Share

Bab 3

Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 3

Lagi-lagi Mas Yusuf menyebut nama ibunya dalam pertengkaran kami. Jika sudah begitu, wajib bagiku untuk langsung menutup mulut. Daripada aku terus berkomentar malah akan menimbulkan pertengkaran antara kami berdua. Sebaiknya memang segala sesuatu tentang ibu mertua yang tidak sesuai dengan keinginanku harus kusimpan rapat.

Setelah menyebut nama ibunya, Mas Yusuf berlalu dari hadapnku. Tanpa peduli dengan anaknya yang sedang merintih kesakitan.

Terserahlah dengan sikap Mas Yusuf, mau bagaimanapun aku tetap kalah. Baginya, ucapan ibunya bak perintah yang wajib dipatuhi. Tak peduli bagaimana jelasnya kejadian sebenarnya.

"Sini, Nak, biar Mama urut yang sakit," ucapku pada Rumi yang meringkuk di sampingku.

Rumi lantas merubah posisinya menjadi terlentang, sedang aku, meraih minyak kayu putih dalam kotak tempatku menaruh obat-obatan.

Kubalur kakinya dengan minyak, lalu kuurut sedikit bagian yang agak memar seperti terkena benturan.

"Bagaimana bisa kamu terjatuh, Nak?" tanyaku lagi saat melihat memar di kakinya.

"Nenek sedang mencuci gelas, Ma. Aku sudah bilang permisi mau lewat, tapi nenek malah menyiram lantai dengan air sabun cuciannya. Akhirnya aku terjatuhh, kakiku terkena bak plastik tempat nenek membilas gelas. Ini sakit, Ma," jelasnya panjang lebar dan menangis setelah menujuk area yang memar itu.

Dapur kami memang tidak memiliki tempat khusus untuk mencuci perabotan. Hanya ada lantai dengan kran menempel di dinding atas, beserta ember plastik di bawah kran air, tempat mencuci piring dan gelas, juga tempat untuk mencuci pakaian. Di depan ember itu, terdapat kamar mandi dan wc. Terdapat sekat pendek berupa dinding semata kaki untuk membatasi air agar tidak meluber kemana-mana.

"Ya sudah, tidak apa-apa. Besok kalau masih sakit, Mama bawa ke tukang urut ya?"

"Iya, Ma."

Kupijat kaki anakku yang sakit dengan sekuat mungkin menahan air mata. Bagaimana mungkin ibu mertua melakukan hal itu kepada cucunya sendiri. Ah sebaiknya aku berbaik sangka. Mungkin saja ibu tidak mendengar ucapan Rumi sehingga tidak sengaja Rumi terjatuh.

Setelah kupijat, Rumi tertidur. Mungkin karena merasa nyaman dengan pijatanku. Pelan aku bangun dari sisinya untuk melihat pekerjaanku tadi. Brangkali masih terbengkalai karena Ratih tidak pernah mau mengerjakan pekerjaan rumah.

Benar saja, kotoran yang tadi sudah separuh kusapu, kembali berserakan. Lagi, aku harus mengulang pekerjaan mulai awal. Tak habis pikir aku dengan adik Mas Yusuf itu, perempuan tapi tidak pernah mau bebersih rumah. Semoga saja kelak setelah menikah ia faham sendiri bagimana ruwetnya menjadi ibu rumah tangga. 

"Mana Rumi?" tanya Mas Yusuf yang tiba-tiba sudah ada di dekatku.

"Tidur, Mas."

Tanpa menoleh kulanjutkan kembali pekerjaanku.

Mas Yusuf lantas duduk di kursi dekat meja yang ada di depanku, tempat biasanya para pelanggan menikmati kopinya.

"Bagaimana kakinya?"

"Masih sakit, kalau besok tidak sembuh juga mau kubawa ke tukang urut."

"Iya, semoga nanti dapat rejeki buat pijitin si Rumi," ucapnya. Mungkin merasa bersalah karena sudah mengabaikan anaknya saat terjatuh tadi.

Hanya kupandangi sekilas wajahnya tanpa berucap sepatah kata pun. Tampaknya ia faham akan ekspresi wajahku yang sedang tidak baik-baik saja. Bagus lah Mas, kalau merasa bersalah. Setidaknya perasaan bersalahnya membuat hatiku lega, juga membuatku merasa bahwa masih ada perhatian untukku juga untuk putrinya.

Setelah aku selesai menyapu, Ratih keluar dari kamarnya. Tampaknya ia baru bangun tidur. Tanpa sepatah kata pun aku berlalu dari hadapannya menuju kamarku, untuk mengambil baju sebelum masuk ke kamar mandi. Heran dengan anak perawan jaman sekarang, nggak suka pegang kerjaan rumah. Lebih baik aku menyegarkan diri agar kepala terasa dingin. Penat rasanya menghadapi sikap mertua yang demikian.

"Suf, nggak narik?" tanya pak Soleh di depan yang masih terdengar oleh telingaku di dalam kamar.

"Belum, Pak. Habis ini. Kenapa, Pak?" jawab Mas Yusuf.

"Aku bisa minta tolong antar keponakanku ke tempat temannya? Di rumah nggak ada motor, lagi dipakai semua."

"Bisa, Pak. Kapan?"

"Sekarang, kamu siap-siap dulu biar aku panggil keponakanku dulu," ucap Pak Soleh sambil berlalu pergi.

Kemudian Mas Yusuf masuk ke dalam kamar, bersiap-siap dan berpamitan denganku.

"Aku berangkat narik, doakan dapat rejeki biar bisa buat mijitin kaki Rumi," ucapnya setelah jaket warna hijau itu terpasang sempurna di badannya.

"Iya, Mas."

Mas Yusuf lalu mengulurkan tangannya dan segera kuraih untuk kucium. Tak lupa juga ia megelus ujung kepala Rumi, dan diciumnya putri tunggal kami itu dengan penuh sayang. Ah Mas Yusuf, sikapnya yang seperti ini membuat hatiku terenyuh.

Kuantar Mas Yusuf sampai di depan pintu, dan ternyata sudah ada ibu mertua disana.

"Tumben, Suf, sudah berangkat?" tanya ibu pada Mas Yusuf.

"Iya, Bu. Diminta Pak Soleh ngantar keponakannya," jawab Mas Yusuf.

Motor Mas Yusuf sudah siap untuk dipakai, tinggal menunggu keponakan Pak Soleh datang ke sini.

"Biasanya kalau meminta tolong secara langsung, ongkosnya beda ya?"

Seketika aku dan Mas Yusuf saling pandang. 

"Sedikasihnya, Bu," jawabku memecah keheningan antara kami bertiga.

Lalu Pak Soleh dan keponakannya datang menghampiri kami.

"Sudah siap, Mas?" tanya Mas Yusuf pada keponakannya Pak Soleh yang tampak membawa banyak barang dalam tasnya.

"Sudah, Pak. Tolong ini ditaruh depan saja, biar satunya aku yang bawa," pinta keponakan Pak Saleh.

"Baik, Mas. Biar saya tata dulu di depan."

Dengan cekatan dan rapi Mas Yusuf menata barang bawaan pelanggannya. Kemudian keduanya segera menaiki motor agar tidak telat sampai di stasiun.

"Hati-hati, Mas," ucapku saat keduanya telah duduk sempurna di atas jok motor.

"Iya."

"Hati-hati, Suf. Nanti kalau sudah dapat uang, ibu belikan obat seperti biasanya, ya? Biar nggak capai kakinya ini dibuat kerja seharian," pinta ibu mertua.

Tanpa memperdulikan ucapan ibunya, Mas Yusuf memacu kuda besinya. Membelah jalanan mengantar pelanggan menuju tempat tujuan.

Mendengar ucapan ibu, aku hanya tersenyum kecil. Mengapa juga harus berucap demikian, padahal setiap ada rejeki, kalau ibu butuh sesuatu selalu Mas Yusuf yang belikan. Apalagi di depan masih ada Pak Soleh, pakai acara bilang capai kerja seharian, seperti aku menantu yang nggak pernah bantu saja. Padahal aku juga nggak pernah berhenti bantuin jualan juga bersih-bersih.

Bersambung 🌸🌸🌸

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g pernah respek sama istri tolol modelan begini. nyampah aja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status