***
“Alhamdulillah, aku hamil, Mas,” ucapku bahagia pada Mas Arif, suamiku.
“Iya, Sayang? Alhamdulillah. Ternyata kita secepat ini langsung dikasih kepercayaan untuk memiliki momongan.
“Aku terharu banget, Mas.”
“Terima kasih, Sayang.” Mas Arif memeluk lalu mendaratkan ciuman di dahiku.
Aku tidak pernah menyangka bahwa anugerah terbesar dalam hidup ini telah terkabul. Tiga bulan menikah, akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk memiliki momongan. Mas Arif terlihat sangat bahagia mengetahui kehamilanku. Rumah tangga yang baru dibina akan semakin lengkap dengan kehadiran sang buah hati.
Mas Arif adalah suami yang sangat aku cintai dan hormati, ia selalu melakukan yang terbaik untukku. Dia juga merupakan pasangan hidup yang penuh dengan keromantisan dan sering memberikan banyak kejutan yang tidak terduga.
Keluarganya sangat menyayangiku, bahkan ayah dan ibu mertua sudah menganggapku seperti anak sendiri. Kasih sayang yang mereka berikan sangat tulus hingga diri ini merasa menjadi wanita paling beruntung karena memiliki keluarga yang sangat pengertian.
Kehamilanku membuat Mas Arif semakin menunjukkan perhatian dan kasih sayang yang semakin besar. Dia selalu berusaha untuk memanjakan diri ini bak seorang ratu di dalam istana cinta. Sungguh, aku benar-benar bersyukur atas nikmat dan karunia itu.
Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat karena kecelakaan yang menimpaku. Pada saat usia kandungan memasuki enam bulan, sang buah hati telah pergi sebelum melihat keindahan dunia ini. Ternyata keberadaannya hanya sementara.
Kejadian nahas itu telah menggagalkan statusku menjadi seorang ibu. Musibah tersebut terjadi sangat cepat dan tidak dapat dielakkan. Ketika itu, Mas Arif membawaku ke taman untuk menghirup udara pagi. Tiba-tiba seorang anak kecil dengan mengendarai sepeda meluncur ke arah kami, dia tidak dapat menghentikan laju rodanya hingga menghantam tepat di perutku.
Rasa sakit itu akhirnya menyebabkan aku tidak sadarkan diri. Setelah kembali terbangun, diri sudah berada di rumah sakit. Sangat terlihat jelas adanya perubahan pada wajah anggota keluargaku dan Mas Arif. Aku tidak mengerti kenapa mereka menunjukkan sikap seperti itu.
Mas Arif duduk di samping tempat tidurku, ia menggenggam jemari ini dengan kuat. Dia akhirnya menyampaikan sesuatu yang tidak ingin kudengarkan. Hati sangat sakit dan pilu setelah mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
“Kamu yang kuat, ya, Sayang. Aku tahu ini adalah cobaan yang sangat berat, tapi kamu harus terima dengan lapang dada.” Aku semakin bingung mendengarkan penuturan Mas Arif.
“Sebenarnya ada apa, sih, Mas?” Aku penasaran.
“Anak kita, Sayang.” Suara Mas Arif melemah.
“Ada apa dengan anak kita?”
“Dia udah nggak ada bersama kita.”
“Maksud kamu apa, Mas?”
“Dia sudah tenang di sisi-Nya.”
Rasanya tidak percaya dengan apa yang dikatakan Mas Arif, aku meraba perut yang ternyata tidak membesar lagi. Aku merasa tidak dapat menyentuh buah hati yang kehadirannya telah ditunggu-tunggu. Aku langsung menangis sejadi-jadinya.
“Anak kita ke mana, Mas?” Aku menarik tangan dari genggaman Mas Arif lalu menggoyang-goyangkan tubuhmya.
“Kamu keguguran, Sayang. Dokter akhirnya menjalankan operasi dan anak kita tidak tertolong lagi.”
“Ini nggak mungkin, anakku masih ada!” Aku menaikkan suara satu oktaf.
“Kamu yang sabar, ya, Sayang. Harus ikhlas, dia sudah dikebumikan tadi ke tempat peristirahatan terakhir.”
“Aku tidak percaya dengan semua ini, aku yakin kalau aku sedang bermimpi.”
“Ini kenyataan yang harus kita hadapi, Sayang. Aku mohon, kamu harus kuat. Ini adalah takdirnya dari Yang Kuasa.” Mas Arif memelukku.
“Aku jahat, Mas … tidak bisa menjadi ibu yang baik. Aku nggak pantas menjadi seorang ibu.” Bulir bening itu terus jatuh membasahi pipiku.
“Kamu harus kuat, ya, Sayang.” Mas Arif mengusap-usap kepalaku lalu menciumnya.
Musibah itu telah membuatku tidak sadarkan diri hingga beberapa jam, dan rasanya sangat sedih, karena tidak sempat melihat wajah buah hati yang sudah beberapa bulan menemani hari-hariku. Aku tidak dapat lagi merasakan gerakannya yang mampu membuat diri terharu.
Ternyata penderitaan tidak berakhir hanya di situ, karena setelah pulang dari rumah sakit, Mas Arif memberitahukan kenyataan yang paling pahit dan hampir membuat diri pingsan. Berita itu sungguh menyayat hati yang paling dalam.
“Kamu yang kuat, ya, Sayang.”
“Aku akan berusaha untuk ikhlas, Mas.”Aku berpikir bahwa Mas Arif berusaha memberikan kekuatan atas kejadian kehilangan buah hati yang belum pernah kulihat.
“Masih ada satu hal lagi yang harus kamu ketahui.” Mas Arif menggenggam tanganku dengan kuat.
“Ada apa lagi, Mas. Aku takut.”Hati mulai merasakan ketakutan.
“Jangan kaget, ya, Sayang.”
“Aku semakin deg-degan, Mas.”
“Sebenarnya dokter juga sudah mengangkat rahimmu karena kecelakaan itu. Kamu tidak akan mungkin bisa hamil lagi.”
Penjelasan Mas Arif membuat jantungku berhenti untuk berdetak. “Ini nggak mungkin, Mas. Aku tidak percaya kalau aku tidak akan bisa memberikanmu anak.” Aku menangis dan membenamkan wajah di dada suamiku.
“Tapi ini adalah kenyataan yang harus kita hadapi, Sayang.”
“Aku nggak berguna lagi, Mas. Untuk apa aku masih tetap ada di sini, aku tidak bisa memberikanmu keturunan.”
“Sabar, Sayang, dan jangan pernah berkata seperti itu lagi.”
Mas Arif memeluk tubuh ini dengan sangat erat, kehangatan itu sangat terasa. Namun, aku tetap merasa bahwa sudah tidak berguna lagi. Aku tidak pantas lagi untuk mendampingi hidup Mas Arif karena memiliki istri yang tidak dapat dibanggakan.
***
Tiga tahun telah berlalu, kasih sayang Mas Arif masih sama terhadapku. Namun, pertanyaan ibu mertua membuat diri sangat bingung. Mereka tidak pernah tahu bahwa aku dan suami menyembunyikan satu rahasia terbesar dalam keluarga ini.
Seminggu yang lalu, aku dan Mas Arif berkunjung ke rumah mertua. Mereka sangat bahagia menyambut kedatangan kami. Kakak ipar tertua yang sudah berkeluarga kebetulan juga sedang berada di sana. Dia beserta suami dan seorang anak perempuan mereka yang sudah duduk di Sekolah Dasar (SD) kelas dua.
Tiara merupakan anak dari Kak Nila, kakak sulung dari Mas Arif. Dia sangat cantik dan juga manis, persis seperti wanita yang melahirkannya. Aku amat menyayanginya, dan dia juga selalu ingin berada di dekatku jika sudah bertemu.
“Kapan kamu hamil lagi, Al?” Pertanyaan Kak Nila membuatku lemah.
“Aku ….” Aku menjeda karena Mas Arif melirik ke arahku.
“Doakan aja yang terbaik untuk keluarga kecil kami, Kak.” Mas Arif memberikan balasan atas pertanyaan kakaknya.
“Udah nggak sabar, nih, untuk gendong anak kamu, Rif.” Kak Nila mengembangkan senyumnya.
“Mama juga udah nggak sabar menimang cucu dari anak laki-laki. Kalau nunggu Adam, mah, lama. Kuliahnya aja baru semester tiga.” Aku jauh lebih terkejut mendengarkan keluhan sang ibu mertua.
“Iya, Mah. Semoga harapan itu akan segera terwujud. Iya, ‘kan, Sayang?” Mas Arif tersenyum padaku.
Aku berusaha memberikan jawaban yang tidak mengandung kecurigaan keluarga Mas Arif. “Iya, Mah. Semoga harapan Mama segera terwujud.” Aku berusaha kuat mengeluarkan kalimat tersebut dari bibir.
Aku dan Mas Arif belum mampu memberitahukan kenyataan yang sebenarnya pada keluarga. Tidak tahu apa yang akan terjadi jika mereka sudah mengetahui tentang semua itu. Aku tidak sanggup membayangkan sesuatu yang tidak diharapkan. Pikiran menakutkan selalu terlintas dibenakku.
“Kamu mikirin apa, sih, Sayang?” Mas Arif membuyarkan lamunanku. Saat ini kami sedang duduk di atas sofa ruang TV.
“Aku bingung harus gimana, Mas?”
“Bingung kenapa?”
“Aku merasa kalau kita selalu memberikan harapan palsu pada keluargamu. Bagaimana kalau kita jujur saja dengan apa yang kualami.” Aku memberikan saran pada Mas Arif.
“Apa kamu yakin, Sayang?”
“Harus yakin, Mas. Aku nggak sanggup harus melakukan kebohongan terus.”
“Jika itu yang terbaik untuk semuanya, aku ngikut aja.” Mas Arif membelai rambutku.
“Semoga keluarga kamu mengerti posisi yang aku hadapi, ya, Mas.”
“Iya, Sayang.” Mas Arif selalu berusaha menguatkan dan meyakinkanku.
Sebulan kemudian, akhirnya aku dan Mas Arif berhasil memberitahukan hal yang sebenarnya pada anggota keluarga. Sungguh, aku sangat terharu atas reaksi yang mereka berikan. Batapa mulia hati ayah dan ibu mertua menerima kekurangan yang kumiliki.
“Ini sudah kehendak Yang Kuasa, kalian harus kuat. Tidak perlu menutupi hal seperti ini dari keluarga, kita akan mencari solusinya. Kalian bisa mengadopsi anak.” Aku sangat terharu mendengarkan keikhlasan dan juga saran yang diberikan ibu mertua.
Oleh karena itu, aku sangat menyetujui rencana yang diutarakan keluarga Mas Arif. Namun, aku tidak tahu suamiku tiba-tiba tidak menyetujui saran dari ibunya. Padahal, awalnya ia yang sangat antusias untuk memenuhi keinginan orang tua.
Dua minggu terakhir ini, dia juga terlihat sangat sibuk dengan gawai. Saat sedang berdua saja, pandangan yang ia tujukan hanya untuk layar benda bentuk pipih tersebut. Ada kejanggalan yang kurasakan atas perubahan Mas Arif.
Sungguh, aku tidak percaya bahwa suami yang selalu memberikan perhatian penuh selama ini, tiba-tiba menunjukkan perubahan yang tidak dapat ditutupi. Saat sedang berbincang dengannya, dia hanya memberikan jawaban seadanya dan kembali fokus ke layar gawai. Ada apa dengan Mas Arif sebenarnya? Kenapa suamiku tiba-tiba berubah?
=============
***Aku belum mampu memejamkan netra mengingat perubahan sikap Mas Arif akhir-akhir ini. Aku masih sangat penasaran dengan apa yang telah membuatnya lebih fokus pada layar gawai berwarna hitam itu. Rasa ingin tahu ini semakin bergejolak saat melihat dia sudah terlelap.Segera kuraih benda bentuk pipih milik Mas Arif. Aku sangat terkejut karena ternyata untuk membuka gawai itu memerlukan kata sandi. Kecurigaan yang kurasakan semakin tidak dapat terelakkan. Sebelumnya Mas Arif tidak pernah menyembunyikan apa pun dariku.Setelah berpikir beberapa menit, aku mencoba memasukkan tanggal lahir Mas Arif, tapi tetap gagal. Berusaha untuk terus mengingat hari istimewa dalam hubungan kami. Tiba-tiba terlintas hari bersatunya cintaku dan dia. Penuh dengan semangat aku menggunakan angka tersebut.Ternyata usahaku berhasil dan layar gawai akhirnya bisa dibuka. Aku mencoba membuka pesan dalam aplikasi berwarna hijau milik Mas Arif. Terdapat nama yang unik pada salah satu pengirim pesan. Tuan Putri,
***Seminggu telah berlalu, sikap yang ditunjukkan Mas Arif semakin berubah. Setiap hari dia berangkat ke kantor lebih awal dan tidak tahu apa alasannya. Namun, hari ini aku ingin menanyakan kenapa dirinya terlihat buru-buru setiap pagi.“Kenapa kamu terkesan buru-buru, Mas?” tanyaku ingin tahu saat ia menyeruput teh buatanku.“Mau ngantar Rifa ke sekolah.” Dia menyebutkan nama yamg tak lain adalah anaknya.“Harus kamu yang ngantar, Mas?”“Wajar, dong, aku papanya.”“Tapi sebelumnya bukan kamu yang melakukan tugas ini.”“Udah, ah, Sayang. Kenapa harus mempermasalahkan hal seperti ini? Kamu nggak akan ngerti apa yang kurasakan.”“Maksud kamu apa, Mas?”“Apa kamu bisa merasakan apa yang ada di dalam hatiku saat ini? Mungkin tidak. Rifa adalah anak kandung dan juga darah dagingku, wajar kalau aku sangat menyayanginya.”“Jadi, kamu berpikir kalau aku nggak akan bisa mengerti perasaan seperti itu karena aku tidak bisa memiliki anak?”“Kamu ngomongnya, kok, gitu?”“Aku sangat tahu arah dari
***“Kamu berani bela dia di depan aku, Sayang?” tanya Alexa pada Mas Arif.“Maaf, tapi aku mengatakan yang sebenarnya. Dia istri yang kuinginkan.” Mas Arif dengan tegas kembali mengucapkan kalimat itu.Aku tidak suka dengan panggilan Alexa pada Mas Arif, dia sangat berani. “Kenapa wanita itu memanggilmu dengan sebutan ‘Sayang’, Mas?” tanyaku pada Mas Arif sambil melihat ke arah Alexa.“Apa urusanmu? Dia ayah dari anakku!” Justru Alexa yang menjawab pertanyaanku.“Mana anak yang kamu maksud?” Aku ingin tahu anak yang pernah kulihat di ponsel Mas Arif.“Dia bersama neneknya di rumah.” Hatiku memanas mendengarkan pengakuan perempuan yang ada di depanku.Ternyata suamiku kembali menjadikan anaknya sebagai alasan agar dia dapat berduaan dengan sang mantan kekasih. Sungguh aku tidak mengerti kenapa Mas Arif tega membohongi seorang istri yang jelas-jelas sangat mencintainya hanya demi masa lalu.Rasanya tidak kuasa menahan amarah di depan Mas Arif dan wanita itu, aku melepaskan tangan dari
*** Hari ini adalah pernikahan kedua untuk laki-laki yang sangat aku cintai dan hormati. Kurang lebih empat tahun yang lalu, aku yang menjadi pengantin wanitanya. Namun, sekarang perempuan lain yang berada di posisi itu. Dia adalah masa lalu suamiku dan juga merupakan ibu dari anaknya. Hati ini sungguh tidak kuat menyaksikan acara pernikahan mereka, aku memilih menenangkan diri di rumah orang tua. Papa dan Mama berusaha menguatkan putri yang sangat mereka sayangi. Sementara, kakak laki-laki tertua di rumah tidak terima dengan apa yang terjadi. “Kenapa kamu tetap bertahan, Al? Apa yang kamu harapkan?" Aku hanya terdiam mendengarkan pertanyaan dari kakakku. Kak Radit adalah anak sulung dari orang tuaku, dia sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki yang sangat tampan. Istrinya bernama Kak Ayu, dan Arya merupakan buah hati tercinta mereka. Sekarang, usianya baru lima tahun, seumuran dengan putra dari Mas Arif bersama Alexa. Kak Radit sengaja berkunjung ke rumah Papa dan Mama
*** Waktu sudah menunjukkan pukul 22.50 WIB, tapi Mas Arif belum kunjung pulang. Aku tidak tahu apakah dia akan menginap di rumah istri keduanya atau di istana cinta kami. Padahal tadi laki-laki itu sudah berjanji akan tidur bersamaku malam ini. Aku tidak dapat memejamkan mata karena masih terus menunggu kedatangan suami tercinta. Aku masih tetap berharap bahwa ia akan mengingat janjinya dan berusaha untuk adil antara diriku dan istri kedua. Sudah sepuluh menit berlalu, tapi suami yang kutunggu-tunggu masih belum menunjukkan batang hidungnya. Aku tidak sabar lagi untuk menunggu adanya sebuah kepastian. Aku ingin mendengar langsung dari bibir Mas Arif, kenapa ia tidak berusaha menghubungi istri yang sejak tadi mengharapkannya? Aku meraih benda bentuk pipih milikku dari atas meja rias, lalu mencari nama suami di layar. Segera kutekan tombol telepon berwarna hijau dan terdengar nada bahwa panggilan yang kulakukan ternyata masuk. Sungguh, ini tidak pernah terbayangkan bahwa aku menden
*** Aku kembali mengingat kenangan saat pertama kali berkunjung ke rumah nenek. Saat itu liburan kelulusan Sekolah Dasar (SD). Nenek meminta agar aku melanjutkan sekolah di sana, tapi orang tua tidak memberikan izin karena diriki merupakan anak bungsu. Mama mengatakan bahwa beliau tidak sanggup harus tinggal berjauhan dengan putri bungsunya. Padahal aku sangat suka kalau harus menemani kakek dan nenek di kampung. Mereka hanya tinggal berdua semenjak Mama menikah dengan Papa. Kurang lebih sebulan lamanya aku tinggal di rumah wanita yang telah melahirkan Mama. Banyak kenangan yang kudapatkan di sana. Anak-anak yang rumahnya berada tidak jauh dari rumah nenek menjadi sangat akrab denganku. Tidak terkecuali dengan Arif, salah satu teman yang baru kukenal kala itu. Tempat tinggalnya tidak jauh dari masjid yang ada di desa tersebut. Hampir setiap hari kami bertemu, karena dia melaksanakan salat di masjid. Namanya persis seperti laki-laki yang telah menikahiku. Kakek dan nenek selalu rut
*** Aku beranjak dan meninggalkan taman belakang, sepanjang perjalanan menuju kamar, diriku tidak melihat lagi wujud Mas Arif di ruang TV. Dia benar-benar telah berubah, tidak berusaha mengejar saat aku tadi berlari ke taman belakang. Laki-laki itu tidak tahu bahwa seorang istri dapat luluh apabila suaminya berusaha membujuk dan meminta maaf atas apa yang telah dilakukan. Kembali kumelangkah dan memasuki kamar dan ternyata Mas Arif juga tidak ada. Aku sudah pasrah. Terserah dirinya akan berbuat apa sekarang. Saat ini tetap fokus dengan rencana yang telah terpikirkan, aku mulai membenahi barang-barang yang akan diperlukan di rumah nenek. Sudah tidak sabar rasanya agar segera tiba di rumah yang penuh dengan kenyamanan. Malam telah larut, tapi Mas Arif tidak kunjung pulang, padahal malam ini adalah waktunya tidur di rumah ini. Namun, aku tidak peduli lagi dengan apa yang ingin ia lakukan. Terserah padanya jika memang tidak ingin kembali. Aku berusaha untuk bersikap tenang, dan memejam
*** Aku berjalan menuju teras dan sejenak menoleh ke arah belakang. Tidak sengaja netra ini melihat sosok seorang laki-laki sedang mengendarai sepeda motor. Dia juga melirik hingga mata kami saling berpandangan. Sepertinya dia tidak asing bagiku, wajahnya sangat mirip dengan seseorang yang aku kenal. Aku berpikir bahwa itu hanya perasaanku saja, aku kembali melangkah lalu mengetuk pintu rumah Nenek yang tertutup. Hatiku sangat tenang setelah menginjakkan kaki di tempat ini, padahal tadi aku masih merasakan kesedihan yang sangat pilu sebelum sampai. “Assalamu’alaikum.” Aku mengucapkan salam. Tidak menunggu lama, akhirnya terdengar balasan salam dari dalam. Suara itu sudah pasti milik Nenek yang selalu terngiang di telinga. “Wa’alaikumsalam.” Pintu pun terbuka, lalu berdiri sosok wanita yang aku sayangi, beliau adalah perempuan yang telah melahirkan Mama. Aku sangat bangga dan bersyukur memiliki nenek seperti beliau. Tanpa menunggu lama, aku langsung mencium punggung tangan lalu mem