Apa ini, Mas?" tanyaku pada Mas Wahyu.
"Itu surat gugatan cerai kita, Fi," jawabnya datar dan langsung membuang wajah menatap pada jendela kamar.
Aku mengambil surat yang tadi tergeletak di pangkuanku. Membaca isinya, benar saja! Itu surat perceraian.
Aku menjalankan kursi rodaku, mensejajarkan badanku pada Mas Wahyu. Sama-sama menatap kedepan jendela.
"Kenapa, Mas?" Aku masih berusaha bertanya.
"Kenapa! Tentu kamu lebih tahu alasannya. Aku tak mau punya istri cacat seumur hidup!" Jawaban Mas Wahyu mampu meruntuhkan benteng didalam dadaku. Selama ini, aku cukup bersabar, sangat tahu semua yang ia lakukan di belakangku tapi ... Tak menyangka jika Mas Wahyu akhirnya mengugat perceraian.
"Hanya karena itu? Apa kamu ingin menikah dengan wanita lain?" tanyaku dengan nada bergetar.
"Ya, aku laki-laki normal, Fi. Tak mungkin terus terkungkung oleh ikatan yang ... Ah! Aku tak dapat menjelaskan!" Seru Mas Wahyu.
Aku bergeming, mungkin Mas Wahyu menginginkan gairah ranjang yang tak monoton. Sejak aku lumpuh, aku masih bisa memenuhi kebutuhan biologisnya, tapi tak mampu berbuat banyak. Hanya bisa berbaring dengan mengikuti Mas Wahyu hingga ia terpuaskan.
"Apa kamu sudah pikirkan semuanya, Mas? Sudah tak ada cinta kah padaku sedikit saja sebagai alasan untuk tetap bersama. Aku yakin, aku janji aku akan segera sembuh dan menjadi wanita normal."
Mas Wahyu berdecih, seolah apa yang aku ucapkan hanya omong kosong belaka.
"Kalau boleh tahu siapa wanita yang menggantikan posisiku di hatimu, Mas?" tanyaku kembali, aku memutar roda hingga mengambil jarak lebih dekat padanya.
Masih bergeming.
Mas Wahyu seolah ragu untuk mengatakan siapa wanita yang telah bisa merebut hatinya.
"Mas?!"
"Sebenarnya ... Sebenarnya aku sudah menjalin hubungan dengan Linda, maaf! Linda menginginkan aku menikahinya segera!"
Jederrrr
Linda?
Dia adalah sepupuku, sepupu yang selama ini aku biayai sekolahnya karena dia sudah jadi yatim sejak kecil. Dia ... Dia memang sekarang bekerja satu kantor dengan Mas Wahyu dan kutempatkan sebagai sekretarisnya.
Tak menyangka ia menikam aku dari belakang. Tak ada sedikitpun rasa iba kah dia? Setelah kecelakaan yang kualami satu tahun ini. Bukan simpatik mereka justru bermain hati.
Fix.
Aku mengusap air mata yang mulai jatuh. Tak akan kubiarkan ini mengalir dari mataku untuk laki-laki yang tak pernah setia.
"Baik, Mas. Aku akan kabulkan permintaanmu. Tapi, kamu tak lupa sesuatu kan?" tanyaku memastikan.
Mas Wahyu langsung menatapku tajam. Mencari jawaban atas apa yang telah aku pertanyakan.
"Apa?" Dia masih tak menemukan jawabannya.
Segera aku beranjak dari kursi roda, menuju nakas tempat aku meletakan ponselku. Sebelum aku menekan tombol telfon, kulirik Mas Wahyu yang sepertinya terperanjat melihatku sudah bisa berjalan.
"Hallo, Pak. Saya ingin memecat direktur utama di perusahaan AFI Mandiri. Segera lakukan perintah saya!" Aku kembali melirik pada Mas Wahyu yang masih mematung. Tentu dia shock akan apa yang baru terjadi.
"Satu lagi, Pak. Pecat juga sekretaris-nya tanpa hormat. Linda Merlia!"
Tutt!
Kulempar ponsel ketempat tidur dan berjalan menuju dimana Mas Wahyu berada. Dapat kulihat pias wajahnya tak secerah saat meletakan surat gugatan cerai seperti tadi.
"Kamu lupa, Mas. Kalau aku CEO di perusahaan?!"
Jlebbb!
"Soal Faizal ....""Aku siap kok, Om. Jika disuruh nikah sama dia sebagai syarat untuk mendapatkan perusahaan. Lagian aku sudah tahu jika Faizal itu laki-laki salehah. Itu yang penting, agar bisa membimbing kita sebagai istri kejalan yang benar." Ucapan Linda tentu membuat hatiku berdenyut nyeri. Rasa apa ini hingga aku seperti tak ikhlas mendengar apa yang baru disampaikan oleh Linda. Aku memajukan bibir.Ayah tersenyum. Apa benar ayah akan melakukan itu. Ia tak berkata namun mendekat pada kami berdua."Masalah yang satu ini kan berhubungan dengan perasaan Faizal. Jadi semuanya aku serahkan Padanya. Datanglah kekantor esok hari dan kamu akan mendengar keputusannya." Ayah berkata dengan tegas. Sambil melihat kearah aku dan juga Linda.Setelah kepergian Linda yang tadi sudah janji akan datang kekantor esok hari. Aku memasang wajah cemberut didepan Ayah."Kamu kenapa? Kok mukanya ditekuk gitu?" Ayah mendekat padaku."Ayah itu punya prinsip ngga sih? Pertama di jodohkan dengan Linda, ke
Aku tersenyum senang saat Faizal keluar dengan wajah sedikit bingung. Dia tentu kaget karena aku tak memberitahukan terlebih dahulu.Aku melihat dari CCTV yang sudah kupasang di ruang staf HDR. Kulihat Pak Samsul tengah menjelaskan apa yang harus dia kerjakan. Dengan segsama Faizal serius menyimak. Ayah memang tak salah memilih dia menjadi seperti sekarang."Eheem!" Asih yang berada diruanganku berdehem."Asih! Kapan kamu datang? Ngga ketok pintu dulu lagi!" Aku otomatis langsung menutup laptop. Tentu takut ketahuan jika aku tengah mengawasi Faizal."Kenapa di tutup? Lagi lihat film dewasalah?" ocehnya. Aku mendelik padanya."Emangnya otakku semesum itu!" gerutuku. "Ngomong-ngomong ada apa kamu nyusul?" Dia tak langsung menjawab. Justru menjatuhkan bobot pada sofa di samping ruangan."Aku cuma mau mengabari tentang Linda. Dia tinggal di kontrakan kecil di daerah Lebak bulus." ungkapnya.Aku mengangguk. "Apa kamu dapat nomor telfonnya?""Tentu, Asih kalau cari tahu ngga akan setengah-
Benarkah?Ayah menceritakan bagaimana dulu membiayai sekolah Faizal. Dari masuk ponpes hingga jadi hafidz dan kuliah yang memang ayah memilih jurusan sesuai yang dibutuhkan untuk mengelola pekerjaan."Tapi, Faizal pernah bilang jika dia hanya lulusan SMA hingga ia akhirnya hanya bisa bekerja sebagai OB. Dia bilang Ayah menawari kerjaan yang lebih layak karena kegigihnya." Aku mengingat itu, saat pertama masuk kekantor."Iya begitulah. Dia selalu tak mau menunjukan sekolah tingginya. Dia bilang masih tak pantas dirinya menerima gelar itu. Dia percaya jika nasib akan merubahnya tanpa harus menunjukan apa yang dia sendiri merasa begitu beruntung." Ayah menjelaskan. Aku hanya mengangguk. Faizal memang laki-laki yang selalu bersikap rendah hati tapi ....Sebenarnya dulu memang ayah menginginkan dia untuk kamu, tapi tentu ayah tahu jika kamu sudah menentukan pilihannya pada laki-laki yang bernama Wahyu. Ayah hanya ingin kebahagiaanmu."Terus bagaimana ayah menjodohkan dia dengan Linda? Bahk
"Eh, Bu Bos!" Faizal langsung menurunkan ponselnya. Aku tak tahu sudah di matikan atau belum."Siapa yang sedang kamu telfon?" tanyaku langsung tanpa basa-basi. Tentu aku tak mau kecolongan lagi. Sudah terlalu banyak kecolongan oleh Linda dan Mas Wahyu. Aku tak mau kecolongan dari orang lain. Apalagi dia bukan siapa-siapa."Bukan siapa-siapa kok, Bu Bos. Hanya teman biasa. Biasalah, bisnis kecil-kecilan." Dia membuka saku dan akan memasukan ponselnya."Tunggu! Aku mau lihat siapa yang kamu telfon. Bisa berikan ponselmu?" Aku langsung mengarahkan tangan.Dia terlihat bingung. Namun kemudian menarik tangannya."Sepertinya ada yang mulai cemburu, mungkin ia kira aku tak setia."Settt!Dia memang sekarang begitu PD! "Mana!" Aku kembali memajukan tangan."Kenapa si calon istriku ini? Cemburunya begitu amat sampai-sampai meminta ponselku. Duhh ... Tambah manis deh!" aku tahu, dia sedang membuat aku urung meminta ponselnya."Maaf, ya. Ini bukan urusan pribadi antara anda dan saya! Ini masal
PoV Faizal.Aku yatim sejak kecil. Saat itu, aku hanya mampu menangis melihat ku--Permadi-- terbujur kaku didepanku. Ibu tak kuasa menahan tangis terlebih saat itu, kami tak punya apapun untuk sekedar di makan."Bapak, pergi dulu. Siapa tahu dapat rejeki dan kita bisa beli makan. Setelah ini, Bapak pastikan hidup kalian tak akan kekurangan." Pamit Bapak saat itu. Ibu memelukku erat. Mengangguk dan melihat punggung Bapak Permadi sampai menghilang di lorong jalan.Namun, baru saja satu jam Bapak pergi, kami mendengar jika dia pergi untuk selamanya. Tentu, sakit dan kaget menyatu. "Permadi meninggal karena ditabrak sama mobil, Mbak! Sedangkan yang punya mobil juga meninggal karena tertabrak teronton." Tetangga mengabari. Aku sendiri bingung, bagaimana Bapak di tabrak dan yang menabrak ikut meninggal?Sampai akhirnya aku paham kronologinya. Tentu marah! Bagaimanapun dia telah membuat Bapak meninggal walau setimpal dia juga meninggal.Sebelum Bapak di kebumikan, ada beberapa orang yang da
"Bang Tigor meninggal?" aku masih tak percaya. Karena pagi tadi juga kami masih komunikasi.Aku lemas. Bagaimanapun dia banyak membantu keluarga ini. Bahkan Ayah sudah mengagap dia seperti saudara sendiri."Kenapa, Bu?" tanya Asih yang melihat aku masih mematung di anak tangga.Bibirku bergetar. Ada rasa tak percaya akan semua hal ini."Bang Tigor, Sih. Dia di kabarkan meninggal baru saja." Akhirnya aku bisa mengucapkannya. Aku melangkah menuruni anak tangga. Segera menyuruh Asih untuk meminta sopir mengantarkan kerumah duka.Tiba di rumah Bang Tigor, suasana sudah ramai. Banyak pelayat yang tengah membaca Al Qur'an. Aku mendekat pada jenasah. Wajah yang telah ditutup oleh kain jarik, kusingkap sedikit. Air mata ini langsung luruh."Bang!" ucapku dengan sedikit isakan. Aku memilih mundur, takut jika air mata ini jatuh di atas jenazah. Ada raut bingung pada beberapa orang dengan kedatanganku. Tak terkecuali istri bang Tigor yang masih duduk lemas di samping Bang Tigor."Bang Tigor ora