Share

Bab 5

Part 5

Selanjutnya aku langsung mengatur rencana untuk malam nanti. Semuanya sudah aku jabarkan pada Mikha melalui pesan di aplikasi hijau. Mikha sudah mengerti apa yang harus ia lakukan jika nanti malam aku memberinya kode, maka ia harus meneleponku.

Selesai sholat isya, Mas Khalid dan juga Frisca belum juga kembali ke rumah. Entah kemana mereka. Jam sepuluh malam barulah kulihat sorot cahaya lampu mobil Mas Khalid memasuki halaman. Aku langsung mengirim chat pada Mikha.

“Mas Khalid sudah pulang. Standby!”

“Oke, Mbak!” balasnya tak lama kemudian.

Kulihat Frisca bergelayut manja di lengan Mas Khalid sambil menenteng begitu banyak belanjaan. Ooh, ternyata mereka habis pulang dari shopping. Bukan main, royal sekali Mas Khalid pada istri barunya itu.

“Baru pulang, Mas?” tanyaku.

“Iya, abis nemenin Frisca belanja kebutuhan bayi. Fris, kamu masuk ke kamar! Mas mau mandi!” perintahnya. Frisca mengibaskan rambut sengaja bertindak yang membuatku kesal. Kau belum tahu aja kalau kau sudah kehilangan benda berharga. Cih!

Aku mengikutinya masuk ke dalam kamar. Menunggu Frisca sadar kalau perhiasannya menghilang. Hahaha. Benar saja, tak menunggu lama, Frisca menerobos masuk ke dalam kamarku.

“Mas! perhiasan aku hilang! Ini pasti perbuatan Mbak Widya!” ujarnya dengan nafas tersengal menahan emosi.

“Eh, yang sopan, dong, kamu! Masuk kamar pribadiku gak minta izin!”

"Diam kamu, Mbak!"

“Perhiasan yang mana yang hilang? Kamu salah taroh kali!” ujar Mas Khalid sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.

“Yang satu set itu, Mas! yang kamu berikan sebagai hadiah waktu kamu menyatakan cinta padaku!”

“What?” Aku bertanya sambil menahan tawa, sengaja menunggu reaksi Mas Khalid. Menyatakan cinta saja pakai ngasih perhiasan? Dasar buaya ketemu bangkai kalian berdua, sama-sama menyebalkan!

Mas Khalid terlihat salah tingkah, aku hanya tersenyum sinis sambil masih tetap berusaha bersikap santai. Diam-diam jariku menekan tombol call, lalu memutuskannya kembali. Mikha sudah tahu apa yang harus dilakukannya.

“Gimana, dong, Mas? itu perhiasanku yang paling mahal! Mbak, kamu ngaku aja, deh! Kamu yang ambil, kan? ngaku!” desaknya tak sabar.

“Tunggu, tunggu! Frisca, kamu tenang dulu. Cerita pelan-pelan. Kenapa bisa kamu kehilangan perhiasan? Emang kamu letakkan dimana?” ujar Mas Khalid. Aku hanya tersenyum sinis melihat Frisca panik. Rasakan!

“Di lemari aksesoris aku, Mas! tadi sebelum pergi ketemu temen-temen aku, aku lupa ngunci pintu kamar!”

“Ketemu temen-temen kamu? Tadi kamu bilang kamu ke dokter periksa kandungan!” ujar Mas Khalid. Hahaha, dasar pembohong tak profesional kamu, Fris! Frisca sontak menutup mulutnya. Belum sempat ia bicara, ponselku berdering. Nomor Ibu mertuaku yang muncul. Langsung saja aku terima.

“Assalamu’alaikum, Bu.”

“Wa’alaikum salam, Wid! Ibu mau bicara pada Khalid, dia sama kamu, kan? Tiba-tiba perasaan Ibu gak enak.”

“Ada, Bu. Mas, ini Ibu mau bicara!” ujarku sambil memberikan ponselku pada Mas Khalid. Mas Khalid terlihat panik, ia memberi kode pada Frisca supaya diam. Frisca langsung keluar kamar sambil berjalan menghentak-hentak.

“Assalamu’alaikum, Bu! Iya, Bu. Khalid sama Widya sehat, kami baik-baik aja. Iya maaf Khalid sibuk benget akhir-akhir ini.” Mas Khalid bicara sambil mengusap-usap lehernya. Pasti dia ketakutan setengah mati kalau sampai Ibu tahu semua ini.

“Iya, nanti kalau sudah gak sibuk Khalid jenguk Ibu, ya! Ibu perlu uang berapa?”

'Dia pikir uang bisa menyelesaikan semua masalahnya,' batinku. 

“Mikha, kamu jagain Ibu, ya!” ujarnya lagi, Mikha sudah mengambil alih pembicaraan, pikirku.

“Oke, gak usah khawatir kalau soal uang. Kamu minta saja sama Mas atau Mbak Widya. Nanti hape Mas yang untuk kirim uang, biar Mbak Widya yang pegang.” Hmm, bagus. Ponselnya harus aku yang kuasai karena disana juga ada akses untuk mengirim uang. Jangan sampai Frisca yang menghabiskan isi rekening Mas Khalid.

“Ya sudah, iya iya, Mas janji besok akan jenguk Ibu.”

Akhirnya pembicaraan usai. Mikha sudah melakukan tugasnya dengan baik.

“Wid, kamu beneran gak ngadu apa-apa sama Ibu, kan?” Mas Khalid bertanya khawatir. Mas Khalid memang sangat patuh pada ibunya. Ini bisa jadi kelemahannya. Aku akan memanfaatkan ini untuk mencegah mereka berdua bertindak sewenang-wenang padaku.

“Enggak, aku merasa belum waktunya!” jawabku sambil memainkan kuku.

“Tolong, Wid! Kamu jangan kasih tahu Ibu. Mas takut Ibu jatuh sakit. Ibu itu sudah tua, dan sering kambuh penyakitnya.”

“Kenapa harus aku yang bersandiwara? Kan Mas sendiri yang sudah bikin alur ceritanya!”

“Please, Wid! Mas gak mau Ibu sakit kalau kamu ceritakan semuanya. Ibu gak akan mungkin bisa terima kenyataan ini.”

“Ya tergantung. Mas, aku ini istri sah. Aku kamu paksa terima si Frisca, oke! Tapi kalau dia mau merebut semua harta kita, aku tak akan tinggal diam! Kamu lihat, kamu jauh lebih royal pada Frisca. Nyatanya perhiasan mahal itu hanya untuk tanda cinta, kan? Bukan mas kawin! Kamu itu harusnya sadar, Mas! sekali berbohong, maka kamu akan terus menutupinya dengan banyak kebohongan lain! Mau sampai kapan?”

“Aaarrghh … kenapa semuanya jadi rumit begini, sih? Mas cuma ingin punya keturunan, Wid! Tolong kamu ngerti!”

“Itu bukan alasan, Mas! kalau memang kamu ingin kita punya keturunan, aku sudah pernah mengajakmu untuk program bayi tabung. Tapi kamu selalu punya alasan untuk menolak. Atau kalau memang aku harus dipoligami, harusnya kamu minta izin padaku. Aku mungkin bisa pertimbangkan, bahkan memilihkan wanita yang jauh lebih terhormat untukmu. Kamu itu terlalu mengikuti hawa nafsu!”

“Kenapa kamu gak bilang dari dulu?”

“Lho, bukannya Mas sendiri yang selalu bilang akan sabar menunggu hadirnya bayi dari rahimku secara alami? Kenapa malah selingkuh di belakangku, Mas? siapa sebenarnya yang salah? Aku?”

“Sudah, sudah! Semua sudah terlanjur terjadi! Aku ngaku, aku salah. Tapi aku harus tanggung jawab.” Mas Khalid melempar handuk ke atas kasur.

“Untung saja si Frisca hamil. Kalau tidak pastinya sekarang kalian masih berhubungan dalam ikatan yang haram. Bersyukurlah, Mas! Allah masih baik sama kamu. Dia dibikin hamil supaya kalian menikah dan tidak terus-terusan berbuat dosa! Sebaiknya selesaikan urusanmu dengan Frisca! Dasar sama-sama pembohong! Ngakunya ke dokter, ternyata pergi sama teman-temannya!” dengusku sambil menyambar handuk dan membawanya ke dalam kamar mandi.

Mas Khalid baru tersadar, ia harus menemui Frisca. Dasar lelaki egois. Dulu dia selalu bilang paling tidak suka dibohongi, tapi nyatanya dia sendiri jadi pembohong. Diam-diam aku membuntutinya, mendengarkan pembicaraan mereka di dalam kamar itu.

“Frisca! Kamu tadi sebelum nyamperin aku kemana dulu? Jawab jujur!”

“Mm … aku ketemu temen-temen aku dulu, baru ke dokter.”

“Kenapa kamu gak jujur? Ngapain ketemu temen? Kan aku udah gak izinin kamu ketemu temen-temen kamu itu lagi!” bentak Mas Khalid. Hahaha, bisa juga rupanya dia marah pada Frisca.

“Ya maaf, Mas! aku cuma ketemuan bentaran doang, kok. Terus aku ke dokter. Bener, serius!”

“Mana buktinya kamu abis dari dokter? Apa jenis kelamin anak kita?”

“A-anu, Mas. Aku lupa tanya!”

“Apa? kamu pasti bohong! Kamu bilang mau USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kita, mana mungkin bisa lupa!”

“Tapi, Mas. Aku beneran lupa.” Frisca bicara memelas. Akting lagi kamu, Fris?

“Aaarghh … pasti kamu bohong!”

“I-iya, Mas. Aku ngaku aku salah, aku minta maaf, abisnya aku gabut. Mbak Wid ….”

“Aku kenapa?” ujarku sambil mendorong pintu kamar itu. Sengaja menatap Frisca dengan sorot mata mengancam. Frisca urung melanjutkan kata-katanya. Pastinya dia mash ingat fotonya sedang merokok masih aku simpan.

“Kamu ngapain, Wid?” tanya Mas Khalid.

“Mau ambil hape kamu, Mas!”

“Oh, iya! Fris, mana hape Mas yang putih?”

“Bentar!” Frisca merengut sambil berjalan menuju meja rias. Ia mengambil ponsel Mas Khalid dari dalam laci meja riasnya.

“Nih!” ujarnya seraya menyodorkan ponsel itu pada Mas Khalid. Mas Khalid langsung memberikannya padaku.

“Oke, makasih! Aku balik ke kamar dulu. Silahkan dilanjut!” ujarku sambil tersenyum penuh arti. Aku menutup pintu kamar, namun masih tetap menguping.

“Mas, perhiasan aku gimana? kamu ganti, ya! Dua kali lipat!” ujarnya dengan nada suara seperti biasanya, merengek manja. Geli aku mendengarnya.

“Aaarggh … kamu udah bikin aku kecewa. Malam ini aku mau tidur di kamar Widya!” ketus Mas Khalid, membuat aku yang mendengarnya jadi terkikik.

“Mas … tapi aku mau ditemenin kamu! Aku ikut, Mas! Aku mau cari perhiasan aku di kamar Mbak Widya!”

"Jangan ngawur kamu! Mana mungkin Widya yang mengambilnya!"

Aku cepat-cepat pergi ke kamarku sendiri saat kudengar langkah Mas Khalid, masuk ke dalam kamar dan langsung tarik selimut. Mas Khalid masuk, dia langsung merebahkan diri juga. Tak menunggu lama, dengkurannya sudah terdengar. Selalu begitu jika dia sedang kesal, tidur mendengkur sambil menutup wajahnya dengan bantal.

Makanya, kalau kamu gak suka dibohongi, jangan berbohong, Mas! sekarang tahu rasa kamu! Sakit hatimu dibohongi perempuan itu, kan? Aku, Mas! aku yang selalu jujur ini kurang apa?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
semoga ketahuan bukan anaknya Khalid
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
pengen ku pelintir tuh kepala si Khalid
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status