Refan tertunduk dalam setelah keluar dari ruangan Irfan. Tangannya gemetar hebat dengan amarah memuncak saat perkataan Irfan terngiang di kepalanya. "Dia pikir aku gila jabatan?" tukas Refan dalam hati seraya mengepalkan tangannya. "Bahkan aku rela keluar dari perusahaan ini jika harus berada di sebelah orang berhati busuk seperti dirinya!" Refan berjalan dengan langkah menghentak. Luapan amarah membuatnya berperilaku demikian. Beberapa karyawan yang hendak menyapa memilih menyingkir karena melihat wajah masamnya. Sesampainya ia ke dalam lift, Refan mengeluarkan ponsel, menampilkan walpapernya sedang berfoto bersama keluarga Brata dan Alya ada di sampingnya. Keluarga Brata berjasa dalam hidupnya. Kalau bukan karena Brata Wijaya yang penuh kasih sayang itu mengangkatnya menjadi anak, ia tak akan mungkin bisa hidup sampai sekarang. Menjalani hidup sekarang di panti tanpa orang tua dan siksaan setiap hari, membuat ia menyerah bahkan hampir mati. Ia juga harus bekerja tanpa bisa seko
"Belum ada kabar tentangnya?" tanya Irfan sembari menggoyang-goyangkan gelas berisi minuman di tangan. Lelaki dengan pakaian serba hitam yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk itu mengangguk. "Dia tak bertingkah mencurigakan, Tuan. Hanya pergi dari rumah, bekerja di rumah sakit, melayani pasien, lalu pulang ke rumahnya kembali." "Apakah kau tidak melihatnya mampir ke suatu tempat? Atau yang lain?" "Tidak Tuan, Dokter itu menjalani harinya seperti hari-hari sebelumnya. Saya selalu mengikutinya ke mana pun, tak satu kalipun lepas dari pengawasan." Irfan mengernyit, merasa sedikit aneh. Kecurigaannya agak sia-sia sepertinya. Melalui kabar ini ia tak punya alasan untuk mencurigai Fatih. Jadi, pasien dengan luka bakar itu bukan Alya? "Baiklah, kau boleh pergi. Kabari aku jika kau menemukan sesuatu yang mencurigakan." "Baik Tuan." Lelaki berpakaian serba hitam itu mengangguk, pamit dari hadapannya dan berjalan keluar dari ruangan. Sesaat sebelum keluar lelaki itu berpapasan deng
"Singapura katamu?" ucap Irfan dengan mata menyipit. Ia mengerjap, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Orang suruhan yang ia minta untuk mengikuti Fatih mengabarkan, kalau lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu telah berangkat menuju bandara dan akan landing satu jam lagi menuju Singapura. Hal yang tak pernah Irfan bayangkan. Tapi, benaknya terus berpikir macam-macam hal. Alya dan Fatih begitu dekat, lantas hanya dalam beberapa hari sejak kepergian Alya, lelaki itu memutuskan untuk pergi ke Singapura. "Apakah dia pergi sendirian?" tanya Irfan. "Ya, tidak ada yang pergi bersamanya. Menurut informasi yang kami dapat, Dokter Fatih pergi untuk meneruskan pendidikan S2 nya di sana." Irfan terdiam sesaat, ditatapnya Refan yang menunggu dengan tenang tak jauh darinya. Apakah lelaki itu tahu? Secara Refan juga dekat dengannya. Tapi melihat jasad Alya telah ditemukan seperti ini dan Fatih yang tiba-tiba saja pergi tanpa ia tahu alasannya membuat Irfan merasa kalau ia tak bisa lagi m
"Aku turut prihatin dengan apa yang menimpanya, Fat." Fatih menoleh, tersenyum pedih saat Kelly menepuk pelan punggungnya. Ia mengalihkan pandangan pada Alya yang masih terbaring dengan perban di berbagai sisi tubuhnya. Proses pemindahan Alya di rumah sakit Mount Elizabeth cukup rumit. Untung saja Kelly telah mempersiapkan ruangan untuk wanita itu sebelumnya, jadi Fatih sedikit tenang. Ia kini duduk di salah satu sofa, Kelly mengikuti dan duduk di sampingnya. "Dia tak seharusnya mengalami hal ini, Kelly." "Ya, Alya terlalu baik untuk mendapatkan ujian semacam ini." "Aku menyesal membiarkannya menikah dengan Irfan." "Maksudmu?" "Apa aku belum mengatakannya? Alya kecelakaan setelah memergoki Irfan berselingkuh." "Astaga!" Kelly menutup mulutnya dengan dua tangan. "Terakhir kali sebelum kecelakaan ia menelponku dan memberitahu kalau ia baru saja memergoki Irfan berselingkuh." "Dengan siapa?" "Alya tak memberitahu, karena setelahnya sambungan itu terputus. Tapi aku yakin kalau
"Alya!" seru Kelly riang begitu masuk ke dalam ruangan. Gadis itu baru saja pergi dari ruangan setelah menyelesaikan pekerjaannya setelah mendengar kabar kalau Alya telah sadar dari koma. Alya menoleh, lantas tersenyum dengan lebar. Gadis berambut pirang dengan jas putih khas dokternya itu berjalan cepat dengan merentangkan tangan hendak memeluk Alya. Namun, Fatih yang tengah mengeluarkan kotak makanan dengan sigap menghadang gadis itu. "Oi! Tunggu! Jangan asal main peluk aja!" tukas Fatih gusar. Hampir saja, sedikit lagi mungkin Kelly akan memeluk Alya dengan erat. "Kenapa, Fat? Aku rindu, udah lama gak ketemu loh." "Luka Alya masih basah, kalau ditekan terlalu kuat bisa sakit. Aku tahu kamu rindu, tapi cuma mau memperingati soalnya kamu suka lupa, Kelly." "Oh, iya." Kelly menatap tubuh Alya yang terbalut perban di lengan dan wajahnya itu. "Aku hampir lupa." Ia menepuk dahi pelan. Padahal ia selalu mewanti-wanti Fatih selama ini. Tapi ia sendiri yang melanggar, kerinduan akan s
Proses penyembuhan dan jadwal operasi Alya memakan waktu yang cukup lama. Untungnya, Fatih yang berpamitan pada orang tuanya mengatakan alasan yang cukup jelas. Melanjutkan pendudikan S2 nya di Singapura hingga Papa dan Mamanya tak pernah bertanya lebih lanjut karena ia tak kunjung pulang beberapa bulan sejak tiba di sana. Selain menemani Alya ia juga melanjutkan pendidikan, untuk itu ia memilih Singapura karena ada Kelly yang bisa membantunya menjaga Alya. Pada hari di mana Alya menjalani operasi sayangnya ia tidak bisa pergi mengantar karena harus menemui salah satu dosen penting. Membuatnya sedikit merasa bersalah walau Alya terus mengatakan ia baik-baik saja. Maka, sesaat setelah Fatih selesai melakukan urursannya, ia segera menuju rumah sakit untuk menemui Alya. Wanita itu telah dipindahkan ke ruangan inap untuk pemulihan setelah operasi plastiknya selesai dilakukan. Fatih belum bisa masuk, setidaknya sampai Kelly yang berada di dalam ruangan keluar dan selesai memasang infus
3 tahun kemudian. Refan beberapa kali memijit pangkal hidungnya guna menghalau rasa pusing yang luar biasa ia rasakan kali ini. Beberapa tahun sejak ia dipercaya menjadi tangan kanan Brata dan mengurus perusahaan baru kali ini ia melihat laporan keuangan perusahaan yang begitu kacau. Belum lagi masalah pekerjaan pegawai yang tidak kompeten dan persaingan prosuk dengan perusahaan lain yang mengalami hal sama. Masalah di mana-mana dan ia harus membereskannya sendirian. Entah di mana Irfan berada saat ini sementara perusahaan dalam posisi begitu genting. Bahkan dihubungi juga sangat sulit. Tok! Tok! Tok! "Masuk!" ucap Refan sembari melempar berkas di tangannya ke atas meja. Ia melepas kacamata, dan menyandarkan punggungnya pada kursi. Ririn, manager divisi pelayanan konsumen masuk dengan wajah kusut. Wanita dengan rambut disanggul itu melangkah dengan kaki menghentak seraya menyodorkan berkas di tangannya pada Refan. "Apa lagi ini?" tanya Refan lirih, ia mengambil berkas itu. Mem
"Anda dari mana saja Pak Irfan?" tanya Refan dengan wajah kusut. Sedari tadi ia menunggu di ruangan kerja Irfan hingga sampai jam sembilan malam lelaki itu baru datang ke kantor. Entah ke mana perginya membuat pusing kepala. Lelaki itu dengan tidak berdosa malah melenggang santai dengan beberapa paper bag brand-brand ternama di tangan. Refan melirik itu sekilas dari balik kacamatanya sembari menahan geram. "Aku belanja, memangnya ada apa? Kenapa wajahmu kusut begitu?" "Anda bahkan tidak memeriksa ponsel anda?" "Aku punya dua ponsel. Khusus kerja dan pribadi. Ponsel kerjaku kutinggal di sini agar aku tidak terganggu. Aku sedang refreshing, Fan. Istirahat dari pekerjaanku yang melelahkan." "Bahkan pekerjaanmu tidak terlihat selama beberapa tahun di perusahaan ini. Malah membuatnya semakin hancur dan menurun," tukas Refan dalam hati sembari membenarkan letak kacamatanya. "Memangnya kenapa? Ada sesuatu yang genting? Masalah di perusahaan? Baru kutinggal sebentar sudah terjadi sesuatu