Aku Mengalah, Mas! Demi Ibumu! 4
Terdengar suara Rumi sudah berceloteh di depan saat aku keluar dari kamar mandi. Rupanya, setelah bangun tadi, Rumi menghampiri neneknya karena tak melihat keberadaanku. Rumi memang pintar, jarang menangis jika bukan karena suatu hal yang menyakitinya. Pantas jika aku panik saat melihat Rumi menangis setelah terjatuh kemarin.Kupercepat langkahku menuju kamar. Menyelesaikan urusan pribadi sebelum ibu mertua berceloteh karena tingkah Rumi. Sebenarnya Rumi termasuk anak yang cerdas, bisa memahami apa yang disampaikan orang kepadanya. Hanya saja kadang ibu tidak bisa memahami fitrah cucunya yang masih kanak-kanak, masih butuh mengexplore imajinasinya.
Segera aku menghampiri Rumi setelah selesai berganti pakaian. Ingin tahu apa yang sedang dikerjakan oleh anakku itu. Barangkali tangannya membuat kerusuhan di depan yang memicu amarah sang nenek.
Betapa terkejutnya aku melihat ruang tamu sudah penuh dengan mainannya. Beberapa boneka berserakan memenuhi lantai. Namun, tak kulihat ibu mertua di sisi putriku itu. Mungkin sedang melayani pembeli di tokonya.
Rumi sedang asik bermain boneka barbie di pojok ruang tamu. Tak ia pedulikan mainan yang berceceran.
"Nak, kok mainannya berserakan seperti ini?" tanyaku lembut pada Rumi.
"Nggak apa-apa, Ma. Nanti Rumi beresin," jawab Rumi dengan polosnya. Pintarnya anakku, mampu bertanggung jawab atas apa yang sudah dilakukannya. Meskipun masih dalam bentuk ucapan, belum sampai ia kerjakan, setidaknya ia mempunyai rasa bertanggung jawab untuk membersihkan apa yang sudah ia berantakkan.
"Ya, sudah. Ibu ke depan ya? Mau beresin gelas sisa kopi dulu," ucapku pada Rumi. Ia tak memperdulikanku, masih asik dengan mainan di tangannya.
"Hai, cantik. Lagi mainan apa?" tanya Ratih yang baru saja keluar dari kamarnya. Di tangannya memegang ponsel, lalu duduk mendekati Rumi. Sambil menemani Rumi bermain, sesekali Ratih melihat ponselnya. seperti sedang menunggu sesuatu. Kuamati saja dari kejauhan apa yang mereka berdua lakukan.
Kulihat ibu mertua baru saja keluar dari tokonya yang ada di sisi depan teras, lalu berjalan masuk ke dalam ruang tamu.
Aduhhh!
Terdengar suara ibu berteriak. Gegas aku menghampiri ibu ke dalam. Takut jika terjadi sesuatu mengingat tadi mainan Rumi berserakan memenuhi ruangan.
Rupanya ibu telah kesandung mainan Rumi dan sedang kesakitan sambil berpegangan pada tembok untuk menahan bobot tubuhnya agar tidak jatuh. Sedang kakinya ia tekuk agar tangannya bisa mengusap sisi kaki yang sakit.
"Ini apa-apaan! Mainan berceceran sampai bikin kaki terkilir! Ayo beresin! Sakit kaki Nenek ini!" teriak ibu. Wajahnya seperti tengah menahan sakit. Sesekali ia merintih, merasai kakinya yang ngilu.
"Apaan sih! Terkilir sendiri pake marah-marah!" sungut Ratih. Tak terima ia mendapati ibunya memarahi Rumi.
"Kamu itu bagaimana jaga ponakan nggak becus! Sampe bikin ibunya ini mau jatuh!" sahut ibu lagi. Matanya nyalang menatap Rumi, bagai telah melakukan kesalahan besar saja. Padahal Rumi hanya bocah lima tahun yang masih suka sembarangan meletakkan mainan.
Aku yang sudah berada di belakang ibu, memberi kode pada Ratih agar tak menanggapi ucapan ibu.
"Maafin, Rumi, Bu."
"Ayo, Nak, dibereskan mainannya," ucapku pelan pada Rumi yang tampak ketakutan melihat sang nenek sedang dipenuhi dengan amarah. Mainan yang sedari tadi ia pegang sudah tergeletak dilantai. Sedang tubuhnya semakin menempel pada dinding pojok ruang tamu dengan wajah ketakutan.
"Kamu juga bagaimana sih jadi ibu!" teriaknya sambil berlalu pergi. Matanya masih saja nyalang saat menatapku. Padahal kejadian yang menimpanya adalah sebuah kecelakaan kecil yang tanpa sengaja terjadi. Cara berjalannya juga agak pincang, sepertinya memang ibu benar-benar kesakitan.
"Aneh ibu itu! Terkilir sendiri pake nyalahin orang lain! Salahnya jalan cepet-cepet, nggak dilihat banyak mainan berserakan!" gerutu Ratih sambil meraih tubuh Rumi untuk mendekat kepadanya. Ia usap punggung Rumi agar hatinya tenang. Jelas saja Rumi ketakutan karena aku jarang sekali membentaknya.
Setelah Rumi tenang, kemudian Ratih mengajak Rumi membersihkan mainan yang berserakan.
"Sudah, nggak apa-apa. Sakit banget mungkin sampai jalannya pincang gitu," jelasku pada Ratih setelah lebih dulu aku berjongkok untuk meraih mainan-mainan itu.
Kubantu membersihkan mainannya dengan perasaan yang tak menentu. Ibu mana yang tak sakit hatinya mendapati putrinya dibentak di hadapannya. Hanya saja, aku sadar diri bahwa kami masih menumpang di rumah orang tua. Kuucap istighfar dalam hati, agar sedikit merasa tenang.
Setelah mainan Rumi beres, aku lalu mengajaknya untuk mandi sore. Urusan gelas kotor biar dilanjutkan sama Ratih saja.
"Ayo, Nak, mandi dulu," ajakku pada Rumi yang tampak masih ketakutan.
Sebelum itu, tak lupa gelas-gelas itu kuletakkan di bak kotor di dapur, tanpa berniat mencucinya. Biarlah gelas-gelas itu memenuhi bak cuci dan kian menggunung. Seperti rasaku memendam sakit untuk bertahan di dalam rumah ini. Demi tetap berlayarnya bahtera rumah tangga yang baru beberapa tahun kujalani. Juga demi terciptanya sakinah diantara kami. Semoga aku kuat bertahan.
***"Makan ya, Nak?" tawarku pada Rumi setelah ia selesai berganti pakaian.
"Iya, Ma."
"Sebentar, Mama ambilkan dulu. Rumi tunggu di depan ya? Nanti Mama susul," ucapku pada Rumi. Ia mengangguk, kemudian berjalan ke depan sesuai dengan perintahku.
Aku berjalan menuju dapur, hendak mengambil makanan untuk putriku.
"Lauknya habis, tinggal satu, itu jatah makan Ratih," cicit ibu saat aku hendak mengambil piring. Tangannya berputar di atas gelas kopi, mengaduk cairan hitam itu sebelum disajikan ke pelanggannya.
"Iya, Bu."
Urung mengambil piring, kemudian aku berbalik arah dengan perasaan kecewa. Mendengar nada bicara ibu saja sudah membuat hatiku sakit. Namun, lagi-lagi aku hanya bisa memendamnya dalam hati.
Tidak ada lauk lagi untuk Rumi, sebaiknya aku keluar. Mencari sesuatu untuk bisa dimakan putriku. Di dapur hanya ada sayur lodeh dengan dadar telur pedas. Rumi belum bisa makan makanan pedas soalnya.
Aku kembali ke kamar, mengambil beberapa lembar uang untuk membeli bakso. Kebetulan di depan ada tukang bakso lewat. Kasihan putriku, sudah lapar tapi masih harus menunggu aku membelikan sesuatu dulu.
"Sebentar ya, Nak. Mama belikan bakso dulu untuk makan," ucapku sambil mengelus rambut putriku.
"Iya, Ma."
Kubiarkan anakku bermain sendiri sebentar saja, sementara aku berjalan ke depan untuk menghampiri tukang bakso.
"Anak kok dikasih makan bakso, itu banyak micinnya! Mau jadi apa anak kamu kalo makan makanan yang kayak gitu?!" ucap ibu saat aku hendak mengambil piring untuk bakso Rumi.
Sekilas kupandang wajah ibu, ia berucap sambil berjalan meninggalkanku ke depan tanpa menunggu jawaban dariku.
Kutarik napas dalam-dalam untuk menahan air bening ini tetap berada di tempatnya. Namun sayang, aku gagal, air itu menetes, kian deras hingga aku tak mampu menahannya. Oh ibu, harus bagaimana agar aku tampak benar dimatamu?
Bersambung🌸🌸🌸Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 83"Untuk apa Ayah kesini? Ayah kan sudah punya adik baru?" Rumi melanjutkan ucapannya. Matanya menatap sang ayah dengan tatapan tajam. "Nak, Ayah sayang sama Kakak. Ayah mau kita hidup bersama lagi seperti dulu. Kakak mau kan ya?" Mas Yusuf berdiri dengan semangatnya lalu berjalan mendekat ke arah Rumi. Ia mencoba memegang tangan gadis kecilku itu. Tapi Rumi segera menepisnya. "Pergi Ayah! Aku benci sama Ayah!" teriak Rumi keras. Ia lantas berlari ke dalam rumah menuju kamar tidurnya. Aku kaget melihat sikap Rumi yang sedemikian kerasnya. Sebenarnya ada apa yang membuat gadis polos itu tiba-tiba saja berani membentak Ayahnya dengan keras. Aku mengabaikan Mas Yusuf yang sedang terisak. Ini bukan masalah sepele. Aku harus mencari tahu penyebab Rumi sampai sedemikian keras menolak ayahnya. Saat kakiku hendak melangkah, Mas Azam memegang pergelangan tanganku. "Biar aku saja. Kamu urus masalahmu dengan ayahnya."Mas Yusuf melihat kedekatanku dengan Mas
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 82"Ketika kamu sakit, Bapak melihat kepedulian dari sikapnya padamu dan Rumi. Begitu perhatian, berbeda dengan Yusuf dulu." Telingaku kembali terngiang kata-kata Ibu saat bersama tadi. Benar saja, lelaki di depanku ini lebih peduli dan peka terhadap keadaan yang menimpaku. Tanpa kukabari dan kuminta kehadirannya ia sudah datang dan lebih dulu berjibaku dengan masalah yang sedang menempaku. Masihkah aku butuh bukti lagi untuk menerima cintanya padaku?Badan Mas Azam sudah basah oleh cipratan air. Kaos dalam berwarna putih yang dikenakannya sudah tak lagi berwarna putih. Baju itu sudah bercampur tanah dan kotor. Sesekali ia gunakan lengannya untuk mengusap peluh di keningnya dan membuat warna lengan kaos itu tak lagi putih. Wajahnya menyiratkan rasa cemas dan sikapnya sungguh cekatan menyelamatkan apapun yang bisa diselamatkan. Ia berlari kesana-kemari mengangkat barang-barang yang masih bisa ditolong. Hatiku berdenyut nyeri bak ditampar kenyataan yan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 81"Aku mau pulang saja!""Rumi di sini dulu sama Tante," sergah Mas Yusuf. Ia berusaha menarik lengan Rumi tapi segera ditepis dengan kasar oleh Rumi. "Nggak mau! Rumi mau pulang saja!" Rumi memberengut. "Maaf ya, Nak. Ayah harus bantu Bundamu yang mau melahirkan," lirih Mas Yusuf. Wajahnya memelas di sisi kanan Rumi. Aku mendekat ke tubuh Rumi. Ia langsung saja memelukku saat aku berada di dekatnya. "Maafkan aku, Dek. Aini mau melahirkan, jadi aku ngga bisa fokus sama Rumi," jelasnya saat aku berusaha menenangkan Rumi yang bersedih. Aku hanya tersenyum. "Nggak apa-apa, Mas." "Anakmu aja yang manja! Orang bapaknya lagi sibuk urus istrinya mau lahiran, dianya nempel aja!" hardik Ibu Mas Yusuf tiba-tiba. Ia baru saja keluar dari ruang tamu dan turut berdiri di depan di dekat Mas Yusuf. "Bu! Jangan ikut campur!" hardik Mas Yusuf cepat. Ibu pun berjingkat kaget mendapati teriakan Mas Yusuf yang sedikit keras itu. "Kamu itu! Dibela malah Ibu dibentak
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 80"Aku harus cepat ke butik, Mas. Tapi," ucapku sambil melirik jam di pergelangan tangan. Sebentar lagi jam jemput Rumi juga. Aku bingung. "Kenapa?""Harus jemput Rumi kan sebentar lagi, semoga aja perempuan itu mau nunggu. Siapa ya kira-kira?" tanyaku bingung. "Biar kamu aku antar ke butik, terus aku yang jemput Rumi. Gimana?" tawarnya seraya menatapku dalam. "Apa ngga ngerepotin Mas Azam?" sungkanku. Sejak kemarin lagi-lagi aku merepotkannya. Ini semakin membuatku tak enak hati. "Enggak lah, aku ngga repot. Kamu tenang aja." Mas Azam memanggil satu pelayan hanya dengan satu ayunan tangan dan tak butuh waktu lama pelayan datang menghampiri kami. Kami segera pergi setelah Mas Azam membayar bill yang diberikan oleh pelayan tersebut. Kali ini aku berjalan mendahului Mas Azam karena tak mau kejadian seperti tadi terulang kembali. Selama dalam perjalanan Mas Azam hanya diam saja. Tak seperti ketika berangkat yang tak henti mengajakku bicara. "Mas ngg
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 79Suasana rumah sunyi senyap. Tak ada penghuni selain aku sendiri dalam rumah. Zahra sudah berangkat ke butik satu jam yang lalu. Hanya ada aku yang sedang sibuk melihat tingkah ikan dalam kolam yang tampak lucu. Mataku sibuk mengikuti gerak ikan mengitari tiap sudut kolam. Sesekali ikan yang lebih besar itu menerobos kolong jembatan yang sengaja dipasang di tengah kolam. Dan ikan yang kecil terus saja mengikutinya. Saling mengejar satu sama lain. Meskipun sedikit adu kekuatan tapi ikan yang lainnya masih terus saja saling mengikuti. Gelombang air tercipta saat aku melempar sejumput makanan ikan dalam kolam. Langsung saja ikan-ikan itu saling berebut mendahului ikan yang lainnya agar bisa mendapatkan jatah. Seketika bibirku tersungging melihat tingkah mereka yang aktiv. Mataku nanar menikmati pemandangan di hadapanku karena mengingat kembali cerita Zahra soal masa lalunya. Sungguh aku tak ingin menjadikan Rumi sebagai korban keegoisan kedua orangtuan
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 78Aku menatap nanar plafon kamar tidur yang bercat putih. Lampu yang sudah berganti temaram tak kunjung membuat mataku memejamkan mata. Pikiranku terus kembali mengingat apa yang Ibu sampaikan tadi sore selepas Bapak menggendongku ke kamar. "Perceraian seharusnya tak membuatmu menjadi trauma. Hidup terus berlanjut. Masa depanmu masih panjang. Rumi juga masih kecil. Jangan kerdilkan pikiranmu dengan rasa trauma." Ibu menatap mataku dalam. Aku merasakan ketulusan dalam ucapannya. "Alina belum sanggup, Bu." Kepalaku menunduk, mataku nanar menatap ujung kuku yang kumainkan. "Belum sanggup bukan berarti tidak mau. Hanya saja kamu butuh waktu untuk menyembuhkan luka itu. Lihatlah bagaimana Azam menantimu hingga ia rela melepas gadis yang baru saja dijodohkan dengannya."Pikiranku kembali mengingat apa yang pernah Adelia tanyakan dulu. Juga keputusan Mas Azam untuk membatalkan pertunangannya dengan Adel setelah rumah tanggaku diterpa badai. Jadi semuanya ka
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 77Tak mau merasa kepedean aku lantas kembali bertanya untuk memastikan. "Berubah status? Status apa?" tanyaku cepat. "Iya. Dia sendiri sekarang.""Memang dulunya gimana? Jadi pacar orang lain?""Enggak. Jadi istri orang lain.""Istri?""Iya.""Janda dong?""Iya, janda.""Aku juga janda sekarang?""Iya, kamu.""Aku? Maksudnya?" tanyaku tak mengerti. "Iya kamu.""Kenapa sama aku?"Mas Azam tak lagi membalas ucapanku. Ia malah tersenyum tipis sambil memandangku sendu. Duh kesambet apa ini orang. Aku tak lagi meneruskan pertanyaanku. Kuputuskan untuk sibuk menghabiskan kue dalam tanganku saja. Namun perasaanku mendadak tak enak. Tiba-tiba aku merasa ada yang sedang mengamatiku.Kepalaku mendongak melihat apa yang dilakukan oleh manusia di sebelahku ini. Seketika mata kami beradu. Bibirnya tersungging tipis menampakkan deretan giginya yang rapi. Duh. Aku geragapan. Mendadak salah tingkah mendapati dirinya tengah memindai wajahku sedemikian rupa. "Kam
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 76Mataku nanar memandang surat yang baru saja diantar oleh pengacaraku. Tak kusangka kini aku resmi menjadi janda. Tak pernah terbersit dalam benakku aku akan menyandang status ini. Sungguh sakit melihat surat itu tertera namaku di atasnya. Air mataku sudah lelah mengalir saat mataku mulai terasa berat. Sejenak kurebahkan badanku agar kembali segar saat menjemput Rumi nanti. Perlahan mataku mulai terpejam menelan luka yang kembali terasa perih karena status resmi yang baru saja kudapatkan. Beruntungnya aku tinggal di perumahan yang tak banyak orang ikut campur atas masalah pribadi yang sedang kunikmati. Jika mereka membicarakanku dibelakangku, itu terserah mereka. Dering ponsel membuatku tersentak kaget. Segera kuraih benda yang kuletakkan di atas nakas itu. Tertera nama wali kelas Rumi dalam layar ponsel yang bergetar. "Waalaikumsalam, Bu," jawabku cepat. "Arumi belum dijemput ya, Bund? Sudah lewat setengah jam tapi dia masih nunggu di sekolah."M
Aku Mengalah, Mas. Demi Ibumu! 75"Mbaak," rengeknya setelah berhasil duduk di kursi kosong di depanku. Ia lantas menangis tersedu-sedu tanpa memperdulikanku yang kebingungan melihat tingkahnya. Kuletakkan ponselku lalu kutatap wajahnya penuh tanda tanya. "Kamu kenapa?" Aku yang sedang bingung makin mencondongkan tubuh agar bisa melihat dengan jelas ekspresi wajahnya saat ini. "Mas Azam, Mbak," lirihnya lagi sambil terisak. Kedua tangannya menangkup wajahnya menghalau air mata yang terus mengalir dari kelopak matanya. "Kenapa Mas Azam?" tanyaku ikut panik. Tangisnya membuatku ikut merasakan bagaimana perasaannya saat ini. "Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan pertunangan kami, Mbak," jelasnya lirih. Suaranya hampir tak terdengar karena diiringi dengan tangisan. "Bagaimana bisa? Alasannya?" tanyaku penasaran. Sebab tak mungkin lelaki seperti Mas Azam tiba-tiba saja memutuskan hubungan tanpa sesuatu yang jelas dan besar. "Alasannya dia tak siap dengan perjodohan ini, Mbak. Menurutk