Share

Tino dan Pak Doni

Sore itu aku berhasil menjual seluruh nasi uduk. Ya, meski aku harus pulang saat adzan maghrib sudah berkumandang. Ibu pun tidak marah karena aku pulang terlambat. Mungkin karena aku berhasil kali ini. Ibu bahkan sudah menyiapkan nasi hangat—yang masih bagus—dan sayur asem. Selepas mandi aku makan dengan nikmat. Semakin nikmat saat kutahu nenek dan adikku juga sudah makan. Hanya Bapak yang entah ke mana.

"Siapa yang kasih kamu sepatu?"

Aku yang tengah menyiapkan peralatan sekolah menoleh ke arah Ibu yang tengah menidurkan Kinara.

"Pak Doni."

"Siapa dia?"

"Guru olahragaku, Bu."

Ibu diam. Aku lantas menatap sepatu pemberian Pak Doni dan sepatu lamaku yang kuletakkan di bawah rak.

Selamat tinggal sepatu buaya.

****

Langkahku terasa ringan. Sepatu pemberian Pak Doni sedikit kebesaran, tapi aku menyumpalnya dengan gumpalan kertas agar tidak terlepas ketika berjalan.

Hingga kemudian langkahku sampai di depan rumah kemarin sore. Rumah tempat bocah lelaki yang kulihat kemarin. Pintunya tertutup. Sepi. Keadannya pun sedikit suram. Halamannya kotor oleh daun rambutan di halaman dan beberapa ranting kayu.

Aku terkesiap ketika tiba-tiba daun pintu itu terbuka. Seorang anak lelaki yang juga mengenakan seragam sepertiku keluar rumah. Aku langsung meneruskan perjalanan, takut dia akan memarahiku lagi.

Aku tahu dia tepat di belakangku, hanya terpisah beberapa meter saja. Namun aku tidak berani untuk menoleh.

Sesampainya di sekolah, aku baru tahu jika bocah lelaki itu satu kelas denganku. Dia duduk berselang dua baris kursi di sampingku. Sama, dia duduk sendirian, di kursi paling belakang.

Siapa namanya?

Kok aku baru tahu kalau dia satu kelas denganku?

Saat istirahat, Pak Doni mendatangi kursiku. Dia tersenyum penuh kehangatan dan duduk di depan kursiku. Aku melirik bocah lelaki itu yang menundukkan kepala. Sesekali dia melirik ke arahku atau ... ke arah Pak Doni?

"Kenapa kemarin nggak sekolah?" tanya Pak Doni menatapku.

"Seragamku basah, Pak!"

"Ow." Pak Doni melirik bocah lelaki itu yang langsung menundukkan kepala dalam-dalam, seolah takut. "Seragam kamu cuma satu?"

Aku mengangguk cepat.

"Ehm gitu. Nanti ke ruangan Bapak, ya. Ada seragam bekas tapi masih bisa dipakai. Kamu pakai aja. Spertinya juga muat."

Aku mengangguk dan tak henti mengucap terima kasih. Pak Doni lantas pamit kembali ke kantor.

Jadi, beliau ke sini hanya untuk bertanya tentang itu?

Terima kasih, Tuhan, ternyata masih ada orang baik di sekitarku.

Kulihat Pak Doni mendatangi kursi bocah lelaki itu. Dia menepuk pundaknya pelan dan ....

"Tino? Kamu sakit?" tanya Pak Doni menempelkan punggung tangannya ke dahi bocah itu.

Ow, namanya Tino.

Tino menggeleng dengan posisi yang masih menunduk.

"Ke ruangan Bapak, yuk. Nanti Bapak kasih obat!"

Tino menggeleng keras. Dia bahkan berpegangan pada meja ketika Pak Doni menarik tangannya untuk ikut.

"Kalau kamu tetap begini, bagaimana bisa mengikuti pelajaran selanjutnya? Jam pulang masih lama, lho!"

Aku tetap memperhatikan mereka. Terutama Tino. Bocah yang kuperkirakan lebih tinggi dariku itu tetap diam di kursinya, seolah menempel. Sekuat tenaga dia menolak tarikan Pak Doni. Hingga Pak Doni menunduk, mendekatkan wajah ke wajah Tino. Aku hanya mengerutkan kening, tidak tahu apa yang mereka bicarakan sehingga harus berbisik.

Entah apa yang dibisikkan Pak Doni, nyatanya Tino akhirnya mau menurut. Dia berdiri lantas melangkah pelan, mengikuti langkah lebar Pak Doni yang memegangi tangannya.

Aku hanya tersenyum. Pak Doni baik sekali. Saat guru lain tak menganggap kami ada, beliau bahkan dengan senang hati membantu.

Aku tetap menatap kepergian Tino hingga sampai di pintu kelas. Tak kusangka Tino menoleh, menatapku dan menggeleng. Bukan hanya menggeleng, dia juga seolah ketakutan. Itu terlihat jelas dari sorot matanya ke arahku.

Ada apa?

Apa yang dia takutkan?

****

"Wih, dia punya sepatu baru. Kemarin nggak sekolah mungkin buayanya lagi bertelur."

Tawa berderai dengan cepat memenuhi ruangan kelas. Bocah lelaki yang biasa mengejekku, kini berulah lagi. Dia membawa rombongan lebih banyak. Ada enam orang anak yang kini tengah mengerumuniku. Dua wanita di antara mereka juga terlihat sangat senang melihat aku ditertawakan. Mungkin bagi mereka aku adalah hiburan.

"Paling dapat dari kotak sampah. Dia kan tiap hari ngambil sampah di sekolah."

"Iya. Aku juga lihat. Ish, jijik, bau!"

Mereka bersamaan menutup hidung, seolah aku adalah sampah menjijikkan yang sangat bau. Aku hanya diam. Berusaha sekuat mungkin menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata.

"Kalau nanti nemu seragam di tempat sampah, ambil, ya. Seragam kamu udah kayak sampah!"

"Masih bersih lap dapur di rumahku, haha."

Aku menunduk. Kali ini air mataku tak tertahankan lagi. Meluncur deras, menelusuri pipi, hingga akhirnya jatuh di pangkuan. Dadaku sesak. Ingin rasanya aku menutup mulut mereka satu persatu dengan tamparan, tapi aku bisa apa?

Ya, mungkin aku memang sejelek dan sehina itu hingga pantas diperlakukan seperti ini. Aku terus memejamkan mata. Aku tak ingin melihat bagaimana rupa seragam yang kukenakan, yang diejek oleh mereka.

Ingatanku tentu masih kuat kalau hanya sekedar mengingat bagaimana rupa seragam yang kukenakan sekarang. Warna putihnya nyaris hilang, digantikan warna kekuninganyang kusam. Titik-titik hitam memenuhi bagian leher dan punggung. Kancing bajunya pun sudah beraneka warna dan bentuk karena aku menggantinya berkali-kali. Belum lagi roknya yang sudah sangat memprihatinkan. Retsletingnya sudah lama rusak. Aku menjahitnya hingga hampir sampai atas. Pengaitnya pun sudah berkali-kali kuganti.

Bel masuk berbunyi, menyelamatkanku dari cercaan mereka. Pelajaran kedua segera dimulai. Kukeluarkan buku Sejarah, mata pelajaran selanjutnya yang juga menjadi pelajaram kesukaanku.

Mataku menatap daun pintu. Lantas berganti menatap kursi tempat Tino. Bocah itu belum kembali. Apa dia benar-benar sakit? Mengapa begitu lama?

****

Seperti biasa, kuletakkan tas di tempat yang tersembunyi lantas mulai berkeliling mendatangi kotak sampah satu persatu. Beberapa guru yang belum pulang sempat melihatku, tapi kemudian acuh saja.

Aku mulai beraksi. Satu persatu botol dan gelas plastik bekas air mineral mengisi plastik hitam yang kubawa. Satu persatu kotak sampah juga sudah kuabsen. Hingga aku sampai di depan gedung olahraga, tempat di mana letak ruang kerja Pak Doni. Aku segera bersembunyi ketika kudengar suara pintu yang dibuka. Mataku mengintip, memperhatikan siapa yang keluar.

"Sudah jangan nangis! Obatnya jangan lupa diminum, ya!"

Pak Doni memegang bahu Tino di sampingnya. Bocah lelaki itu terlihat sedikit menunduk dan memegangi pinggang. Dia meringis kesakitan. Wajahnya juga terlihat sembab. Apa dia baru saja menangis?

"Hati-hati pulangnya, ya!"

Tino diam saja. Dia terus melangkah dengan sedikit kepayahan. Langkahnya terlihat sedikit lebar dengan posisi kaki yang mengangkang. Tangannya pun tak lepas dari memegangi pinggangnya. Dia terus meringis kesakitan.

Tino sakit apa?

Aku terus memperhatikan Tino yang berjalan menuju kelas. Mungkin dia akan mengambil tasnya terlebih dahulu, baru kemudian pulang. Aku lantas menatap pintu ruangan Pak Doni yang terbuka sedikit.

"Leena?"

Aku terkejut. Rupanya Pak Doni sudah bersiap untuk pulang. Dia memegang kunci ruang kerjanya dengan tas ransel yang sudah di punggung.

"Kenapa?"

"Ehm, nggak, Pak. Nggak apa-apa!"

Pak Doni menepuk dahi. "Oh, iya, Bapak lupa. Seragam, ya? Sini!"

Pak Doni melambaikan tangan ke arahku untuk mendekat. Dia yang sudah mengunci pintu kembali membukanya. Aku masih mematung di tempat.

"Ayo, sini!" panggilnya lagi.

Aku mengangguk dan tersenyum, lantas melangkah untuk mendekatinya. Pak Doni tersenyum menyambut kedatanganku.

....

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status