Kamu kenapa Rania?" tanya Paman Burhan pada Rania yang baru saja siuman.
Rania memijit kepalanya yang masih terasa pusing. "Mungkin aku kelelahan Paman," jawab Rania menutupi perasaannya.
"Tabahkan dan kuatkan hatimu! Semua terjadi atas permintaan kamu. Paman tahu, dilubuk hati paling dalam kamu pasti merasa sedih melihat pernikahan Malik."
"Iya Paman, aku tahu. Aku sedang berusaha ikhlas dengan semua ini. Semoga kehadiran Kak Tania dirumah itu membawa perubahan yang tidak bisa aku lakukan," lirih Rania sendu.
Paman Burhan memeluk Rania sambil mengelus rambutnya. "Sekarang kamu fokus pada kesehatanmu dulu. Jangan banyak pikiran lagi!"
"Terima kasih Paman. Maaf aku sudah merepotkan Paman dan juga Kak Tania."
Sepanjang perjalan suasana di dalam mobil hening. Malik dan Tania sama-sama mengunci mulut mereka rapat-rapat. Keduanya masih tidak menyangka jika mereka sudah sah menjadi suami istri. Padahal Malik dan Tania baru bertemu dua kali, saat melamar Rania dan hari pernikahannya.
Saat itu Malik datang seorang diri melamar Rania, sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahui jika Rania memiliki saudara kembar. Mereka juga terpaksa menikah di desa karena Bu Fatma menentang keras hubungan Malik dengan Rania.
"Apa kamu lapar?" tanya Malik mencoba mencairkan kecanggungan.
"Aku tidak lapar. Aku hanya cemas, takut jika ada yang mengenaliku kalau aku bukan Rania," jawab Tania jujur.
"Jangan khawatir! Aku rasa tidak akan ada yang menyadarinya. Wajah kalian seperti pinang dibelah dua, hanya aku yang benar-benar tahu mana Rania dan mana Tania."
"Iya, kamu benar. Kalian sudah lama menikah pasti sudah punya ikatan batin yang sangat kuat. Wajah kami memang mirip tapi sifat kami jauh berbeda, semoga kamu tidak terkejut saat melihatnya nanti," kekeh Tania.
Malik hanya menarik kedua alisnya sebagai jawaban. Memang benar apa yang dikatakan oleh Tania. Meskipun wajah mereka mirip tapi dari cara bicara dan sikap, mereka sangat berbeda. Rania cenderung pendiam sementara Tania luwes dan pandai bicara.
Tidak terasa mobil Malik sudah sampai di halaman depan rumahnya. Tania menarik napas lalu menghembuskannya sebelum turun dari mobil. Dia sudah menerima permintaan adiknya untuk menggantikan posisinya sebagai menantu dirumah itu.
"Ayo masuk." Malik membukakan pintu mobil untuk Tania.
Malik dan Tania berjalan beriringan masuk ke dalam rumah. Rumah sudah sepi karena keduanya tiba jam sepuluh malam. Sepertinya para penghuni rumah sudah tidur. Tania terus mengekori Malik hingga mereka berhenti di sebuah pintu.
Jantung Tania berdegup kencang saat Malik membuka pintu. Kakinya sedikit ragu untuk menginjak masuk ke dalam, membayangkan dia akan satu kamar dengan Malik. Mata Tania memperhatikan setiap sudut ruangan kamar tersebut.
"Kamu bisa tidur di kasur. Aku akan tidur di sofa," ucap Malik paham. Apa yang dipikirkan Tania sama dengannya.
"Aku ingin mandi tapi lupa membawa baju."
"Kamu bisa memakai baju Rania. Bukankah ukuran baju kalian sama?"
Tania mengangguk pelan. Malik membuka sebuah pintu lemari yang ada di dekat meja rias. Tumpukan baju Rania tersusun rapih disana. Tania memberanikan diri mencari pakaian yang cocok untuknya. Pilihannya jatuh pada piyama tidur yang berbahan satin berlengan panjang.
Setelah mengambil baju ganti. Tania bergegas ke kamar mandi yang masih ada dalam kamar. Tania keluar setelah selesai mandi dan ganti baju. Giliran Malik yang masuk ke dalam kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Malik terus menghela napas panjang.
"Kamu tidak mandi dulu?" tanya Tania begitu keluar dari kamar mandi. Ia berjalan perlahan menuju sofa ternyata Melihat Malik sudah terlelap dengan wajah lelah.
Jantung Tania terus saja berdebar tidak karuan. Walau bagaimanapun, rasanya terlalu aneh dia harus satu kamar dengan adik ipar yang sekarang malah menjadi suaminya juga. Tania naik ke atas kasur lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.
Azan subuh berkumandang sahdu. Tania yang terbiasa bangun setelah azan membuka mata dan pergi ke kamar mandi. Ia berwudu kemudian menunaikan kewajibannya. Tania membangunkan Malik dengan sedikit menggoyangkan tubuhnya.
"Sayang, aku masih ngantuk," ucap Malik. Mengira jika yang membangunkannya adalah Rania. Dia menarik tangan Tania hingga jatuh tepat diatas tubuhnya.
"Aku bukan Rania."
Mendengar Tania bicara, Malik refleks membuka mata. Keduanya saling beradu pandang dengan jarak yang begitu dekat. Tania segera melepaskan diri dan bangun dari atas tubuh Malik. Wajahnya terasa panas dan jantungnya yang sudah normal kembali tidak beraturan.
"Maaf, aku …." Malik langsung terduduk menjadi salah tingkah.
"Apa yang biasa Rania lakukan dijam seperti ini?" tanya Tania mengalihkan topik permbicaraan.
"Biasanya dia sudah sibuk di dapur menyiapkan sarapan untukku."
"Memang kamu mau sarapan apa?"
"Tidak usah, biar Bi Asih yang melakukannya," larang Malik.
Tania keluar kamar tanpa bertanya lagi. Kepalanya celingukan kekiri dan kanan mencari letak dapur. Sebuah tangan menyentuh bahunya dari belakang. Rumah Malik begitu besar dan Tania belum hapal setiap bagian pada rumah itu.
"Non Rania kapan pulang? Non Rania gak sakit parah kan?" tanya Bi Asih yang senang sekaligus cemas.
"Sudah tadi malam," jawab Tania. Dia melihat ketulusan dari wanita paruh baya yang sedang bertanya padanya.
"Alhamdulilah kalo begitu. Bibi senang kalo Non Rania baik-baik saja dan tidak terlalu lama dirumah sakit. Non Rania butuh apa? Biar Bibi buatkan."
Tania hanya mengulas senyum. "Bi bisa saya minta tolong buatkan sarapan untuk Malik. Eh maksudnya Mas Malik." Tania sedikit gelagapan lidahnya masih belum terbiasa memanggil Malik dengan sebutan Mas.
"Kenapa harus Bi Asih yang buat? Kamu 'kan istrinya. Harusnya kamu yang menyiapkan sarapan untuk suami kamu," potong Bu Fatma yang tiba-tiba muncul dari belakang. Sebenarnya dia terkejut melihat Rania sudah pulang.
Bi Asih segera menundukkan wajah begitu mendengar suara sang nyonya. Sementara Tania malah menatap tajam wanita yang sudah menjadi ibu mertuanya juga. Bu Fatma melewati Bi Asih dan berdiri dihadapan Tania.
"Baiklah. Ada yang bisa aku buatkan untuk Mama?" tanya Tania basa basi. Dia tidak ingin berdebat dipagi hari tapi sebuah rencana telah tersusun rapih dikepalanya.
"Buatkan Mama teh manis dan juga roti bakar. Jangan lupa takarannya sesuaikan," titah Bu Fatma.
"Biar saya saja yang buatkan Nyonya. Kasian Non Rania baru pulang dari rumah sakit," tawar Bi Asih. Dia sangat kesal dengan sang majikan yang tidak punya hati nurani.
"Saya mau Rania yang menyiapkan makanan seperti biasa," sentak Bu Fatma seraya melangkah menuju meja makan lebih dulu.
"Ayo Bi. Kita ke dapur." Tania menyeret lengan Bi Asih yang hendak membuka suara lagi.
Setelah ada di dapur Bi Asih membantu Tania menyiapkan air panas dan membakar roti. Dia tidak tega membiarkan Rania yang masih sakit mengerjakannya seorang diri. Tania hanya tersenyum melihat semua orang mengira dia adalah Rania.
"Biar nanti roti bakarnya saya yang olesi selainya Bi. Mana tempat penyimpanan gulanya?"
"Ada tepat diatas kepala non Rania. Masa lupa?" tanya Bi Asih keheranan.
"Hanya bercanda Bi," kilah Tania. Matanya membaca setiap tulisan yang ada dalam toples. Tangannya meraih wadah garam dan memasukan dua sendok ke dalam gelas teh.
Tania berusaha menahan tawa." Selamat mencicipi teh asin."
Tania membawa cangkir teh dan roti bakar pesanan Bu Fatma. Melihat tingkah Bu Fatma yang angkuh membuat Tania semakin ingin mengerjainya habis-habisan. Dia tidak terima jika adiknya diperlakukan seperti seorang pembantu selama ini.
"Ini teh dan roti bakarnya." Tania meletakan baki di atas meja makan.
Bu Fatma memicingkan mata. Menatap Tania dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia semakin merasa heran karena wajahnya nampak sehat tidak seperti orang sakit. Bu Fatma mengambil cangkir teh manis lalu perlahan meminumnya.
Pyurrr! Bu Fatma menyemburkan air teh ke lantai.
"Rania, kenapa tehnya sangat asin?" Protes Bu Fatma. Tania berusaha menahan tawanya melihat ekepresi Bu Fatma.
"Masa sih Ma. Coba aku icip sedikit." Tania menyedokkan air teh dengan sudut sendok. "Maaf Ma. Sepertinya aku salah baca, mungkin karena aku masih sakit jadi belum bisa membaca dengan jelas," kilah Tania mencari alasan.
Wajah Bu Fatma menegang, mulutnya hendak terbuka kembali untuk mengomel namun urung. Malik keburu turun dan duduk dimeja makan. Bu Fatma memilih berlari ke wastafel untuk mencuci mulutnya.
"Sayang. Hari ini aku tidak bisa membuatkan kamu sarapan. Jadi aku minta Bi Asih yang menyediakannya. Kamu tidak keberatan kan?" Tania mulai bersandiwara seperti Rania. Sebelah matanya berkedip memberi kode pada Malik.
"Tidak masalah sayang. Kamu istirahat saja agar cepat sembuh," jawab Malik berusaha mengimbangi akting Tania.
"Baiklah, aku kembali ke kamar kalo begitu. Hati-hati di jalan." Tania mendaratkan sebuah kecupan di pipi Malik agar aktingnya terlihat natural. Dia bergegas naik ke lantai atas menuju kamar lagi.
"Bukankah Rania sakit? Tapi kenapa wajahnya terlihat sehat?" tanya Bu Fatma menyelidik.
"Mungkin hanya perasaan Mama saja. Rania masih lemas dan butuh istirahat, tolong Mama jangan menyuruhnya melakukan apapun! Aku pergi kerja dulu," pamit Malik yang tidak ingin berlama-lama duduk dengan ibunya.
"Bela saja terus istri kamu yang tidak berguna itu," desis Bu Fatma kesal. Tangannya meraih roti bakar yang sudah mulai dingin. Begitu roti masuk ke dalam mulutnya, bola mata Bu Fatma melotot sempurna.
"Rania!" teriak Bu Fatma dengan suara yang menggelegar.
Setiap hari ada saja tingkah Tania yang membuat Bu Fatma sakit kepala. Bu Fatma merasa aneh dengan perubahan sikap menantunya tersebut. Rania yang biasanya penurut dan tidak berani membantah, sekarang berubah drastis. Pagi-pagi sekali Tania sudah siap dengan alat pel dan embernya. Bukan Tania namanya, jika mau mengerjakan sesuatu tanpa ada maksud tertentu. Ia sengaja mengepel lantai dengan kain yang sangat basah tepat didepan anak tangga terakhir. "Nah begitu 'kan enak dilihat. Jadi menantu itu jangan cuma makan sama tidur aja," ejek Bu Fatma seraya melangkah melewati Tania yang sedang membungkuk. "Iya Ma." Tania mengepal erat gagang pel yang ada ditangannya. Dia segera membawa ember serta kain pel masuk kedalam kamar mandi dan tertawa keras. "Satu … dua … tig …." "Rania!" Bu Fatma berteriak cukup kencang. Bi Asih dan Darmi yang berada di dapur segera berlarian menuju sumber suara. Keduanya kaget melihat tubuh Bu Fatma sudah ada dilantai basah kuyup. Lantai yang basah
Saking syoknya, Bu Fatma sampai mundur kebelakang beberapa langkah. Darmi serta Bi Asih saling berpandangan satu sama lain. Mereka merasa bingung dengan ekspresi Bu Fatma. Wajahnya bukan menunjukan bahagia mendengar menantunya hamil. Akan tetapi, malah terlihat seperti orang yang bingung. Darmi segera mengambil sapu serta serokannya. Dia menyapukan pecahan gelas yang berserakan di lantai. "Kalian bercanda 'kan?" tanya Bu Fatma pada Bi Asih dan Darmi. "Kok bercanda, Bu. Ini seriusan. Mas Malik lagi bawa Non Rania ke dokter kandungan hari ini untuk periksa," ungkap Darmi. Bu Fatma meninggalkan dapur mencari ponselnya yang masih ada di dalam tasnya. Dia mengambil ponsel lalu menelpon Malik. Demi memastikan apa yang didengarnya dari kedua asisten rumah tangganya. Drttt! Drtt! Ponsel Malik bergetar dari saku celananya. Dia mengabaikannya. Mata dan fokusnya tertuju pada layar monitor USG. Tania meneteskan air mata haru melihat calon janin yang akan tumbuh di perutnya.
Malik melemparkan ponselnya ke meja. Dia tidak habis pikir mamanya masih saja mendekatkan dia dengan mely. Padahal sudah Malik yegaskan sejak dulu, jika dia tidak ada perasaan apapun Mely. Tania juga ikut kesal setelah membaca pesan Bu Fatma. Ibu macam apa yang ingin merusak rumah tangga anaknya sendiri. Keduanya sama-sama terdiam dengan isi pikiran masing-masing. "Lebih baik kita pulang aja yuk! Soalnya kakiku mulai terasa pegal," ajak Tania. Kakinya memang tidak seperti biasanya mungkin karena bawaan hamil jadi tubuhnya terasa cepat lelah. "Kamu serius ingin pulang?" tanya Malik. Sebenarnya dia masih ingin di luar bersama Tania. Menikmati kebersamaan berdua setelah hubungan mereka yang dulu dingin mencair. "Kita pulang sebelum mama meneror kamu terus Mas," kekeh Tania. Akhirnya terpaksa Malik setuju pulang setelah melihat Tania memijat kakinya sendiri. Dia membawa belanjaan di tangannya. Sedangkan tangan Tania melingkar erat di tangannya. Mereka tidak tahu jika ad
Mely mundur dengan mata yang menatap nyalang pada Tania. Bu Fatma seakan tidak percaya dengan keveranai yang ditunjukan menantunya itu. Demi menjaga suasana tetap kondusif, Bu Fatma menggiring Mely daj ibunya ke meka makan. Tania merangkul lengan Malik dan berjalan bersama menuju meja makan. Dia benar-benar kagum melihat penampilan Tania yang sexy dan berani. Mely hendak mengambil kursi yang ada di dibsamping Malik. Namun, dengan cekatan Tania meengajak Malik pindah menjadi di samping sisi kanannya. "Mely duduk!" perintah Sarah pada anaknya yang nampak menahan amarah. Melly Menghentakkan kedua kakinya lalu terpaksa duduk di samping Tania. Bibir Tania yang di beri lipstik warna merah merona. "Silahkan di nikmati! Maaf jika hidangannya seadanya," ucap Bu Fatma merendah. Padahal di meja tersaji berbagai macam hidangan yang jarang ada. "Terima kasih Fatma. Ini sudah lebih dari cukup," sahut Sarah. Ujung matanya mendelik melihat perubahan Rania yang begitu drastis. Dulu wa
Bu Fatma keluar dari kamarnya. Dia yakin jika ada seseorang yang menguping pembicaraannya dengan Mely. Langkah kakinya tertuju pada pintu yang menuju balkon. Dimenhendal lalu membuka gorden. "Meong!" Seekor kucing melompat dan hampir membuat Bu Fatman menjerit kaget. "Dasar kucing sialan," maki Bu Fatma karena diyakini orang ternyata seekor kucing yang menjatuhkan vas bunga. Tepat di samping gorden. Darmi membekap mulutnya takut ketahuan. Dia tidak saat itu sedang mengambil gelas bekas minum Bu Fatma di meja di ruang tamu lantai dua. Samar-samar dia mendengar Bu Fatma tengah sibuk mengobrol dan memaki seseorang. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mendekatkan telinga ke pintu. Saking kagetnya ternyata diam-diam Bu Fatma ingin menjadikan Mely istri Malik membuat Darmi tidak sengaja menyenggol vas bunga hingga jatuh. "Alhamdulilah, untung ada kucing piaraan Bi Asih. Kalo engga, aku bisa mati digantung nyonya jika ketahuan," gumam Darmi dalam hati. Dia segera menyelinap
Darmi dan Tania menengok ke belakang secara bersamaan.Tania spontan menggerakan leher serta kedua tangannya. Darmi dalam hatinya merasa takut jika Bu Fatma mendengar pembicaraannya dengan Tania. "Aku baru minta Darmi memijat, emang ada apa Ma?" tanya Tania sengaja balik bertanya ingin melihat reaksi Bu Fatma. "Gak ada. Mama cuma cari Bi Asih dari tadi dipanggil tidak menyahut. Kemana dia?" "Bi Asih mungkin menyapu halaman belakang Bu," jawab Darmi sedikit gugup. "Kamu kenapa gugup gitu? Saya kan cuma nanyain Bi Asih bukan mau makan kamu," omel Bu Fatma sambil melengos pergi. Tania dan Darmi mengikuti diam-diam. Setelah benar Bu Fatma menemui Bi Asih. Barulah Darmi dan Tania sama-sama menghela nafas lega. Tidak lama Bi Asih masuk setelah terlihat Bu Fatma menghampirinya. Darmi segera mendekati Bi Asih yang sedang mencuci tangan. Bibirnya nampak merengut tanda sedang tidak suka dengan permintaan Bu Fatma. "Bi Asih disuruh apa sama Nyonya?" tanya Darmi. "Dia minta aku
Kamu serius?" tanya Tania yang kaget mendengar ucapan Shela. "Sudah diam jangan bergerak. Cukup aku saja yang memperhatikan mereka berdua. Jangan sampai wanita ulat bulu itu melihat kamu ada disini juga," ujar Shela. Tania mengangguk patuh, dia tetap pada posisi duduknya yang membelakangi Mely dan Ikbal. Diam-diam, Shela merekam sikap mesra dengan kekasihnya. Setelah dirasa cukup Srha memperlihatkan rekaman video itu pda Tania. Dada Tania bergemuruh penuh emosi, bisa-bisanya mertuanya menjodohkan Malik dengan wanita yang seperti bunglon. Bu Fatma meminta saudara kembarnya untuk meninggalkan Malik hanya karena ingin menjodohkan Malik dengan Mely. Tangan Tania mengepal erat, rasanya dia ingin melabrak Mely saat itu juga. "Jangan gegabah! Menghadapi wanita ular yang didukung oleh ibu mertuamu yang jahat itu sama saja dengan bunuh diri. Mereka bisa mengelak dengan seribu alasan." Shela menahan lengan Tania yang hendak beranjak. Mely tidak sadar jika ada orang yang sedang
Semua nampak panik manakala Tania terus memegang perutnya yang terasa sakit. Seorang pegawai klinik memberikan air hangat. Shela membantu meminumkannya. Setelah mendengar instruksi dari pegawai tadi agar menarik napas dan mencoba rileks, barulah Tania perlahan membaik. "Sudah baikan Mba?" tanya pegawai itu sambil memijit kaki Tania. "Sudah. Terima kasih," jawab Tania setelah kram perutnya benar-benar hilang. "Jangan bikin panik dong! Aku bisa mati digantung suami kamu nanti kalo ada apa-apa sama bayi kalian," omel Shela yang tadi panik setengah mati. "Iya Maaf. Mungkin karena tadi tegang. Makanya jadi kram perutnya. Anterin pulang yuk. Sekalian aku kenalin kamu sama ibu mertuaku biar tahu wajahnya," ajak Tania. Shela mengangguk setuju. Dia memang harus tahu seperti apa wajah mertua Tania yang zalim itu. Shela membantu membawa barang belanjaan Tania, mereka keluar dari klinik kecantikan dan meninggalkan mall. Bu Fatma yang merasa dongkol pun pamitan pada Sarah. Di