Share

Bab 4 Mulai bertukar posisi

Kamu kenapa Rania?" tanya Paman Burhan pada Rania yang baru saja siuman.

  Rania memijit kepalanya yang masih terasa pusing. "Mungkin aku kelelahan Paman," jawab Rania menutupi perasaannya. 

  "Tabahkan dan kuatkan hatimu! Semua terjadi atas permintaan kamu. Paman tahu, dilubuk hati paling dalam kamu pasti merasa sedih melihat pernikahan Malik." 

   "Iya Paman, aku tahu. Aku sedang berusaha ikhlas dengan semua ini. Semoga kehadiran Kak Tania dirumah itu membawa perubahan yang tidak bisa aku lakukan," lirih Rania sendu.

  Paman Burhan memeluk Rania sambil mengelus rambutnya. "Sekarang kamu fokus pada kesehatanmu dulu. Jangan banyak pikiran lagi!" 

   "Terima kasih Paman. Maaf aku sudah merepotkan Paman dan juga Kak Tania." 

    Sepanjang perjalan suasana di dalam mobil hening. Malik dan Tania sama-sama mengunci mulut mereka rapat-rapat. Keduanya masih tidak menyangka jika mereka sudah sah menjadi suami istri. Padahal Malik dan Tania baru bertemu dua kali, saat melamar Rania dan hari pernikahannya.

  Saat itu Malik datang seorang diri melamar Rania, sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahui jika Rania memiliki saudara kembar. Mereka juga terpaksa menikah di desa karena Bu Fatma menentang keras hubungan Malik dengan Rania. 

   "Apa kamu lapar?" tanya Malik mencoba mencairkan kecanggungan. 

  "Aku tidak lapar. Aku hanya cemas, takut jika ada yang mengenaliku kalau aku bukan Rania," jawab Tania jujur.

  "Jangan khawatir! Aku rasa tidak akan ada yang menyadarinya. Wajah kalian seperti pinang dibelah dua, hanya aku yang benar-benar tahu mana Rania dan mana Tania." 

  "Iya, kamu benar. Kalian sudah lama menikah pasti sudah punya ikatan batin yang sangat kuat. Wajah kami memang mirip tapi sifat kami jauh berbeda, semoga kamu tidak terkejut saat melihatnya nanti," kekeh Tania. 

   Malik hanya menarik kedua alisnya sebagai jawaban. Memang benar apa yang dikatakan oleh Tania. Meskipun wajah mereka mirip tapi dari cara bicara dan sikap, mereka sangat berbeda. Rania cenderung pendiam sementara Tania luwes dan pandai bicara. 

  Tidak terasa mobil Malik sudah sampai di halaman depan rumahnya. Tania menarik napas lalu menghembuskannya sebelum turun dari mobil. Dia sudah menerima permintaan adiknya untuk menggantikan posisinya sebagai menantu dirumah itu.

  "Ayo masuk." Malik membukakan pintu mobil untuk Tania. 

  Malik dan Tania berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Rumah sudah sepi karena keduanya tiba jam sepuluh malam. Sepertinya para penghuni rumah sudah tidur. Tania terus mengekori Malik hingga mereka berhenti di sebuah pintu. 

  Jantung Tania berdegup kencang saat Malik membuka pintu. Kakinya sedikit ragu untuk menginjak masuk ke dalam, membayangkan dia akan satu kamar dengan Malik. Mata Tania memperhatikan setiap sudut ruangan kamar tersebut. 

  "Kamu bisa tidur di kasur. Aku akan tidur di sofa," ucap Malik paham. Apa yang dipikirkan Tania sama dengannya.

   "Aku ingin mandi tapi lupa membawa baju."

   "Kamu bisa memakai baju Rania. Bukankah ukuran baju kalian sama?" 

  Tania mengangguk pelan. Malik membuka sebuah pintu lemari yang ada di dekat meja rias. Tumpukan baju Rania tersusun rapih disana. Tania memberanikan diri mencari pakaian yang cocok untuknya. Pilihannya jatuh pada piyama tidur yang berbahan satin berlengan panjang.

  Setelah mengambil baju ganti. Tania bergegas ke kamar mandi yang masih ada dalam kamar. Tania keluar setelah selesai mandi dan ganti baju. Giliran Malik yang masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Malik terus menghela napas panjang. 

   "Kamu tidak mandi dulu?" tanya Tania begitu keluar dari kamar mandi. Ia berjalan perlahan menuju sofa ternyata Melihat Malik sudah terlelap dengan wajah lelah.

   Jantung Tania terus saja berdebar tidak karuan. Walau bagaimanapun, rasanya terlalu aneh dia harus satu kamar dengan adik ipar yang sekarang malah menjadi suaminya juga. Tania naik ke atas kasur lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

   Azan subuh berkumandang sahdu. Tania yang terbiasa bangun setelah azan membuka mata dan pergi ke kamar mandi. Ia berwudu kemudian menunaikan kewajibannya. Tania membangunkan Malik dengan sedikit menggoyangkan tubuhnya. 

  "Sayang, aku masih ngantuk," ucap Malik. Mengira jika yang membangunkannya adalah Rania. Dia menarik tangan Tania hingga jatuh tepat diatas tubuhnya. 

  "Aku bukan Rania." 

   Mendengar Tania bicara, Malik refleks membuka mata. Keduanya saling beradu pandang dengan jarak yang begitu dekat. Tania segera melepaskan diri dan bangun dari atas tubuh Malik. Wajahnya terasa panas dan jantungnya yang sudah normal kembali tidak beraturan.

   "Maaf, aku …." Malik langsung terduduk menjadi salah tingkah. 

  "Apa yang biasa Rania lakukan dijam seperti ini?" tanya Tania mengalihkan topik permbicaraan.

  "Biasanya dia sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untukku."

  "Memang kamu mau sarapan apa?" 

  "Tidak usah, biar Bi Asih yang melakukannya," larang Malik. 

   Tania keluar kamar tanpa bertanya lagi. Kepalanya celingukan kekiri dan kanan mencari letak dapur. Sebuah tangan menyentuh bahunya dari belakang. Rumah Malik begitu besar dan Tania belum hapal setiap bagian pada rumah itu.

   "Non Rania kapan pulang? Non Rania gak sakit parah kan?" tanya Bi Asih yang senang sekaligus cemas.

  "Sudah tadi malam," jawab Tania. Dia melihat ketulusan dari wanita paruh baya yang sedang bertanya padanya.

   "Alhamdulilah kalo begitu. Bibi senang kalo Non Rania baik-baik saja dan tidak terlalu lama dirumah sakit. Non Rania butuh apa? Biar Bibi buatkan."

  Tania hanya mengulas senyum. "Bi bisa saya minta tolong buatkan sarapan untuk Malik. Eh maksudnya Mas Malik." Tania sedikit gelagapan lidahnya masih belum terbiasa memanggil Malik dengan sebutan Mas.

  "Kenapa harus Bi Asih yang buat? Kamu 'kan istrinya. Harusnya kamu yang menyiapkan sarapan untuk suami kamu," potong Bu Fatma yang tiba-tiba muncul dari belakang. Sebenarnya dia terkejut melihat Rania sudah pulang. 

  Bi Asih segera menundukkan wajah begitu mendengar suara sang nyonya. Sementara Tania malah menatap tajam wanita yang sudah menjadi ibu mertuanya juga. Bu Fatma melewati Bi Asih dan berdiri dihadapan Tania.

  "Baiklah. Ada yang bisa aku buatkan untuk Mama?" tanya Tania basa basi. Dia tidak ingin berdebat dipagi hari tapi sebuah rencana telah tersusun rapih dikepalanya.

  "Buatkan Mama teh manis dan juga roti bakar. Jangan lupa takarannya sesuaikan," titah Bu Fatma.

   "Biar saya saja yang buatkan Nyonya. Kasian Non Rania baru pulang dari rumah sakit," tawar Bi Asih. Dia sangat kesal dengan sang majikan yang tidak punya hati nurani.

  "Saya mau Rania yang menyiapkan makanan seperti biasa," sentak Bu Fatma seraya melangkah menuju meja makan lebih dulu.

  "Ayo Bi. Kita ke dapur." Tania menyeret lengan Bi Asih yang hendak membuka suara lagi.

  Setelah ada di dapur Bi Asih membantu Tania menyiapkan air panas dan membakar roti. Dia tidak tega membiarkan Rania yang masih sakit mengerjakannya seorang diri. Tania hanya tersenyum melihat semua orang mengira dia adalah Rania. 

   "Biar nanti roti bakarnya saya yang olesi selainya Bi. Mana tempat penyimpanan gulanya?" 

  "Ada tepat diatas kepala non Rania. Masa lupa?" tanya Bi Asih keheranan.

   "Hanya bercanda Bi," kilah Tania. Matanya membaca setiap tulisan yang ada dalam toples. Tangannya meraih wadah garam dan memasukan dua sendok ke dalam gelas teh. 

   Tania berusaha menahan tawa." Selamat mencicipi teh asin."

  Tania membawa cangkir teh dan roti bakar pesanan Bu Fatma. Melihat tingkah Bu Fatma yang angkuh membuat Tania semakin ingin mengerjainya habis-habisan. Dia tidak terima jika adiknya diperlakukan seperti seorang pembantu selama ini. 

   "Ini teh dan roti bakarnya." Tania meletakan baki di atas meja makan.

  Bu Fatma memicingkan mata. Menatap Tania dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia semakin merasa heran karena wajahnya nampak sehat tidak seperti orang sakit. Bu Fatma mengambil cangkir teh manis lalu perlahan meminumnya.

   Pyurrr! Bu Fatma menyemburkan air teh ke lantai.

   "Rania, kenapa tehnya sangat asin?" Protes Bu Fatma. Tania berusaha menahan tawanya melihat ekepresi Bu Fatma.

  "Masa sih Ma. Coba aku icip sedikit." Tania menyedokkan air teh dengan sudut sendok. "Maaf Ma. Sepertinya aku salah baca, mungkin karena aku masih sakit jadi belum bisa membaca dengan jelas," kilah Tania mencari alasan. 

  Wajah Bu Fatma menegang, mulutnya hendak terbuka kembali untuk mengomel namun urung. Malik keburu turun dan duduk dimeja makan. Bu Fatma memilih berlari ke wastafel untuk mencuci mulutnya. 

  "Sayang. Hari ini aku tidak bisa membuatkan kamu sarapan. Jadi aku minta Bi Asih yang menyediakannya. Kamu tidak keberatan kan?" Tania mulai bersandiwara seperti Rania. Sebelah matanya berkedip memberi kode pada Malik.

  "Tidak masalah sayang. Kamu istirahat saja agar cepat sembuh," jawab Malik berusaha mengimbangi akting Tania. 

   "Baiklah, aku kembali ke kamar kalo begitu. Hati-hati di jalan." Tania mendaratkan sebuah kecupan di pipi Malik agar aktingnya terlihat natural. Dia bergegas naik ke lantai atas menuju kamar lagi.

   "Bukankah Rania sakit? Tapi kenapa wajahnya terlihat sehat?" tanya Bu Fatma menyelidik.

  "Mungkin hanya perasaan Mama saja. Rania masih lemas dan butuh istirahat, tolong Mama jangan menyuruhnya melakukan apapun! Aku pergi kerja dulu," pamit Malik yang tidak ingin berlama-lama duduk dengan ibunya. 

   

   "Bela saja terus istri kamu yang tidak berguna itu," desis Bu Fatma kesal. Tangannya meraih roti bakar yang sudah mulai dingin. Begitu roti masuk ke dalam mulutnya, bola mata Bu Fatma melotot sempurna.

   "Rania!" teriak Bu Fatma dengan suara yang menggelegar. 

   

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status