Share

Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu!
Author: Safiiaa

Bab 1

Bab 1

"Seperti ada suara motor Mas Yusuf, Bu," ucapku panik.

"Kamu ngga pamitan?" tanya Ibu kaget.

Aku menggeleng lemah.

"Tumben?"

Aku diam saja, tak berani menjawab.

Mata Ibu menatapku dalam. Seperti ia sedang mencari sesuatu dalam kelopak mataku.

"Kalian ada masalah? Jangan menghindar, temui dia, bicarakan baik-baik," ujar Ibu menebak-nebak.

"Tidak, Bu. Biar Mas Yusuf menemuiku di kamar saja," elakku seraya berdiri dari tempatku duduk. Aku mengintip dari balik tirai jendela yang tertutup kelambu putih.

"Iya, benar, itu Mas Yusuf."

Dengan cepat aku berjalan menuju kamar tidur agar ia tak melihat bahwa aku sengaja menghindarinya.

Aku enggan menemuinya di hadapan ibuku, biarlah kami berbicara di dalam kamar saja agar masalah ini tidak melebar kemana-mana.

Kupasang telingaku agar bisa mendengar dengan jelas apa yang akan diucapkan Mas Yusuf pada Ibu. Tak lagi dapat kubendung rasa kesalku padanya. Terlebih pada Ibunya yang selalu semaunya sendiri.

"Waalaikum salam, Suf," jawab ibuku pada Mas Yusuf yang baru datang setelah mengucapkan salam.

Ucapan salam Mas Yusuf terdengar dingin. Tidak ada kelembutan yang kudengar dari ucapan salam itu.

"Alina mana, Bu?" tanya Mas Yusuf.

Entah, ia menyalami ibu atau tidak. Aku khawatir Mas Yusuf abai pada ibuku. Tapi, semoga ibuku maklum atas sikap Mas Yusuf saat ini.

"Ada di kamarnya, masuklah, Nak," jawab ibu terdengar ramah. Tanpa Mas Yusuf menjelaskan, Ibu paham apa yang sedang terjadi antara kami berdua.

Samar aku mendengar suara ibu dari dalam kamar, tetapi aku tak bergeming. Biarlah ia yang menghampiriku saja.

"Rumi mau es krim? Yuk beli," ujar Ibu setelah menjawab pertanyaan Mas Yusuf.

"Mau, Nek! Aku suka es krim," jawab Rumi senang.

Sepertinya Ibu sengaja mengajak Rumi keluar untuk memberikan kami waktu berbicara berdua tanpa ada gangguan Rumi. Terlebih mungkin agar tidak mendengar suara bernada tinggi milik ayahnya yang mungkin akan terdengar menggema.

Kemudian terdengar langkah kaki mendekat ke arah kamarku. Sejurus kemudian gagang pintu bergerak, setelah pintu terbuka tampak wajah Mas Yusuf muncul dari balik pintu.

"Ayo pulang! Minta maaf sama ibu! Jangan kebiasaan ada masalah lari ke rumah orang tua!" ucap mas Yusuf kepadaku yang sedang duduk di bibir ranjang tanpa permisi. Ia meraih tanganku yang tengah memilin ujung pakaian yang kukenakan.

"Tidak, Mas! Aku tidak salah! Aku ngga mau minta maaf!" elakku keras.

"Kalau ngga salah, bagaimana mungkin ibu sampai nangis nelangsa begitu!?" sela Mas Yusuf cepat. Tangis ibu mertua sepertinya sudah berhasil membuat api dalam dada Mas Yusuf berkobar hebat.

"Mas, tadi itu aku-"

"Sudahlah! Jangan membela diri! Minta maaf dulu sama ibu!" sela Mas Yusuf lagi.

Mataku terperanjat mendengar teriakan Mas Yusuf yang begitu keras. Debaran dalam dadaku seketika membuat darahku mengalir cepat. Aku tak menyangka jika Mas Yusuf sedemikian membela ibunya.

"Ayo, pulang!" ajaknya lagi. Tanpa aba-aba ia kembali menarik tanganku agar mengikuti langkahnya yang lebar.

Aku membuang napas kasar. Menjelaskan titik permasalahan sepertinya tidak akan bisa merubah keadaan jika kondisi emosinya sedang memuncak. Aku pun menurut saja.

"Langsung balik?" tanya Ibu yang baru saja kembali dari toko dekat rumah saat melihat Mas Yusuf menarik tanganku.

"Kita pulang, Ma?" tanya Rumi. Ia menatapku dan ayahnya bergantian.

"Iya, kita pulang dulu ya? Lusa main lagi ke sini." Aku menyela ketika Mas Yusuf hanya diam saja mendengar pertanyaan putrinya.

Ibu menatapku dan Mas Yusuf bergantian. Lalu berjongkok di depan Rumi dan memegang kedua pangkal lengannya.

Mendapati pandangan ibu yang hangat, mataku pun terasa panas. Lalu kabut tebal menyelimutinya hingga berubah menjadi bulir-bulir air yang siap meluncur bebas.

"Ngga apa-apa pulang dulu. Ini es krimnya dimakan di rumah ya?"

"Iya, Nek. Nanti kalau aku ke sini lagi, belikan es krim ini lagi ya?" balas Rumi sambil menunjukkan sekantong plastik yang berisi dua cup es krim vanila yang baru saja diberikan oleh neneknya.

"Yuk," ajak Mas Yusuf setelah ibu berdiri dan melepas pegangan tangannya pada bahu Rumi.

"Iya Mas," jawabku pasrah. Linangan air mata segera kuusap, lalu berjalan mengambil tas yang ada di atas kursi ruang tamu.

Sadar jika suamiku sedang marah, tak bisa dibantah. Bahkan tak segan memukul jika aku, sebagai istri berani melawan. Makanya aku memilih berbicara di dalam kamar, takut jika ibuku melihat wajah Mas Yusuf kala emosi.

"Rumi balik dulu, ya, Nek?" pamit Rumi. Ia mengulurkan tangannya pada ibu lalu menciumnya dengan takdzim.

"Iya. Hati-hati ya, Nak?" jawab Ibu sambil memasang wajah sumringah.

Aku pun mengikuti apa yang Rumi lakukan. Lalu, aku membalas tatapan ibu dengan senyum yang kupaksakan.

Pandangan mata ibu tak lepas dari wajahku, yang sedang tertekan. Aku faham jika ibu mengerti kondisiku, tetapi tak berani berbuat apa-apa. Mungkin dalam hatinya sedang berdoa untukku.

Sayang di sebelahku sudah ada mas Yusuf, membuat ibu tak berani berbicara banyak kepadaku. Hanya usapan tangannya pada bahuku, yang membuat dadaku makin terasa nyerinya.

Aku membuang napas kasar agar nyeri dalam dada ini tak berubah menjadi isakan yang bisa memporak-porandakan suasana ini.

"Pulang dulu Bu," ucap mas Yusuf setelah mencium punggung tangan ibuku, mertuanya.

"Iya Nak, hati-hati di jalan." Lagi, ibu berucap.

Kami bertiga lantas menaiki motor butut mas Yusuf. Tak lupa juga Rumi melambaikan tangan pada sang nenek sebelum motor ayahnya melaju membelah jalan.

Pandangan mata ibu terus tertuju padaku sampai mataku tak bisa lagi melihat tubuhnya melalui kaca spion.

Aku faham, ibu mengerti keadaanku yang sedang dalam masalah. Tetapi aku tak serta merta menceritakan semua yang telah terjadi agar tak semakin menjadikannya beban pikiran. Nasi sudah menjadi bubur, Mas Yusuf sudah menjadi suamiku, apapun keadaannya harus kuhadapi.

Bismillah, ucapku dalam hati.

"Ayo cepat minta maaf sama ibu!" ucap mas Yusuf setelah kami turun dari motornya. Ia lalu membawaku ke hadapan orang yang tadi berbicara kasar denganku dan anakku, seperti kesetanan menyuruhku meminta maaf pada ibunya, mertuaku.

Tak menjawab ucapan mas Yusuf, aku lantas menunduk, meraih tangan ibu mertua. "Alina minta maaf ya, Bu?"

"Iya, jangan diulangi lagi membantah sama orang tua. Ibu ini sudah tua, nggak bisa dengar kata-kata kasar, juga nggak bisa dibentak-bentak," ucap bu Rohaya, mertuaku. Wajahnya seolah sedang diliputi kesedihan, matanya bengkak karena terlalu banyak menangis.

Mendengar ucapan ibu, aku lantas berpikir keras. Siapa yang membantah? Bukannya tadi saat pertengkaran itu terjadi aku hanya diam tak membantah sedikitpun?

Pertengkaran batin terjadi dalam hatiku. Bagaimana mungkin Bu Rohaya bisa berucap demikian padahal aku faham kejadian dari awal sampai akhir.

Ucapan mertuaku lantas menjadi suatu pertanyaan untukku. Pantas saja Mas Yusuf sampai sedemikian emosi, ibu sudah membalik fakta yang telah terjadi.

"Iya Bu, sekali lagi Alina minta maaf," ucapku mengalah. Aku lantas berdiri dari hadapan mertuaku, meraih tangan Rumi untuk kugandeng menuju kamarku.

Kemudian mas Yusuf mengikutiku dari belakang. Kami sama-sama masuk ke dalam kamar.

Aku lantas duduk di bibir ranjang bersama Rumi, sedang Mas Yusuf berdiri di hadapanku.

"Mas, aku tadi nggak ngelawan," ucapku berusaha menjelaskan.

"Kalau nggak ngelawan nggak mungkin ibu sampai nangis kayak gitu!" sahut mas Yusuf tak terima.

Kutatap wajah mas Yusuf yang wajahnya sudah agak berbeda dari saat kami datang. Meskipun begitu, ucapannya masih sedikit ketus.

"Sudahlah apa sih salahnya minta maaf sama ibuku?!" cecarnya.

Merasa sudah terpojokkan, sebaiknya aku diam. Menjelaskan juga tak mungkin diterima jika hal itu menyangkut soal ibunya. Salahku memang dulu sudah tahu ibunya tak suka denganku, aku tetap saja mau menerima pinangan mas Yusuf.

Bersambung 🌸🌸🌸

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
tetaplah kau bertahan dg sejuta alasan. dan biarkan kematian yg mrmisahkan kalian. tetaplah kuat dan bodoh nyet!!!
goodnovel comment avatar
Youe
hallo Kak ( Quora _youtixs)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status