“Iya, Ibu benar sekali itu aku yang buang karena rumah ini adalah milikku. Aku yakin sekali bahwa rumah ini dibeli pakai duitku. Ibu dan kamu wahai pelakor, harus paham bahwa yang mencari uang selama ini adalah aku. Semua harta yang aku dapatkan dalam pernikahanku dengan Mas Eko atas hasil kerja kerasku dan kenapa aku datang ke sini, Bu? Karena menantu kesayangan ibu ini sudah maling cincin berlianku.”“Maling? Mak—sudnya maling gimana? Memang apa salahnya kalau kamu berbagi dengan Rara. Kamu ngasih dia, jadi kalian itu akur tidak ada masalah. Karena dia adik madumu,” jawab ibu. Beliau tetap saja kekeh membela Rara.“Oh ... tidak bisa, Bu! Apa yang aku miliki tidak akan pernah aku bagi kepada orang lain selain sampah. Kalau Ibu menyuruhku berbagi dengan cara begitu ya, salah besar. Cukup suami saja yang aku bagi karena suami seperti Mas Eko begitu adalah seonggok sampah yang tidak berguna, jika pemikiran Ibu seperti itu apa susahnya kalau perhiasan Ibu satu saja dibagikan kepada men
“Ehh, kamu, ya, dasar menantu tidak punya sopan santun sama sekali!” Ibu menoyor kepalaku. “Memang kamu sudah fitrahin aku, hah! Aku ini orang tua. Kamu harus hormat padaku. Eko kamu juga kenapa diam saja Lisa memperlakukan Ibu begini!? Kamu itu jadi laki-laki harus tegas harus membela ibumu. Ingat ya, Eko, selamanya surga kamu ada di telapak kaki Ibu bukan pada Lisa, jadi kamu tidak pernah takut pada dia,” kata ibu sementara Mas Eko hanya diam saja.“Aku akan hormat dengan orang tua yang mau menghormatiku juga, tapi setelah aku pikir-pikir memang Ibu itu cocok sekali dengan kalian karena sama-sama benalu dan sama-sama tukang maling makanya Ibu membela Rara”“Ya, ampun! Ini mulut ya, makin kurang ajar saja” jawab ibu. Beliau mulai salah tingkah. Aku hanya tersenyum sinis padanya.“Cukup Sudah jangan diperpanjang lagi. Mas, pusing dengarnya bisa-bisa Mas ini sakit lagi. Kalau kalian tidak pernah akur begini,” sahut Mas Eko.“Kalau kamu mau menyudahi ini semua hanya satu caranya Mas,
“Kamu ya, keterlaluan!” Mas Eko mendorong tubuhku sampai aku pun tersungkur ke lantai dengan posisi celana melorot sampai lutut.“Kurang ajar dia, Eko! Sudah mencelakai Ibu seperti ini. Padahal Ibu sedang sakit asam urat malah ditendang gitu sama Lisa. Seharusnya kamu tidak hanya mendorong dia Eko, seharusnya kamu pukulin dia,” kata ibu. Sedang Mas Eko sibuk membantu ibu berdiri. Badannya yang gemuk tentu saja menyusahkan Mas Eko sedangkan Rara hanya berdiri saja melihat kami.Aku gegas berdiri dan keluar dari rumah ini.“Dik, tunggu, Dik!” cegah Mas Eko.“Apalagi, sih, Mas! Kamu mau nyuruh aku balikin perhiasan Ibu? Tidak akan pernah, Mas. Lagi pula ini sudah malam aku harus kembali takut Fia mencariku. Kamu kan, tadi yang menyuruh aku pulang giliran aku pulang kenapa kamu panggil-panggil!” jawabku kesal.“Iya, maksud Mas, begitu. Dik, tolong kembalikan perhiasan Ibu. Kasihan Ibu sudah tua dan sakit-sakitan. Mas, janji akan belikan lagi untuk kamu, tapi tolong untuk hari ini saja,
Kutinggalkan mereka semua yang masih diam terpaku. Entahlah mereka diam karena berpikir atau diam karena kesal aku tidak paham yang jelas malam ini aku cukup puas. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Niatku hanya mengambil perhiasan yang dicuri Rara malah aku dapat kalung yang aku beli satu tahun yang lalu. Niatnya memang kalung ini akan aku berikan pada ibuku di kampung, tapi ternyata sudah ibu ambil duluan. Aku tahu itu, tapi aku pura-pura tidak tahu karena bagiku kebahagiaan mertua adalah nomor satu nyatanya begitu banyak yang aku berikan pada mereka masih saja mereka tidak terima malah sampai menghianatiku. Untuk hal-hal lain mungkin aku bisa mentoleransinya, tapi kalau untuk penghianatan tidak akan pernah bisa.“Loh ... lo ... Teh Lisa, kok dari rumah ini ada apa? Oh, aku paham pasti Teh Lisa bermaksud menjemput Mas Eko, ya? Mbak Lisa, ini sok jaim, deh! Suka marah-marah sama Mas Eko, tapi ternyata tidak terima kalau Mas Eko tinggal sama istri mudanya,” ucap Salsa yang ba
“Siapa yang mengizinkan kamu masuk ke sini, Mas?” jawabku kesal. Segera kusibak selimut dan juga lengan kokoh Mas Eko yang melingkar di pinggangku.“Ini juga kamarku untuk apa aku minta izin,” jawab Mas Eko. Lalu dia bermain dengan Fia.“Itu dulu, Mas. Sekarang enggak lagi. Kamu kan, sudah punya kamar yang baru yang bisa menghangatkan kamu, jadi mulai sekarang kamu kuharamkan untuk berada di kamar ini lagi.”“Tidak bisa begitu dong, walau bagaimana pun juga kamu itu istri sahku dan kamu harus tunduk pada suami bukan suami yang tunduk pada istri.”“Aku capek Mas, jika berdebat terus dengan kamu. Punya otak tidak nyambungan mau sampai mulutku berbusa pun kamu tidak akan pernah nyambung. Lebih baik kamu sekarang pergi atau aku gunakan kekerasan!”“Lisa, kali ini saja tolong beri aku kesempatan. Aku janji tidak akan pernah berbuat aneh-aneh lagi di belakangmu. Aku menyesalinya, Lis, sumpah!”“Silakanlah kamu mau bersumpah seperti apa pun aku tidak akan pernah percaya lagi sama kamu, M
“Kamu masih pagi banget sudah rapi, Dik. Tidak seperti biasanya. Penampilan kamu juga seperti gadis lagi. Mau ke mana?” tanya Mas Eko. Dia sudah duduk manis di meja makan bersama keluarga benalunya. Tidak heran, sih, kalau mereka bisa masuk rumahku karena aku yakin Mas Eko punya kunci duplikat rumah ini dan aku memang harus segera menggantinya. Jika tidak, maka apa yang aku takutkan bisa terjadi di kemudian hari.“Sudah punya suami kalau dandan itu enggak usah menor-menor, pakai baju enggak usah bagus-bagus. Pakai tas enggak usah yang mahal-mahal, dan enggak usah pakai perhiasan begitu. Terlalu mencolok! Nanti dikiranya kamu gadis,” sahut ibu mertuaku seraya mengunyah sarapannya.“Kenapa sih, Ibu dan Mas Eko ini rewel banget. Aku mau pakai baju apa pun mau pakai perhiasan mana pun itu terserah aku. Karena ini milikku dan tidak menyusahkan kalian apalagi minta dibelikan kalian,” jawabku kesal segera aku tarik kerah baju Rara agar beranjak dari kursi makanku. Enak saja dia menduduki k
Brak!“Aaaa ... baju baruku!”Rara teriak saat kuhempaskan tubuhnya sampai jatuh dan bajunya robek karena terinjak high heelnya sendiri.“Dasar perempuan iblis!” maki Rara padaku.“Yang iblis itu kamu, Ra! Iblis jangan teriak iblis!” kataku lagi. Aku benar-benar kesal padanya dan kembali kuinjak telapak tangannya.“Sakit! Bego kamu ya! Tuli kupingmu, ya! Lepas ini sakit sekali!” pinta Rara seraya memukuli betisku.“Bagaimana sakit bukan? Kalau tidak mau merasakan sakit jangan pernah menyakiti orang lain!”“Ya, ampun Rara! Kenapa kamu jatuh begitu?” teriak ibu. Beliau tergopoh-gopoh membantunya berdiri.Tak kulihat Mas Eko, entah di ada di mana perasaan tadi dia pergi ke arah sini.“Lihat Bu, baju mahalku sobek. Gara-gara si Risa mendorong sampai bajuku tersangkut. Ini padahal kan, harganya mahal sudah gitu dibelikan Mas Eko,” adu Rara seperti anak kecil.“Kalau kamu tidak kurang ajar pada mbok, aku tidak akan pernah melukaimu,” jawabku santai.“Kamu juga Lisa, apa-apaan sih, malah
“Permisi, Mbak ... ada yang bisa kami bantu?” sapa suster di bagian resepsionis. Astaghfirullah aku begitu memperhatikan teh Ocha dan keluarganya sampai aku lupa bahwa di dekatku ada resepsionis. Sekilas kulirik Teh Oca dan keluarganya duduk di ruang tunggu.“Begini, Sus, saya ingin bertemu dengan Bidan Linda. Sebenarnya kemarin harusnya saya menemui beliau, tapi ada keperluan mendadak, jqdi saya tidak bisa ke sini. Apa Bidan Linda hari ini ada?”“Ada, tapi kebetulan Bu Bidan sedang ada pasien melahirkan, jadi Mbaknya bisa menemui beliau setelah bidan selesai menangani pasien. Ini nomor antriannya nanti akan kami panggil, ya?” Kuambil nomor antrian yang diberikan oleh suster kulihat nomor antrian 8 padahal rumah bersalin ini masih sepi kenapa aku dapat nomor 8? Harusnya kan, di bawah ini.“Suster, maaf memangnya ada pasien banyak kok, saya dapat antrian nomor 8? Perasaan hanya ada saya di sini?” tanyaku lagi. Kalau sampai aku benar-benar harus menunggu bisa-bisa Mas Eko akan sampai