Aku Mengalah Mas, Demi Ibumu! 15
Bermalam di rumah sakit sungguh membuat tubuh terasa sakit semua. Tulang terasa ngilu, juga nyeri. Tidur hanya beralaskan tikar tipis di atas lantai. Namun, meski begitu tetap kulakoni demi melihat suamiku segera pulih kembali.Kurenggangkan tubuh setelah bangkit dari atas tikar. Kulihat Mas Yusuf masih terlelap. Karena semalam beberapa kali ia terbangun akibat kepalanya yang terasa nyeri. Aku lalu mencuci muka sebelum pergi shalat subuh.
Suster datang membawa sebaskom air hangat untuk menyeka tubuh pasien setelah aku kembali. Kebetulan Mas Yusuf sudah terjaga, segera saja kuseka agar tubuhnya terasa segar.
Dengan sangat pelan dan hati-hati kulepas bajunya, mengulur baju agar bisa keluar dari selang infus yang terpasang di tangan kanannya. Lalu kulanjut dengan menyeka tubuhnya, mulai dari wajah, lengan kanan dan kiri, lalu badan. Di bagian tubuh yang masih terdapat luka basah, tak kusentuh sama se
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 16"Jadi benar, Mas Yusuf kepikiran omongan ibu?"Tanyaku saat Ratih dan Bulek Sri sudah pulang.Kudorong kursi itu agar lebih dekat dengan ranjang Mas Yusuf. Kemudian aku duduk diatasnya.Mungkin untuk bersedia menjawab, Mas Yusuf harus diajak bicara dari hati ke hati. Itu artinya, aku harus menekan egoku agar ia mau bicara jujur. Kasihan bila ia terus tertekan dengan ucapan-ucapan ibunya."Mas, rumah tangga itu harus ada saling keterbukaan. Kalau ada apa-apa Mas Yusuf pendam sendiri, buat apa menikah?"Kucecar ia dengan pertanyaan lagi saat satu pertanyaanku tak kunjung ia jawab.Pandangannya kosong menatap langit kamar yang serba putih. Satu tangannya ia gunakan untuk menumpu kepalanya, sedang tangannya yang lain tetap lurus agar pergerakan jarum infus tak membuatnya semakin nyeri.Kupandangi saja wajah Mas Yusuf itu, sambil kubuat wajahku semelas mungkin. Tak boleh ada pera
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 17"Kondisi Pak Yusuf semakin membaik, hari ini kita lihat kondisinya lagi, kalau pusingnya semakin berkurang, besok sudah boleh pulang," ucap dokter Ferdy yang kutahu dari nametag yang menempel di dadanya."Alhamdulillah," sahutku. Senang sekali mendengar kabar sudah boleh pulang, meskipun baru besok."Masih ada keluhan, Pak?" tanyanya lagi setelah memeriksa tubuh Mas Yusuf dengan stetoskop."Nggak ada, Dok. Hanya masih suka terasa pusing saja."Mata Mas Yusuf masih suka terpejam saat pening di kepalanya datang menghampiri. Seperti saat ini, ia tengah meringis merasakan sakit di kepalanya."Nggak apa-apa, Pak. Kan masih dalam pemulihan. Obatnya harus rutin diminum ya, untuk menghilangkan rasa nyerinya. Jangan lupa juga, banyak pikiran juga bisa memicu datangnya rasa pusing. Sebisa mungkin kontrol pikirannya agar tidak terlalu banyak beban, biar cepat pulih," jelas laki-laki bersih nan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 18Bersyukur sekali keadaan Mas Yusuf sudah membaik. Sudah boleh pulang siang ini. Rasa pusingnya juga sudah banyak berkurang. Tak sabar untuk segera memberitahu Ibu dan Nisa agar segera mengantar Rumi kembali ke rumah siang nanti. Juga segera kukabari Ratih agar datang ke sini, untuk membantuku membawa barang-barang yang sudah selesai kukemasi.Tampak binar bahagia dari wajah Mas Yusuf saat dokter sudah memberinya izin untuk pulang. Segera ia memintaku untuk mengemasi barang-barang sebelum menghubungi Ratih tadi. Agar saat administrasi selesai kami bisa langung pulang."Kita pulang naik apa, Dik?"Mas Yusuf bertanya saat aku tengah sibuk menata barang dalam tas. Pertanyaannya sudah kuduga, namun hal ini sudah kupikirkan dengan Ratih."Nggak usah dipikirkan, Mas. Aku nanti akan memesan taksi online untuk kita.""Baiklah. Bagaimana motorku, Dik?""Sudah diantar ke rumah setelah M
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 19"Dik, bagaimana dengan motorku? Mas tak ada tabungan untuk memperbaikinya," keluhnya menjelang tidur. Aku yang masih sibuk dengan ponselku segera menoleh melihat wajahnya."Memang kira-kira habis berapa sih, Mas?" tanyaku setelah mematikan layar ponsel, beralih menghadap wajah Mas Yusuf yang tampak ingin bicara serius."Belum tahu, Dik. Kalau dilihat sekilas, kurang lebih habis lima ratus ribuan lah," ucapnya dengan mata menerawang. Tampak ia berfikir keras untuk mendapatkan cara agar bisa membawa motornya ke bengkel.Kuamaati wajah Mas Yusuf, kemudian kutepuk lembut pipinya yang tirus."Jangan banyak pikiran, Mas. Nanti pusing lagi kepalanya.""Bagaimana nggak mikir, Dik. Motor itu untuk Mas nyari nafkah buat kalian. Kalau rusak begitu, bagaimana Mas akan menghidupi kaian nantinya.""Terus bagaimana? Apa sementara Alina saja yang kerja, ya Mas?" usulk
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 20"Kamu kenapa, Dik? Matanya bengkak gitu?" tanya Mas Yusuf saat aku sedang menyisir rambutku setelah mandi."Ibu, Mas! Ibu mulai lagi!" ucapku kesal sambil membanting sisir yang tengah kupegang ke atas kasur.Mas Yusuf terperanjat kaget melihat tingkahku. Namun, ia tetap diam, memperhatikan."Daster ini aku nggak beli, Mas! Aku dibelikan Ibuku pas nginep di sana kemarin. Baru kupakai di sini, tapi Ibu bilangnya aku istri yang nggak punya prihatin, suami lagi butuh uang aku malah buang-buang uang buat beli daster baru."Aku menceritakan sesuai dengan yang kudengar pada Mas Yusuf. Tak sedikit pun ku kurangi atau kulebih-lebihkan. Kembali air mataku mengalir deras saat mengingat ucapan Ibu tadi. Membuat dadaku terasa sesak kembali, seperti dihimpit baru besar.Mas Yusuf lantas mendekatiku, mengusap lembut punggungku yang sedang duduk di atas kasur. Ditunggunya sampai aku mer
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 21Terik matahari yang menyengat, tertutup oleh rimbunnya pepohonan yang berbaris rapi di halaman belakang. Membuat siapapun yang duduk di bawahnya merasa sejuk dan nyaman. Tak terkecuali Mas Yusuf. Sedari tadi kutunggu tak kunjung masuk ke kamar. Sehingga kuputuskan untuk mencarinya di belakang rumah.Aku mendekati Mas Yusuf yang sedang duduk di amben bambu, di bawah pohon mangga yang rimbun. Dengan sebatang rokok yang menempel di jemarinya. Kutempelkan bobot tubuh persis bersebelahan dengannya. Kutundukkan kepalaku, menyesal atas apa yang telah kulakukan."Gara-gara Alina, Mas Yusuf berantem sama Ibu."Aku lalu menatap teduh wajah Mas Yusuf yang tampak kusut setelah berdebat dengan Ibunya. Setidaknya, ini juga akibat aku yang tidak bisa mengontrol emosi, sehingga membuatnya marah pada sang ibu."Maafkan aku, ya Mas.""Nggak apa-apa, Dik. Sekali-sekali Ibu memang harus dig
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 22Siang itu, kuabaikan kondisi warung Ibu yang tampak ramai. Beliau tampak kewalahan membuatkan kopi juga melayani pembeli. Sedangkan aku sibuk menenangkan Rumi yang sedang menangis dalam pelukanku.Saat kutanya, mengapa menangis, Rumi baru menceritakan kejadiannya.Maksud hatinya, ingin mengajak sang nenek turut bermain bersama, karena Maya dipanggil ibunya. Rumi mendatangi nenek sambil membawa beberapa bonekanya, tanpa sengaja neneknya membentak dan mendorong tubuh Rumi kecil agar menjauh dari warungnya. Karena memang kondisi warung sedang ada banyak pembeli.Tak bisa kubayangkan bagaimana reaksi Rumi saat itu. Mendapati perlakuan kasar sang nenek tanpa ada seseorang yang melindunginya.Mendengar cerita Rumi, aku menjadi kesal dan sebal. Anak kecil kok dibentak dan didorong. Aku sebagai ibunya saja tak pernah berbuat kasar padanya. Apa nggak bisa memintanya pergi atau menunggu
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 23Jodoh adalah pilihan hidup. Tidak boleh ada kata menyesal dengan banyaknya cobaan atas sesuatu yang sudah menjadi pilihan. Sebaik dan seburuk apapun jodoh pilihan kita, harus diterima dengan hati lapang, dijalani dengan ikhlas dan penuh syukur, agar tercipta rumah tangga yang harmonis dan seimbang.Bagaimanapun cobaannya, sebaiknya berusaha bertahan, dengan mencari solusi terbaik. Selama itu bukan adanya orang ketiga dalam bahtera rumah tangga, bagiku masih bisa diselamatkan. Tak baik jika setiap ada permasalahan, perpisahan menjadi pilihan utama untuk menyelesaikan masalah.Akan ada pilihan jalan untuk menyelesaikan setiap masalah yang Tuhan hadirkan. Juga akan ada sisi positif dari setiap cobaan yang menimpa diri. Tidak ada alasan untuk tidak bersyukur dalam menjalani kehidupan. Adakalanya, ujian datang karena kelalaian atas rasa syukur yang tak pernah hadir dalam diri."Tunggu Al!"