Share

Bab 6

Part 6

“Mas, bangun!” ujarku subuh itu, sambil mengguncang tubuh Mas Khalid.

“Ah! Apa, sih, Wid?” ujarnya sambil menggeliat malas.

“Bangun! Sholat subuh!”

“Duuh, kamu ganggu aja, sih? Masih ngantuk tau? Semalam gak bisa tidur!”

“Gak bisa tidur? Ngorok sampai saat ini itu apa namanya gak bisa tidur? Kamu lupa kewajibanmu, Mas? sholat, Mas!”

“Kamu duluan aja, deh!”

“Mas! kamu bener-bener berubah total sekarang! Bahkan sholat pun kamu sengaja lalai!”

“Udahlah, kamu kalau mau sholat, sholat aja sendiri! Gak usah maksa-maksa!”

“Bener-bener kamu, Mas! belum dapat azab aja kamu!” ujarku kesal. Aku sudah sengaja membangunkannya setelah aku selesai sholat, nyatanya masih saja malas.

Aku bergegas ke dapur menemui Mbok Jum. Sarapan sedang dimasak.

“Mbok masak apa?”

“Sop buntut, Mbak!”

“Hmm … wangi banget, Mbok!”

“Iya, dong! Siapa dulu yang masak.”

“Masakan Mbok ini legendaris. Udah aku rasakan dari dulu banget. Jadi udah pas di lidah.”

“Mbok! Bikinin aku susu!” perintah Frisca yang tiba-tiba masuk ke dapur.

“Baik, Mbak!”

“Panggil saya Nyonya!” ujarnya sambil menarik kursi dan duduk. Rambutnya acak-acakan, matanya masih terlihat sembab. Dasar gak ada adab! Nyuruh orang tua seenaknya sendiri.

“Baik, Nyonya!” sahut Mbok Jum sambil berlagak mau muntah. Aku tersenyum simpul. Mas Khalid rupanya juga sudah terjaga. Langsung duduk di meja dan menyeruput kopi yang sudah disiapkan Mbok Jum.

“Mas! aku gak bisa tidur semalam!” rengek Frisca lagi. Sengaja ingin membuatku iri.

“Kenapa?’ tanya Mas Khalid dengan nada datar.

“Perhiasan aku, Mas! perhiasan yang hilang itu, aku kepikiran terus!”

“Gak mungkin hilang! Kamu salah tarok kali!”

“Iya, Mas! hilang!”

“Kamu tau dimana perhiasan Frisca, Wid?” tanya Mas Khalid sambil menoleh ke arahku.

“Dih! Kok malah tanya sama aku? Perhiasan mahal, kok, bisa sembarangan nyimpan?” balasku.

“Mas, aku yakin Mbak Widya yang ambil!”

“Mana buktinya?” ujarku santai.

“Sudah, sudah! Masih pagi kalian sudah bikin Mas pusing!”

“Mas, ingat kamu janji mau jenguk Ibu!” ujarku mengingatkan.

“Iya, nanti Mas jenguk Ibu kalau sudah gak sibuk!”

“Mas, aku pengen liburan! Aku suntuk. Aku pikir pindah ke rumah ini aku bisa nyaman, tau-taunya malah kayak di neraka!”

“Ngomong apa, sih, kamu, Fris? Dulu kamu maksa ingin pindah ke rumah ini. Sekarang malah bilang begitu?” ucap Mas Khalid. Alisnya yang tebal berkerut.

“Ayo lah, Mas! kita pergi babymoon. Liburan ke luar negeri. Kita berdua saja!”

“Ya elah, norak!” ucapku sambil menyeruput teh hangat.

“Entar, ya, kerjaan masih banyak. Mas gak punya waktu kalau sekarang.”

“Keburu lahir, Mas!” sahut Frisca kesal.

“Iya, iya! Kamu sabar, lah! Kamu gak apa-apa, kan, Wid? Kalau kami pergi liburan?” tanya Mas Khalid.

“Gak apa-apa! pergi lah!”

“Jangan iri, ya, kamu, Mbak! Aku mau ke Paris, Mas! belanja, jalan-jalan, makan-makan.”

“Jiaah … awas aja lahiran dalam pesawat!” ejekku lagi.

“Kamu pasti sirik, ya, kan, Mbak?”

“Gak! Kalau aku mau aku juga bisa pergi keliling dunia. Pakai uang hasil kerja kerasku sendiri. Bukan hasil morotin!”

“Widya! Sudah, cukup!” bentak Mas Khalid.

“Mbak Wid, Pak Khalid, barusan Simbok terima telepon dari kanjeng Ibunya Pak Khalid. Beliau sedang di jalan dengan Mbak Mikha, mau ke sini.” Mbok Jum bicara sambil sedikit membungkuk. Padahal aku sudah melarangnya bersikap begitu.

“Hah? Apa? Ibu mau ke sini?’ ujar Mas Khalid panik.

“Iya, betul!” sahut Mbok Jum lagi.

“Sudah di jalan?” ujar Mas Khalid lagi. Mbok Jum mengangguk.

“Frisca, kamu lekas keluar dulu dari rumah ini. Minta supir antar kamu kemana aja terserah!” Mas Khalid terlihat sangat panik. Mas Khalid menarik tangan Frisca dan langsung membawanya ke garasi. Memasukkan Frisca ke dalam mobil. Mas Khalid memanggil supir, dan menyuruhnya membawa Frisca pergi.

Aku dan Mbok Jum jadi terkikik melihat mereka berdua ketakutan.

“Mbak, sebenarnya tadi malam itu Mbak Frisca keluar rumah, dan pulang jam dua malam,” bisik Mbok Jum.

“Yang bener, Mbok?”

“Iya, Mbak, bener. Simbok tahu karena Simbok kebangun mau tahajud.”

“Astaghfirullah, bener-bener, tuh, perempuan.”

“Dia masuk rumah sempoyongan, Mbak!”

“Mabuk?”

“Kayaknya iya, Mbak!”

“Ckckck … keterlaluan. Tapi bisa juga dia bangun pagi, ya?” ujarku sambil geleng-geleng kepala.

“Barangkali takut ketahuan sama Bapak, makanya dia pura-pura bangun pagi.” Aku pun mengangguk-angguk mendengar asumsi Mbok Jum.

Sebaiknya aku ulur waktunya membuang Frisca dar rumah ini. Aku ingin dia mendapatkan balasan yang jauh lebih sakit. Pelan, namun menyakitkan.

Setengah jam kemudian, akhirnya Mikha dan Ibu sampai. Kami berpelukan seperti biasa. Ibu juga memeluk Mas Khalid.

“Khalid, kamu baik-baik aja, kan? Ibu selalu punya perasaan gak enak belakangan ini,” ucap Ibu. Mas Khalid melirik ke arahku. Aku hanya tersenyum sinis.

“Aku baik, Bu. Ibu jangan terlalu khawatir,” jawab Mas Khalid.

“Mas, Mbak. Aku kan sama Mama mertuaku mau jenguk Mas Kamil di Aussie. Makanya aku mau minta tolong, titip Ibu di sini. Gak lama, kok, cuma dua minggu. Mas Kamil mau wisuda. Akhirnya selesai juga studynya, dan bisa segera balik ke Indonesia.”

“A-apa? dua minggu?” jawab Mas Khalid terbata-bata.

“Kenapa, Mas?” tanya Mikha sok polos.

“Kamu keberatan Ibu tinggal di sini, Lid?” tanya Ibu.

“Bu-bukan begitu, Bu. Mana mungkin Khalid keberatan. Tentu saja boleh. Boleh banget.” Mas Khalid berlagak yakin.

“Alhamdulillah, adik ipar kamu kuliah hukumnya sudah selesai. Jadi Mikha mau nyusul.”

“I-iya, Bu. Ibu di sini aja selama Mikha pergi. kalau di rumah sendirian nanti susah kalau Ibu butuh apa-apa.” Mas Khalid lagi-lagi terlihat menutupi kegugupannya.

“Ibu nanti di kamar yang biasa, kan, Mbak?” tanya Mikha sambil tersenyum padaku. Kamar yang dimaksud adalah kamar yang ditempati oleh Frisca saat ini. Biasanya di kamar itulah Ibu jika sedang menginap di rumah ini. Rasakan kamu, Fris. Dua minggu kamu gak akan pulang ke rumah ini. Atur saja, Mas! Hahaha.

Kulihat Mas Khalid garuk-garuk kepala, tapi tak bisa membantah. Mikha langsung mengajak Ibu masuk ke dalam kamar Frisca. Aku dan Mas Khalid membuntuti dari belakang.

“Kenapa baunya agak aneh, ya, kamar ini? Sekarang penuh barang-barang juga,” ujar Ibu. Jelas saja baunya aneh, Frisca ternyata jorok dan berantakan. Aku meminta Mbok Jum mengemasi kamar secepatnya. Mengganti sprei dan sarung bantal. Ibu menunggu sambil duduk santai di sofa kamar.

“Mbak, barang-barang Mbak Widya pindah ke kamar ini, ya?” tanya Mikha, pura-pura. Padahal dia sudah kuberitahu kalau ini kamar ditempati oleh Frisca.

Aku sengaja tak menjawab, aku memilih menuntun Ibu untuk berbaring di atas kasur yang sudah dibersihkan.

“Mbak, ini tas nya bagus-bagus banget.” Mikha menjelajahi kamar dan melihat semua barang-barang milik Frisca yang letaknya berantakan.

“Mikha, kamu jangan begitu. Yang sopan sama Mbakmu!” ucap Ibu sambil membetulkan posisi duduknya di atas ranjang.

“Gak apa-apa, Bu. Mikha itu seperti adik kandung Widya sendiri,” jawabku. Membuat Ibu tersenyum.

“Mbak, aku kan mau ke luar negeri, aku boleh minta tasya, gak? Bagus-bagus banget ini, bermerek lagi! Kan aku gak punya tas mahal begini!” ucap Mikha memulai aksi. Mas Khalid terbelalak, aku memberinya kode untuk melihat wajah Ibu.

“Tanya Mas Khalid, Kha!” ujarku, membuat Mas Khalid lagi-lagi tak ada pilihan untuk menolak.

“Boleh, kan, Mas?” tanya Mikha dengan mimik wajah memelas.

“I-iya, boleh, lah. Ambil aja. Mana yang kamu mau!” ujar Mas Khalid. Mungkin dipikirnya Mikha akan mengambil satu.

“Bener, Mas?”

“I-iya, bener. Kamu mau yang mana tinggal pilih aja!”

“Oke, aku mau yang ini, ini, ini …..” Mikha mengambil semua yang dia inginkan. Aku dan Ibu jadi terkekeh melihat tingkah adik bungsu Mas Khalid itu.

Mas Khalid mati kutu, tak bisa lagi berkata apa-apa saat Mikha mengambil wadah besar dan memasukkan banyak barang ke dalamnya. Hanya tersisa beberapa tas yang  sudah buluk. Baju, dress, sampai jaket-jaket mahal milik Frisca semuanya diangkut.

“Asyiik, entar aku bisa bergaya dengan barang-barang branded ini di luar negeri. Ini juga entar mau aku kasiin sama Mama mertua aku, boleh, kan, Mbak?”

“Boleh, doong! Sekalian minta uang jajan sama Masmu!” ujarku sambil tertawa senang. Mas Khalid sudah pucat pasi. Tapi terpaksa mengangguk saat adiknya itu memeluknya secara tiba-tiba.

“I-iya, nanti Mas transfer, ya!” Mas Khalid menjawab kelabakan.

“Makasih, ya, Mas, Mbak! Kalian berdua emang baik banget. Aku do’akan kalian berdua selalu sehat, rumah tangganya adem ayem tanpa gangguan pelakor, dan lekas kasih aku ponakan!” ujarnya tanpa beban. Sontak saja membuat Mas Khalid senelen ludah. Aku dan Ibu terkekeh, seolah kami memang sebahagia itu.

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status