"Telpon polisi!" saran Ratih saat keduanya sudah masuk di dalam mobil. Irfan langsung menggeleng dengan tegas."Kau ingat kita memaksa menaruh sianida di dalam mulut Brata? Kalau sampai polisi menyelidiki hal ini, maka habislah kita. Kalau bisa jangan sampai publik dan polisi tahu kalau Brata telah hilang, Ratih.""Lalu kita harus bagaimana, Mas? Kita biarkan saja Brata yang sudah pergi entah kemana itu bersama Sri? Kalau begitu bukankah lebih berbahaya untuk kita. Lagipula kenapa mereka tiba-tiba pergi begitu? Apa jangan-jangan mereka tahu kalau kita berusaha membunuh ....""Gak mungkin!" tukas Irfan cepat. "Selama ini kita selalu hati-hati, mereka tidak akan mungkin tahu rencana tersembunyi kita. Lebih baik jangan berpikir aneh-aneh dulu, Ratih.""Terus gimana sekarang?""Mas akan coba hubungi orang suruhan Mas dulu, agar mereka mencari keberadaan Brata dan Sri sehingga kita tak perlu repot-repot mencari. Kita harus menunggu sampai mereka mendapatkan informasi, baru kita bergerak. K
"Elena, kau itu ....""Kenapa, Pak?" potong Alya cepat.Irfan terdiam sejenak, menatap Elena lekat. Dalam pandangannya, bahkan rupa wanita di hadapannya saat ini mengingatkannya akan seseorang.Alya, seperti mengingatkannya akan sang istri. Istri yang telah ia bunuh dengan menabrakkan mobil wanita itu masuk ke dalam jurang.Namun, Irfan menggeleng. Cuma perasaannya saja atau bagaimana. Itu, kan, tidak mungkin terjadi. Tiga tahun lalu Alya sudah meninggal dunia akibat kecelakaan yang ia buat. Lagipula Elena merupakan model dari Singapura, tidak mungkin keduanya adalah orang yang sama.Sejenak, Irfan tertawa dengan pemikirannya sendiri. Sementara sedari tadi saat Irfan larut dengan pemikirannya sendiri. Alya sibuk menatap sekeliling ruangan kerja lelaki itu. Menelisik satu perstau barang di sana dengan teliti.Sampai pandangannya bertemu pada sebuah brankas yang terletak tidak jauh dari meja kerja. Alya tersenyum samar, ia menemukannya. Hanya tinggal satu langkah lagi.Menemukan passw
"Kau tidak menyerah rupanya," keluh lelaki itu sembari membuka topi. Mengibas-ngibaskan ke wajah guna menghalau rasa panas dari matahari yang cukup terik siang hari ini."Untuk memenuhi janji saya pada seseorang, saya tak akan menyerah sebelum mendapatkannya, detektif.""Aku sudah bukan detektif lagi, jadi sebaiknya kau pulang sekarang, karena setiap pertanyaan dan ucapan yang kau katakan tak akan mau kudengarkan.""Tapi detektif ....""Jangan panggil aku seperti itu," ucap Ardi kesal."Tapi diantara semua orang itu cuma anda yang berpikir di jalan yang benar.""Menurutmu begitu? Sayangnya jalan kebenaran itu membuat keluargaku hampir celaka. Mereka mengancam akan mencelakai putriku jika aku tetap nekad untuk menyelidiki kasus kecelakaan itu."Refan terperangah, ia tak menyangka Irfan akan sejauh ini. Lagipula, bukankah ini adalah hal kecil jika dibandingkan dengan perbuatan lelaki itu pada nonanya."Aku tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Namun aku hanya ingin mengungkap keben
Irfan keluar dari ruang kerjanya dengan kepala pusing. Sejak bertengkar dengan Ratih tadi pekerjaannya terbengkalai dan ia sangat kesulitan untuk konsentrasi. Alhasil malah membuatnya lembur hari ini. Sayangnya, saat dalam keadaan genting Refan malah libur kerja, padahal ia sangat membutuhkan bantuan lelaki itu.Begitu keluar dari ruangan, tak sengaja pandangannya bertemu dengan Elena yang berdiri tak jauh dari pintu ruangannya. Wanita itu tengah bersandar dengan menyilangkan tangan di depan dada."Kau tidak pulang Elena? Pekerjaanmu belum selesai?"Alya tersenyum, melancarkan rencana kedua. Ia menatap Irfan lekat."Saya menunggu anda, Pak Irfan.""Saya? Ada apa? Ada yang ingin kamu bicarakan?" tanya Irfan sembari melangkah, menuju lift dan Alya mengikutinya dari belakang."Tidak ada sebenarnya, hanya ingin pulang bersama. Ehm ... sebenarnya saya ingin ajak anda minum kopi, bagaimana?"Irfan berhenti melangkah, menatap Alya dengan pandangan heran. "Kenapa? Ada yang aneh dengan ajakan
Sesampainya di parkiran sebuah hotel bintang lima Alya memarkirkan mobilnya. Begitu juga Refan yang mengikuti mobilnya dari belakang.Lelaki itu keluar dari mobil dan menghampiri Alya yang sudah turun."Tolong bawa dia, Fan. Aku akan memesan kamar terlebih dahulu.""Baik Nona."Alya jalan lebih dahulu, masuk ke dalam hotel meninggalkan Refan yang berusaha membawa Irfan. Selesai memesan kamar, ia menunggu Refan untuk datang.Beberapa saat kemudian, pintu kamarnya diketuk. Refan datang dan membawa Irfan. Meletakkan laki-laki itu begitu saja di atas kasur."Terima kasih, kau pasti lelah sekarang," ucap Alya sembari tersenyum menatap Refan yang nafasnya terengah-engah."Yah, sedikit Nona.""Nanti aku akan traktir makan. Kau belum makan malam, kan?"Refan menggeleng."Aku sungguh merepotkanmu, kau bahkan rela dari Bandung langsung tancap gas kemari karena aku meminta pertolonganmu.""Sudah tug
"Nona!" panggil Refan saat melihat Alya tak kunjung bangkit dari posisinya. Sudah cukup lama, ia hanya takut para satpam yang berjaga curiga pada mereka. Soalnya saat salah satu dari mereka bertanya tadi, ia hanya beralasan mengambil barang yang tertinggal.Namun tak ada sahutan dari sang Nona. Membuat Refan khawatir. Ia segera mendekat, menyentuh pundak sang Nona yang tiba-tiba luruh di atas lantai."Nona, ada ap--" Refan tak mampu menyelesaikan perkataan saat Alya menyodorkan bingkai foto di tangan padanya. Potret bahagia Ratih dan Irfan dalam balutan pakaian pernikahan sederhana. Sekarang ia tahu kenapa nonanya menjadi seperti ini. Saat ia menatap, Alya sudah terpekur dengan wajah sendu. Pikirannya berkecamuk diliputi banyak hal dengan pandangan kosong."Kurasa aku benar-benar bodoh, Refan." Tak sadar wanita itu mulai berkaca-kaca. Ia menatap Refan dengan lekat. Air matanya mulai mengalir. "Nona ...." Refan bingung, ia tak tahu harus mengatakan apa. Ia juga baru tahu hal ini. Ap
Irfan menatap piring berisi lauk tempe dan tahu serta satu piring nasi di hadapan. Wajahnya tampak tak berselera, ia kini mendongak, melihat Ratih yang baru saja datang ikut duduk di sampingnya sembari membawa dua kerupuk."Makan, Mas!" ucapnya menyodorkan satu buah kerupuk pada Irfan. Lelaki itu menerimanya dengan lesu.Hal itu tak luput dari perhatian Ratih. Sedari tadi ia sudah memperhatikan tingkah Irfan yang tak berselera. Jangankan lelaki itu, ia juga sama. Tidak selera sama sekali karena hampir satu bulan mereka makan dengan lauk yang sama."Besok Mas mau ikut Tejo, ada borongan di kota katanya."Ratih hanya melirik sekilas, lantas mengalihkan pandangan pada nasi di piringnya."Terserah Mas, yang penting dapat uang banyak. Soalnya Mbak Dewi kemarin sudah nagih uang kontrakan. Dia minta minggu ini mesti dibayar.""Sabar, ya! Maafkan Mas belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga kita. Kamu yang sarjana ini bahkan rela menikahi Mas yang cuma lulusan SMA.""Gak apa-apa, Mas. Aku
"Ya ampun Ratih!" seru Alya kaget, gadis dengan baju yang tampak mewah berbanding terbalik dengan Ratih itu tak menyangka akan bertemu dengan teman kuliahnya dahulu di sini dan dalam keadaan seperti ini.Ratih tersenyum sungkan, merasakan batas yang membumbung tinggi antara dirinya dan Alya. Seperti langit dan bumi kalau kata orang-orang. Padahal dulu ia dan Alya begitu dekat dan tampilannya juga sama seperti Alya."Kamu kenapa bisa di sini? Maaf banget aku gak sengaja Ratih, aku buru-buru jadi gak lihat kalau ada kubangan air di dekat sini. Baju kamu basah jadinya.""Aku gak apa-apa kok, cuma basah sedikit, nanti juga kering sendiri.""Tetap saja aku merasa gak enak, lagipula ...." Alya menatap amplop coklat di tangan Ratih, menatap wanita itu dengan pandangan menelisik. "Kamu abis ngelamar kerja?"Ratih terkesiap, ia gelagapan dan menyembunyikan amplop di tangannya ke belakang tubuh. "Kenapa kamu ngelamar kerja? Perusahaan Papa kamu ...?" Alya tak melanjutkan ucapannya demi melihat