Share

Bagian 5 (Breaking Dawn)

Ansara menatap Radinya. Pertama kalinya mereka bertengkar sehebat ini. Keduanya terkubur dalam jurang emosi. Ansara merasa Radinya tidak percaya padanya dan terjebak rumor. Sementara Radinya merasa Ansara menyembunyikan banyak hal darinya.

"Sudah, aku sudah lelah," ujar Ansara yang pergi meninggalkan Radinya.

Radinya tidak mengejarnya. Dia mengerti emosi sedang menyelimuti mereka.

Sementara itu, Ansara berjalan ke arah belakang universitas. Dia mulai meneteskan air mata.

"Kenapa dia tidak mengerti. Kenapa?, ujar Ansara.

Ansara terus berjalan. Tanpa dia sadari ada seseorang yang berjalan di belakangnya.

"Permisi," ujar seorang mahasiswa di belakang Ansara.

"Iya,". Ansara menatap nametag dan almamater yang dikenakannya.

"Apakah kau tahu di mana gedung asrama putra?," tanya mahasiswa itu.

"Ah, gedung asrama putra ada di dekat danau. Kau harus berjalan jauh dari sini," ujar Ansara sambil menunjuk arah.

Mahasiswa itu mengucapkan terima kasih pada Ansara.

Ansara menatap ponselnya. Radinya sama sekali tidak menghubunginya. Ansara mengirimkan pesan singkat pada Radinya. Dia meminta Radinya menunggu di halte. Dia ingin menyelesaikan masalah di antara mereka.

Saat Ansara berjalan, sebuah tangan menariknya. Ansara berusaha berontak. Namun, tangan lainnya sudah menggerayangi tubuhnya. Mereka menariknya ke jurang kegelapan.

Sementara itu Radinya merasa bersalah. Akhirnya dia menghubungi Ansara. Namun, Ansara tidak menjawab.

"Kenapa telponnya mati?" guman Radinya. Dia mencari Ansara di sekitar kampus.

Dia tidak menemukan Ansara di mana pun. Kemudian dia melihat pesan singkat Ansara. Dia menungu di halte.

Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Radinya terus menghubungi Ansara.

Di jurang kegelapan, beberapa pria terlihat mengancingkan celana mereka. Mereka menghirup rokok dan melemparkannya.

"Apakah dia sudah mati?," tanya pria yang memakai almamater.

"Aku rasa dia hanya pingsan," ujar pria lain yang memakai ransel mahal.

"haruskah kita membunuhnya?"

"Tidak perlu. Dia tidak akan bisa bicara pada siapapun," ujar pria yang mengenakan kacamata.

Mereka meninggalkan Ansara di kegelapan. Gadis itu sudah tertutup oleh sungai merah. Hujan mulai mengguyur tempat itu. Ansara berusaha meraih ponselnya dengan sekuat tenaga.

"Ra..din...,"

Ansara mulai menangis. Dia tidak bisa berteriak. Seluruh tubuhnya terasa tertusuk. Dia juga merasa bagian bawahnya basah dengan merah yang mengental. Akhirnya Ansara kehilangan kesadarannya.

***

Radinya emosi. Dia langsung memukul mahasiwa di belakangnya. Walau dikeroyok, Radinya tetap berusaha memukul tiga orang mahasiswa itu secara bergantian.

"APA YANG KALIAN LAKUKAN PADA ANSARA?" bentak Radinya.

"Ka...mi...tidak tahu. Kami hanya dengar rumor," ujar anak yang memakai kacamata.

"RUMOR APA? AKU TIDAK PERCAYA. DIAM," teriak Radinya semakin emosi.

"RADIN," panggil orang di belakangnya. 

Dia menatap Augus. Tangannya masih belum terlepas dari mahasiswa itu.

"Pelakunya sudah ditemukan," ujar Augus.

Air mata mulai membasahi pipinya. Radinya berhenti dan menghampiri Augus. Mereka pergi meningggalkan tiga mahasiswa itu.

"Dasar bodoh," ujar mahasiswa yang mengenakan kacamata.

Saat di kantor polisi. Radinya mencari pelakunya. Dia menanyakan pada polisi terkait keberadaan mereka.

"Pelaku kasus Ansara? Kami belum menemukannya,"

Radinya merasa emosi, kemudian dia menatap Augus. Lalu dia memegang kerah temannya.

"Apa maksudmu?,"

Augus menatap tajam temannya.

"Kau tahu mahasiswa yang kau pukuli tadi adalah anak dekan psikologi. Kau mau ujianmu gagal?,"

Radinya tidak percaya dengan perkataan Augus.

"Lalu aku melepaskan pelakunya begitu saja?"

Radinya memukul kepalanya berulang kali. Dia merasa bodoh. 

"Kau tidak bisa menangkap mereka tanpa bukti," ujar Augus.

Radinya tidak bisa membantah perkataan Augus. Dia harus menemukan bukti.

Mereka pergi meninggalkan kantor polisi. Kemudian, Radinya mendapat panggilan masuk.

"Halo Radinya, kami ingin memberitahukan bahwa anda diterima di jurusan psikologi," 

Radinya merasa lega. Tubuhnya terasa lemas.

"Terima kasih tuhan. Aku telah berhasil," ujar Radinya.

Augus memeluk sahabatnya itu.

***

"Apa maksudmu?" tanya Resian pada Atasya di hadapannya.

"Kenapa? kau terkejut?,"

Resian menghampiri Atasya. Dia memegang tangan Atasya dengan kencang.

"Jelaskan padaku,"

"Orang mencelakai Ansara adalah orang yang kau kenal,"

Resian muak dengan basa basi Atasya. Dia meminta wanita itu menjelaskannya bukan memintanya menebak.

"Aku masih belum menemukan bukti yang valid tapi aku dengar dia ada di tempat kejadian saat itu,"

"Apakah Radinya tahu?,"

Atasya terdiam. Resian menatapnya lagi.

"Tidak mungkin," ujar Resian yang melepaskan tangannya dari Atasya.

***

Radinya membereskan barang-barangnya. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.

"Ansara, aku akan segera menemuimu,"

Radinya memulai petualangannya di dunia psikologi. Perjalanannya untuk menemui Ansara dimulai. Radinya Anugrah, seorang pria yang rela melepaskan semuanya demi Ansara.

Apakah ini cinta? Atau ini hanya perasaan bersalah?

Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Radinya sendiri.

Sementara Ansara masih menatap kilauan cahaya yang mengenai wajahnya. Dia menunggu Radinya datang menjemputnya.

"Radinya, kapan kau akan datang?," gumam Ansara.

***

Keramaian mulai menyelimuti malam itu. Suara musik bergemuruh begitu kencang. Anak muda yang memegang gelas mulai meracau.

Atasya berada di antara mereka. Gadis itu terlihat berkilau. Sementara jauh dari keramaian, Resian terlihat gloomy.

"Aku tahu tidak ada yang gratis di dunia ini," ujar Resian yang menyesal karena dia harus menemani Atasya.

Tanpa Resian sadari, semua mata menatapnya. Wajahnya yang blasteran jepang dan Indonesia menarik mata yang memandangnya. Bahkan jika Resian mau, dia bisa menjadi aktor.

Atasya yang menyadari mantannya begitu tampan tidak tinggal diam. Dia selalu mengajak Resian ke tempat keramaian. Dia tahu Resian akan menolaknya. Namun, Resian terlalu baik untuk meninggalkannya sendiri di tempat berbahaya ini.

Kalau saja Resian tidak brother complex, Atasya tidak akan putus dengannya.

"Hem, kepalaku mulai pusing," ujar Resian yang memilih memejamkan matanya.

Layaknya mangsa yang diburu heyna, Resian tidak menyadari beberapa wanita mulai mendekatinya.

"Halo, apakah kursi ini kosong?,"

"Tentu tidak. Kau pikir aku hantu," ujar Resian yang menatapnya dengan tajam.

Astasya tertawa saat dia melihat Resian.

"Bodoh sekali dia. Jika dia bersikap begitu. Mereka akan mengerubunginya seperti lebah,"

Atasya menghampiri Resian. Dia merangkulnya.

"Hai sayang. Maaf lama nunggunya,"

"Aku pusing. Ayo pulang," ujar Resian sambil membawa Atasya. 

Layaknya kemenangan, Atasya merangkul Resian lebih erat.

"Dasar, aku bahkan butuh tiga tahun untuk menjadi kekasihnya. Kalian bukan apa-apa," ujar Atasya.

Saat keluar dari bar, Resian melepaskan tangan Atasya.

"Kau bisa pulang sendiri kan? Aku mau pesan taksi," ujar Resian.

"Iya. Kau dingin seperti biasa," ujar Atasya yang merapihkan bajunya.

Kemudian Resian memberikan jaketnya pada Astasya.

"Kau bisa masuk angin,"

Astasya menatap Resian. Dia merasa Resian sangat manis. Tanpa mereka sadari ada kamera yang memotret.

"Wah, aku dapat jackpot,"

Resian membukakan pintu untuk Atasya. Sebelum pergi, Atasya melambaikan tangannya pada Resian.

Setelah taksi sudah berjalan jauh, Resian berjalan ke arah mobil. Dia mengetuk kaca mobil.

"Iya ada apa?" Tanya orang di dalam mobil.

Tanpa basa basi, Resian menarik kamera yang dipegangnya dan membantingnya.

"Aku tahu kau tadi memotret bagian tubuhnya. Daripada kau susah-susah. Kau bisa menyewa wanita malam. Aku rasa kau mampu melakukannya,"

Resian meninggalkan pria itu. Pria itu terlihat kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status