MasukSetiap hari ada saja tingkah Tania yang membuat Bu Fatma sakit kepala. Bu Fatma merasa aneh dengan perubahan sikap menantunya tersebut. Rania yang biasanya penurut dan tidak berani membantah, sekarang berubah drastis.
Pagi-pagi sekali Tania sudah siap dengan alat pel dan embernya. Bukan Tania namanya, jika mau mengerjakan sesuatu tanpa ada maksud tertentu. Ia sengaja mengepel lantai dengan kain yang sangat basah tepat didepan anak tangga terakhir.
"Nah begitu 'kan enak dilihat. Jadi menantu itu jangan cuma makan sama tidur aja," ejek Bu Fatma seraya melangkah melewati Tania yang sedang membungkuk.
"Iya Ma." Tania mengepal erat gagang pel yang ada ditangannya. Dia segera membawa ember serta kain pel masuk kedalam kamar mandi dan tertawa keras. "Satu … dua … tig …."
"Rania!" Bu Fatma berteriak cukup kencang. Bi Asih dan Darmi yang berada di dapur segera berlarian menuju sumber suara. Keduanya kaget melihat tubuh Bu Fatma sudah ada dilantai basah kuyup. Lantai yang basah membuatnya kepleset hingga sebelah kakinya tertekuk.
"Jangan bengong terus! Cepat bantu saya bangun!" titahnya pada Bi Asih dan Darmi.
Bi Asih dan Darmi berjalan dengan sangat hati-hati, takut mereka juga terpleset dan jatuh menimpa sang majikan. Keduanya membantu Bu Fatma untuk berdiri secara perlahan. Wajah Bu Fatma begitu merah menunjukkan kemarahan.
"Arghhh pinggangku," keluh Bu Fatma saat merasakan nyeri pada bagian pinggang.
"Kita duduk di sofa Nyonya." Bi Asih dan Darmi memapah Bu Fatma menuju sofa.
"Dasar menantu kurang ajar. Berani sekali dia membuatku begini," gerutu Bu Fatma. Bi Asih dan Darmi hanya saling pandang seraya menutup rapat mulut menahan tawa. "Cepat panggil Mbo Ijah kesini! Sepertinya pingganggku keseleo," pinta Bu Fatma pada Bi Asih.
Darmi memilih mengambil lap kering untuk mengeringkan lantai. Sebelum suara Bu Fatma yang kencang bagaikan singa itu mengaum lagi. Bi Asih menelpon Mbo Ijah, tukang pijat yang khusus yang sering di panggil oleh keluarga Bu Fatma.
Setelah merasa aman Tania segera keluar dari kamar mandi dan naik kelantai atas. Dia tertawa puas setelah berada di dalam kamar. Tania tidak sadar jika Malik yang baru selesai berpakaian tengah menatapnya dengan tatapan aneh.
Tania menutup mulut ketika wajahnya menengok ke belakang dan Malik masih memperhatikannya. Cepat-cepat dia melewati Malik dan berjalan menuju tepi ranjang. Tangannya mulai merapikan selimut bekasnya tidur semalam tanpa bersuara sedikitpun.
"Apa kamu memiliki nomer rekening?" tanya Malik datar.
"Punya, hanya saldonya saja yang tidak ada," jawab Tania jujur apa adanya.
"Berikan nomer rekeningmu!"
"Untuk apa?"
"Walau bagaimanapun aku suami kamu. Aku harus memenuhi tanggung jawabku untuk memberi nafkah," jawab Malik masih dengan nada suara datar.
Tania mengangguk paham tanpa bicara lagi. Dia segera mengambil ponselnya yang tergeletak diatas nakas lalu memperlihatkan nomer rekeningnya pada Malik. Bola mata Tania berbinar saat Malik mentransfer sejumlah uang pada rekeningnya.
"Argggh, terima kasih." Tania melonjak girang hingga tidak sadar memegang tangan Malik. Kulit tangan yang secara tidak sengaja saling bersentuhan menciptakan gelenyar aneh pada keduanya.
"Aku berangkat kerja dulu." Malik bangkit dari tempat duduknya dan bergegas keluar kamar. Sementara Tania terus menatap jumlah saldo tanpa memperdulikan Malik keluar kamar.
Malik langsung turun hendak menuju meja makan seperti biasa. Langkahnya terhenti saat melihat Bu Fatma tengah meringis di sofa ruang tamu. Dia mendekati ibunya lebih dulu karena merasa khawatir.
"Mama kenapa?"
"Ini semua gara-gara istri kamu yang tidak becus kerja," adu Bu Fatma geram.
Kening Malik berkerut tidak paham dengan ucapan ibunya. "Maksudnya?"
"Mama jatuh karena menginjak lantai basah. Sekarang pinggang Mama sakit dan itu semua gara-gara Rania."
Akhirnya Malik mengerti, kenapa Tania tertawa puas di dalam kamar. Entah kenapa melihat ibunya yang meringis kesakitan? Malik malah ingin ikut tertawa. Secara tidak langsung Malik mendukung sikap Tania yang sedikit berani pada sang mama yang memang melebihi batas.
"Paling nanti setelah diurut juga sembuh," jawab Malik sepele. Wajah Bu Fatma semakin merah menahan kesal.
Malik meninggalkan ibunya yang masih menggerutu. Ia terpaksa kembali masuk ke kamar karena ponselnya tertinggal. Tania mengira jika Malik sudah berangkat ke kantor. Dia keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang melilit di tubuhnya.
Malik yang baru mengambil ponsel diatas nakas mematung saat melihat Tania. Begitupun Tania, wajah mereka sama-sama syok. Tania hendak kembali masuk kedalam kamar mandi namun kedua kakinya saling bersilang. Keseimbangan Tania seketika hilang dan hampir menghantam lantai jika Malik tidak sigap menangkapnya.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Malik gugup.
"Aku baik-baik saja. Terima kasih." Tania segera melepaskan diri namun sayang ikatan handuknya terlepas. Membuat handuk yang melilit merosot kelantai. "Arghhhh," jerit histeris Tania sadar jika tubuhnya polos tanpa sehelai benang.
"Aku tidak melihatnya." Malik reflek menutup mata. Tangannya meraba handuk di lantai dan menyodorkanya pada Tania.
"Lebih dekat lagi! Aku tidak bisa meraihnya." Tangan Tania mencoba mengambil handuk dari tangan Malik. Tania tidak berani bergerak maju wajahnya terasa panas karena malu.
"Seperti ini." Malik memajukan tangannya lebih dekat lagi pada Tania. Tangan mereka kembali bersentuhan secara tidak sengaja. Entah keberanian darimana? Malik membuka matanya dan menatap Tania sendu.
Dia berdiri dengan handuk yang masih berada ditangannya. Tania masih diam ditempata seraya menutupi badan dengan kedua tangannya. Malik menyelimuti tubuh atas Tania dengan handuk. Sebagai pria normal melihat tubuh mulus tanpa cela membuat hasratnya bangkit.
"Aku ingin melakukannya sekarang," ucap Malik serak. Sorot matanya penuh damba.
"Tapi aku belum siap," tolak Tania.
"Bukankah kita menikah untuk ini." Malik memeluk tubuh Tania dari belakang. Membuat wanita itu semakin mematung dengan perasaan yang campur aduk.
Deru napas Malik terdengar begitu jelas ditelinganya. Ingat janjinya pada sang adik yang ingin membantunya. Serta sadar dengan kewajibannya. Tania mengangguk pasrah walau bagaimanapun Malik adalah suaminya yang punya hak atas tubuhnya.
Tiga minggu kemudian. Sejak Tania menyerahkan tubuhnya pada Malik pagi itu. Sikap Malik perlahan berubah menjadi lebih bersahabat. Nada bicaranya yang biasa datar menjadi lebih lembut. Hari ini mereka sarapan hanya berdua karena Bu Fatma sudah pergi sejak pagi.
"Kenapa kamu tidak sarapan?" tanya Malik heran karena Tania sama sekali tidak menyentuh makanannya.
"Perutku rasanya mual," jawab Tania. Dia segera berlari ke kamar mandi yang ada di dapur dan terdengar muntah-muntah. Bi Asih yang berada di dapur seketika berubah sumringah.
Malik yang merasa cemas menyusul Tania ke kamar mandi. Dia memijiti leher belakang Tania yang tengah menunduk pada closet. "Sebaiknya kita pergi ke dokter."
Sebelah tangan Tania naik ke atas menandakan dia baik-baik saja. Bi Asih sudah kembali dengan sesuatu dibalik tangannya. Dia menyuruh Malik terus memijit leher Tania agar lebih baik.
"Apa non Rania sudah datang bulan?" tanya Bi Asih memastikan lebih dulu.
Tania terdiam mengingat kapan terakhirnya datang bulan. "Sepertinya sudah telat dua minggu."
"Memang kenapa Bi?" Sekarang Malik yang penasaran.
"Coba di tespek dulu. Siapa tahu Non Rania isi." Bi Asih menyerahkan alat tespek kepada Tania.
Tania memandang Malik meminta persetujuan. Malik mengangguk sebab dia juga merasa penasaran. Bi Asih masuk kedalam kamar mandi meemberitahu Tania cara memakai tespek tersebut. Malik menungggu di depan pintu kamar dengan harap-harap cemas.
"Bagaimana?" tanya Malik segera begitu Tania dan Bi Asih keluar kamar mandi. Bi Asih terseyum lebar sedangkan Tania seperti orang bingung.
"Ada apa? Bagaimana hasilnya?" desak Malik.
"Non Rania positif hamil," ungkap Bi Asih.
Kedua tangan Malik gemetar menerima alat tespek dengan dua garis merah tersebut. Airmata mengalir deras mengekspresikan kebahagiannya. Dia merengkuh Tania kedalam pelukan seraya mencium keningnya.
Malik menelpon Rania membagikan kabar bahagia tersebut. Rania sampai bersujud begitu mendengar kakaknya positif hamil. Paman Burhan ikut menangis haru disamping Rania. Bu Fatma yang baru pulang pergi ke dapur untuk mengambil air minum.
"Kenapa wajah kalian senang sekali?" tanya Bu Fatma penasaran sebab Darmi dan Bi Asih terus tertawa kecil. Wajah keduanya terlihat senang dan bahagia.
"Memang Mas Malik belum memberitahu Nyonya?" Darmi malah balik bertanya.
"Soal apa?"
"Non Rania positif hamil, tadi pagi saya mengajaknya tespek dan hasilnya positif," terang Bi Asih lebih jelas.
Prang! Gelas yang ada di tangan Bu Fatma seketika jatuh kelantai. "Itu tidak mungkin. Bagaimana mungkin wanita mandul itu bisa hamil?"
Malam yang dinanti tiba. Acara makan malam yang telah dirancang dengan begitu matang akhirnya digelar. Sejak sore, Bu Fatma tak henti-hentinya mengawasi persiapan, menata hidangan, dan memberi perintah pada para pekerja agar semuanya sempurna. Ia seolah lupa bahwa kemarin ia berpura-pura jatuh.Sementara itu, Tania hanya mengamati dari kejauhan. Ia memastikan semua berjalan sesuai rencananya. Tanpa sepengetahuan Bu Fatma, ia telah meminta para pekerja untuk menyiapkan proyektor dan papan putih di ruang makan.“Rania ..., apa maksudnya semua ini?” tanya Bu Fatma, matanya menatap tajam ke arah Tania, curiga dengan keberadaan proyektor dan papan putih itu.“Oh, itu sengaja aku pasang untuk menonton drama, Ma. Biar acara makan malam kita lebih seru dan ada tontonan yang menghibur,” jawab Tania dengan nada meyakinkan, menyembunyikan maksud sebenarnya.Bu Fatma mendengus, namun ide Tania terdengar cukup menarik. Ia pun memutuskan untuk menyetujuinya.“Oke, kali ini Mama setuju! Tapi, awas s
“Mas, boleh tidak besok malam kita mengadakan makan malam dan mengundang seluruh keluarga?” tanya Tania tiba-tiba, memecah keheningan kamar.Malik, yang tengah bersandar di ranjang sambil menggenggam iPad, sontak menoleh. Raut wajahnya menunjukkan kebingungan atas permintaan Tania yang tak terduga.“Apa kamu sedang bercanda?"“Astaga, aku serius kali ini. Lagipula, acara ini kan untuk mempererat tali silaturahmi antar keluarga,” kata Tania, berusaha meyakinkan suaminya.Malik terdiam, tampak menimbang-nimbang permintaan Tania. Melihat itu, Tania tak mau menyerah. Ia beranjak dari tempatnya, mendekati Malik dan duduk di tepi ranjang.“Ini juga keinginan bayi kita,” ucap Tania, terpaksa berbohong demi melancarkan rencananya. “Boleh ya, Mas?”“Ya sudah, nanti aku bicara dengan Mama dulu,” jawab Malik akhirnya, luluh dengan bujuk rayu istrinya.Senyum bahagia merekah di bibir Tania, membuat Malik ikut merasakan kebahagiaan yang sama. Ia pun bangkit, bersiap menuju kamar Bu Fatma untuk men
Tania melangkah tergesa melewati gerbang, jejak kakinya seolah tak sabar menginjak tanah pekarangan rumah Paman David. “Assalamulaikum, Paman, Rania,” sapanya, suaranya sedikit bergetar, “Aku punya berita untuk kalian.”Paman Burhan dan Rania, yang semula bersantai di bangku panjang halaman, sontak menoleh. Raut wajah mereka menyiratkan keheranan. Kedatangan Tania menjelang senja, seorang diri, bukanlah pemandangan yang biasa.Rania bangkit dengan terhuyung, wajahnya sepucat kapas, tubuhnya tampak kurus dan rapuh, seolah embusan angin saja bisa merobohkannya. Paman Bruhan segera menyongsong, memapah bahu keponakannya itu, dan menuntunnya mendekat ke arah Tania.“Kalian tetap di sana saja! Jangan mendekatiku,” seru Tania, nadanya tegas namun ada gurat cemas di matanya.“Sebaiknya kita bicara di dalam,” putus Paman Burhan sembari menuntun Rania perlahan. Tania mengangguk patuh, melangkah mengikuti, menyelaraskan langkahnya dengan Rania yang tertatih. Semakin dekat ia melihat kembarann
BAB 1“Mas.”Suara langkah kaki yang menuruni anak tangga memecah keheningan, menarik perhatian Malik. Raut wajah pria itu seketika menegang, sarat akan kekhawatiran. Tanpa membuang waktu, Malik bergegas mendekat, diikuti Tania yang setia melangkah di sisinya, tangannya tak lepas dari genggaman hangat sang suami.“Ada apa, Mel? Apa Mama butuh sesuatu,” tanya Malik, nadanya dipenuhi cemas, namun genggaman tangannya pada Tania justru semakin mengerat, seolah memberi kekuatan dan jaminan.Mely tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke mata. “Tante sudah tidak apa-apa, kok. Dia sedang istirahat sekarang di kamarnya. Aku izin pulang lebih dulu ya, Mas. Ada hal penting yang tidak bisa kutunda.”Malik mengangguk, ekspresinya sedikit melembut. “Iya, silakan saja, Mel. Kamu tidak perlu repot-repot datang lagi. Di sini sudah ada saya dan Rania yang akan menjaga Mama.”Sejenak, Mely terdiam. Tatapannya berubah tajam, menghunjam lurus ke arah Tania yang berdiri di sebelah Malik. Sebuah tatapan
"Malik. Kamu tidak bisa mendidik istri kamu dengan baik. Lihatlah apa yang dia lakukan pada mama," ujar Bu Fatma memanas-manasi Malik. "Mas!" panggil Tania pelan. Malik menoleh ke arah Tani seraya mengulas senyum lembut penuh cinta seperti biasanya. "Mas percaya sama kamu." "Malik! Setelah apa yang dia lakukan pada Mama. Kamu masih percaya padanya? Kamu pikir Mama mengarang cerita," bentak Bu Fatma. "Ma. Bisa saja Mama jatuh karena menendang botol minyak urut ini. Ini minyak zaitun yang bisa dipakai Mama untuk mengurut bukan?" Malik menunjuk botol yang terlempar di sudut tangga. Tania tersenyum lega. Sementara Bu Fatma semakin meradang. Dia kembali mengucapkan kata-kata yang menjelekan Tania agar membuat wanita itu tersudut. Namun, Malik tetap pada pendiriannya. Tidak mungkin istrinya tega melakukan hal tersebut. Tidak berapa lama, tiba-tiba saja Mely datang bersama seorang dokter gadungan yang sengaja dia bawa untuk memperlancar rencana mereka. Bu Fatma pura-pu
Bu Fatma dan Mely masih ada di dalam mobil. Keduanya belum beranjak pergi meski kini Tania dan Sheli sudah menghilang sejak insiden tadi.Mata Melly menatap nanar kaca mobil yang terkesan gelap. "Tante, jika sudah begini maka hanya ada satu cara terakhir yang harus kita lakukan." Kalimat lirih itu membuat Bu Fatma menatapnya cepat. "Apa maksudmu?" tanya Bu Fatma penasaran. Dengan segera Melly memutar arah duduknya. Menghadap Bu Fatma langsung agar bisa didengar dengan saksama. "Jika cara seperti ini juga tak bisa mencelakai Rania, maka kita harus menjebaknya agar Malik mulai meragukan kebaikan hatinya." "Tolong kau jelaskan dengan benar, agar Tante bisa paham," pinta Bu Fatma. Mely menunda kalimatnya, membuat sosok itu tak mengalihkan pandangan sedikit pun. "Tante harus menjebak Rania. Buat seolah-olah Tante terluka karena ulahnya, dengan begitu maka Malik mungkin akan mulai kecewa pada kebaikan hatinya." Bu Fatma cukup terkejut mendengar saran Mely b







