Saking syoknya, Bu Fatma sampai mundur kebelakang beberapa langkah. Darmi serta Bi Asih saling berpandangan satu sama lain. Mereka merasa bingung dengan ekspresi Bu Fatma.
Wajahnya bukan menunjukan bahagia mendengar menantunya hamil. Akan tetapi, malah terlihat seperti orang yang bingung. Darmi segera mengambil sapu serta serokannya. Dia menyapukan pecahan gelas yang berserakan di lantai.
"Kalian bercanda 'kan?" tanya Bu Fatma pada Bi Asih dan Darmi.
"Kok bercanda, Bu. Ini seriusan. Mas Malik lagi bawa Non Rania ke dokter kandungan hari ini untuk periksa," ungkap Darmi.
Bu Fatma meninggalkan dapur mencari ponselnya yang masih ada di dalam tasnya. Dia mengambil ponsel lalu menelpon Malik. Demi memastikan apa yang didengarnya dari kedua asisten rumah tangganya.
Drttt! Drtt!
Ponsel Malik bergetar dari saku celananya. Dia mengabaikannya. Mata dan fokusnya tertuju pada layar monitor USG. Tania meneteskan air mata haru melihat calon janin yang akan tumbuh di perutnya.
"Siapa Mas?" tanya Sania yang bisa mendengar getaran ponsel di saku Malik karena posisi Malik duduk di sampignya.
"Entahlah nanti saja di angkatnya," jawab Malik. Matanya berbinar pada layar monitor. Ponsel Malik terus bergetar membuat Malik risih dan akhirnya membuat Malik terpaksa merogonya. Keningnya berkerut saat melihat mamanya yang menelpon.
"Assalamualaikum. Hallo Ma," sapa Malik setelah mengangkat teleponnya.
"Malik. Kamu sama Rania dimana?" tanya Bu Fatma langsung ingin tahu.
"Kami sedang di dokter kandungan. Mengecek usia kehamilan Rania," jawab Malik dengan suara yang penuh semangat. Dia tidak bisa menutupi rasa bahagia melihat kehamilan Tania yang fi nantikan.
"Jadi benar Rania hamil?" tanya Bu Fatma memastikan.
"Iya Ma. Rania hamil delapan minggu. Kami sedang USG. Nanti hasilnya Malik perlihatkan pada kalian di rumah. Assalamualaikum." Malik mematikan teleponnya sepihak.
"Malik! Hallo Malik!" teriak Bu Fatma. Dia membanting ponselnya ke atas sofa lalu duduk seraya melipat tangan di dada. Bu Fatma memijat kepalanya yang terasa pening. Bagaimana mungkin Rania yang katanya sakit tidak bisa memberikan anak. Kini tengah hamil delapan minggu.
"Bagaimana bisa? Lalu apa yang harus saya katakan pada Mely? Dia pasti akan sangat marah jika saya membatalkan perjodohannya dengan Malik. Padahal saya sendiri yang datang dan memberi tawaran itu," monolog Bu Fatma dalam hati yang terus dilanda gelisah.
Tring!
Sebuah pesan masuk di grup chat keluarga. Malik membagikan hasil foto USG Tania di grup tersebut. Mata Bu Fatma semakin membola manakala melihat keterangan Malik jika Rania tengah hamil anak kembar.
"Arghhhhhh, saya bisa gila kalau begini!" jerit Bu Fatma mengacak bantal dan sprei hingga berantakan di lantai.
Di bawah Darmi dan Bi Asih saling menyenggol bahu satu sama lain. Mereka heran dengan sikap Bu Fatma. Kehadiran bayi yang selama ini mereka mimpikan akan segera menjadi kenyataan.
"Majikan kita itu kenapa sih? Menantu hamil bukannya senang kok malah ngamuk-ngamuk begitu," ujar Darmi yang kesal dengan sikap Bu Fatma.
"Saya juga gak tahu. Bukannya dulu Nyonya sendiri yang ingin punya cucu. Sekarang Allah kabulkan doa kita, dia malah kayak orang kesurupan begitu," timpal Bi Asih keheranan.
"Tapi jujur, saya lebih senang sikap Non Rania sekarang. Dia berani menolak apa yang tidak bisa dia lakukan. Kalau dulu saya sedih melihatnya yang terus bekerja tanpa henti. Apapun disuruh nyonya manut tanpa berani membantah."
"Kamu merasa tidak wajah Non Rania sekarang juga lebih cerah dan lebih segar?"
"Iya Bi, saya melihatnya. Wajah Non Rania sekarang memang lebih cantik dan cerah," puji Darmi.
Keduanya terus mengobrol di sela pekerjaan mereka. Mereka harus segera menyiapkan makanan sebelum Bu Fatma turun dan marah. Melihat belum ada satupun makanan terhidang di meja.
Sementara di rumah sakit. Malik menggandeng tangan Tania erat. Seolah takut istrinya itu terjatuh ataupun terpeleset. Mereka berjalan menuju parkiran mobil dengan wajah riang gembira.
"Mau pulang dulu atau kita mampir kemana gitu?" tanya Malik sebelum menyalakan mesin mobil.
"Mumpung masih di luar. Kita jalan-jalan dulu ke mall sebentar beli es krim dulu ya Mas, kayaknya aku pengen makan es krim rasa coklat," pinta Tania sedikit merengek manja.
Malik mengangguk setuju. Dia mulai menyalakan mesin mobil dan mobil pun melaju meninggalkan parkiran rumah sakit. Mereka pergi ke mall toko pakaian adalah tempat pertama mereka kunjungi. Mata Tania melihat satu persatu gaun yang digantung dengan antusias.
Rania suka pakaian yang serba tertutup dan kalem. Sedangkan Tania suka pakaian yang sedikit terbuka dan bahkan seksi. Meskipun tinggal di desa bersama pamannya bukan berarti Tania memiliki selera yang kampungan.
"Mas boleh aku beli gaun ini." Tania menunjukan sebuah gaun berwarna maroon. Gaun dengan lengan tali kecil di bahu dan belahan panjang di bagian bawah sisi kirinya.
"Kamu yakin mau membeli itu?" tanya Malik. Jujur sebenarnya dia penasaran ingin melihat Tania memakai gaun tersebut.
"Yakin banget," ucap Tania memasang wajah lugunya agar Malik tidak menolak.
"Pilih saja apa yang mau kamu beli," ucap Malik yang bagaikan angin segar bagi Tania. Hal itu tentu saja membuat Tania memilih beberapa gaun dengan lebih semangat. Malik tersenyum melihat wajah riang Tania saat memilih gaun satu persatu.
Tidak terasa sepuluh gaun sudah menumpuk di meja kasir. Tania ingin membatalkanya beberapa gaun karena menurutnya dia membeli terlalu banyak. Namun, Malik menolaknya. Dia menyerahkan black card pada kasir agar membungkus semuanya.
"Arghhhhh, Mas. Kamu memang yang terbaik," jerit histeris Tania.
Cup! Dia mencium pipi Malik sebagai ungkapan rasa terima kasihnya. Malik menyentuh pipi yang dicium Tania barusan. Jantungnya seperti mau meledak dengan wajah yang terasa panas.
Selesai belanja, keduanya menuju toko es krim. Bibir Tania yang mungil namun tebal di bagian bawahnya terus tersenyum lebar. Membuat Malik tidak bisa berhenti menatap bibir yang menggodanya. Sebuah mangkuk es krim coklat datang. Tangan Tania bertepuk riang.
"Mas tidak mau mencoba?" tanya Tania menawarkan es krim yang sedang di nikmatinya.
"Saya tidak suka es krim," tolak Malik.
"Sayang sekali. Es krim coklat itu es terenak di dunia," ujar Tania penuh semangat menyendokan es krim ke dalam mulutnya.
Tangan Malik naik ke atas menyeka es krim yang belepotan di sekitar bibir Tania. Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan lekat dan dalam. Wajah Malik yang dulu dingin sekarang menatap Tania penuh cinta.
Tania menahan lengan Malik yang sedang menyeka bibirnya. Dia membiarkan telapak tangan Malik mengelus pipi mulusnya. Malik memajukan wajahnya ke arah Tania. Saat wajah mereka hampir dekat.
Tring! Notif pesan masuk ke ponsel Malik membuat mereka spontan saling memalingkan wajah. Malik membuka ponsel yang tergeletak di meja lalu membaca pesannya. Wajahnya yang tampan memperlihatkan urat lehernya.
"Kenapa Mas?" tanya Tania bingung karena wajah Malik tegang dan terlihat kecewa yang teramat sangat. Malik menggeser ponselnya memperlihatkan isi pesan yang berasal dari Bu Fatma.
"Besok Mely dan ibunya akan datang ke rumah untuk makan malam bersama kita. Jadi bersiaplah!"
Malik melemparkan ponselnya ke meja. Dia tidak habis pikir mamanya masih saja mendekatkan dia dengan mely. Padahal sudah Malik yegaskan sejak dulu, jika dia tidak ada perasaan apapun Mely. Tania juga ikut kesal setelah membaca pesan Bu Fatma. Ibu macam apa yang ingin merusak rumah tangga anaknya sendiri. Keduanya sama-sama terdiam dengan isi pikiran masing-masing. "Lebih baik kita pulang aja yuk! Soalnya kakiku mulai terasa pegal," ajak Tania. Kakinya memang tidak seperti biasanya mungkin karena bawaan hamil jadi tubuhnya terasa cepat lelah. "Kamu serius ingin pulang?" tanya Malik. Sebenarnya dia masih ingin di luar bersama Tania. Menikmati kebersamaan berdua setelah hubungan mereka yang dulu dingin mencair. "Kita pulang sebelum mama meneror kamu terus Mas," kekeh Tania. Akhirnya terpaksa Malik setuju pulang setelah melihat Tania memijat kakinya sendiri. Dia membawa belanjaan di tangannya. Sedangkan tangan Tania melingkar erat di tangannya. Mereka tidak tahu jika ad
Mely mundur dengan mata yang menatap nyalang pada Tania. Bu Fatma seakan tidak percaya dengan keveranai yang ditunjukan menantunya itu. Demi menjaga suasana tetap kondusif, Bu Fatma menggiring Mely daj ibunya ke meka makan. Tania merangkul lengan Malik dan berjalan bersama menuju meja makan. Dia benar-benar kagum melihat penampilan Tania yang sexy dan berani. Mely hendak mengambil kursi yang ada di dibsamping Malik. Namun, dengan cekatan Tania meengajak Malik pindah menjadi di samping sisi kanannya. "Mely duduk!" perintah Sarah pada anaknya yang nampak menahan amarah. Melly Menghentakkan kedua kakinya lalu terpaksa duduk di samping Tania. Bibir Tania yang di beri lipstik warna merah merona. "Silahkan di nikmati! Maaf jika hidangannya seadanya," ucap Bu Fatma merendah. Padahal di meja tersaji berbagai macam hidangan yang jarang ada. "Terima kasih Fatma. Ini sudah lebih dari cukup," sahut Sarah. Ujung matanya mendelik melihat perubahan Rania yang begitu drastis. Dulu wa
Bu Fatma keluar dari kamarnya. Dia yakin jika ada seseorang yang menguping pembicaraannya dengan Mely. Langkah kakinya tertuju pada pintu yang menuju balkon. Dimenhendal lalu membuka gorden. "Meong!" Seekor kucing melompat dan hampir membuat Bu Fatman menjerit kaget. "Dasar kucing sialan," maki Bu Fatma karena diyakini orang ternyata seekor kucing yang menjatuhkan vas bunga. Tepat di samping gorden. Darmi membekap mulutnya takut ketahuan. Dia tidak saat itu sedang mengambil gelas bekas minum Bu Fatma di meja di ruang tamu lantai dua. Samar-samar dia mendengar Bu Fatma tengah sibuk mengobrol dan memaki seseorang. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mendekatkan telinga ke pintu. Saking kagetnya ternyata diam-diam Bu Fatma ingin menjadikan Mely istri Malik membuat Darmi tidak sengaja menyenggol vas bunga hingga jatuh. "Alhamdulilah, untung ada kucing piaraan Bi Asih. Kalo engga, aku bisa mati digantung nyonya jika ketahuan," gumam Darmi dalam hati. Dia segera menyelinap
Darmi dan Tania menengok ke belakang secara bersamaan.Tania spontan menggerakan leher serta kedua tangannya. Darmi dalam hatinya merasa takut jika Bu Fatma mendengar pembicaraannya dengan Tania. "Aku baru minta Darmi memijat, emang ada apa Ma?" tanya Tania sengaja balik bertanya ingin melihat reaksi Bu Fatma. "Gak ada. Mama cuma cari Bi Asih dari tadi dipanggil tidak menyahut. Kemana dia?" "Bi Asih mungkin menyapu halaman belakang Bu," jawab Darmi sedikit gugup. "Kamu kenapa gugup gitu? Saya kan cuma nanyain Bi Asih bukan mau makan kamu," omel Bu Fatma sambil melengos pergi. Tania dan Darmi mengikuti diam-diam. Setelah benar Bu Fatma menemui Bi Asih. Barulah Darmi dan Tania sama-sama menghela nafas lega. Tidak lama Bi Asih masuk setelah terlihat Bu Fatma menghampirinya. Darmi segera mendekati Bi Asih yang sedang mencuci tangan. Bibirnya nampak merengut tanda sedang tidak suka dengan permintaan Bu Fatma. "Bi Asih disuruh apa sama Nyonya?" tanya Darmi. "Dia minta aku
Kamu serius?" tanya Tania yang kaget mendengar ucapan Shela. "Sudah diam jangan bergerak. Cukup aku saja yang memperhatikan mereka berdua. Jangan sampai wanita ulat bulu itu melihat kamu ada disini juga," ujar Shela. Tania mengangguk patuh, dia tetap pada posisi duduknya yang membelakangi Mely dan Ikbal. Diam-diam, Shela merekam sikap mesra dengan kekasihnya. Setelah dirasa cukup Srha memperlihatkan rekaman video itu pda Tania. Dada Tania bergemuruh penuh emosi, bisa-bisanya mertuanya menjodohkan Malik dengan wanita yang seperti bunglon. Bu Fatma meminta saudara kembarnya untuk meninggalkan Malik hanya karena ingin menjodohkan Malik dengan Mely. Tangan Tania mengepal erat, rasanya dia ingin melabrak Mely saat itu juga. "Jangan gegabah! Menghadapi wanita ular yang didukung oleh ibu mertuamu yang jahat itu sama saja dengan bunuh diri. Mereka bisa mengelak dengan seribu alasan." Shela menahan lengan Tania yang hendak beranjak. Mely tidak sadar jika ada orang yang sedang
Semua nampak panik manakala Tania terus memegang perutnya yang terasa sakit. Seorang pegawai klinik memberikan air hangat. Shela membantu meminumkannya. Setelah mendengar instruksi dari pegawai tadi agar menarik napas dan mencoba rileks, barulah Tania perlahan membaik. "Sudah baikan Mba?" tanya pegawai itu sambil memijit kaki Tania. "Sudah. Terima kasih," jawab Tania setelah kram perutnya benar-benar hilang. "Jangan bikin panik dong! Aku bisa mati digantung suami kamu nanti kalo ada apa-apa sama bayi kalian," omel Shela yang tadi panik setengah mati. "Iya Maaf. Mungkin karena tadi tegang. Makanya jadi kram perutnya. Anterin pulang yuk. Sekalian aku kenalin kamu sama ibu mertuaku biar tahu wajahnya," ajak Tania. Shela mengangguk setuju. Dia memang harus tahu seperti apa wajah mertua Tania yang zalim itu. Shela membantu membawa barang belanjaan Tania, mereka keluar dari klinik kecantikan dan meninggalkan mall. Bu Fatma yang merasa dongkol pun pamitan pada Sarah. Di
Malik yang baru datang dari lantai bawah segera membuka pintu, setelah dia mendengar isak tangis Tanian. Malik masuk ke dalam kamar. Dia mendapati Tania tengah duduk di bawah lantai di sudut tempat tidur. "Sayang, ada apa?" tanya Malik panik seraya berjongkok di hadapan Tania. "Rania, Mas… Rania," oceh Tania dengan tangis yang histeris. Takut ada yang mendengar Malik menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Dia kembali mendekati Tania lalu menariknya ke dalam pelukan. "Katakan ada apa? Apa yang terjadi dengan Rania?" tanya Malik lagi dengan suara pelan sementara tangannya sambil menhelus rambut Tania. "Mas kita hatus ke desa sekarang. Barusan aku telpoanan dengannya. Tiba-tiba aku mendnegarvsuara jatuh. Paman Burhan bilamg Rania jatuh pingsan. Ayok Mas, kita harus ke sana sekarang," rengek Tania disela isak tangisnya. Deg!! Dada Malik bagaikan di hantam sebuah batu mendengar uacapan Tania. Dia melepaskan pelukan Tania, menahan kedua bahunya yang bergetar. Tangannya me
Rania terkejut melihat kakaknya hampir jatuh tersungkur ke lantai, tetapi Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk sekadar bersuara saja Ia kesulitan, saat ini seluruh tubuhnya terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Rasa sakit di perutnya sudah menjalar ke mana-mana. Dokter hanya bisa berusaha mengalihkan sedikit rasa sakitnya dengan sementara. "Tania kenapa? apa pas di jalan tadi dia mengeluhkan sesuatu?" tanya Paman Burhan pada Malik yang juga kebingungan. Mereka menggotong tubuh Tania lalu membaringkannya di brankar kosong yang ada di samping Rania. Kebetulan ruangan kelas satu sedang penuh jadi Rania kebagian ruang rawat kelas dua dengan satu ruangan berisi dua pasien. Di kamar itu baru ada Rania seorang diri ditemani Paman Burhan. "Tidak ada, tadi dia baik-baik saja Paman. Tapi, mungkin kita perlu panggil suster juga." Malik panik dan merogoh-rogoh saku jaket dan celananya seperti mencari sesuatu. "Tunggu dulu, Ia mungkin cuma syok melihat adiknya seperti ini. Apa kalian su