Share

Aku Keguguran, Suamiku Umumkan Punya Momongan
Aku Keguguran, Suamiku Umumkan Punya Momongan
Penulis: Nova Irene Saputra

Satu

***

“Alhamdulillah, aku hamil, Mas,” ucapku bahagia pada Mas Arif, suamiku.

“Iya, Sayang? Alhamdulillah. Ternyata kita secepat ini langsung dikasih kepercayaan untuk memiliki momongan.

“Aku terharu banget, Mas.”

“Terima kasih, Sayang.” Mas Arif memeluk lalu mendaratkan ciuman di dahiku.

Aku tidak pernah menyangka bahwa anugerah terbesar dalam hidup ini telah terkabul. Tiga bulan menikah, akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk memiliki momongan. Mas Arif terlihat sangat bahagia mengetahui kehamilanku. Rumah tangga yang baru dibina akan semakin lengkap dengan kehadiran sang buah hati.

Mas Arif adalah suami yang sangat aku cintai dan hormati, ia selalu melakukan yang terbaik untukku. Dia juga merupakan pasangan hidup yang penuh dengan keromantisan dan sering memberikan banyak kejutan yang tidak terduga.

Keluarganya sangat menyayangiku, bahkan ayah dan ibu mertua sudah menganggapku seperti anak sendiri. Kasih sayang yang mereka berikan sangat tulus hingga diri ini merasa menjadi wanita paling beruntung karena memiliki keluarga yang sangat pengertian.

Kehamilanku membuat Mas Arif semakin menunjukkan perhatian dan kasih sayang yang semakin besar. Dia selalu berusaha untuk memanjakan diri ini bak seorang ratu di dalam istana cinta. Sungguh, aku benar-benar bersyukur atas nikmat dan karunia itu.

Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat karena kecelakaan yang menimpaku. Pada saat usia kandungan memasuki enam bulan, sang buah hati telah pergi sebelum melihat keindahan dunia ini. Ternyata keberadaannya hanya sementara.

Kejadian nahas itu telah menggagalkan statusku menjadi seorang ibu. Musibah tersebut terjadi sangat cepat dan tidak dapat dielakkan. Ketika itu, Mas Arif membawaku ke taman untuk menghirup udara pagi. Tiba-tiba seorang anak kecil dengan mengendarai sepeda meluncur ke arah kami, dia tidak dapat menghentikan laju rodanya hingga menghantam tepat di perutku.

Rasa sakit itu akhirnya menyebabkan aku tidak sadarkan diri. Setelah kembali terbangun, diri sudah berada di rumah sakit. Sangat terlihat jelas adanya perubahan pada wajah anggota keluargaku dan Mas Arif. Aku tidak mengerti kenapa mereka menunjukkan sikap seperti itu.

Mas Arif duduk di samping tempat tidurku, ia menggenggam jemari ini dengan kuat. Dia akhirnya menyampaikan sesuatu yang tidak ingin kudengarkan. Hati sangat sakit dan pilu setelah mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.

“Kamu yang kuat, ya, Sayang. Aku tahu ini adalah cobaan yang sangat berat, tapi kamu harus terima dengan lapang dada.” Aku semakin bingung mendengarkan penuturan Mas Arif.

“Sebenarnya ada apa, sih, Mas?” Aku penasaran.

“Anak kita, Sayang.” Suara Mas Arif melemah.

“Ada apa dengan anak kita?”

“Dia udah nggak ada bersama kita.”

“Maksud kamu apa, Mas?”

“Dia sudah tenang di sisi-Nya.”

Rasanya tidak percaya dengan apa yang dikatakan Mas Arif, aku meraba perut yang ternyata tidak membesar lagi. Aku merasa tidak dapat menyentuh buah hati yang kehadirannya telah ditunggu-tunggu. Aku langsung menangis sejadi-jadinya.

“Anak kita ke mana, Mas?” Aku menarik tangan dari genggaman Mas Arif lalu menggoyang-goyangkan tubuhmya.

“Kamu keguguran, Sayang. Dokter akhirnya menjalankan operasi dan anak kita tidak tertolong lagi.”

“Ini nggak mungkin, anakku masih ada!” Aku menaikkan suara satu oktaf.

“Kamu yang sabar, ya, Sayang. Harus ikhlas, dia sudah dikebumikan tadi ke tempat peristirahatan terakhir.”

“Aku tidak percaya dengan semua ini, aku yakin kalau aku sedang bermimpi.”

“Ini kenyataan yang harus kita hadapi, Sayang. Aku mohon, kamu harus kuat. Ini adalah takdirnya dari Yang Kuasa.” Mas Arif memelukku.

“Aku jahat, Mas … tidak bisa menjadi ibu yang baik. Aku nggak pantas menjadi seorang ibu.” Bulir bening itu terus jatuh membasahi pipiku.

“Kamu harus kuat, ya, Sayang.” Mas Arif mengusap-usap kepalaku lalu menciumnya.

Musibah itu telah membuatku tidak sadarkan diri hingga beberapa jam, dan rasanya sangat sedih, karena tidak sempat melihat wajah buah hati yang sudah beberapa bulan menemani hari-hariku. Aku tidak dapat lagi merasakan gerakannya yang mampu membuat diri terharu.

Ternyata penderitaan tidak berakhir hanya di situ, karena setelah pulang dari rumah sakit, Mas Arif memberitahukan kenyataan yang paling pahit dan hampir membuat diri pingsan. Berita itu sungguh menyayat hati yang paling dalam.

“Kamu yang kuat, ya, Sayang.”

“Aku akan berusaha untuk ikhlas, Mas.”Aku berpikir bahwa Mas Arif berusaha memberikan kekuatan atas kejadian kehilangan buah hati yang belum pernah kulihat.

“Masih ada satu hal lagi yang harus kamu ketahui.” Mas Arif menggenggam tanganku dengan kuat.

“Ada apa lagi, Mas. Aku takut.”Hati mulai merasakan ketakutan.

“Jangan kaget, ya, Sayang.”

“Aku semakin deg-degan, Mas.”

“Sebenarnya dokter juga sudah mengangkat rahimmu karena kecelakaan itu. Kamu tidak akan mungkin bisa hamil lagi.”

Penjelasan Mas Arif membuat jantungku berhenti untuk berdetak. “Ini nggak mungkin, Mas. Aku tidak percaya kalau aku tidak akan bisa memberikanmu anak.” Aku menangis dan membenamkan wajah di dada suamiku.

“Tapi ini adalah kenyataan yang harus kita hadapi, Sayang.”

“Aku nggak berguna lagi, Mas. Untuk apa aku masih tetap ada di sini, aku tidak bisa memberikanmu keturunan.”

“Sabar, Sayang, dan jangan pernah berkata seperti itu lagi.”

Mas Arif memeluk tubuh ini dengan sangat erat, kehangatan itu sangat terasa. Namun, aku tetap merasa bahwa sudah tidak berguna lagi. Aku tidak pantas lagi untuk mendampingi hidup Mas Arif karena memiliki istri yang tidak dapat dibanggakan.

***

Tiga tahun telah berlalu, kasih sayang Mas Arif masih sama terhadapku. Namun, pertanyaan ibu mertua membuat diri sangat bingung. Mereka tidak pernah tahu bahwa aku dan suami menyembunyikan satu rahasia terbesar dalam keluarga ini.

Seminggu yang lalu, aku dan Mas Arif berkunjung ke rumah mertua. Mereka sangat bahagia menyambut kedatangan kami. Kakak ipar tertua yang sudah berkeluarga kebetulan juga sedang berada di sana. Dia beserta suami dan seorang anak perempuan mereka yang sudah duduk di Sekolah Dasar (SD) kelas dua.

Tiara merupakan anak dari Kak Nila, kakak sulung dari Mas Arif. Dia sangat cantik dan juga manis, persis seperti wanita yang melahirkannya. Aku amat menyayanginya, dan dia juga selalu ingin berada di dekatku jika sudah bertemu.

“Kapan kamu hamil lagi, Al?” Pertanyaan Kak Nila membuatku lemah.

“Aku ….” Aku menjeda karena Mas Arif melirik ke arahku.

“Doakan aja yang terbaik untuk keluarga kecil kami, Kak.” Mas Arif memberikan balasan atas pertanyaan kakaknya.

“Udah nggak sabar, nih, untuk gendong anak kamu, Rif.” Kak Nila mengembangkan senyumnya.

“Mama juga udah nggak sabar menimang cucu dari anak laki-laki. Kalau nunggu Adam, mah, lama. Kuliahnya aja baru semester tiga.” Aku jauh lebih terkejut mendengarkan keluhan sang ibu mertua.

“Iya, Mah. Semoga harapan itu akan segera terwujud. Iya, ‘kan, Sayang?” Mas Arif tersenyum padaku.

Aku berusaha memberikan jawaban yang tidak mengandung kecurigaan keluarga Mas Arif. “Iya, Mah. Semoga harapan Mama segera terwujud.” Aku berusaha kuat mengeluarkan kalimat tersebut dari bibir.

Aku dan Mas Arif belum mampu memberitahukan kenyataan yang sebenarnya pada keluarga. Tidak tahu apa yang akan terjadi jika mereka sudah mengetahui tentang semua itu. Aku tidak sanggup membayangkan sesuatu yang tidak diharapkan. Pikiran menakutkan selalu terlintas dibenakku.

“Kamu mikirin apa, sih, Sayang?” Mas Arif membuyarkan lamunanku. Saat ini kami sedang duduk di atas sofa ruang TV.

“Aku bingung harus gimana, Mas?”

“Bingung kenapa?” 

“Aku merasa kalau kita selalu memberikan harapan palsu pada keluargamu. Bagaimana kalau kita jujur saja dengan apa yang kualami.” Aku memberikan saran pada Mas Arif.

“Apa kamu yakin, Sayang?”

“Harus yakin, Mas. Aku nggak sanggup harus melakukan kebohongan terus.”

“Jika itu yang terbaik untuk semuanya, aku ngikut aja.” Mas Arif membelai rambutku.

“Semoga keluarga kamu mengerti posisi yang aku hadapi, ya, Mas.”

“Iya, Sayang.” Mas Arif selalu berusaha menguatkan dan meyakinkanku.

Sebulan kemudian, akhirnya aku dan Mas Arif berhasil memberitahukan hal yang sebenarnya pada anggota keluarga. Sungguh, aku sangat terharu atas reaksi yang mereka berikan. Batapa mulia hati ayah dan ibu mertua menerima kekurangan yang kumiliki.

“Ini sudah kehendak Yang Kuasa, kalian harus kuat. Tidak perlu menutupi hal seperti ini dari keluarga, kita akan mencari solusinya. Kalian bisa mengadopsi anak.” Aku sangat terharu mendengarkan keikhlasan dan juga saran yang diberikan ibu mertua.

Oleh karena itu, aku sangat menyetujui rencana yang diutarakan keluarga Mas Arif. Namun, aku tidak tahu suamiku tiba-tiba tidak menyetujui saran dari ibunya. Padahal, awalnya ia yang sangat antusias untuk memenuhi keinginan orang tua.

Dua minggu terakhir ini, dia juga terlihat sangat sibuk dengan gawai. Saat sedang berdua saja, pandangan yang ia tujukan hanya untuk layar benda bentuk pipih tersebut. Ada kejanggalan yang kurasakan atas perubahan Mas Arif.

Sungguh, aku tidak percaya bahwa suami yang selalu memberikan perhatian penuh selama ini, tiba-tiba menunjukkan perubahan yang tidak dapat ditutupi. Saat sedang berbincang dengannya, dia hanya memberikan jawaban seadanya dan kembali fokus ke layar gawai. Ada apa dengan Mas Arif sebenarnya? Kenapa suamiku tiba-tiba berubah?

=============

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status