Share

Bab 5

Aku mengalah, Mas. Demi Ibumu! 5

Mas Yusuf baru datang saat aku, Ratih, dan ibu sedang melihat televisi bersama. Sekalipun hati terasa sakit, tetap kupaksa untuk menjaga hubungan baik kami. Sekalipun aku tidak pernah menunjukkan muka masamku pada ibu. Rumi sudah tidur lebih dulu karena lelah bermain tadi sore.

"Bu, ini obat yang tadi Ibu minta," ucap Mas Yusuf seraya menyerahkan kantong plastik berisi obat pereda nyeri untuk ibu.

"Iya."

Ibu hanya menerima obat itu dari tangan Mas Yusuf tanpa memindahkan pandanganya dari layar televisi. 

Tak heran jika sikap ibu seperti itu, sejak sore juga sudah diam dan manyun gara-gara kejadian tadi. Apalagi soal gelas-gelas kotor itu, ternyata dicuci sendiri oleh ibu. Sudah sakit karena kesandung mainan, ditambah cuci gelas sendiri. Oh ibu ... maafkan aku, salah sendiri ibu marah-marah dari tadi, membuatku enggan membantumu.

Sedang Mas Yusuf, tampak aneh melihat ibu bersikap demikian setelah menerima pemberiannya. Tidak biasanya memang.

Dipandanginya sang ibu lama, tidak ada tanda-tanda ibu akan berbicara pada Mas Yusuf. Pandangannya beralih pada Ratih, hanya dengan isyarat kedipan mata, Mas Yusuf faham bahwa ibu tidak sedang baik-baik saja. Kemudian ia berbalik, berjalan keluar ruangan menginggalkan kami. 

Kuikuti langkah Mas Yusuf menuju kamar kami, mengabaikan sikap ibu kepadanya. Kemudian ia membuka dompetnya, menyerahkan beberapa lembar uang hasil ia narik ojek sejak sore tadi.

"Ini, Dik. Diterima ya? Ada lebihan sedikit, bisa untuk bawa Rumi ke tukang urut," ucapnya setelah aku menerima uang pemberiannya.

Mas Yusuf lantas melepas jaket dan bajunya, berganti memakai kaos oblong sehari-hari.

"Mas Yusuf, sudah makan?" tanyaku melihat ia mendekati putri kami, bibirnya mencium lembut kening Rumi. Tampak wajah lelah tersirat dari sorot matanya yang sayu. Namun masih ia sempatkan untuk mencium pucuk kening putrinya.

"Sudah tadi, kuambil sedikit uang itu untuk beli makan, takut masuk angin kalau nunggu makan di rumah," ucapnya.

"Nggak apa-apa, Mas. Ya, sudah, cuci kaki dulu, baru kemudian tidur."

"Iya."

Mas Yusuf kemudian berdiri, memaksa tubuh lelahnya untuk sekedar cuci kaki dan tangan, nggak baik jika langsung tidur setelah bekerja. Apalagi pekerjaannya yang tiap hari berada disepanjang jalan, tapi bukan sepanjang jalan kenangan.

Kubawa jaket dan pakaian yang telah ia lepas itu ke dalam bak cuci. Kurendam baju-baju kotor keluarga kecilku untuk kucuci esok pagi.

Kulihat ibu bersama Ratih masih asik dengan acara televisi di hadapan mereka. Tanpa pamit, kukunci pintu ruang tamu, sebelum aku beristirahat malam ini. Mengembalikan tenaga agar besok bisa kembali melakukan rutinitas yang melelahkan.

***

"Tumben, Al, kamu belanja sendiri pagi ini?" tanya Bulek Sri saat kami bersama-sama menuju tukang sayur langganannya.

"Iya, Bulek. Kemarin Rumi nggak kebagian lauk, kubelikan bakso juga ibu marah-marah sama aku. Mending aku belanja aja sendiri," jawabku jujur.

"Kenapa memang sama bakso? Kok pake acara marah segala?" sahut bulek.

"Katanya anak kecil nggak boleh kebanyakan micin."

"Iya kali dimakan setiap hari, kalo jarang-jarang mah nggak apa-apa!"

"Itu buktinya marah-marah, ya sudah, aku diam saja. Nanti aku jawab, salah lagi."

"Repot mertuamu itu emang. Sabar aja, deh!"

"Harus bisa sabar Bulek, Mas Yusuf diajakin pindah nggak mau. Berat jauh sama ibunya."

"Ya selama kamu mampu, turuti aja apa maunya. Nanti kalo sudah ada masalah sama ibunya, pasti baru mau diajakin pindah."

"Semoga saja, Bulek. Aku cuma bisa mengalah saja, dari pada rumah tangga ini kenapa-kenapa."

"Iyalah! Harus ada yang mengalah salah satu, tapi mengalah bukan berarti kalah, Al. Makanya sabar saja dulu."

Kami lantas memilih aneka sayur segar yang sudah tertata rapi diraknya.  Juga aneka ikan segar tersedia di sana. Jika belanja pagi hari memang pelanggan masih bisa memilih aneka macam menu, namun jika terlambat datang sedikit saja, pasti sudah habis dibeli sama orang-orang. Kebanyakan tetangga dekat sini masih memiliki putra putri yang masih duduk di bangku sekolah, sehingga jika pagi hari, pasti berebut belanja untuk menyiapkan sarapan.

Aku membeli sepotong ayam, akan kumasak menjadi ayam goreng tepung saja. Karena itu merupakan makanan kesukaan Rumi.

Sekembalinya aku dari tukang sayur, buru-buru kumasak ayam ini. Agar jika ibu datang, pekerjaanku telah selesai. Belum tahu bagaimana reaksinya, saat ibu tahu aku belanja sendiri. Karena sejak awal menikah, ibu meminta untuk masak jadi satu bersamanya. Aku hanya perlu memberi sedikit tambahan uang untuk belanja hariannya.

Saat aku tengah sibuk mencuci perabotan bekas aku masak, Mas Yusuf datang menghampiri.

"Kamu tumben masak sendiri pagi ini?" tanyanya saat melihat sepiring ayam goreng tepung yang kuletakkan di atas meja dapur.

"Kemarin Rumi nggak kebagian lauk, ibu juga masaknya pedes. Pas kubelikan bakso untuk makan, ibu marah. Katanya masak anak dikasih makanan yang banyak micinnya? Iya kali tiap hari kukasih bakso, sesekali aja udah gitu responnya."

Meskipun kujawab, tetap kulanjutkan aktifitasku tanpa menoleh sedikitpun.

"Namanya juga nenek sayang sama cucu, wajarlah kalau marah, cucunya kamu kasih makan bakso," sahutnya lagi.

"Mau bagaimana lagi? Rumi sudah minta makan, lapar katanya. Buru-buru kuajak makan setelah mandi sore, biar dia tenang. Kasihan juga, dia habis dimarahi sama neneknya."

"Dimarahi?" tanyanya penuh selidik.

"Iya, dimarahi. Mainan Rumi berserakan di ruang tamu, nggak sengaja kaki ibu kesandung mainan sampai ibu hampir jatuh," ungkapku.

"Kamu gimana jaga dia kok sampai bikin ibu mau jatuh?" tanyanya penuh selidik.

"Mas pikir, aku di rumah ini cuma duduk santai aja? Kerjaanku cuma ngawasi Rumi aja? Bisa keluar tanduknya ibumu itu!" pekikku. Tak kuasa lagi aku menahan gejolak didalam dada ini. Sudah kupaksa untuk menahan amarah dari kemarin, sekarang malah nada bicaranya terkesan menghakimi. Sudah bagus aku mau bantu-bantu membersihkan rumah juga warung milik ibunya.

"Jaga bicaramu!" ucapnya sambil mengayunkan tangan kanannya, hendak menamparku.

"Mas mau apa? Mau nampar aku? Tampar, Mas! Ayo tampar!" teriakku sambil mendekatkan pipiku ke arahnya. Sudah lelah aku bekerja tanpa henti, masih juga disalah-salahkan.

Matanya nyalang menatapku, wajahnya tampak merah bak penuh dengan kobaran api. Tak gentar aku dengan emosinya. Terus kutatap, hingga ia sendiri yang menurunkan tangannya dan mengalihkan pandangannya dari wajahku. Kemudian berlalu meninggalkanku sendirian di dapur.

Seketika tubuhku luruh ke lantai. Air mata mengalir bak air terjun yang mengalir dari atas bebatuan. Deru napasku kian sesak, hampir susah untuk sedikit saja menghirup udara segar.

Kusandarkan kepalaku ke atas lengan yang bertumpu pada lutut. Menyesali keberanianku melawan ucapan suami. Bukan dengan sengaja, hanya saja, aku lelah dengan semua ini. Sudah cukup aku mengalah, namun masih saja disalah-salahkan. Ya Allahhh ... kuusap dadaku agar himpitan perasaan ini sedikit berkurang. Namun, nyatanya masih saja tetap sama.

Bersambung🌸🌸🌸

Comments (1)
goodnovel comment avatar
syamsinar 70
duh istri lemot
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status