***
Aku belum mampu memejamkan netra mengingat perubahan sikap Mas Arif akhir-akhir ini. Aku masih sangat penasaran dengan apa yang telah membuatnya lebih fokus pada layar gawai berwarna hitam itu. Rasa ingin tahu ini semakin bergejolak saat melihat dia sudah terlelap.
Segera kuraih benda bentuk pipih milik Mas Arif. Aku sangat terkejut karena ternyata untuk membuka gawai itu memerlukan kata sandi. Kecurigaan yang kurasakan semakin tidak dapat terelakkan. Sebelumnya Mas Arif tidak pernah menyembunyikan apa pun dariku.
Setelah berpikir beberapa menit, aku mencoba memasukkan tanggal lahir Mas Arif, tapi tetap gagal. Berusaha untuk terus mengingat hari istimewa dalam hubungan kami. Tiba-tiba terlintas hari bersatunya cintaku dan dia. Penuh dengan semangat aku menggunakan angka tersebut.
Ternyata usahaku berhasil dan layar gawai akhirnya bisa dibuka. Aku mencoba membuka pesan dalam aplikasi berwarna hijau milik Mas Arif. Terdapat nama yang unik pada salah satu pengirim pesan. Tuan Putri, pemilik akun tersebut.
Aku semakin ingin membuka isi percakapan dari nama tersebut, dan terdapat banyak perbincangan-perbincangan romantis di dalamnya. Hati ini sangat sedih dan juga sakit setelah mengetahui suami tercinta bersikap mesra dengan wanita lain. Aku yakin bahwa si pemilik akun adalah seorang perempuan.
[Rif.] Isi pesan dari si wanita dengan menyebut nama suamiku.
[Iya, Tuan Putri.]
[Kamu masih tetap memanggilku dengan sebutan itu?]
[Panggilan itu tidak akan mungkin bisa aku lupakan.]
[Aku terharu.]
[Kamu ke mana aja selama ini?]
[Hidup bersama putramu yang udah tumbuh besar sekarang dan dia sangat mirip dengan ayahnya yang tampan.]
[Apa maksud kamu? Putra?]
Hatiku bergetar membaca isi pesan tersebut. Kenapa dia berbicara tentang putra? Siapa sebenarnya yang dimaksud? Sungguh, aku tidak mengerti arah dari pesan yang ada dalam gawai Mas Arif. Ini membuatku sangat bingung dan berpikir keras.
Aku menjalankan jari di layar benda bentuk pipih itu, tiba-tiba terlihat percakapan menggunakan suara, segera kubuka untuk mengetahui lebih lanjut. Ternyata sangat benar bahwa pemilik pesan tersebut adalah seorang wanita.
“Apakah kamu sudi menjemputku dengan kuda putih yang aku dambakan sejak dulu? Bersediakah kamu membahagiakan aku dan putra kita?”
“Putra siapa maksud kamu, Tuan Putri?”
Isi pesan suara itu terdengar seperti nyata dan bukan hanya sekedar permainan semata. Aku tidak percaya jika suami yang sangat kuhormati memiliki putra dari wanita lain. Selama ini Mas Arif tidak pernah bercerita tentang masa lalunya lebih lengkap. Dia hanya menceritakan wanita yang sulit dilupakan dari pikiran.
Semakin ke bawah, percakapan tersebut seperti layaknya sepasang suami istri yang sedang bahagia karena memiliki buah hati yang sangat didambakan. Aku melihat foto seorang anak laki-laki berumur sekitar lima tahun. Dia tampan dan juga mirip dengan Mas Arif.
[Ini penerusmu, Rif.] Si wanita kembali mengirim pesan dengan menambahkan foto anak kecil tersebut.
[Penerus? Aku benar-benar bingung, Tuan Putri.]
[Dia Rifa.]
[Apakah dia ….]
[Dia anakmu, darah dagingmu. Namanya aku ambil dari singkatan nama orang tuanya.]
Rasanya sudah tidak sanggup menahan amarah melihat dan mendengar apa yang ada dalam gawai milik Mas Arif. Tidak peduli jika diriku dikatakan sebagai istri yang tega mengganggu waktu istirahat suami. Tanpa menunggu lama, aku membangunkan Mas Arif.
“Bangun, Mas.” Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Dalam hitungan detik, dia terbangun dan langsung mengusap pipiku. “Kamu belum tidur, Sayang?” tanyanya lembut.
“Aku mau kamu jelasin maksud dari pesan dan foto ini.” Aku langsung menunjukkan sesuatu yang membuatku marah dari dalam gawainya.
“Kenapa kamu bisa buka gawaiku?” Dia meraih benda itu dari tanganku.
“Sekarang kamu udah mulai menyembunyikan sesuatu dari istrimu.”
“Aku nggak suka kalau kamu seperti ini.”
“Kenapa, Mas? Dulu kamu selalu terbuka dan tidak merasa keberatan jika aku memegang gawaimu. Apa yang kamu sembunyikan, Mas?”
“Maksudnya apa?”
“Siapa yang kamu sebut dengan Tuan Putri dan siapa anak itu, Mas?”
“Bukan siapa-siapa, kok.”
“Jangan bohong kamu, Mas! Apa benar kamu punya anak dari wanita lain?” Aku menaikkan suara.
“Baiklah … aku akan jujur. Dia anakku.”
Dada ini terasa sesak mendengarkan apa yang keluar dari mulut Mas Arif. Sungguh diri tidak percaya jika dia memiliki anak dari wanita lain. Selama ini hubungan kami baik-baik saja dan dia juga selalu menyayangi dan mencintaiku.
“Apa, Mas?” tanyaku dengan suara melemah.
“Benar … dia anakku. Oleh karena itu, aku tidak setuju jika kita mengadopsi anak. Aku memiliki anak kandungku sendiri.”
“Cukup, Mas. Aku nggak kuat. Aku tidak pernah menyangka bahwa suami yang kucintai tega mengkhianati janji suci yang telah diucapkan dalam pernikahan.”
“Ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Awalnya juga aku nggak nyangka, tapi setelah kami bertemu dua hari yang lalu, aku baru yakin kalau dia benar anakku. Kamu belum membaca pesan itu sampai ke bawah.” Penjelasan Mas Arif membuatku benar-benar terpukul.
Dia dengan berani mengakui seseorang sebagai anak kandungnya, ini benar-benar sulit dipercaya. Aku tidak kuat mengetahui sesuatu yang tidak mudah diterima akal dan pikiran. Istri mana yang akan rela mendengarkan suaminya memiliki penerus dari wanita lain.
***
Mas Arif telah menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Ternyata dia memiliki anak dari wanita masa lalu yang sudah enam tahun tidak bertemu. Hati ini sangat hancur dan tidak ingin mendengarkan kenyataan pahit itu.
Dia mengaku bahwa dirinya pernah melakukan hubungan yang tidak pantas dengan cinta pertamanya. Namun, setelah beberapa minggu, wanita itu tiba-tiba menghilang dan tak ada kabar. Mas Arif berusaha mencari tapi tidak membuahkan hasil.
Harapan untuk kembali bertemu dengan sang mantan kekasih akhirnya menjadi harapan yang tidak dapat diwujudkan. Dua tahun kemudian, Mas Arif kembali membuka diri untuk mencintai orang lain, dan wanita itu adalah aku.
Tidak ada keanehan yang terjadi selama kami menjalin hubungan sebagai kekasih hingga aku yakin dan bersedia untuk menjadi pendamping hidupnya. Kasih sayang dan cinta yang diberikan membuat diri sangat terharu dan tersanjung.
Ternyata semua itu tidak bisa lagi sepenuhnya kudapatkan sekarang. Wanita masa lalu Mas Arif telah berhasil membuat dirinya membagi kasih sayang yang selama ini hanya untukku. Perubahan sikap yang ditunjukkan benar-benar tidak dapat ditutupi.
“Maafin aku, Sayang. Aku menyayangi dia dan anak kami. Tapi kamu tidak perlu khawatir, aku akan berusaha untuk adil.” Dia mengucapkan kalimat itu di meja makan tadi pagi sebelum berangkat ke kantor.
“Aku tidak akan membiarkan rumah tangga kita hancur, Mas.”
“Kamu tenang aja, semuanya akan baik-baik saja.”
“Tapi kamu berubah, Mas.”
“Aku hanya berusaha menyeimbangkan perhatian untuk istri dan dia yang merupakan ibu dari anakku.” Aku sakit mendengarkan pengakuan Mas Arif.
“Kenapa dia baru kembali sekarang, Mas? Kenapa nggak dari dulu, sebelum kamu mengenalku. Aku tidak tahu sampai kapan akan tetap bertahan seperti ini.”
“Aku harap kamu mengerti. Ini demi kebaikan aku, kamu, dan juga Alexa beserta putra kami.” Dia menyebutkan nama wanita tersebut.
“Tapi, Mas ….”
“Tidak perlu memberikan alasan lagi. Aku tidak ingin kehilangan kalian. Aku sangat mencintaimu tapi juga menyayangi mereka. Tolong mengerti dengan posisiku, Sayang. Kamu adalah istri terbaik untukku.”
“Kalau aku yang terbaik, kenapa kamu masih harus memikirkan wanita masa lalumu?”
“Itu aku lakukan demi anakku, darah daging yang tidak bisa aku dapatkan darimu.”
Aku masih tidak ingin memercayai apa yang kudengar keluar dari bibir Mas Arif. Dia dengan tega mengingatkan diri ini tentang kekurangan yang kumiliki. Seorang istri yang tidak mampu memberikan keturunan untuk suami.
“Kamu tega, Mas. Akhirnya kamu mengingatkan aku dengan kekurangan yang kumiliki.”
Dia meraih jemariku lalu meminta maaf. “Maafin aku, Sayang. Aku tidak bermaksud untuk mengatakan hal itu.”
“Tapi kenyataannya kamu sudah menyakiti aku, Mas. Aku juga tidak menginginkan menjadi seorang istri yang memiliki kekurangan. Aku ingin seperti mereka, mampu memberikan keturunan untuk suami.”
“Sayang … aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanmu, tapi keadaanlah yang membuatku seperti ini.”
“Keadaan karena aku tidak bisa menjadi seorang ibu?”
“Jangan berbicara seperti itu, Sayang. Aku tidak pernah menuntut itu darimu, karena kita sudah sama-sama tahu apa yang terjadi padamu.”
“Sudahlah, Mas … aku sadar dengan kekuranganku, dan kamu berhak mengingatkan itu.”
“Jangan seperti ini, dong. Kamu adalah pendamping hidupku.”
Di saat kami masih berbincang, tiba-tiba ada panggilan masuk. Mas Arif melihat layar gawai menggunakan tangan kiri lalu melirik ke arahku. Dia melepaskan genggaman tangan kanannya dari jemariku kemudian beranjak untuk menerima panggilan itu. Hatiku kembali sakit walaupun kenyataan tidak mengetahui pasti siapa yang berbicara dengannya melalui benda tersebut.
Setelah menerima panggilan, dia buru-buru langsung berangkat ke kantor. Diri berusaha untuk sabar dan melihat perkembangan sikap dari Mas Arif. Walaupun sekarang dia sudah berani mengatakan menyayangi masa lalunya, tapi aku akan tetap berusaha untuk mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku. Dia adalah pasangan halal yang selamanya akan tetap menjadi imam dalam rumah tangga yang telah terbina.
Tidak akan kubiarkan wanita masa lalu Mas Arif merebut suami yang sangat kucintai. Dia ibu dari anak Mas Arif, tapi aku tetap wanita yang sudah ia halalkan. Aku tidak akan menyerah karena memiliki kekurangan, tapi aku akan menunjukkan bagaimana seorang istri tetap kuat dan berusaha menjaga keutuhan rumah tangganya.
“Kamu adalah wanitaku satu-satunya yang akan menghiasi relung hati ini.” Aku masih sangat ingat apa yang telah diucapkan oleh Mas Arif setelah hari pernikahan kami.
“Kamu juga suami pilihan yang akan kudampingi seumur hidupku.”
“Kita akan hidup bahagia selamanya.”
Janji yang pernah diungkapkan oleh Mas Arif akan selalu tersimpan dalam hati ini, aku akan berusaha agar dia kembali mengingat apa yang telah ia ucapkan. Mungkin sekarang dia bingung dihadapkan dengan situasi seperti ini. Berada dalam dua pilihan yang sangat berat dan juga sulit.
***
Aku belum mampu memejamkan netra mengingat perubahan sikap Mas Arif akhir-akhir ini. Aku masih sangat penasaran dengan apa yang telah membuatnya lebih fokus pada layar gawai berwarna hitam itu. Rasa ingin tahu ini semakin bergejolak saat melihat dia sudah terlelap.
Segera kuraih benda bentuk pipih milik Mas Arif. Aku sangat terkejut karena ternyata untuk membuka gawai itu memerlukan kata sandi. Kecurigaan yang kurasakan semakin tidak dapat terelakkan. Sebelumnya Mas Arif tidak pernah menyembunyikan apa pun dariku.
Setelah berpikir beberapa menit, aku mencoba memasukkan tanggal lahir Mas Arif, tapi tetap gagal. Berusaha untuk terus mengingat hari istimewa dalam hubungan kami. Tiba-tiba terlintas hari bersatunya cintaku dan dia. Penuh dengan semangat aku menggunakan angka tersebut.
Ternyata usahaku berhasil dan layar gawai akhirnya bisa dibuka. Aku mencoba membuka pesan dalam aplikasi berwarna hijau milik Mas Arif. Terdapat nama yang unik pada salah satu pengirim pesan. Tuan Putri, pemilik akun tersebut.
Aku semakin ingin membuka isi percakapan dari nama tersebut, dan terdapat banyak perbincangan-perbincangan romantis di dalamnya. Hati ini sangat sedih dan juga sakit setelah mengetahui suami tercinta bersikap mesra dengan wanita lain. Aku yakin bahwa si pemilik akun adalah seorang perempuan.
[Rif.] Isi pesan dari si wanita dengan menyebut nama suamiku.
[Iya, Tuan Putri.]
[Kamu masih tetap memanggilku dengan sebutan itu?]
[Panggilan itu tidak akan mungkin bisa aku lupakan.]
[Aku terharu.]
[Kamu ke mana aja selama ini?]
[Hidup bersama putramu yang udah tumbuh besar sekarang dan dia sangat mirip dengan ayahnya yang tampan.]
[Apa maksud kamu? Putra?]
Hatiku bergetar membaca isi pesan tersebut. Kenapa dia berbicara tentang putra? Siapa sebenarnya yang dimaksud? Sungguh, aku tidak mengerti arah dari pesan yang ada dalam gawai Mas Arif. Ini membuatku sangat bingung dan berpikir keras.
Aku menjalankan jari di layar benda bentuk pipih itu, tiba-tiba terlihat percakapan menggunakan suara, segera kubuka untuk mengetahui lebih lanjut. Ternyata sangat benar bahwa pemilik pesan tersebut adalah seorang wanita.
“Apakah kamu sudi menjemputku dengan kuda putih yang aku dambakan sejak dulu? Bersediakah kamu membahagiakan aku dan putra kita?”
“Putra siapa maksud kamu, Tuan Putri?”
Isi pesan suara itu terdengar seperti nyata dan bukan hanya sekedar permainan semata. Aku tidak percaya jika suami yang sangat kuhormati memiliki putra dari wanita lain. Selama ini Mas Arif tidak pernah bercerita tentang masa lalunya lebih lengkap. Dia hanya menceritakan wanita yang sulit dilupakan dari pikiran.
Semakin ke bawah, percakapan tersebut seperti layaknya sepasang suami istri yang sedang bahagia karena memiliki buah hati yang sangat didambakan. Aku melihat foto seorang anak laki-laki berumur sekitar lima tahun. Dia tampan dan juga mirip dengan Mas Arif.
[Ini penerusmu, Rif.] Si wanita kembali mengirim pesan dengan menambahkan foto anak kecil tersebut.
[Penerus? Aku benar-benar bingung, Tuan Putri.]
[Dia Rifa.]
[Apakah dia ….]
[Dia anakmu, darah dagingmu. Namanya aku ambil dari singkatan nama orang tuanya.]
Rasanya sudah tidak sanggup menahan amarah melihat dan mendengar apa yang ada dalam gawai milik Mas Arif. Tidak peduli jika diriku dikatakan sebagai istri yang tega mengganggu waktu istirahat suami. Tanpa menunggu lama, aku membangunkan Mas Arif.
“Bangun, Mas.” Aku menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Dalam hitungan detik, dia terbangun dan langsung mengusap pipiku. “Kamu belum tidur, Sayang?” tanyanya lembut.
“Aku mau kamu jelasin maksud dari pesan dan foto ini.” Aku langsung menunjukkan sesuatu yang membuatku marah dari dalam gawainya.
“Kenapa kamu bisa buka gawaiku?” Dia meraih benda itu dari tanganku.
“Sekarang kamu udah mulai menyembunyikan sesuatu dari istrimu.”
“Aku nggak suka kalau kamu seperti ini.”
“Kenapa, Mas? Dulu kamu selalu terbuka dan tidak merasa keberatan jika aku memegang gawaimu. Apa yang kamu sembunyikan, Mas?”
“Maksudnya apa?”
“Siapa yang kamu sebut dengan Tuan Putri dan siapa anak itu, Mas?”
“Bukan siapa-siapa, kok.”
“Jangan bohong kamu, Mas! Apa benar kamu punya anak dari wanita lain?” Aku menaikkan suara.
“Baiklah … aku akan jujur. Dia anakku.”
Dada ini terasa sesak mendengarkan apa yang keluar dari mulut Mas Arif. Sungguh diri tidak percaya jika dia memiliki anak dari wanita lain. Selama ini hubungan kami baik-baik saja dan dia juga selalu menyayangi dan mencintaiku.
“Apa, Mas?” tanyaku dengan suara melemah.
“Benar … dia anakku. Oleh karena itu, aku tidak setuju jika kita mengadopsi anak. Aku memiliki anak kandungku sendiri.”
“Cukup, Mas. Aku nggak kuat. Aku tidak pernah menyangka bahwa suami yang kucintai tega mengkhianati janji suci yang telah diucapkan dalam pernikahan.”
“Ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Awalnya juga aku nggak nyangka, tapi setelah kami bertemu dua hari yang lalu, aku baru yakin kalau dia benar anakku. Kamu belum membaca pesan itu sampai ke bawah.” Penjelasan Mas Arif membuatku benar-benar terpukul.
Dia dengan berani mengakui seseorang sebagai anak kandungnya, ini benar-benar sulit dipercaya. Aku tidak kuat mengetahui sesuatu yang tidak mudah diterima akal dan pikiran. Istri mana yang akan rela mendengarkan suaminya memiliki penerus dari wanita lain.
***
Mas Arif telah menceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Ternyata dia memiliki anak dari wanita masa lalu yang sudah enam tahun tidak bertemu. Hati ini sangat hancur dan tidak ingin mendengarkan kenyataan pahit itu.
Dia mengaku bahwa dirinya pernah melakukan hubungan yang tidak pantas dengan cinta pertamanya. Namun, setelah beberapa minggu, wanita itu tiba-tiba menghilang dan tak ada kabar. Mas Arif berusaha mencari tapi tidak membuahkan hasil.
Harapan untuk kembali bertemu dengan sang mantan kekasih akhirnya menjadi harapan yang tidak dapat diwujudkan. Dua tahun kemudian, Mas Arif kembali membuka diri untuk mencintai orang lain, dan wanita itu adalah aku.
Tidak ada keanehan yang terjadi selama kami menjalin hubungan sebagai kekasih hingga aku yakin dan bersedia untuk menjadi pendamping hidupnya. Kasih sayang dan cinta yang diberikan membuat diri sangat terharu dan tersanjung.
Ternyata semua itu tidak bisa lagi sepenuhnya kudapatkan sekarang. Wanita masa lalu Mas Arif telah berhasil membuat dirinya membagi kasih sayang yang selama ini hanya untukku. Perubahan sikap yang ditunjukkan benar-benar tidak dapat ditutupi.
“Maafin aku, Sayang. Aku menyayangi dia dan anak kami. Tapi kamu tidak perlu khawatir, aku akan berusaha untuk adil.” Dia mengucapkan kalimat itu di meja makan tadi pagi sebelum berangkat ke kantor.
“Aku tidak akan membiarkan rumah tangga kita hancur, Mas.”
“Kamu tenang aja, semuanya akan baik-baik saja.”
“Tapi kamu berubah, Mas.”
“Aku hanya berusaha menyeimbangkan perhatian untuk istri dan dia yang merupakan ibu dari anakku.” Aku sakit mendengarkan pengakuan Mas Arif.
“Kenapa dia baru kembali sekarang, Mas? Kenapa nggak dari dulu, sebelum kamu mengenalku. Aku tidak tahu sampai kapan akan tetap bertahan seperti ini.”
“Aku harap kamu mengerti. Ini demi kebaikan aku, kamu, dan juga Alexa beserta putra kami.” Dia menyebutkan nama wanita tersebut.
“Tapi, Mas ….”
“Tidak perlu memberikan alasan lagi. Aku tidak ingin kehilangan kalian. Aku sangat mencintaimu tapi juga menyayangi mereka. Tolong mengerti dengan posisiku, Sayang. Kamu adalah istri terbaik untukku.”
“Kalau aku yang terbaik, kenapa kamu masih harus memikirkan wanita masa lalumu?”
“Itu aku lakukan demi anakku, darah daging yang tidak bisa aku dapatkan darimu.”
Aku masih tidak ingin memercayai apa yang kudengar keluar dari bibir Mas Arif. Dia dengan tega mengingatkan diri ini tentang kekurangan yang kumiliki. Seorang istri yang tidak mampu memberikan keturunan untuk suami.
“Kamu tega, Mas. Akhirnya kamu mengingatkan aku dengan kekurangan yang kumiliki.”
Dia meraih jemariku lalu meminta maaf. “Maafin aku, Sayang. Aku tidak bermaksud untuk mengatakan hal itu.”
“Tapi kenyataannya kamu sudah menyakiti aku, Mas. Aku juga tidak menginginkan menjadi seorang istri yang memiliki kekurangan. Aku ingin seperti mereka, mampu memberikan keturunan untuk suami.”
“Sayang … aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanmu, tapi keadaanlah yang membuatku seperti ini.”
“Keadaan karena aku tidak bisa menjadi seorang ibu?”
“Jangan berbicara seperti itu, Sayang. Aku tidak pernah menuntut itu darimu, karena kita sudah sama-sama tahu apa yang terjadi padamu.”
“Sudahlah, Mas … aku sadar dengan kekuranganku, dan kamu berhak mengingatkan itu.”
“Jangan seperti ini, dong. Kamu adalah pendamping hidupku.”
Di saat kami masih berbincang, tiba-tiba ada panggilan masuk. Mas Arif melihat layar gawai menggunakan tangan kiri lalu melirik ke arahku. Dia melepaskan genggaman tangan kanannya dari jemariku kemudian beranjak untuk menerima panggilan itu. Hatiku kembali sakit walaupun kenyataan tidak mengetahui pasti siapa yang berbicara dengannya melalui benda tersebut.
Setelah menerima panggilan, dia buru-buru langsung berangkat ke kantor. Diri berusaha untuk sabar dan melihat perkembangan sikap dari Mas Arif. Walaupun sekarang dia sudah berani mengatakan menyayangi masa lalunya, tapi aku akan tetap berusaha untuk mempertahankan apa yang sudah menjadi milikku. Dia adalah pasangan halal yang selamanya akan tetap menjadi imam dalam rumah tangga yang telah terbina.
Tidak akan kubiarkan wanita masa lalu Mas Arif merebut suami yang sangat kucintai. Dia ibu dari anak Mas Arif, tapi aku tetap wanita yang sudah ia halalkan. Aku tidak akan menyerah karena memiliki kekurangan, tapi aku akan menunjukkan bagaimana seorang istri tetap kuat dan berusaha menjaga keutuhan rumah tangganya.
“Kamu adalah wanitaku satu-satunya yang akan menghiasi relung hati ini.” Aku masih sangat ingat apa yang telah diucapkan oleh Mas Arif setelah hari pernikahan kami.
“Kamu juga suami pilihan yang akan kudampingi seumur hidupku.”
“Kita akan hidup bahagia selamanya.”
Janji yang pernah diungkapkan oleh Mas Arif akan selalu tersimpan dalam hati ini, aku akan berusaha agar dia kembali mengingat apa yang telah ia ucapkan. Mungkin sekarang dia bingung dihadapkan dengan situasi seperti ini. Berada dalam dua pilihan yang sangat berat dan juga sulit.
==============
***Seminggu telah berlalu, sikap yang ditunjukkan Mas Arif semakin berubah. Setiap hari dia berangkat ke kantor lebih awal dan tidak tahu apa alasannya. Namun, hari ini aku ingin menanyakan kenapa dirinya terlihat buru-buru setiap pagi.“Kenapa kamu terkesan buru-buru, Mas?” tanyaku ingin tahu saat ia menyeruput teh buatanku.“Mau ngantar Rifa ke sekolah.” Dia menyebutkan nama yamg tak lain adalah anaknya.“Harus kamu yang ngantar, Mas?”“Wajar, dong, aku papanya.”“Tapi sebelumnya bukan kamu yang melakukan tugas ini.”“Udah, ah, Sayang. Kenapa harus mempermasalahkan hal seperti ini? Kamu nggak akan ngerti apa yang kurasakan.”“Maksud kamu apa, Mas?”“Apa kamu bisa merasakan apa yang ada di dalam hatiku saat ini? Mungkin tidak. Rifa adalah anak kandung dan juga darah dagingku, wajar kalau aku sangat menyayanginya.”“Jadi, kamu berpikir kalau aku nggak akan bisa mengerti perasaan seperti itu karena aku tidak bisa memiliki anak?”“Kamu ngomongnya, kok, gitu?”“Aku sangat tahu arah dari
***“Kamu berani bela dia di depan aku, Sayang?” tanya Alexa pada Mas Arif.“Maaf, tapi aku mengatakan yang sebenarnya. Dia istri yang kuinginkan.” Mas Arif dengan tegas kembali mengucapkan kalimat itu.Aku tidak suka dengan panggilan Alexa pada Mas Arif, dia sangat berani. “Kenapa wanita itu memanggilmu dengan sebutan ‘Sayang’, Mas?” tanyaku pada Mas Arif sambil melihat ke arah Alexa.“Apa urusanmu? Dia ayah dari anakku!” Justru Alexa yang menjawab pertanyaanku.“Mana anak yang kamu maksud?” Aku ingin tahu anak yang pernah kulihat di ponsel Mas Arif.“Dia bersama neneknya di rumah.” Hatiku memanas mendengarkan pengakuan perempuan yang ada di depanku.Ternyata suamiku kembali menjadikan anaknya sebagai alasan agar dia dapat berduaan dengan sang mantan kekasih. Sungguh aku tidak mengerti kenapa Mas Arif tega membohongi seorang istri yang jelas-jelas sangat mencintainya hanya demi masa lalu.Rasanya tidak kuasa menahan amarah di depan Mas Arif dan wanita itu, aku melepaskan tangan dari
*** Hari ini adalah pernikahan kedua untuk laki-laki yang sangat aku cintai dan hormati. Kurang lebih empat tahun yang lalu, aku yang menjadi pengantin wanitanya. Namun, sekarang perempuan lain yang berada di posisi itu. Dia adalah masa lalu suamiku dan juga merupakan ibu dari anaknya. Hati ini sungguh tidak kuat menyaksikan acara pernikahan mereka, aku memilih menenangkan diri di rumah orang tua. Papa dan Mama berusaha menguatkan putri yang sangat mereka sayangi. Sementara, kakak laki-laki tertua di rumah tidak terima dengan apa yang terjadi. “Kenapa kamu tetap bertahan, Al? Apa yang kamu harapkan?" Aku hanya terdiam mendengarkan pertanyaan dari kakakku. Kak Radit adalah anak sulung dari orang tuaku, dia sudah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki yang sangat tampan. Istrinya bernama Kak Ayu, dan Arya merupakan buah hati tercinta mereka. Sekarang, usianya baru lima tahun, seumuran dengan putra dari Mas Arif bersama Alexa. Kak Radit sengaja berkunjung ke rumah Papa dan Mama
*** Waktu sudah menunjukkan pukul 22.50 WIB, tapi Mas Arif belum kunjung pulang. Aku tidak tahu apakah dia akan menginap di rumah istri keduanya atau di istana cinta kami. Padahal tadi laki-laki itu sudah berjanji akan tidur bersamaku malam ini. Aku tidak dapat memejamkan mata karena masih terus menunggu kedatangan suami tercinta. Aku masih tetap berharap bahwa ia akan mengingat janjinya dan berusaha untuk adil antara diriku dan istri kedua. Sudah sepuluh menit berlalu, tapi suami yang kutunggu-tunggu masih belum menunjukkan batang hidungnya. Aku tidak sabar lagi untuk menunggu adanya sebuah kepastian. Aku ingin mendengar langsung dari bibir Mas Arif, kenapa ia tidak berusaha menghubungi istri yang sejak tadi mengharapkannya? Aku meraih benda bentuk pipih milikku dari atas meja rias, lalu mencari nama suami di layar. Segera kutekan tombol telepon berwarna hijau dan terdengar nada bahwa panggilan yang kulakukan ternyata masuk. Sungguh, ini tidak pernah terbayangkan bahwa aku menden
*** Aku kembali mengingat kenangan saat pertama kali berkunjung ke rumah nenek. Saat itu liburan kelulusan Sekolah Dasar (SD). Nenek meminta agar aku melanjutkan sekolah di sana, tapi orang tua tidak memberikan izin karena diriki merupakan anak bungsu. Mama mengatakan bahwa beliau tidak sanggup harus tinggal berjauhan dengan putri bungsunya. Padahal aku sangat suka kalau harus menemani kakek dan nenek di kampung. Mereka hanya tinggal berdua semenjak Mama menikah dengan Papa. Kurang lebih sebulan lamanya aku tinggal di rumah wanita yang telah melahirkan Mama. Banyak kenangan yang kudapatkan di sana. Anak-anak yang rumahnya berada tidak jauh dari rumah nenek menjadi sangat akrab denganku. Tidak terkecuali dengan Arif, salah satu teman yang baru kukenal kala itu. Tempat tinggalnya tidak jauh dari masjid yang ada di desa tersebut. Hampir setiap hari kami bertemu, karena dia melaksanakan salat di masjid. Namanya persis seperti laki-laki yang telah menikahiku. Kakek dan nenek selalu rut
*** Aku beranjak dan meninggalkan taman belakang, sepanjang perjalanan menuju kamar, diriku tidak melihat lagi wujud Mas Arif di ruang TV. Dia benar-benar telah berubah, tidak berusaha mengejar saat aku tadi berlari ke taman belakang. Laki-laki itu tidak tahu bahwa seorang istri dapat luluh apabila suaminya berusaha membujuk dan meminta maaf atas apa yang telah dilakukan. Kembali kumelangkah dan memasuki kamar dan ternyata Mas Arif juga tidak ada. Aku sudah pasrah. Terserah dirinya akan berbuat apa sekarang. Saat ini tetap fokus dengan rencana yang telah terpikirkan, aku mulai membenahi barang-barang yang akan diperlukan di rumah nenek. Sudah tidak sabar rasanya agar segera tiba di rumah yang penuh dengan kenyamanan. Malam telah larut, tapi Mas Arif tidak kunjung pulang, padahal malam ini adalah waktunya tidur di rumah ini. Namun, aku tidak peduli lagi dengan apa yang ingin ia lakukan. Terserah padanya jika memang tidak ingin kembali. Aku berusaha untuk bersikap tenang, dan memejam
*** Aku berjalan menuju teras dan sejenak menoleh ke arah belakang. Tidak sengaja netra ini melihat sosok seorang laki-laki sedang mengendarai sepeda motor. Dia juga melirik hingga mata kami saling berpandangan. Sepertinya dia tidak asing bagiku, wajahnya sangat mirip dengan seseorang yang aku kenal. Aku berpikir bahwa itu hanya perasaanku saja, aku kembali melangkah lalu mengetuk pintu rumah Nenek yang tertutup. Hatiku sangat tenang setelah menginjakkan kaki di tempat ini, padahal tadi aku masih merasakan kesedihan yang sangat pilu sebelum sampai. “Assalamu’alaikum.” Aku mengucapkan salam. Tidak menunggu lama, akhirnya terdengar balasan salam dari dalam. Suara itu sudah pasti milik Nenek yang selalu terngiang di telinga. “Wa’alaikumsalam.” Pintu pun terbuka, lalu berdiri sosok wanita yang aku sayangi, beliau adalah perempuan yang telah melahirkan Mama. Aku sangat bangga dan bersyukur memiliki nenek seperti beliau. Tanpa menunggu lama, aku langsung mencium punggung tangan lalu mem
*** Kadang cinta itu susah untuk dimengerti, tiba-tiba hadir di saat keadaan tidak memungkinkan. Ketika kita sudah terikat dengan hubungan yang sakral, kenapa perasaan yang menggetarkan hati harus muncul kembali? Ini waktu yang tidak tepat menurutku. Apakah ini yang dirasakan oleh Mas Arif pada cinta masa lalu yang sekarang menjadi pendamping hidupnya? Dia pasti sadar bahwa dirinya sudah memiliki seorang istri, tapi setelah bertemu dengan mantan kekasih, laki-laki itu justru jujur mengatakan bahwa ia masih mencintai perempuan tersebut. Apakah aku harus ikhlas dan memaafkan apa yang telah Mas Arif lakukan setelah hati ini merasa sakit dan menderita? Namun, tindakannya sudah melampaui batas, dia tidak hanya berbagi cinta dan sayang, tapi juga sudah berani melakukan kekerasan. Mungkin jika laki-laki itu tidak betindak kasar dan mampu berbuat adil, aku masih berusaha mencoba untuk ikhlas. Ternyata harapan tidak seindah kenyataan, karena yang terjadi sungguh tidak dapat diterima oleh ak