Share

Bab 2

Aku Mengalah Mas, Demi Ibumu! 2

Dalam sunyinya malam, aku duduk bertafakur di atas sajadah. Hanyut dalam bacaan zikir yang kulantunkan dengan khusyu'. Memohon kepada Tuhan agar mempermudah hatiku menerima jalan takdir yang sudah kupilih. Aku sebagai manusia, memiliki kesempatan untuk memilih pendamping hidup. Terlepas dari bagaimana perlakuan buruk sang mertua atau saudara.

Tak dapat tidur hingga pagi menjelang, membuatku segera bangun untuk menyelesaikan pekerjaan rumah lebih cepat dari biasanya. Agar sebelum ibu mertua pulang dari pasar, rumah sudah terlihat rapi dan bersih. 

Pernah sekali, saat ibu pulang dari pasar mendapati rumah masih kotor, membuatnya seharian mendiamkanku. Aku yang perasa, segera meraba diri. Kesalahan apa yang aku lakukan sampai membuat ibu mertua marah padaku. Rupanya aku ingat, saat itu Rumi sedang rewel, minta ditemani tidur sehingga membuatku terlambat bangun untuk menyelesaikan pekerjaan rumah.

Ibu mertua memiliki toko kelontong, juga warung kopi. Tak jarang pelanggan sekalian minta dibuatkan sarapan, jadilah ibu setiap pagi pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan warungnya. Sebagai menantu yang berusaha merebut hati mertua, aku sudah melakukan yang terbaik menurutku. Membantu ibu melayani pembeli di tokonya. Setelah pelanggan selesai minum kopi juga aku yang membereskan sekalian mencuci gelasnya. 

Pekerjaan ini tak jarang membuat luka bekas operasi sesarku terasa nyeri. Jika sudah begini, Mas Yusuf selalu meminta aku lekas istirahat, agar esoknya badan kembali fit dan bisa membantu ibu mertua lagi. 

Kuperbanyak istighfar dalan hati, agar hati terasa lapang menjalani rutinitas yang seperti ini setiap harinya.

"Mertuamu belum pulang Al?" tanya bulek Sri-tetangga sebelah rumah yang masih saudara jauh ibu mertua- saat aku sedang menyapu teras rumah.

"Belum Bulek, makanya ini cepet-cepet selesaikan pekerjaan ini biar kalau ibu pulang, rumah sudah bersih, biar nggak marah-marah lagi kayak kemarin," jawabku sambil tangan terus menggeser kotoran dengan sapu.

"Walah, marah yo biar saja! Mertuamu itu memang kebiasaan, urusan sepele saja dibesar-besarkan! Kalau marah-marah lagi, jangan diambil hati, memang sudah sifatnya dari dulu seperti itu," ungkap bulek dengan nada suara yang dibuat sepelan mungkin.

"Gimana nggak diambil hati kalau tiap hari ketemu," jawabku pasrah.

"Ya, kalau begitu kamu yang sabar aja, kalau sudah modelnya begitu mau bagaimana lagi. Kitanya aja yang sadar ngalah sama yang sudah tua," jelas bulek. 

Mungkin bulek bisa bilang begitu karena sudah lama tetanggaan dengan ibu mertua, jadi beliau memahami karakternya seperti apa.

"Semoga saja bisa bersabar, Bulek," ujarku. 

"Yawes lanjutin lagi nyapunya, Bulek mau masuk dulu, mau masak."

Tanpa menunggu jawabanku bulek berlalu pergi. Meninggalkanku dengan sapu yang masih di tangan. 

Kulanjutkan kembali aktifitasku sambil memikirkan apa yang bulek sampaikan. Benar juga apa yang bulek bilang, jika sudah karakternya begitu mau bagaimana lagi. Mengeluh pun hanya buang-buang tenaga. Hanya saja aku menyesalkan sikap Mas Yusuf yang langsung saja percaya dengan apa yang ibu bilang tanpa mau mendengarkan penjelasanku terlebih dulu.

Kubuang sampah yang sudah ku kumpulkan dalam pengki ke dalam tong sampah depan. Lalu aku kembali ke dalam rumah melanjutkan cucian yang sudah meumpuk dalam bak.

Belum sempat ku pegang cucian itu, terdengar deru motor berhenti di teras rumah. Gegas aku berdiri, menghampiri ibu dengan aneka macam belanjaannya. Bilamana tidak kuhampiri, bisa manyun seharian penuh denganku.

"Tolong bawa ini ke dalam toko," pintanya saat aku sampai dihadapannya.

Gegas kuraih satu kardus kecil belanjaan dari tangan ibu, kemudian ibu turun dari motornya sebelum motor itu diparkir oleh Ratih-adik bungsu Mas Yusuf-.

Setelah membantu ibu menurunkan belanjaannya, aku bergegas kembali ke dapur. Melanjutkan kembali mencuci baju suami dan anakku. Biarlah selanjutnya Ratih yang membantu ibu.

.

.

.

Suara tangisan Rumi memenuhi seluruh ruangan. Ia terjatuh di dalam kamar mandi saat aku sedang menyapu halaman rumah. Ibu yang kebetulan berada tak jauh dari Rumi segera menolongnya. Namun, Rumi masih tetap saja menangis didalam pelukan ibu mertua.

Mendengar Rumi yang masih saja menangis, kuletakkan sapu disembarang tempat. lantas aku bergegas menghampiri ibu yang sibuk menenangkan Rumi yang kesakitan.

"Sini, Bu. Biar sama saya saja," pintaku seraya mengulurkan tangan untuk meraih Rumi dalam dekapan ibu.

"Sudah ditolong Nenek, masih saja menangis!" sungutnya.

Tak kupedulikan ucapannya, aku bergegas masuk ke dalam kamar. Kemudian menutup pintunya rapat-rapat.

"Rumi kenapa memangis?"

"Jatuh, Ma."

"Mana yang sakit, Nak?" tanyaku setelah ia kududukkan di sisi ranjang.

"Ini, Ma," ucapnya seraya menunjuk paha sisi belakang. Kemudian kuusap dengan lembut daerah yang telah ia tunjuk itu, agar mengurangi rasa sakitnya.

"Ada apa?" tanya Mas Yusuf setelah masuk ke dalam kamar. Rupanya, ada seseorang yang telah memberitahunya jika Rumi telah terjatuh.

"Rumi jatuh, Mas."

Kupandangi sejenak wajah Mas Yusuf yang tampak panik, kemudian aku beralih menatap Rumi kembali.

"Kamu lagi dimana kok Rumi bisa sampai jatuh?" tanyanya menghakimiku.

"Aku tadi lagi nyapu teras, Mas," ucapku membela diri.

"Kan bisa ditinggal dulu, baru kalau selesai, nyapunya dilanjutin lagi!" bentaknya.

"Kan ada ibu dibelakang, Mas? Aku ya, mana tahu kalau Rumi sudah bangun dan mau ke kamar mandi," ucapku membela diri.

"Kamu itu alasan aja kalau dibilangi suami."

"Alasan apa, Mas? Aku sudah bicara apa adanya. Selalu saja Mas Yusuf mudah terhasut omongan orang lain, nggak pernah percaya sama istrinya sendiri!" jawabku dengan suara tertahan sebab aku sadar di sampingku masih ada Rumi yang meringkuk kesakitan.

"Ibuku bukan orang lain, Dik!"

Ah lagi-lagi Mas Yusuf menyebut ibunya dalam pertengkaran kami.

Bersambung 🌸🌸🌸

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
matilah kau dek. memang pantas istri bodoh dan dungu diperlakukan seperti itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status