Share

Bab 4

Part 4

“Gerry … awas kamu, Mbak! Kalau sampai kucing aku mati, aku aduin kamu sama Mas Khalid biar kamu dimarahin!” ancam Frisca.

“Kalo si Gerry mati ya tinggal dikubur,” jawabku santai. Kulihat wajah Frisca menggeram marah. Jangan kau pikir kau bisa mengintimidasi aku, Frisca! Kamu yang tidak selayaknya ada di rumah ini. Tunggu saja waktunya.

“Lihat saja nanti, aku akan jadi satu-satunya nyona besar di rumah ini,” ujarnya ketus.

“Tidur dulu sana! Abis itu ngimpi!” sahutku tak kalah ketus. Frisca menghentakkan kaki kemudian pergi masuk ke dalam kamarnya. Paling juga mau ngadu. Silahkan, aku tak takut.

Aku mengajak Mbok Jum makan siang bersama. Lebih baik makan bersama Mbok Jum daripada dengan si Frisca sialan itu. Ponsel di samping piringku berdering. Nomor kantor Mas Khalid memanggil.

‘Mau apa lagi nelpon-nelpon? Udah dapat aduan dari istri muda?’ batinku.

“Assalamu’alaikum, Mas.”

“Widya, kamu gak bilang kalau kamu habis jenguk Ibu?”

“Mas tau dari mana?” tanyaku. Ternyata dia tidak membahas soal Frisca.

“Tadi Mikha telpon. Apa iya Ibu sakit?”

“Kamu anaknya Ibu apa bukan, sih, Mas? kenapa malah tanya sama aku? Makanya hape itu di baca siapa tau ada pesan penting tentang Ibu.”

“Hape itu lebih sering dipegang Frisca. Kenapa kamu gak bilang kalau tadi ketemu Ibu? Kamu bilang apa sama Ibu?”

“Gak bilang apa-apa. kenapa? Kamu takut aku aduin, Mas?”

“Jangan sampai kamu bongkar semua ini di depan Ibu, Wid! Mas mohon!”

“Hahaha … selama istri keduamu itu bersikap baik padaku, rahasiamu aman.”

“Emang Frisca ngapain? Kalian, tuh, yang akur kenapa, sih? Jangan nambah-nambahin masalah.”

“Nambahin masalah? Enak aja kamu ngomong, Mas! kamu yang bikin masalah, kok!”

“Iya, iya, ya udah! Emang Frisca kenapa?”

“Tanya aja sendiri sama orangnya, masih idup, tuh! Perutnya buncit lagi!”

“Widya … please! Kamu itu jangan begitu sama Frisca. Kalau kamu bisa baik ke dia, Mas yakin dia juga bakalan baik sama kamu.”

“Hah! Baik apanya? Orang baik gak akan ambil suami orang!”

“Widya, dia gak ambil aku dari kamu. Kita kan masih suami istri. Kecuali aku ninggalin kamu, baru kamu boleh ngomong begitu!”

“Terserah, lah, Mas! aku lagi makan sama Mbok Jum.”

“Frisca gak kamu ajakin makan sekalian?”

“Ogah! Bikin ilang selera makan aja!” ujarku sambil menutup panggilan telepon. Aku sengaja biar Mas Khalid juga merasakan sakitnya hatiku ini.

Selesai makan, Mbok Jum langsung mengemasi perkakas kotor di atas meja. Kulihat Frisca keluar kamar dengan wajah cemberut.

“Mbok, aku mau makan. Tolong siapin!” perintahnya sambil duduk tepat di seberang kursiku.

“Maaf, Mbak Frisca. Lauknya sudah habis kami makan berdua. Tinggal nasi putih saja. Hihihi ….”

“Apa? kalian sengaja mau bikin aku kelaparan?” ujarnya dengan nada kesal.

“gorengin telor mata sapi aja sebutir, Mbok!” perintahku pada Mbok Jum.

“Aku gak mau! Aku mau makan steak daging sama jus jeruk dingin. Buatin sekarang!” ujar Frisca sok kuasa.

“Daging di dalam freezer udah habis, Mbak,” sahut Mbok Jum.

“Trus adanya apa, dong? Aku ini hamil, butuh makanan bergizi.” Frisca nyerocos sambil menyalakan sebatang rokok di bibirnya. Dasar perempuan gila, minta makanan bergizi tapi dia sendiri merokok.

“Adanya telur sama sayur sawi. Mbok belum belanja soalnya, Mbak.”

“Adduuh, rumah mewah megah begini isi kulkasnya cuman telor sama sawi doank? Pokoknya gak mau tau, aku mau makan steak daging!” ujarnya sambil mendesah menghembuskan asap rokok, membuat tenggorokanku refleks menjadi gatal.

“Oke, kita turutin aja, Mbok! Mbok ambil si Gerry, lumayan kayaknya kucing itu lumayan gemuk, pasti dagingnya tebal dan manis,” ujarku sambil tersenyum sinis.

“Amit-amit! Awas aja kalau kalian berani nyakitin si Gerry! Aku balas kalian!”

“Ya udah, katanya kamu istri yang baik, ya makan aja yang ada! Atau kalau mau makan enak, pergi lah keluar, atau pesan online! Hidupmu sengaja amat dibikin ribet!” ujarku sambil berdiri dan mendekatinya. Sorot mata Frisca seakan waspada saat aku mendekatinya.

Kuarahkan kamera ponselku ke wajahnya yang sedang menghisap rokok. Cekrek! Sekali dua kali kuambil fotonya dengan pose yang berbeda. Biar aku punya arsip untuk balik mengadukannya pada Mas Khalid.

“Otak kamu itu dipakai! Orang hamil minta makanan bergizi, tapi kamu malah merokok!” Kusambar rokok di tangannya dan langsung menjatuhkannya ke lantai. Kuinjak sampai mati puntung rokoknya itu dengan sandal yang aku pakai.

“Gak usah ikut campur urusanku, Mbak! Mas Khalid tau aku perokok sejak dulu. Dia aja gak keberatan, kenapa pula kamu yang usil?” ujarnya.

“Ooh, begitu? Lalu kalau kukatakan pada Mas Khalid kalau kamu mau bunuh bayi dalam kandunganmu itu dengan rokok, apa Mas Khalid tetap akan membelamu? Aku akan kirimkan foto ini pada Mas Khalid. Kali aja otaknya bisa balik jadi bener lagi,” ancamku.

“Aduuh, jangan, Mbak! Jangan, doong!”

“Makanya! Kalau masih mau numpang makan di rumah ini, ikut aturanku! Rumahku ini tak pernah dicemari asap rokok, tau? Mbok, masakin Frisca telor ceplok sama sayur bening sawi!” perintahku pada Mbok Jum.

“Aku gak mau! Makanan apaan, sih, itu?” sergah Frisca.

“Oops, mau ngelawan aku, kamu? Mau aku kirim sekarang foto ini sama Mas Khalid? Masih mending boleh makan di rumah ini, daripda kamu ngorek-ngorek sampah di pinggir jalan!”

“Ya ampun! Ya udah iyaaaa! Aku mau makan sekarang! Cepat buatain! Cukup kamu ngehina-hina aku, Mbak!”

“Bagus! Makanya jangan sok jadi Nyonya! Tikus gak akan pernah menang melawanku!”

“Awas kamu, Mbak! Nanti pasti aku balas!” gumamnya. Aku tak peduli.

Mbok Jum lagi-lagi hanya senyam-senyum melihatku mengerjai Frisca. Setelah lauk yang aku perintahkan siap, aku suguhkan langsung pada Frisca.

“Makan sekarang! Habiskan!” ujarku dengan sorot mata mengancam.

“Kenapa, sih, kamu gak minta cerai aja sama Mas Khalid?” ujarnya seenaknya.

“Enak aja kamu! Terus aku harus nangis-nangis menyesali hidup, dan kamu tertawa terbahak-bahak di atas penderitaanku, gitu? Jangan ngimpi kamu, Fris!”

“Berkat bantuanku, usaha kalian semakin melejit, Mbak! Kamu gak bisa merendahkan aku seenaknya!”

“Tanpa direndahkan pun kamu memang wanita rendahan!” ketusku.

“Kamu boleh menghinaku, Mbak. Tapi nanti setelah anak ini lahir, aku yang akan jadi penguasa semuanya! Aku pastikan itu!”

“Udah, makan aja! Laper bikin otak kamu jadi ngehalu terlalu tinggi!” ejekku tanpa ampun.

“Kamu harusnya masih bersyukur, aku gak paksa Mas Khalid buat menceraikan kamu. Aku masih punya perasaan!” ujarnya lagi dengan enteng.

“Apa? perasaan? Ya ampun, Fris! Ngaca, dong! Mana ada pelakor punya perasaan! Gak usah ngelawak kamu!”

“Tunggu saja waktunya nanti!” ancamnya.

“Yakin kamu yang akan menang? Lagipula, aku masih belum percaya kalau kamu itu mengandung anak suamiku!”

“Ma-maksud kamu apa, Mbak? Kamu jangan menuduhku tanpa bukti! Itu fitnah namanya! Aku ini sudah berubah jadi perempuan baik-baik!” ujarnya dengan nada tinggi.

“Hah? Cih! Aku gak percaya!” Kulihat wajah Frisca memerah menahan amarah. Tangannya mengepal. Benar saja, ia berdiri dan bersiap menamparku. Sayangnya tanganku jauh lebih sigap akibat tamparan Mas Khalid tadi pagi di kantor. Aku menangkap tangan Frisca dan menghempaskan tangannya agar menjauh.

“Kamu berani menampar aku? Kamera sudah on, kan, Mbok?” tanyaku pada Mbok Jum sambil melipat kedua tanganku di dada.

“Apa-apaan, sih, kalian? Sengaja memancing emosiku supaya kalian bisa jelek-jelekin aku di depan Mas Khalid? Hah? Dasar kalian berdua sama-sama gak sadar diri! Awas, ya! Pasti kalian berdua akan aku balas!” ujarnya sambil pergi menjauh, meninggalkan makanan yang tak tersentuh.

Aku dan Mbok Jum toast sambil tertawa cekikikan. Lagi, aku dapat satu rekaman yang bisa aku jadikan bahan untuk membuat Frisca tak berani macam-macam padaku.

Aku duduk di sofa sambil membaca majalah. Kulihat Frisca sudah berganti pakaian dan menenteng tas.

“Kamu mau kemana? Katanya gak mau keluar rumah? Katanya istri yang patuh pada suami? Cih!”

“Bukan urusan kamu, Mbak!” jawabnya ketus.

“Oh, emang bukan urusanku. Tapi sekali aja kamu keluar, kamu yakin bakalan bisa masuk ke dalam rumah ini lagi?” sinisku.

“Kamu ngancem aku, Mbak? Pastinya aku akan tetap bisa masuk, aku akan pulang bersama Mas Khalid.”

“Oh, begitu? Silahkan! Keluarlah sekarang!”

Frisca mendengus kesal, namun tetap nekat pergi. Kulihat dari sela jendela, dia pergi dengan taksi.

Cepat-cepat aku masuk ke dalam kamar yang dihuni Mas Khalid dan Frisca. Aku harus mencari segala sesuatu yang bisa dijadikan sebagai pendukung aksi pembalasan dariku.

Mulai dari lemari pakaian, laci-laci, sampai rak sepatu aku buka. Bukan main, koleksi barang-barangnya semuanya adalah barang bermerek. Harganya sangat mahal. Aku yang pengusaha saja masih suka mikir-mikir buat belanja barang-barang branded. Dia yang cuma morotin suami orang, malah punya banyak barang-barang mahal.

Akhirnya aku menemukan set perhiasan itu. Dibawah kotaknya ada selembar kertas bermaterai.

Aku membacanya dengan cepat. Hmm … ternyata ini surat pernyataan nikah siri Mas Khalid dengn Frisca. Ditandatangani dua orang saksi. Tapi, mengapa di surat ini tertera bahwa mas kawinnya adalah uang senilai dua juta? Apa Mas Khalid sudah berbohong padaku? Ah, aku tak heran. Dia memang sudah membohongiku sejak lama.

Aku ada ide. Wanita itu tak sepatutnya memakai perhiasan mahal ini. Dia hanya gundik, selir yang terpaksa dinikahi suamiku karena sudah terlanjur hamil.

Kuambil perhiasan itu dan langsung menutup kembali kamar mereka. Aku langsung menghubungi sahabatku yang jadi partner bisnisku. Aku tawarkan padanya set perhiasan limited edition ini, dan dengan jawaban meyakinkan, ia langsung mau membelinya. Bagus! Tak menunggu lama, sahabatku Tia datang mengambil perhiasan dan langsung menransfer uangnya ke dalam rekening pribadiku.

Tunggu aksiku selanjutnya, Frisca!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
emosi bacanya males
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status