Share

Bab 2

Part 2

Pantas saja belakangan Mas Khlaid berubah perangainya. Lelaki yang dulu menikahiku dalam keadaan miskin itu, belakangan mulai menunjukkan perangai aslinya.

Aku dilarang mengantarkan makanan ke kantor yang letaknya di lantai dua toko perhiasan kami. Biasanya dia hanya mau makan makanan yang aku masak. Namun semanjak Frisca yang menggantikan tugasku, Mas Khalid sudah enggan menerima kiriman makan siang. Sopir pribadiku terpkasa membawa pulang makanan yang aku kirimkan untuknya.

Baiklah, Mas. kalau memang ini jalan yang kau mau. Aku hanya ingin kau tahu,hati perempuan yang bersamamu dalam kurun waktu sepuluh tahun ini sudah sangat terluka. Aku tak akan pergi sebelum mendapatkan apa yang menjadi hakku.

“Mama, Papa. Maafkan Widya! Widya terlalu percaya diri bahwa Mas Khalid akan menjadi satu-satunya lelaki yang akan mencintai Widya selain Papa. Hanya do’a yang kini bisa Widya kirimkan. Semoga Papa dan Mama tenang di alam sana.”

Kupandangi foto pernikahan kami sepuluh tahun yang lalu. Saat itu memang usiaku masih terbilang muda, dua puluh dua tahun. Papa dan Mama mewanti-wanti keinginanku menikah muda. Mereka tak yakin aku akan bisa menjalani biduk rumah tangga bersama lelaki sederhana bernama Mas Khalid.

Entah mengapa, tiba-tiba rasa muak menyeruak begitu dalam, merobek relung hatiku, menghapus rasa cinta yang sepuluh tahun ini hanya diisi oleh satu nama, Mas Khalid. Allah, apakah ini balasan untukku yang terlalu cinta pada seorang hamba, melebihi kecintaanku padaMu, Rabb? Ampuni hamba. Hamba sadari, hamba sudah bersalah.

Tok tok tok!

Suara pintu kamar diketuk dari luar. Aku tahu itu pasti Mas Khalid. Mengapa pula dia mengetuk pintu kamar ini? Bukannya dia harusnya sedang bahagia di kamar yang lain?

“Widya! Kamu masih marah?” Perkataan itu meluncur begitu saja saat daun pintu telah kubuka.

“Marah untuk apa lagi, Mas? toh semuanya sudah terjadi.”

“Baguslah, memang sepatutnya kamu tak berhak untuk marah. Mas hanya ingin memiliki keturunan. Karena kamu tak bisa memberikannya. Seluruh kekayaan yang kita miliki ini harus ada pewarisnya.”

“Kamu udah mikirin mati, Mas?”

“Widya! Kenapa kamu berubah kasar? Perkataanmu jadi sembrono!”

“Kamu penyebabnya, Mas! ah, sudahlah! Percuma berbicara mengungkapkan perasaanku, toh kamu sudah tak akan perduli lagi.”

“Hmm … Mas sudah tak mau kita bahas masalah ini lagi. Mas hanya ingin bicara serius denganmu. Mulai hari ini, jatah bulanan kalian berdua sama. Mas tidak akan membeda-bedakan. Kunci brankgkas, Frisca juga sudah tau sandinya. Kamu dan Frisca sama-sama istriku, jadi tak boleh ada rahasia diantara kita. Dan satu lagi, tolong kamu jangan beritahu siapapun mengenai Frisca. Terutama pada rekan bisnis kita.”

“Lho, kenapa, Mas? kamu malu beristri dua? Malu punya istri mantan wanita panggilan? Hahaha ….”

“Bukan begitu! Nanti, jika waktunya sudah pas, barulah pelan-pelan kita umumkan pada khalayak. Tolong dijaga bicaramu, Widya! Frisca sudah berubah!”

“Hah! Hahahaha … ternyata kamu masih punya rasa malu juga, ya? Kalau dia berubah, dia tak akan mungkin mau jadi istri kedua!”

“Sudahlah, Widya! Aku capek, mau istirahat! Malam ini aku tidur di kamar Frisca. Soal waktu bersama kalian, tenang saja, malam besok aku di sini, esoknya lagi sama Frisca.”

“Oke! Soal itu terserah kamu saja. Mau seminggu penuh bersama Frisca pun aku gak masalah!”

“Ya, memang kemungkinan Mas akan harus lebih siaga menjaga Frisca. Karena dia sedang hamil anakku.”

“Ya sudah! Keluarlah sekarang juga!”

“Oke! Ingat, jangan bahas masalah ini lagi. Mas anggap kamu sudah setuju!” ujarnya sebelum menghilang di sebalik pintu.

Enak sekali dia? Membuat aturan seenaknya. Menghadirkan wanita kedua yang sama sekali tak pernah tahu sulitnya berjuang bersama. Dari gelagatnya aku yakin, Frisca hanya cinta pada harta Mas Khalid. Perempuan mana yang tak akan tergoda dengan kilau permata dalam bisnis kami?

Menyesal pun sudah tak ada gunanya. Harusnya dulu dia kubiarkan saja dia di pinggir jalan. Tuhan, mengapa justru dia? Aku memilih untuk mengadukan semuanya pada Rabb-ku. Anehnya, kini air mata sudah tak mau lagi gugur membasahi pipiku. Tiba-tiba hati ini menjadi beku. Saking khidmatnya aku bermunajat, aku sampai tak menyadari kalau tubuhku terlelap dan masih di atas sajadah.

Tok tok tok!

Aku terkejut, mendadatk terjaga. Kulirik jam dinding di kamar bercat putih ini. Pukul dua dini hari.

“Widya! Lekas buka pintunya!” Terdengar suara Mas Khalid. Cepat-cepat aku bangkit dan membukakan pintu.

“Ada apa, Mas?”

“Widya, tolong kamu masakkan mie instan untuk Frisca. Dia mendadak lapar, dan hanya ingin makan mie instan buatanmu!”

“Apa, Mas? gak salah?”

“Sudahlah, jangan banyak tanya! Lekas buatkan. Aku gak mau anak yang Frisca kandung besok jadi ngences karena keinginannya tidak kamu turuti!”

“Tapi kenapa harus aku? Mas, ibu hamil sebaiknya jangan makan mie instan! Gak baik untuk kesehatan!”

“Ya ampun, Wid! Cuma sekali ini saja! Kamu, sih, gak pernah tau rasanya ngidam!” hardik Mas Khalid. Ia menyeretku ke dapur. Padahal ada Mbok Jum di kamarnya, mengapa pula Frisca memintaku menuruti keinginannya? Menyebalkan!

Kulihat Frisca duduk di meja makan sambil tersenyum culas padaku. Ia berpura-pura manis di depan Mas Khalid. Dasar wanita tak punya adab!

“Mas, Mbak Widya gak ikhlas, tuh!” rengeknya karena aku membanting penutup lemari stok makanan setelah mengambil mie instan.

“Widya! Jangan begitu. Kamu tau, gak? Wanita hamil itu sensitif! Kamu jangan sakitin hatinya Frisca! Lagian Cuma masakin mie instan doank, pake cemberut!” ujar Mas Khalid, dia bicara usai menguap panjang. Rasakan kamu, Mas! bersamaku kamu tak pernah sekalipun aku merepotkanmu di tengah malam buta begini.

“Nyah, biar saya saja yang bikin mie nya!” Tiba-tiba terdengar suara Mbok Jum. Mungkin ia terjaga untuk shalat tahajud, namun mendengar suara berisik kami di dapur.

“Gak usah, Mbok! Aku maunya Mbak Wid yang masakin!” sergah Frisca. Mbok Jum menatap iba padaku. Ia pastinya sudah tahu kalau di rumah ini kini ada dua nyonya.

“Gapapa, Mbok! Kalau mau sholat malam, lanjut aja!” ujarku. Wajahku kubuat sebiasa mungkin, supaya Mbok Jum tidak khawatir. Ia sudah mengabdi sangat lama di rumah Almarhum Papa dan Mama. Kini ia ikut denganku, aku sudah menganggapnya seperti keluargaku sendiri.

Mbok Jum undur diri, kembali masuk ke kamarnya.

“Mas, bilang sama Mbak Widya. Aku maunya telornya yang direbus bulat.”

“Ya ampun, aku dengar kali, Fris! Gak perlu nyuruh-nyuruh Mas Khalid yang nyampein! Lebay!”

“Tuh, kan, Mas! Mbak Widya gak ikhlas! Entar anak kita ngences ini, Mas!” rengeknya lagi dengan suara dibuat sangat melas. Jijik!

“Iklhaaaas … aku ikhlas masakin buat kamu! Apa ikhlas itu harus diucapkan?” sergahku lagi.

“Udah, dong! Hargai aku! Suami kalian! Jangan berdebat, lekas masak, dan Frisca lekas makan mie nya. Lalu kita lanjut istirahat lagi. Mas ngantuk!”

“Ini! Selamat menikmati! Telurnya kupas sendiri!” ujarku setelah mie siap dan telur rebusnya matang.

“Makasih, Mbak!” ujarnya masih dengan senyum culasnya.

“Aku mau balik ke kamar.” Aku meletakkan serbet dan melepas apron, bersiap melangkah kembali ke kamar.

“Mas! tiba-tiba aku udah gak selera lagi. Bau telur rebus ini bikin aku jadi mual. Hoeek ….” Frisca menutup mulutnya hendak muntah.

“Ya ampun, sayang! Ya sudah kalau begitu lekas kita balik ke kamar aja. Jangan sampe kamu muntah di sini.” Mereka berdua beranjak dari meja makan, meninggalkan aku yang terpaku menahan kesal. Kali ini kau berhasil mengerjaiku, Fris!

***

Pagi ini aku pergi duluan ke kantor. Mas Khalid dan Frisca hingga pukul delapan pagi masih belum juga terjaga. Aku mengumpulkan semua karyawan toko di ruanganMas Khalid. Mereka semua berdiri berjajar menundukkan kepala.

“Kalian semua saya kumpulkan, kalian tau alasannya?” ujarku pada mereka. Mereka hanya bergeming. Sebagian menggelengkan kepala.

“Saya ingin tahu, sejak kapan Frisca dan Mas Khalid menjalin hubungan? Pasti diantara kalian ada yang tahu.”

Mereka semua masih menunduk dalam, mengunci bibir. Apa yang sudah terjadi? Mengapa mereka yang biasanya bersikap ramah dan ceria, mendadak bungkam seperti ini.

“Bicara saja, rahasia kalian saya jamin aman. Usaha toko ini milik saya, saya yang menggaji kalian. Kalau kalian tak mau buka mulut, terpaksa kalian semua saya rumahkan. Masih banyak orang jujur yang membutuhkan pekerjaan,” ancamku.

“Buk, jangan, Buk!” Tiba-tiba saja karyawanku yang bernama Dian angkat bicara.

“Dian? Apa yang kamu ketahui? Kamu tahu kenapa tidak lapor pada saya? Apa kalian mau usahakita ini dicurangi wanita serakah bernama Frisca itu?”

“Gak mau, Buk!” jawab mereka serempak.

“Nah, kalau begitu, katakan!”

Akhirnya satu per satu dari mereka buka mulut. Frisca mengancam mereka agar tak membocorkan hubungan mereka kepadaku. Frisca yang juga punya jabatan memanfaatkan jabatannya untuk mengintimidasi para karyawan.

“Baik, saya ingin kalian bekerja sama dengan saya! Saya tidak mau usaha yang saya jalankan dari nol, sampai sesukses sekarang, hangus sia-sia diambil oleh seorang pelakor!” ujarku tegas.

“Baik, Buk! Kami akan laksanakan perintah Ibuk!” jawab mereka serentak.

“Oke, kalian boleh kembali bekerja dan membuka toko. Anggap saja semuanya berjalan seperti biasa, seolah pertemuan ini tak pernah ada. Kalian tahu kemana hati kalian berpihak!”

Mereka pun kembali turun, tinggal aku sendiri di ruang kerja milik Mas Khalid. Aku mebuka laci tempat disimpannnya berkas-berkas laporan yang sudah di print. Memeriksa secara detail tentang stok barang dan juga penjualan selama beberapa bulan kebelakang. Kuakui, memang kerjanya bagus. Dia bisa dengan cepat belajar. Tapi sayangnya hatinya busuk.

Iseng-iseng aku juga membuka komputer Mas Khalid. Mengecek situs penjualan kami secara online. Mataku tertumbuk pada gambar satu set perhiasan yang dijual. Dimana modelnya adalah Frisca sendiri. Aku mencari data dari perhiasan yang dipakainya. Harganya lumayan karena limited edition, hampir setengah milyar. Produk belum terjual, tapi stok sudah dinyatakan kosong. Apa-apaan ini?

“Widya? Ngapain kamu ngotak-ngatik komputerku?” tiba-tiba saja Mas Khalid sudah masuk ke dalam ruangan ini.

“Ini kan juga kantorku, Mas? emang apa salahnya aku mengecek stok barang dan juga laporan penjualan kita? Toh memang aku juga dulu selalu melakukan ini.”

“Biar Mas saja yang urus semuanya. Kamu kenapa bandel, sih? Kamu, tuh, ya, tinggal enak-enakan aja di rumah, masih aja gak mau nurut!”

“Mas, aku lihat ada satu set perhiasan yang janggal. Di sistem produk belum terjual, tapi kenapa stok nya sudah kosong? Kemana perginya?” Aku memutar monitor agar menghadap pada Mas Khalid.

“I-itu, itu sudah Mas berikan pada Frisca sebagai mas kawin!”

“Hah? Apa?”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Siti Aminah
bagus critanya trus widya jangan mau klah sm pelakor suami kya gtu ga tau diri rebut smua aset
goodnovel comment avatar
Hari Yanto
bagus dan menarik ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status