Share

Harga Satu Stel Seragam Bekas

Entah mengapa aku ingin menoleh. Melihat keberadaan Tino yang berjalan menuju kelas. Apakah dia sudah sampai? Bukan, aku menoleh karena ingin tahu apa dia juga sedang melihat ke arahku.

Perlahan aku menoleh. Benar saja. Tino yang sudah agak jauh, tengah menatapku. Kami bersitatap, meski tidak terlalu jelas karena jarak yang jauh. Namun aku dengan jelas melihat dia yang menggeleng pelan. Entah kenapa?

"Ayo!"

Pak Doni menarik pelan lenganku, untuk segera memasuki ruangannya. Aku menatapnya. Entah mengapa kali ini aku ragu. Aku lantas menoleh lagi, melihat keberadaan Tino. Bocah kurus itu masih di sana. Di sudut sekolah yang akan menuju ruang kelas kami. Namun dia tidak menggeleng atau memberi tanda. Hanya diam.

"Ayo!'

Tarikkan tangan Pak Doni kurasakan semakin keras. Aku nyaris terjatuh.

Kuremas tepi rok dengan erat. Kali ini aku takut, entah karena apa. Pak Doni menutupkan daun pintu dengan rapat, tanpa menguncinya. Aku hanya menelan ludah menatapnya yang kini melepas tas ransel dan meletakkannya di meja kerja.

"Sini!"

Pak Doni melambaikan tangan, memintaku untuk mendekat.

"Nih, seragamnya. Masih bagus, lho," ucapnya mengeluarkan bungkusan plastik putih dari dalam laci meja kerjanya. Dia membuka bungkusan dan mengeluarkan sebuah baju putih dengan kantung berlambang Sekolah Menengah Pertama.

"Ehm, muat kayaknya, ya?"

Pak Doni merentangkan baju putih yang tidak terlalu putih lagi. Dia mendekatiku lantas menempelkan baju itu ke dadaku.

"Ehm, coba sini!"

Pak Doni menarik lenganku untuk lebih mendekat padanya. Dia kembali menempelkan baju putih itu di tubuhku. Saat itulah tangannya tak sengaja—atau sengaja—menempel di dadaku. Aku refleks mundur sedikit. Namun Pak Doni semakin mendekatiku.

"Coba kamu pakai!" perintah Pak Doni mengulurkan baju itu. Aku bengong. "Dicoba. Takutnya kesempitan!"

Aku menggeleng dan mendekap baju itu. "Muat, kok, Pak. Paling kebesaran, tapi malah lebih bagus. Kan bisa saya pakai untuk tahun—"

"Pakai!"

Aku terdiam. Pak Doni menatapku lekat. Kali ini tatapannya terlihat berbeda. Aku menunduk.

"Sini saya bantu!"

Pak Doni menarik bahuku dan mulai menyentuh kancing bajuku. Aku dengan cepat berontak dan menutupkan seragam pemberiannya ke dada, untuk berlindung.

"Kenapa?"

Aku menunduk. Jelas terlihat jika Pak Doni mulai marah karena penolakanku. Aku harus bagaimana?

Tiba-tiba Pak Doni mengusap bahuku pelan dan menundukkan kepala, mendekatkan wajahnya ke wajahku.

"Nggak apa-apa. Saya cuma mau liat ini muat apa nggak?" ucapnya sembari menunjuk seragam di pelukanku.

"Atau kamu mau coba roknya?"

Aku mendongak dan menggeleng. Kulihat dia kecewa. Tangannya mengusap wajah yang berkeringat dan menghela napas panjang. Dia lantas menatap sekeliling. Dia juga sedikit berjinjit untuk melihat keadaan di luar, mungkin.

"Ehm, sini coba dulu!"

Aku mundur dengan cepat ketika Pak Doni meraih bahuku untuk semakin mendekatinya. Dia tidak mau kalah. Ditariknya dengan kuat lenganku hingga terasa sakit.

"Nggak mau, Pak! Jangan!"

Aku mulai merengek. Kali ini aku benar-benar takut.

"Tidak apa! Tidak ada yang melihat, kok! Ayo, sini!"

Pak Doni berhasil menarik kedua tanganku. Seragam pemberiannya jatuh ke lantai. Aku menahan laju sepatuku sekuat mungkin agar tak bergerak semakin mendekatinya. Namun semakin aku meronta dan menahan diri, Pak Doni semakin kuat menarikku.

"Ayo, sini! Jangan bikin saya marah!"

Aku menggeleng dan mulai menangis. Suara Pak Doni tidak lagi pelan dan halus, tapi mulai meninggi dan sedikit membentak.

Satu sentakkan kuat membuat tubuhku akhirnya terhempas dalam dekapan Pak Doni. Tubuh besarnya seolah langsung menenggelamkanku. Dia memelukku dengan erat. Aku terus meronta dan memukul-mukul tubuhnya.

"Jangan, Pak!"

Hanya itu yang keluar dari tenggorokanku. Suaraku seakan ditahan oleh rasa takutku sendiri. Aku menangis ketakutan dan terus mencoba melepaskan diri.

Plak!

Aku terdiam saat telapak tangan besarnya memukul kepalaku hingga terasa sedikit pening. Aku terhuyung, tapi dia dengan cepat mendekapku. Di dalam dekapan kokohnya aku digiring menuju meja dan membaringkannya di sana. Kepala yang terasa pening membuatku hanya mampu meronta sedikit dan menangis. Kututupkan kedua tangan di dada sebagai tameng. Namun Pak Doni dengan kuat menariknya.

Plak!

Lagi. Kali ini di pipiku. Aku hanya bisa menangis melihat wajahnya yang kini terlihat menakutkan. Dia menyeringai dan mendekatkan wajah ke wajahku. Aku memejamkan mata dan berusaha sekuat mungkin untuk terus merapatkan kaki, karena kurasakan kaki besarnya berusaha membuat kakiku terbuka lebar.

"Jangan, Pak! Tolong ...!"

Telapak tangan kanannya membekap mulutku dengan kuat. Saat itulah kurasakan tekanan tangan kirinya sedikit berkurang. Tubuhnya juga tak sekuat tadi menekan tubuhku. Aku tak ingin kehilangan kesempatan.

Entah ide darimana, dengan cepat kutendangkan lututku ke perut Pak Doni. Dia terhenyak, tapi tetap berusaha mengunci tubuhku. Telapak tangannya kini semakin kuat menekan mulutku. Tanpa pikir panjang kubuka mulut lebar-lebar dan ....

"Aw!"

Pak Doni menjerit dan mundur saat aku menggigit sisi telapak tangannya. Dengan cepat aku bangkit dan mendorong tubuhnya ke belakang. Pak Doni terjerembab di kursi. Aku langsung turun dari meja dan berlari menuju pintu keluar.

"Cepat!"

Aku terkejut ketika tiba-tiba pintu terbuka lebar. Tino melambaikan tangan ke arahku dan langsung menarik lenganku saat kami sudah berdekatan.

"Anak kurang ajar!" teriak Pak Doni.

Tino mengunci pintu dari luar lantas menarik tanganku untuk segera meninggalkan gedung itu. Tak peduli jika Pak Doni berteriak dan mengumpat di dalam sana.

Beruntung masih sempat kuambil tas bututku di tempat persembunyian. Namun setengah kantung barang bekas harus rela kutinggal di dalam ruangan Pak Doni.

"Ayo, cepat!"

Tino terus memintaku untuk berlari lebih cepat. Dengan mendekap tas di dada, dia melambaikan tangan ke arahku agar berjalan lebih cepat. Padahal kami sudah ada di depan gerbang sekolah. Kurasa Pak Doni tidak akan berani mengejar kami lagi.

Aku berhenti sesaat. Menunduk untuk mengatur napas yang tersengal. Iseng kutoleh sekolahan yang baru saja kami tinggalkan. Sepi. Hanya ada satu motor yang kuyakini milik Pak Doni.

"Kamu kenapa?"

Aku segera mendekati Tino yang terduduk memeluk lutut di tepi jalan. Napasnya tersengal, sama sepertiku. Namun wajahnya terlihat lebih pucat. Aku tersentak saat menyentuh lengannya yang terasa sangat panas.

Apa dia sakit?

Tino menggeleng saat kubantu untuk berdiri. Dia nyaris terjatuh karena sempoyongan.

"Aku bisa sendiri!" bentaknya saat aku ingin memapahnya.

Jadilah dia berjalan terlebih dahulu di depanku. Sesekali aku harus memperlambat langkah atau malah berhenti hanya karena kulihat Tino sedikit kesulitan berjalan. Sesekali dia menekan perut, atau menepuk-nepuk pinggangnya. Bukan di pinggang, tapi lebih ke bawah.

Dia kenapa?

Tino berhenti tepat di jalan depan rumahnya. Dia menunduk, seperti menahan sakit yang amat sangat. Aku mempercepat langkah untuk melihat.

Apa itu?

Mataku nanar menatap cairan merah kehitaman yang mengalir di paha bagian dalamnya. Cairan kental itu terus turun hingga ke betisnya, tercetak jelas di kaus kaki putih yang sedikit kekuningan.

"Tino!"

Aku refleks menubruk tubuhnya yang jatuh ke tanah. Matanya terpejam dengan bibir pucat yang meringis kesakitan.

"Ada apa ini?"

Tubuhku di dorong dengan kuat oleh seorang lelaki yang tiba-tiba sudah ada di belakangku. Dia menatap Tino dan menepuk-nepuk pipinya. Tanpa pikir panjang dia langsung mengangkat tubuh Tino dan melangkah cepat menuju rumah.

Aku bangkit berdiri dan menatap tas Tino yang rupanya terjatuh. Tas yang sama keadaannya dengan tasku itu teronggok begitu saja di tanah. Mataku menyipit menatap sesuatu berwarna putih di dalam tas dengan retsleting yang terbuka itu.

Apa itu baju seragam?

Seragam siapa?

Perlahan kusibak tas lebih lebar untuk melihat dengan jelas. Benar. Itu adalah baju putih, seragam yang sama dengan seragam yang akan diberikan Pak Doni padaku tadi. Lalu, apa itu?

Keningku berkerut menatap beberapa lembar uang berwarna merah yang sedikit kusut seperti habis diremas.

Mengapa ada uang sebanyak itu di tas Tino?

Dari siapa?

Apa itu pemberian Pak Doni?

....

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status