Share

Bab 2

Author: Safiiaa
last update Last Updated: 2021-12-18 07:34:12

Aku Mengalah Mas, Demi Ibumu! 2

Dalam sunyinya malam, aku duduk bertafakur di atas sajadah. Hanyut dalam bacaan zikir yang kulantunkan dengan khusyu'. Memohon kepada Tuhan agar mempermudah hatiku menerima jalan takdir yang sudah kupilih. Aku sebagai manusia, memiliki kesempatan untuk memilih pendamping hidup. Terlepas dari bagaimana perlakuan buruk sang mertua atau saudara.

Tak dapat tidur hingga pagi menjelang, membuatku segera bangun untuk menyelesaikan pekerjaan rumah lebih cepat dari biasanya. Agar sebelum ibu mertua pulang dari pasar, rumah sudah terlihat rapi dan bersih. 

Pernah sekali, saat ibu pulang dari pasar mendapati rumah masih kotor, membuatnya seharian mendiamkanku. Aku yang perasa, segera meraba diri. Kesalahan apa yang aku lakukan sampai membuat ibu mertua marah padaku. Rupanya aku ingat, saat itu Rumi sedang rewel, minta ditemani tidur sehingga membuatku terlambat bangun untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.

Ibu mertua memiliki toko kelontong, juga warung kopi. Tak jarang pelanggan sekalian minta dibuatkan sarapan, jadilah ibu setiap pagi pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan warungnya. Sebagai menantu yang berusaha merebut hati mertua, aku sudah melakukan yang terbaik menurutku. Membantu ibu melayani pembeli di tokonya. Setelah pelanggan selesai minum kopi juga aku yang membereskan sekalian mencuci gelasnya. 

Pekerjaan ini tak jarang membuat luka bekas operasi sesarku terasa nyeri. Jika sudah begini, Mas Yusuf selalu meminta aku lekas istirahat, agar esoknya badan kembali fit dan bisa membantu ibu mertua lagi. 

Kuperbanyak istighfar dalan hati, agar hati terasa lapang menjalani rutinitas yang seperti ini setiap harinya.

"Mertuamu belum pulang Al?" tanya bulek Sri-tetangga sebelah rumah yang masih saudara jauh ibu mertua- saat aku sedang menyapu teras rumah.

"Belum Bulek, makanya ini cepet-cepet selesaikan pekerjaan ini biar kalau ibu pulang, rumah sudah bersih, biar nggak marah-marah lagi kayak kemarin," jawabku sambil tangan terus menggeser kotoran dengan sapu.

"Walah, marah yo biar saja! Mertuamu itu memang kebiasaan, urusan sepele saja dibesar-besarkan! Kalau marah-marah lagi, jangan diambil hati, memang sudah sifatnya dari dulu seperti itu," ungkap bulek dengan nada suara yang dibuat sepelan mungkin.

"Gimana nggak diambil hati kalau tiap hari ketemu," jawabku pasrah.

"Ya, kalau begitu kamu yang sabar aja, kalau sudah modelnya begitu mau bagaimana lagi. Kitanya aja yang sadar ngalah sama yang sudah tua," jelas bulek. 

Mungkin bulek bisa bilang begitu karena sudah lama tetanggaan dengan ibu mertua, jadi beliau memahami karakternya seperti apa.

"Semoga saja bisa bersabar, Bulek," ujarku. 

"Yawes lanjutin lagi nyapunya, Bulek mau masuk dulu, mau masak."

Tanpa menunggu jawabanku bulek berlalu pergi. Meninggalkanku dengan sapu yang masih di tangan. 

Kulanjutkan kembali aktifitasku sambil memikirkan apa yang bulek sampaikan. Benar juga apa yang bulek bilang, jika sudah karakternya begitu mau bagaimana lagi. Mengeluh pun hanya buang-buang tenaga. Hanya saja aku menyesalkan sikap Mas Yusuf yang langsung saja percaya dengan apa yang ibu bilang tanpa mau mendengarkan penjelasanku terlebih dulu.

Kubuang sampah yang sudah ku kumpulkan dalam pengki ke dalam tong sampah depan. Lalu aku kembali ke dalam rumah melanjutkan cucian yang sudah meumpuk dalam bak.

Belum sempat ku pegang cucian itu, terdengar deru motor berhenti di teras rumah. Gegas aku berdiri, menghampiri ibu dengan aneka macam belanjaannya. Bilamana tidak kuhampiri, bisa manyun seharian penuh denganku.

"Tolong bawa ini ke dalam toko," pintanya saat aku sampai dihadapannya.

Gegas kuraih satu kardus kecil belanjaan dari tangan ibu, kemudian ibu turun dari motornya sebelum motor itu diparkir oleh Ratih-adik bungsu Mas Yusuf-.

Setelah membantu ibu menurunkan belanjaannya, aku bergegas kembali ke dapur. Melanjutkan kembali mencuci baju suami dan anakku. Biarlah selanjutnya Ratih yang membantu ibu.

.

.

.

Suara tangisan Rumi memenuhi seluruh ruangan. Ia terjatuh di dalam kamar mandi saat aku sedang menyapu halaman rumah. Ibu yang kebetulan berada tak jauh dari Rumi segera menolongnya. Namun, Rumi masih tetap saja menangis didalam pelukan ibu mertua.

Mendengar Rumi yang masih saja menangis, kuletakkan sapu disembarang tempat. lantas aku bergegas menghampiri ibu yang sibuk menenangkan Rumi yang kesakitan.

"Sini, Bu. Biar sama saya saja," pintaku seraya mengulurkan tangan untuk meraih Rumi dalam dekapan ibu.

"Sudah ditolong Nenek, masih saja menangis!" sungutnya.

Tak kupedulikan ucapannya, aku bergegas masuk ke dalam kamar. Kemudian menutup pintunya rapat-rapat.

"Rumi kenapa memangis?"

"Jatuh, Ma."

"Mana yang sakit, Nak?" tanyaku setelah ia kududukkan di sisi ranjang.

"Ini, Ma," ucapnya seraya menunjuk paha sisi belakang. Kemudian kuusap dengan lembut daerah yang telah ia tunjuk itu, agar mengurangi rasa sakitnya.

"Ada apa?" tanya Mas Yusuf setelah masuk ke dalam kamar. Rupanya, ada seseorang yang telah memberitahunya jika Rumi telah terjatuh.

"Rumi jatuh, Mas."

Kupandangi sejenak wajah Mas Yusuf yang tampak panik, kemudian aku beralih menatap Rumi kembali.

"Kamu lagi dimana kok Rumi bisa sampai jatuh?" tanyanya menghakimiku.

"Aku tadi lagi nyapu teras, Mas," ucapku membela diri.

"Kan bisa ditinggal dulu, baru kalau selesai, nyapunya dilanjutin lagi!" bentaknya.

"Kan ada ibu dibelakang, Mas? Aku ya, mana tahu kalau Rumi sudah bangun dan mau ke kamar mandi," ucapku membela diri.

"Kamu itu alasan aja kalau dibilangi suami."

"Alasan apa, Mas? Aku sudah bicara apa adanya. Selalu saja Mas Yusuf mudah terhasut omongan orang lain, nggak pernah percaya sama istrinya sendiri!" jawabku dengan suara tertahan sebab aku sadar di sampingku masih ada Rumi yang meringkuk kesakitan.

"Ibuku bukan orang lain, Dik!"

Ah lagi-lagi Mas Yusuf menyebut ibunya dalam pertengkaran kami.

Bersambung 🌸🌸🌸

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Mampir baca cerita nya
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
matilah kau dek. memang pantas istri bodoh dan dungu diperlakukan seperti itu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    End

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 83"Untuk apa Ayah kesini? Ayah kan sudah punya adik baru?" Rumi melanjutkan ucapannya. Matanya menatap sang ayah dengan tatapan tajam. "Nak, Ayah sayang sama Kakak. Ayah mau kita hidup bersama lagi seperti dulu. Kakak mau kan ya?" Mas Yusuf berdiri dengan semangatnya lalu berjalan mendekat ke arah Rumi. Ia mencoba memegang tangan gadis kecilku itu. Tapi Rumi segera menepisnya. "Pergi Ayah! Aku benci sama Ayah!" teriak Rumi keras. Ia lantas berlari ke dalam rumah menuju kamar tidurnya. Aku kaget melihat sikap Rumi yang sedemikian kerasnya. Sebenarnya ada apa yang membuat gadis polos itu tiba-tiba saja berani membentak Ayahnya dengan keras. Aku mengabaikan Mas Yusuf yang sedang terisak. Ini bukan masalah sepele. Aku harus mencari tahu penyebab Rumi sampai sedemikian keras menolak ayahnya. Saat kakiku hendak melangkah, Mas Azam memegang pergelangan tanganku. "Biar aku saja. Kamu urus masalahmu dengan ayahnya."Mas Yusuf melihat kedekatanku dengan Mas

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 82

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 82"Ketika kamu sakit, Bapak melihat kepedulian dari sikapnya padamu dan Rumi. Begitu perhatian, berbeda dengan Yusuf dulu." Telingaku kembali terngiang kata-kata Ibu saat bersama tadi. Benar saja, lelaki di depanku ini lebih peduli dan peka terhadap keadaan yang menimpaku. Tanpa kukabari dan kuminta kehadirannya ia sudah datang dan lebih dulu berjibaku dengan masalah yang sedang menempaku. Masihkah aku butuh bukti lagi untuk menerima cintanya padaku?Badan Mas Azam sudah basah oleh cipratan air. Kaos dalam berwarna putih yang dikenakannya sudah tak lagi berwarna putih. Baju itu sudah bercampur tanah dan kotor. Sesekali ia gunakan lengannya untuk mengusap peluh di keningnya dan membuat warna lengan kaos itu tak lagi putih. Wajahnya menyiratkan rasa cemas dan sikapnya sungguh cekatan menyelamatkan apapun yang bisa diselamatkan. Ia berlari kesana-kemari mengangkat barang-barang yang masih bisa ditolong. Hatiku berdenyut nyeri bak ditampar kenyataan yan

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 81

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 81"Aku mau pulang saja!""Rumi di sini dulu sama Tante," sergah Mas Yusuf. Ia berusaha menarik lengan Rumi tapi segera ditepis dengan kasar oleh Rumi. "Nggak mau! Rumi mau pulang saja!" Rumi memberengut. "Maaf ya, Nak. Ayah harus bantu Bundamu yang mau melahirkan," lirih Mas Yusuf. Wajahnya memelas di sisi kanan Rumi. Aku mendekat ke tubuh Rumi. Ia langsung saja memelukku saat aku berada di dekatnya. "Maafkan aku, Dek. Aini mau melahirkan, jadi aku ngga bisa fokus sama Rumi," jelasnya saat aku berusaha menenangkan Rumi yang bersedih. Aku hanya tersenyum. "Nggak apa-apa, Mas." "Anakmu aja yang manja! Orang bapaknya lagi sibuk urus istrinya mau lahiran, dianya nempel aja!" hardik Ibu Mas Yusuf tiba-tiba. Ia baru saja keluar dari ruang tamu dan turut berdiri di depan di dekat Mas Yusuf. "Bu! Jangan ikut campur!" hardik Mas Yusuf cepat. Ibu pun berjingkat kaget mendapati teriakan Mas Yusuf yang sedikit keras itu. "Kamu itu! Dibela malah Ibu dibentak

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 80

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 80"Aku harus cepat ke butik, Mas. Tapi," ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sebentar lagi jam jemput Rumi juga. Aku bingung. "Kenapa?""Harus jemput Rumi kan sebentar lagi, semoga aja perempuan itu mau nunggu. Siapa ya kira-kira?" tanyaku bingung. "Biar kamu aku antar ke butik, terus aku yang jemput Rumi. Gimana?" tawarnya seraya menatapku dalam. "Apa ngga ngerepotin Mas Azam?" sungkanku. Sejak kemarin lagi-lagi aku merepotkannya. Ini semakin membuatku tak enak hati. "Enggak lah, aku ngga repot. Kamu tenang aja." Mas Azam memanggil satu pelayan hanya dengan satu ayunan tangan dan tak butuh waktu lama pelayan datang menghampiri kami. Kami segera pergi setelah Mas Azam membayar bill yang diberikan oleh pelayan tersebut. Kali ini aku berjalan mendahului Mas Azam karena tak mau kejadian seperti tadi terulang kembali. Selama dalam perjalanan Mas Azam hanya diam saja. Tak seperti ketika berangkat yang tak henti mengajakku bicara. "Mas ngg

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 79

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 79Suasana rumah sunyi senyap. Tak ada penghuni selain aku sendiri dalam rumah. Zahra sudah berangkat ke butik satu jam yang lalu. Hanya ada aku yang sedang sibuk melihat tingkah ikan dalam kolam yang tampak lucu. Mataku sibuk mengikuti gerak ikan mengitari tiap sudut kolam. Sesekali ikan yang lebih besar itu menerobos kolong jembatan yang sengaja dipasang di tengah kolam. Dan ikan yang kecil terus saja mengikutinya. Saling mengejar satu sama lain. Meskipun sedikit adu kekuatan tapi ikan yang lainnya masih terus saja saling mengikuti. Gelombang air tercipta saat aku melempar sejumput makanan ikan dalam kolam. Langsung saja ikan-ikan itu saling berebut mendahului ikan yang lainnya agar bisa mendapatkan jatah. Seketika bibirku tersungging melihat tingkah mereka yang aktiv. Mataku nanar menikmati pemandangan di hadapanku karena mengingat kembali cerita Zahra soal masa lalunya. Sungguh aku tak ingin menjadikan Rumi sebagai korban keegoisan kedua orangtuan

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 78

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 78Aku menatap nanar plafon kamar tidur yang bercat putih. Lampu yang sudah berganti temaram tak kunjung membuat mataku memejamkan mata. Pikiranku terus kembali mengingat apa yang Ibu sampaikan tadi sore selepas Bapak menggendongku ke kamar. "Perceraian seharusnya tak membuatmu menjadi trauma. Hidup terus berlanjut. Masa depanmu masih panjang. Rumi juga masih kecil. Jangan kerdilkan pikiranmu dengan rasa trauma." Ibu menatap mataku dalam. Aku merasakan ketulusan dalam ucapannya. "Alina belum sanggup, Bu." Kepalaku menunduk, mataku nanar menatap ujung kuku yang kumainkan. "Belum sanggup bukan berarti tidak mau. Hanya saja kamu butuh waktu untuk menyembuhkan luka itu. Lihatlah bagaimana Azam menantimu hingga ia rela melepas gadis yang baru saja dijodohkan dengannya."Pikiranku kembali mengingat apa yang pernah Adelia tanyakan dulu. Juga keputusan Mas Azam untuk membatalkan pertunangannya dengan Adel setelah rumah tanggaku diterpa badai. Jadi semuanya ka

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 77

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 77Tak mau merasa kepedean aku lantas kembali bertanya untuk memastikan. "Berubah status? Status apa?" tanyaku cepat. "Iya. Dia sendiri sekarang.""Memang dulunya gimana? Jadi pacar orang lain?""Enggak. Jadi istri orang lain.""Istri?""Iya.""Janda dong?""Iya, janda.""Aku juga janda sekarang?""Iya, kamu.""Aku? Maksudnya?" tanyaku tak mengerti. "Iya kamu.""Kenapa sama aku?"Mas Azam tak lagi membalas ucapanku. Ia malah tersenyum tipis sambil memandangku sendu. Duh kesambet apa ini orang. Aku tak lagi meneruskan pertanyaanku. Kuputuskan untuk sibuk menghabiskan kue dalam tanganku saja. Namun perasaanku mendadak tak enak. Tiba-tiba aku merasa ada yang sedang mengamatiku.Kepalaku mendongak melihat apa yang dilakukan oleh manusia di sebelahku ini. Seketika mata kami beradu. Bibirnya tersungging tipis menampakkan deretan giginya yang rapi. Duh. Aku geragapan. Mendadak salah tingkah mendapati dirinya tengah memindai wajahku sedemikian rupa. "Kam

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 76

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 76Mataku nanar memandang surat yang baru saja diantar oleh pengacaraku. Tak kusangka kini aku resmi menjadi janda. Tak pernah terbersit dalam benakku aku akan menyandang status ini. Sungguh sakit melihat surat itu tertera namaku di atasnya. Air mataku sudah lelah mengalir saat mataku mulai terasa berat. Sejenak kurebahkan badanku agar kembali segar saat menjemput Rumi nanti. Perlahan mataku mulai terpejam menelan luka yang kembali terasa perih karena status resmi yang baru saja kudapatkan. Beruntungnya aku tinggal di perumahan yang tak banyak orang ikut campur atas masalah pribadi yang sedang kunikmati. Jika mereka membicarakanku dibelakangku, itu terserah mereka. Dering ponsel membuatku tersentak kaget. Segera kuraih benda yang kuletakkan di atas nakas itu. Tertera nama wali kelas Rumi dalam layar ponsel yang bergetar. "Waalaikumsalam, Bu," jawabku cepat. "Arumi belum dijemput ya, Bund? Sudah lewat setengah jam tapi dia masih nunggu di sekolah."M

  • Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!    Bab 75

    Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 75"Mbaak," rengeknya setelah berhasil duduk di kursi kosong di depanku. Ia lantas menangis tersedu-sedu tanpa memperdulikanku yang kebingungan melihat tingkahnya. Kuletakkan ponselku lalu kutatap wajahnya penuh tanda tanya. "Kamu kenapa?" Aku yang sedang bingung makin mencondongkan tubuh agar bisa melihat dengan jelas ekspresi wajahnya saat ini. "Mas Azam, Mbak," lirihnya lagi sambil terisak. Kedua tangannya menangkup wajahnya menghalau air mata yang terus mengalir dari kelopak matanya. "Kenapa Mas Azam?" tanyaku ikut panik. Tangisnya membuatku ikut merasakan bagaimana perasaannya saat ini. "Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan pertunangan kami, Mbak," jelasnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar karena diiringi dengan tangisan. "Bagaimana bisa? Alasannya?" tanyaku penasaran. Sebab tak mungkin lelaki seperti Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan hubungan tanpa sesuatu yang jelas dan besar. "Alasannya dia tak siap dengan perjodohan ini, Mbak. Menurutk

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status