Share

Bab 6

Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 6

Pertengkaran tadi pagi, sukses membuat moodku hancur. Hampir setengah hari aku hanya berdiam diri di kamar. Sedang Mas Yusuf, entah kemana perginya. Beruntung Rumi tipe anak yang tidak banyak tingkah. Melihat mamanya tiduran di kamar, ia sangka bahwa aku sedang sakit. Ia pun terus menemaniku di kamar sambil mengajak main boneka kesayangannya.

"Mama belum sembuh?" tanyanya saat aku mengamati ia yang sedang bermain boneka.

"Sudah sembuh, Sayang," jawabku seraya tersenyum lembut. Sekuat tenaga kututupi hati yang sedang sakit ini di depan anakku.

"Mama nggak mau bangun?"

"Kakak mau ke mana?"

"Kakak bosan di kamar, Ma."

"Kakak mau main ke mana memangnya?"

"Mau main ke Rumah mbak Maya,"ucapnya penuh semangat.

"Mama mau ngantar aku main ke sana?" tanyanya lagi saat aku tak memberi respon atas permintaannya.

"Boleh."

Tergerak hatiku untuk bangun, kasihan bila anak sekecil Rumi harus terkena imbas atas perasaan yang sedang menyelimuti hati.

Sejenak kemudian aku bangun, merapikan rambut yang terkoyak akibat gesekan kepala pada bantal. Lalu melihat diri ke dalam kaca, betapa wajahku sedang tidak sedap untuk dipandang.

Biarlah, toh hanya ke rumah Bulek Sri saja, karena Maya adalah anak bungsu bulek yang usianya tiga tahun di atas Rumi.

Kuabaikan pandangan ibu mertua yang tampak aneh saat melihatku. Memang saat kejadian tadi pagi, ibu belum pulang dari pasar. Hanya ada aku dan Mas Yusuf saja. Pantas ibu heran melihat aku yang tiba-tiba murung di dalam kamar. Meskipun begitu, beliau tak berani bertanya langsung kepadaku.

"Wajahmu kenapa, Nduk?" tanya Bulek saat aku menghampirinya di dapur. Beliau sedang memasak saat aku baru tiba. Rumi langsung mencari keberadaan Maya di kamarnya. Ia anteng kalau sudah bermain sama Maya.

"Habis berantem, Bulek."

"Tumben kamu berantem? Sama siapa?" tanyanya. Pantas saja bulek keheranan, karena sejak menikah dengan Mas Yusuf, rumah tangga kami baik-baik saja. Aku masih mampu meredam emosi saat terjadi perselisihan antara kami. Entahlah sejak kehadiran Rumi, sikap ibu makin menjadi.

"Sama Mas Yusuf. Selalu saja membela ibunya. Nggak pernah mau mendengar penjelasanku, juga ngga bisa ngertiin posisiku," ucapku menggebu-gebu. Berharap mendapat pembelaan atas diriku yang merasa teraniaya.

"Ya jelas dong dibela, kan ibunya?!" jawab bulek mantab.

"Tapi kan aku istrinya, Bulek!" balasku tak kalah mantab. Ah aku salah. Kukira bulek akan membelaku.

"Siapa yang nggak tahu? Tapi dia kan lebih dulu kenal ibunya dibandingkan dengan kamu? Pantas saja selalu dibela!" jawab bulek dengan santai. Sesekali ia memandangku yang sedang disapa emosi.

"Bulek kok gitu, sih!" sungutku. Tak terima bila bulek lebih membela Mas Yusuf. Berharap dengan bercerita, aku bisa sedikit merasa lebih tenang. Eh malah yang terjadi bulek lebih memebela suamiku, saudaranya.

"Bukan begitu, Al. Kamu harus paham dulu. Sebagai anak, apalagi anak laki-laki, jelas sekali terlihat bahwa ia sangat menghormati ibunya. Bahkan itu wajib hukumnya. Hanya saja, sebagai istri, kamu harus paham celah. Jangan asal menuduhnya yang ia sendiri tidak tahu dengan mata kepalanya bagaimana buruknya prilaku orang tua yang dihormatinya itu."

"Maksud Bulek dengan celah? Celah yang seperti apa?" tanyaku. Aku masih bingung dengan apa yang disampaikan bulek.

"Maksudnya dengan celah itu, apapun konflik yang kamu alami dengan ibunya, sebisa mungkin kamu simpan. Dan akan ada saatnya, pertikaian itu terjadi di hadapan Yusuf sendiri. Barulah saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, kamu bisa keluarin semua uneg-uneg yang sudah kamu simpan itu. Memang terkesan kita yang banyak tersakiti, tapi tidak ada cara lain untuk membuka matanya selain dengan cara itu, juga dengan banyak berdoa," jelas bulek panjang lebar.

"Aku sudah berdoa, Bulek."

"Doa yang seperti apa?"

"Ya berdoa tiap habis sholat itu!" ucapku yakin.

"Lebih spesifik nggak?" tanya bulek memastikan.

"Maksudnya spesifik?"

"Ya, kamu minta supaya suamimu dibuka mata hatinya gitu, biar lebih membela kamu," jawabnya.

"Sudah, Bulek. Doaku ya begitu kurang lebih. Apa iya harus kuberi tahu?" tanyaku asal.

"Hehehe ... nggak juga sih!"

"Sudah kamu bacain surah Fatihah juga, nggak?"

"Surah Fatihah? Buat siapa?" tanyaku heran. Setahuku memang surah Fatihah cuma buat yang sudah meninggal saja. Aku memang dangkal dalam pemahaman ilmu agama.

"Ah kamu ini! Ya dibaca khusus buat suamimu. Emang anakmu nggak pernah kamu bacain Surah Fatihah?" tanyanya penuh selidik.

"Enggak, Bulek."

"Astagaa Alinaaaa! Sebagai ibu, kamu w*jib membacakan surah Fatihah buat anakmu. Agar ia menjadi anak yang berbakti juga patuh terhadap orang tua. Mulai nanti, setelah sholat fardlu, kamu bacain deh itu surah buat anak sama suami kamu. Khusus buat mereka berdua masing-masing satu kali. Trus pas di ayat 'iyyakana'budu w* iyya kanasta'in' kamu bacain sebelas kali. Lihat saja bagaimana perubahannya nanti," jelas bulek.

"Gitu ya, Bulek? Ya sudah nanti biar kucoba baca setelah shalat."

"Terus jangan lupa, kamu mengalah untuk minta maaf. Nggak ada salahnya kan meminta maaf lebih dulu pada suami? " perintahnya.

Mendengar perintah bulek itu, aku hanya terdiam memaku. Kuakui memang aku salah, apalagi sudah berani melawan suami sampai ia pergi meninggalkanku seperti tadi. Selama umur perkawinan, baru kali ini aku berani melawan seperti tadi. Saking tak kuatnya aku menahan emosiku yang dari kemarin sudah tersulut karena ucapan ibu.

"Nduk!" 

"Iya, Bulek."

Panggilan bulek menyadarkanku dari lamunan.

"Nggak dengar ucapan Bulek?"

"Iya, Bulek. Dengar kok."

"Jangan sampai lupa! Harus istiqomah juga!" timpal bulek lagi.

"Iya, Bulek. Semoga bisa istiqomah, juga bisa membuat sikap Mas Yusuf jadi lebih baik kepadaku," jawabku penuh harap.

***

Rumi tampak lelap tidur di sebelahku. Namun tidak denganku. Wajah Mas Yusuf masih menari-nari dalam ingatan, membuatku diliputi rasa bersalah.

Dalam hati aku berdoa, agar ia segera kembali pulang dan aku bisa meminta maaf. 

Kupaksa tubuh ini untuk bangun dari tempat tidur, melihat keadaan di luar barangkali bisa mengalihkan pikiran dari bayangan kejadian tadi pagi. 

Beruntung saat terjadi pertengakaran tadi, ibu belum pulang dari pasar, sehingga tidak turut ikut campur. Tidak bisa kubayangkan, bagaimana jika ada ibu saat kami bertengkar tadi, entah bagaimana hebohnya. Mungkin akan terdengar sampai ke tetangga karena suara ibu tergolong keras jika berbicara.

Setelah adzan dhuhur berkumandang, aku bergegas masuk ke dalam kamar setelah berwudhu. Menunaikan kewajiban pada Sang Pemilik Kehidupan. Tak lupa juga aku berdoa, memohon keselamatan diri juga rumah tangga ini dari fitnah dunia. Sengaja memang aku salat di kamar, agar aku puas berdoa tanpa dilihat oleh orang lain. Juga tak lupa menjalankan apa yang bulek perintahkan tadi. Semoga saja aku bisa istikomah melakukannya.

Kurebahkan tubuh setelah melipat mukena yang telah kugunakan. Berharap bisa barang sejenak telelap dalam buaian indah pulau kapuk. 

Belum sempurna mataku terpejam saat derit pintu terdengar olehku. Rupanya Mas Yusuf yang datang. Bergegas aku bangun, duduk di atas petiduran sederhana ini. Menunggunya melepas jaket berlebel ojek online.

"Mas, Alina minta maaf," ucapku dengan kepala tertunduk. Malu sebenarnya. Hanya saja harus kulawan ego ini demi utuhnya rumah tangga. Agar anaku tetap mendapatkan kasih sayang yang utuh.

Bersambung🌸🌸🌸

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Syaiful Bachri
bagus sih tp koin nya gede
goodnovel comment avatar
Matu Dewi
katanya gratis sampe tgl 16 September sampe jam 23.00,ini koq pake koin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status