling dapat dari kotak sampah. Dia kan tiap hari ngambil sampah di sekolah."

"Iya. Aku juga lihat. Ish, jijik, bau!"

Mereka bersamaan menutup hidung, seolah aku adalah sampah menjijikkan yang sangat bau. Aku hanya diam. Berusaha sekuat mungkin menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata.

"Kalau nanti nemu seragam di tempat sampah, ambil, ya. Seragam kamu udah kayak sampah!"

"Masih bersih lap dapur di rumahku, haha."

Aku menunduk. Kali ini air mataku tak tertahankan lagi. Meluncur deras, menelusuri pipi, hingga akhirnya jatuh di pangkuan. Dadaku sesak. Ingin rasanya aku menutup mulut mereka satu persatu dengan tamparan, tapi aku bisa apa?

Ya, mungkin aku memang sejelek dan sehina itu hingga pantas diperlakukan seperti ini. Aku terus memejamkan mata. Aku tak ingin melihat bagaimana rupa seragam yang kukenakan, yang diejek oleh mereka.

Ingatanku tentu masih kuat kalau hanya sekedar mengingat bagaimana rupa seragam yang kukenakan sekarang. Warna putihnya nyaris hilang, digantikan warna kekuninganyang kusam. Titik-titik hitam memenuhi bagian leher dan punggung. Kancing bajunya pun sudah beraneka warna dan bentuk karena aku menggantinya berkali-kali. Belum lagi roknya yang sudah sangat memprihatinkan. Retsletingnya sudah lama rusak. Aku menjahitnya hingga hampir sampai atas. Pengaitnya pun sudah berkali-kali kuganti.

Bel masuk berbunyi, menyelamatkanku dari cercaan mereka. Pelajaran kedua segera dimulai. Kukeluarkan buku Sejarah, mata pelajaran selanjutnya yang juga menjadi pelajaram kesukaanku.

Mataku menatap daun pintu. Lantas berganti menatap kursi tempat Tino. Bocah itu belum kembali. Apa dia benar-benar sakit? Mengapa begitu lama?

****

Seperti biasa, kuletakkan tas di tempat yang tersembunyi lantas mulai berkeliling mendatangi kotak sampah satu persatu. Beberapa guru yang belum pulang sempat melihatku, tapi kemudian acuh saja.

Aku mulai beraksi. Satu persatu botol dan gelas plastik bekas air mineral mengisi plastik hitam yang kubawa. Satu persatu kotak sampah juga sudah kuabsen. Hingga aku sampai di depan gedung olahraga, tempat di mana letak ruang kerja Pak Doni. Aku segera bersembunyi ketika kudengar suara pintu yang dibuka. Mataku mengintip, memperhatikan siapa yang keluar.

"Sudah jangan nangis! Obatnya jangan lupa diminum, ya!"

Pak Doni memegang bahu Tino di sampingnya. Bocah lelaki itu terlihat sedikit menunduk dan memegangi pinggang. Dia meringis kesakitan. Wajahnya juga terlihat sembab. Apa dia baru saja menangis?

"Hati-hati pulangnya, ya!"

Tino diam saja. Dia terus melangkah dengan sedikit kepayahan. Langkahnya terlihat sedikit lebar dengan posisi kaki yang mengangkang. Tangannya pun tak lepas dari memegangi pinggangnya. Dia terus meringis kesakitan.

Tino sakit apa?

Aku terus memperhatikan Tino yang berjalan menuju kelas. Mungkin dia akan mengambil tasnya terlebih dahulu, baru kemudian pulang. Aku lantas menatap pintu ruangan Pak Doni yang terbuka sedikit.

"Leena?"

Aku terkejut. Rupanya Pak Doni sudah bersiap untuk pulang. Dia memegang kunci ruang kerjanya dengan tas ransel yang sudah di punggung.

"Kenapa?"

"Ehm, nggak, Pak. Nggak apa-apa!"

Pak Doni menepuk dahi. "Oh, iya, Bapak lupa. Seragam, ya? Sini!"

Pak Doni melambaikan tangan ke arahku untuk mendekat. Dia yang sudah mengunci pintu kembali membukanya. Aku masih mematung di tempat.

"Ayo, sini!" panggilnya lagi.

Aku mengangguk dan tersenyum, lantas melangkah untuk mendekatinya. Pak Doni tersenyum menyambut kedatanganku.

....

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Dunia Asing

    "Kamu kerja apa?" tanyaku pada Tino yang tengah berganti pakaian. Sebenarnya bukan ganti pakaian, hanya sedang mengenakan jaket kulit usang yang sedikit kebesaran di tubuh kurusnya. Celana jeans panjang belel dan kaus hitam yang berlubang di bagian punggung. "Kerja apa saja yang penting aku bisa makan!" jawabnya membuatku terdiam. "Lama?"Tino mengangguk. "Mungkin tengah malam aku pulang.""Aku?""Kenapa kamu?""Aku bagaimana?" Jujur aku takut jika harus tinggal sendiri di rumah ini. Bukan karena ada makam ibu Tino dan makam Kinara, tapi karena rumah ini memang jauh dari keramaian. Berada di tengah semak belukar yang akan tampak menyeramkan di malam hari. "Kamu takut?"Aku mengangguk cepat. "Terus, kamu mau ke mana?"Aku menggeleng. "Mau kuantar pulang?"Aku diam. Pulang? Apakah aku masih punya tempat untuk pulang?Entahlah!

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Malaikat Gondrong

    "Kamu mau bunuh diri?"Aku diam, memeluk Kinara seerat mungkin. "Ayo, kuantar pulang!"Tino mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Aku hanya diam, menatap telapak tangannya, lantas menggeleng. "Kenapa?"Aku menggeleng lagi. Kudengar dia menghela napas panjang dan duduk bersila di depanku. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat jelas wajahnya. Wajah yang sudah lama tidak kulihat. Lama tak melihatnya, Tino kurus yang dulu dekil dan masih terlihat seperti bocah kurang gizi, kini sedikit berubah. Suaranya lebih besar dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi. Rambutnya dibiarkan panjang seleher dengan bagian depan yang nyaris menutupi mata. Dia yang dulu kukenal pendiam nyatanya banyak bicara juga. Dia bahkan seolah sudah sangat akrab denganku. "Mau pulang nggak?"Aku menggeleng. "Aku tidak punya rumah!""Ehm ....""Terus adik kamu mau diapain? Mau dibiarin jadi bangkai!"

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Setan yang Melahirkan Malaikat

    Aku terduduk lemas di lantai lorong Rumah Sakit. Tubuhku seolah tak bertulang. Hidupku hancur, tak berbentuk. Duniaku mendadak gelap dan hampa. Aku hanya diam saat beberapa petugas Rumah Sakit mendekatiku dan membantuku berdiri. Mereka membopongku memasuki sebuah ruangan dan meletakkanku di ranjang bersprei putih. "Dia pendarahan!"Aku hanya diam. Saat tangan-tangan asing itu memasang berbagai alat dan menusukkan jarum ke tubuhku. Kurasakan perih dan nyeri bersamaan di bawah sana. Mereka melepas pakaianku dan saling berbisik yang tidak bisa kudengar. Lambat laun penglihatanku kabur dan semakin lama semakin gelap. ****"Rumahmu di mana? Biar kami antar!"Aku menggeleng lemah. Rumah? Aku tidak punya!"Orang tuamu?"Aku menggeleng lagi. Apa aku punya orang tua? Punya, hanya saja mereka tidak seperti orang tua. Orang tua mana yang tega menjual dan membiarkan anaknya meregang nya

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Kinara Sayang, Kinara Malang

    Dengan ditemani Kak Nisa aku mencari Kinara. Aku ingin memastikan kondisi adikku itu. Menurut Kak Nisa Kinara mengalami pendarahan parah akibat benturan benda tumpul. Entah apa yang dilakukan Bapak pada adikku itu. Kami sampai di ruang rawat khusus anak-anak. Dengan petunjuk resepsionis kami mencari ranjang tempat Kinara dirawat. Namun kami menemukan hal lain. "Dia bukan Kinara!" ucapku pada Kak Nisa yang juga menatap lekat pada bocah lelaki dengan perban di kepala. Usianya mungkin sekitar lima tahun. Itu jelag bukan Kinara."Maaf, Bu, pasien sebelum ibu yang di sini dipindah ke mana, ya?"Ibu dari bocah itu malah menatap kami dengan tatapan tidak suka dan sedikit curiga. Bukannya menjawab dia malah mendekap anaknya erat-erat seolah takut kami akan mengambilnya. Kak Nisa menarik lenganku, mengajakku menjauh. Hingga kemudian kami bertemu seorang perawat. "Oh, atas nama Kinara, ya?"Aku mengangguk cepat. "Dia suda

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Orang-Orang Sakti

    Aku remuk. Setelah terhempas keras pada tajam dan runcingnya batu tembok kehidupan. Aku pasrah. Andai Tuhan mencabut nyawaku, aku mau. Rasa sakit yang amat sangat seolah tak menginjinkan aku tak merasakannya. Rasa sakit di sekujur tubuh semakin terasa karena aku semakin tersadar. Sadar akan rasa sakit dari orang-orang berhati iblis. Pak DoniBapak kandungku sendiriDan ....Ibu? Ya kenapa baru kusadari jika sebelum kejadian itu Ibu seolah sengaja meninggalkanku sendiri di rumah? Ibu juga berdebat tentang hutang dan orang yang memberinya uang. Apakah yang dia maksud adalah bapak dan Pak Doni?Lalu, bukankah keduanya sudah ditangkap? Atau dipenjara? Lalu mengapa mereka ada di luar? Bebas?Lagi-lagi aku terdampar di tempat yang tidak kukenali. Ruangan bercat putih dengan bau obat yang menyengat. Ada suara berisik dari alat yang entah apa namanya. Tanganku kebas, tak mampu kugerakkan. Begitu juga seluruh tubuh yang ka

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Malam Laknat yang Panjang

    Aku termenung di kamar. Berbaring di sebelah nenek yang sudah memejamkan mata. Di sebelahku ada Kinara yang masih sibuk bermain dengan boneka buruknya. Padahal sudah hampir jam sepuluh malam. Pikiranku menerawang. Berbagai kejadian yang menimpaku seolah memenuhi otak. Membuatnya hendak meledak.Pak Doni ....Bapak kandung ....Kak Nisa ....Ibu ....Hingga bapak tiriku. "Jangan, San! Aku mohon!"Aku terkesiap. Suara kursi yang ambruk dan daun pintu yang dibanting terdengar jelas. "Lalu harus bagaimana? Kamu pikir uang hasil ngojek cukup?""Besok aku carikan lagi!""Dia sudah kasih aku uang!"Apa yang Ibu dan Bapak debatkan?"Dia itu anakmu!""Iya. Dia memang anakku dan aku punya hak melakukan apapun ke dia!"Kudengar langkah ibu ke arah kamar tempatku berbaring. Gorden pintu disibak, Ibu muncul di ambang pintu. "Sini kamu!" Aku bangkit dan mendeka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status