Share

Bab 3

Part 3

“Iya, untuk Mas kawin. Kenapa, sih? Biasa aja, lah! Toh perhiasan koleksimu sendiri juga lebih dari itu, Wid! Sebaiknya sekarang kamu pulang. Temani Frisca, dan jalin komunikasi yang baik dengannya. Akur-akurlah kalian berdua. Jangan bikin Mas jadi pusing, oke?”

“Mas, kalian menikah saja aku gak tau! Sekarang tiba-tiba bawa pulang dia sebagai istri. Mas ini lucu, Mas tau bagaimana hancurnya hatiku ini, Mas?”

“Wid, sudahlah! Menerima akan membuat perasaanmu jauh lebih baik. Aku yakin kamu akan terbiasa nantinya. Ingat, Wid, anak dalam kandungan Frisca itu adalah harapan terbesarku. Harta kita yang sebanyak ini nantinya harus ada yang mewarisi.”

“Anak hasil zina tidak berhak dapat warisan!”

Plakk!

Akhirnya Mas Khalid melakukan hal terhina itu, menampar pipi wanita yang sudah mendampinginya selama hampir sepuluh tahun hanya karena membela seorang wanita perusak rumah tangga orang.

“Puas kamu, Mas? apa kamu pikir dengan perbuatanmu ini aku akan melunak?”

“Ya ampun, Widya. Maafkan, Mas! Mas khilaf!” Cepat-cepat ia mendekap tubuhku sambil menangis. Air mata buaya!

“Baru kali ini kamu berani menyakitiku, Mas. demi apa, Mas? demi orang yang sudah menusukku dari belakang! Tega sekali kamu, Mas!”

“Widya, Mas gak bermaksud menamparmu. Mas khilaf! Kamu memancing emosiku, Widya!”

“Lepaskan! Aku akan membalas semua perbuatanmu padaku, Mas! ingat, siapa yang selama ini selalu mendukungmu dalam kesusahan hidup, sekarang setelah kamu punya banyak uang, kamu lupa, Mas!”

“Widya … Widya ….” Tak kuhiraukan lagi panggilannya. Aku meraih handel pintu dan bergegas pergi keluar. Baru sampai di dalam mobilku, aku masih berusaha mengatur nafas untuk meredakan emosi. Rasa sakit di dalam batin masih tak sebanding dengan perihnya tamparan Mas Khalid tadi. Baik, Mas, ini yang kamu mau! Perang akan dimulai. Aku akan ambil kembali semuanya darimu!

Ponsel dalam tasku berdering. Aku masih bersandar sambil berpegangan pada setir. Kulihat Mas Khalid mengintai dari balik jendela ruang kerjanya yang tepat menghadap parkiran. Kulihat sikapnya seperti orang kalut. Aku merogoh tas, dan menemukan benda pipih itu. Terlihat nama Mikha di layar. Adik perempuan Mas Khalid.

“Halo … Asslamu’alaikum ….”

“Mbak, Wid! Mbak keterlaluan!” cecar Mikha dari seberang sana.

“Ada apa, Kha? Kenapa tiba-tiba bicara begitu?”

“Mbak, Ibu sakit. Sudah dua bulan ini Ibu ingin bertemu Mas Khalid, tapi selalu kamu halangi. Bahkan jatah bulanan Ibu juga tak lagi dikirimkan. Tega kamu, Mbak?”

“Apa? Ibu sakit? Mas Khalid ndak pernah bilang, Dek! Coba sebaiknya kita ngobrol berdua, dari hati ke hati. Mbak masih gak ngerti dengan apa yang kamu katakan.”

“Baik, aku tunggu sekarang juga di rumah Ibu.”

“Baik, Mbak kesana sekarang!”

Ya Tuhan, masalah apa lagi ini? Mikha tak pernah bicara kasar padaku. Mengapa tiba-tiba jadi begini? Ini pasti ada hubungannya dengan kehadiran Frisca dalam kehidupan Mas Khalid.

Aku langsung meluncur menuju rumah ibu mertuaku. Ibu Mas Khalid tinggal sendirian. Mikha dan suaminya tinggal tak jauh dari rumah Ibu. Kami sesekali datang menjenguknya, atau Ibu yang datang ke rumah kami. Tapi belakangan memang aku belum diajak lagi untuk mengunjungi Ibu. Pasti Mas Khalid lebih sibuk dengan si Frisca, sehingga melupakan Ibu.

Satu jam perjalanan, akhirnya aku sampai di halaman rumah Ibu mertuaku. Mikha dengan tak sabar langsung menarik tanganku ke kemar Ibu. Kulihat Ibu tengah berbaring dengan selimut tebal menutupi tubuhnya.

“Assalamu’alaikum, Bu ….” Kucium tangan Ibu dengan khidmat.

“Wa’alaikum salam. Kenapa kamu sendirian, Nak? Mana Khalid?”

“Mas Khalid di kantornya, Bu. Maafkan Widya, Widya lalai menjenguk Ibu.”

“Belakangan perasaan Ibu gak enak, kepikiran kalian berdua,” ujarnya dengan suara yang parau. Perasaan seorang Ibu tak bisa dibohongi. Mungkin Ibu merasakan ada yang tidak beres dalam rumah tangga kami. Ya Allah, jangan sampai Ibu tahu.

“Ayo kita ke rumah sakit, Bu!” ajakku, aku khawatir sekali karena terlihat wajah Ibu sangat pucat.

“Enggak, Nak. Ibu cuman kangen sama kalian berdua. Kalian baik-baik aja, kan?”

Ya Allah, wanita baik ini, bagaimana mungkin bisa melahirkan seorang lelaki pecundang seperti Mas Khalid? Jika kuberitahu semuanya, aku takut penyakit Ibu semakin parah.

“Baik, Bu. Maaf, mungkin Mas Khalid terlalu sibuk sampai lupa mengirimkan uang untuk Ibu.”

“Ibu gak terlalu peduli sama uang kiriman kalian, Nak! Yang Ibu mau, kalian berdua jenguk Ibu.”

“Iya, Bu. Maafkan Widya, ya! Widya janji akan sering-sering jenguk Ibu.” Ibu mengangguk, aku memintanya untuk beristirahat saja, lalu keluar dengan Mikha.

“Dek, Mbak mau bicara.”

“Iya, Mbak!” Kulihat wajah Mikha masih kaku. Kami berjalan ke halaman belakang rumah Ibu untuk mengobrol.

“Mikha, kamu tahu sesuatu tentang Mas Khalid?” tanyaku memulai pembicaraan serius.

“Emang Mas Khalid kenapa, Mbak?”

“Jadi kamu belum tahu?”

“Tahu soal apa, Mbak? Katakan saja, jangan membuatku bingung seperti ini!”

“Dua bulan lalu Mas Khalid menikah lagi dengan Frisca. Dia sudah hamil besar sekarang.”

“Astaghfirullah … Mbak, yang bener?”

“Iya. Soal uang untuk Ibu, Mbak sama sekali ndak tahu kalau belum dikirim. Biasanya Mas Khalid gak pernah telat, kan?”

“Ini, Mbak! Ini pesan dari Mas Khalid waktu Mikha minta ia untuk menjenguk Ibu dan mengingatkan soal uang bulanan.” Mikha menyodorkan ponselnya padaku. Mataku membaca baris demi baris balasan pesan di ponselnya itu.

“Mikha, ini bukan bahasa pesan Mas Khalid. Ini pasti Frisca yang mengirimnya. Tega sekali dia memfitnahku, seolah aku yang tak mengizinkan Mas Khalid mengirim uang untuk Ibu. Pakai alasan bisnis sedang menurun. Kurang ajar sekali dia,” geramku.

“Jadi, ini kerjaan Frisca?” tanyanya. Mikha juga kenal pada Frisca meski ia tak tahu latar belakang wanita itu. Aku menjaga baik-baik harga diri Frisca, menutup aibnya bahkan pada keluarga kami sendiri. Tapi nyatanya dia membalasku dengan sangat keji.

“Mas Khalid sudah menduakan Mbak, Kha. Diam-diam mereka menikah tanpa persetujuan Mbak. Mbak mohon, jangan sampai Ibu tahu semua ini. Mbak khawatir kesehatan Ibu akan terganggu. Cukup kamu saja yang tahu.”

“Mbak, maafkan aku. Aku sudah berburuk sangka. Aku awalnya juga tak percaya kalau Mbak akan setega itu. Aku sendiri tak bisa menanggung Ibu sepenuhnya. Biaya pendidikan hukum Mas Kamil di luar negeri juga sangat mahal. Aku harus pandai-pandai mengatur keuangan kami sampai nanti Mas Kamil selesai kuliah dan bekerja.”

“Mbak ngerti, kalian berdua juga sedang berjuang. Ini ATM cadangan Mbak, kamu pegang saja untuk kebutuhanmu dan juga Ibu.”

“Mbak, Mbak gak akan cerai dengan Mas Khalid, kan?”

“Hmm … kalau itu Mbak lakukan, artinya Mbak menyerahkan Mas Khalid dan juga harta kami pada orang yang salah. Kamu bantu Mbak, ya! Mbak harus dapatkan kembali semua yang menjadi milik Mbak.”

“Iya, Mbak. Mas Khalid keterlaluan sekali. Gara-gara wanita itu, tega menelantarkan Ibu dan juga menyakiti hati Mbak Widya.”

“Kamu bantu Mbak, Mbak ada rencana yang sedang Mbak susun. Kita jangan sampai ketahuan. Pokoknya Mbak akan rebut kembali semuanya. Tapi Mbak juga tak mau menyakiti Frisca secara fisik. Biar bagaimanapun dia itu perempuan yang sedang mengandung.”

“Mbak, seandainya aku jadi Mbak, udah aku usir si Frisca dari dulu.”

“Permainannya sangat halus. Dia membantu penjualan toko, omset penjualan memang melonjak drastis semanjak ia Mbak pekerjakan di kantor. Dia punya kenalan banyak bos-bos kaya. Pastinya ia juga punya sejuta cara untuk merayu calon konsumen, karena memang itu keahliannya.”

“Mas Khalid kenapa bisa sebodoh itu? Aku geram, Mbak. Rasanya aku tak percaya Masku itu bisa melakukan hal ini. Menikah lagi dengan perempuan lain, ya ampun ….”

“Bukan cuman kamu yang berpikir demikian. Rasanya hati Mbak ini hancur saat tahu semua ini. Mbak hanya belum mampu memberinya anak, itulah alasannya mendua.”

“Mbak, mereka hanya menikah siri, kan?” Aku mengangguk.

“Kalau menikah resmi, mereka harus minta surat persetujuan dari Mbak sebagai istri pertama. Tapi mereka tak melakukannya.”

“Mbak, kekuatan hukum pernikahan mereka gak kuat. Lagian, Mbak, apa Mbak yakin kalau itu anaknya Mas Khalid?”

Deg! Seketika jantungku seperti tersadar.

“Kenapa kamu berpikir begitu? Mbak malah gak kepikiran kesitu, Dek!”

“Mbak, sebaiknya kita selidiki. Aku juga akan berkonsultasi dengan suamiku, dia mengerti soal hukum-hukum. Jangan sampai Frisca mengambil harta kalian dan membuat rumah tangga kalian hancur.”

“Kamu benar. Satu hal yang kamu belum pernah tahu, Dek. Frisca itu dulunya wanita penjual diri.”

“Hah? Apa? Friska itu pela ….”

“Sudah, jangan dilanjutkan. Mbak juga salah, terlalu iba pada wajahnya yang memelas memohon pertolongan waktu itu.”

“Ya ampun, Mbak! Mas Khalid benar-benar bodoh! Apa kurangnya Mbak Widya? Mbak jauh lebih ayu daripada Frisca. Apa matanya sudah buta?”

“Bukan matanya, tapi hatinya. Rahasia ini Mbak simpan rapat-rapat karena Mbak tak mau orang lain tahu latar belakang seorang Frisca. Tap Mbak terpaksa beritahu kamu, Mbak butuh bantuanmu.”

“Oke, Mbak. Aku siap kapanpun Mbak butuh bantuan. Kita harus selidiki siapa sebenarnya si Frisca itu. Aku gak rela dia jadi benalu dalam rumah tangga kalian.”

“Terima kasih, ya, Dek. Mbak titip Ibu. Kalau butuh apa-apa, langsung hubungi Mbak saja. Jangan lagi minta pada Mas Khalid. Sekarang ponsel pribadinya pasti dikuasai Frisca. Mas Khalid cuma bawa ponsel khusus urusan bisnis saja.”

“Baik, Mbak.”

Aku pun kembali ke kamar Ibu untuk pamit. Kukatakan padanya agar tak perlu mengkhawatirkan kami. Kami berdua baik-baik saja, dan urusan bisnis juga masih lancar. Ibu tersenyum dan mencium pipiku penuh rasa sayang.

Setidaknya aku masih punya kekuatan tambahan untuk membalas semua yang telah dilakukan oleh Frisca. Tunggu saja waktunya. Saat ini aku tak akan menyentuhnya karena ada janin di dalam rahimnya.

***

Sampai kembali di rumah, kutemukan Frisca sedang menggendong seekor kucing berwarna abu-abu. Entah sejak kapan ia membawa serta hewan peliharaannya itu. Ia mengenakan dres selutut tanpa lengan. Perutnya membuncit dengan jelas. Kuperkirakan usia kandungannya sekitar enam bulan.

“Mbak, dari mana, sih?”

“Apa perlunya kamu tahu?” ujarku sambil berlalu dari hadapannya.

“Makanan kucing aku habis, apa Mas Khalid gak nelpon Mbak suruh belikan?”

“Enggak!” jawabku ketus.

“Kalau suami nelpon itu diangkat, Mbak!”

“Aku tadi lagi nyetir, gak dengar kalau Mas Khalid nelpon. Hape aku di dalam tas, di jok belakang!”

“Jadi gimana, dong? Masak kucing aku ini harus kelaparan?”

“Ya kamu pesan online aja, lah! Gitu aja kok repot!”

“Makanan kucing aku ini khusus, Mbak! Cuma di jual di toko. Gak dijual online!”

“Ya udah, pergi aja sendiri!” ketusku sambil melepas sepatu, dan meletakkannya di rak.

“Aku kan hamil, sama Mas Khalid gak boleh keluar rumah! Aku ini istri yang patuh, Mbak! Gak kayak kamu!”

“Emangnya aku kenapa?” tantangku sambil menatap matanya dan berjalan mendekatinya.

“Ya, kamu suka bantah suami!” ujarnya tanpa rasa takut.

“Bantah suami? Siapa yang bilang?”

“Mas Khalid!”

“Oh, jadi Mas Khalid bilang begitu padamu? Bagus sekali!” ujarku sambil bertepuk tangan.

“Iya, makanya Mas Khalid berpaling padaku, karena aku ini jauh lebih lembut daripada kamu, Mbak!”

“Oh, ya? Tau apa kamu tentang sifat saya? Berapa lama kita kenal?” ujarku lagi sambil berjalan semakin memepet tubuhnya. Frisca terlihat mulai ketakutan.

“Kamu mau ngapain, Mbak! Jangan macam-macam, ya! Aku aduin sama Mas Khalid nanti kamu!”

“Aduin aja!” ujarku sambil merampas kucing dalam gendongannya, lalu kubawa berjalan ke arah dapur.

“Mbak, mau kamu apain kucing aku?” teriaknya sambil mengekor di belakangku.

“Kucingmu lapar, kan?” tanyaku sambil berbalik. Sontak Frisca pun berhenti dengan wajah kebingungan.

“I-iya.”

Aku melanjutkan langkah kakiku ke dapur, meminta izin pada Mbok Jum.

“Mbok, goreng ikan asin hari ini?” tanyaku pada Mbok Jum yang sedang memasak makan siang. Mbok Jum punya makanan kesukaan yaitu ikan asin.

“Iya, Nyah!”

“Mbook, jangan panggil Nyah lagi! Mbok ini selalu saja lupa.”

“Abisnya Mbak Wid mirip sekali dengan Almarhumah Ibu.”

“Sudah, panggil Wid saja!”

“Kalau di depan Bapak, Mbok gak berani panggil nama, Mbak.”

“Ya sudah, Mbak saja.”

“Baik.”

“Mana ikan asinnya, Mbok?”

“Ini, Mbak.” Mbok Jum menyerahkan sepiring kecil ikan asin goreng.

“Pegangin kucingnya, Mbok!”

“Mbok takut dicakar, Mbak.”

“Enggak.”

Dengan takut-takut Mbok Jum menerima kucing milik Frisca. Aku mengambil nasi dan melumatkan ikan asin itu dengan nasi.

“Mbak, mau kamu kasih makan apa si Gerry?” Frisca yang sejak tadi mengamati langsung panik saat tahu nasi ikan asin itu untuk kucingnya.

“Ikan asin!” jawabku santai.

Piring berisi nasi ikan asin aku letakkan di bawah, lalu Gerry aku ambil dari tangan Mbok Jum.

“Nih, Gerry! Mulai sekarang kamu makan ikan asin saja.”

“Mbak, jangan! Kucingku gak biasa makan ikan asin!”

“Halah!” jawabku santai. Kulihat Gerry mengendus makanan dalam piring, lalu tanpa terduga langsung memakannya dengan lahap. Entah karena lapar atau memang aslinya dia doyan.

“Gerry … jangan!” Frisca berlari hendak mengambil Gerry. Namun langkah kakinya aku cegah dengan kakiku.

“Eeh, gak usah berisik. Kamu mau kucingmu mati kelaparan karena tuannya malas membelikan makanan?”

“Mbak, entar kalau Gerry mati gara-gara makan ikan asin gimana?”

“Hilih! Kamu gak usah sok manjain kucing itu. Buktinya dia makan dengan lahap!”

“Aduh, Gerry! Jangan dimakan, sayang! Nanti kamu sakit perut!”

“Ya elah, lebay amat kamu, Fris! Kamu tau, gak? Kucing itu sama kayak Mas Khalid. Udah bosen kali dia makan makanan bermerek dan mahal, diam-diam dia juga doyan ikan asin!”

“Maksud kamu apa, Mbak?”

“Kamu ikan asinnya!” ujarku sambil menunjuk jidatnya yang glowing akibat skincare dan perawatan mahal.

Aku meninggalkannya di dapur bersama kucingnya yang kekenyangan, kulihat Mbok Jum mengulum senyum sambil diam-diam mengacungkan jempolnya padaku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
mantan PEL*CUR gayanya kayak orang gedongan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status