Share

suatu Kejadian

Alin memandangi pintu rumahnya berharap Aldo menepati janjinya untuk pulang. Ia menatap jam di pergelangan tangannya yang menunjukan jam 11 malam. Alin sedari tadi mondar mandir bak setrikaan dan akhirnya memutuskan untuk menelpon suaminya itu.

Nada sambung terhubung tapi tak ada jawaban dari nomor suaminya. Berulang kali ia coba menghubungi Aldo sampai ia merasa tangannya lelah untuk kembali memencet tombol memanggil.

Akhirnya dengan terpaksa, ia memilih menelpon Afi untuk memastikan suaminya ada di sana atau tidak.

Sialnya, nomor Afi juga tak aktif membuat Alin begitu murka. Ia merasa mereka sengaja membuatnya marah.

Alin memaksakan diri keluar dari rumahnya tengah malam menuju ke rumah Afi. Ia berjalan sangat cepat tanpa memperhatikan kondisinya yang sedang hamil. Ia akan membalas perlakuan Afi yang sengaja membuat Aldo harus menginap di rumahnya.

Alin memencet tombol rumah di depannya ini berulang-ulang. Akhirnya setelah beberapa lama menunggu, Afi keluar dari rumah miliknya itu.

"Alin? Ada apa kesini malam-malam?" Afi sengaja tak membuka pagar agar Alin tak masuk kedalam rumahnya.

"Buka, Mbak. Aku mau ketemu sama suamiku?" teriak Alin.

"Suami yang mana maksudmu? Bahkan aku tak mengenal siapa suamimu." Afi sengaja memancing kemarahan Alin agar ia tak berbuat seenaknya padanya.

"Yank! Aku tahu kamu di dalam. Cepat pulang, kalau kamu nggak mau pulang, aku nggak mau ketemu kamu lagi!" Alin berteriak seperti orang kesetanan memanggil Aldo di dalam. Namun, sepertinya usahanya sia-sia. Karena Aldo sudah terlelap di kamar Afi.

Afi masuk ke rumahnya dan menutup pintu tanpa memperdulikan Alin yang masih berteriak di luar gerbang.

Afi mendekati suaminya yang terlelap akibat pergulatan panas bersamanya tadi. Afi mencoba membangunkan Aldo pelan. Bagaimanapun, ia tak ingin disalahkan suami dan mertuanya nanti jika hal buruk menimpa Alin dan bayinya.

"Mas, bangun! Ada Alin di depan nyariin kamu. Kamu pulang sana, ini sudah tengah malam loh. Nggak baik buat ibu hamil. Nanti ada apa-apa sama dia, aku lagi yang disalahkan." Sebenarnya Afi malas melakukan ini, tapi mau bagaimana lagi. Ia harus pintar mengambil hati suaminya kembali. Alin wanita yang juga sangat Aldo cinta, ia harus bermain cantik agar tak terlihat buruk dimata suami dan mertuanya.

"Jam berapa ini, Fi?" Aldo mengucek matanya yang masih mengantuk dan berusaha duduk dari tidurnya.

"Jam setengah duabelas. Gih, pulang. Istri mudamu ngamuk tuh di depan rumahku. Jangan suka kesini tanpa seizinnya, kalau tak mau ibumu memarahiku karena mengira aku begitu zalim kepadanya dan cucu yang dikandungnya itu." Afi berbicara penuh penekanan agar suaminya tahu maksud kata-katanya.

"Kamu nggak lagi marah kan sama aku? Maafin Mas ya, Fi. Mas belum bisa adil dalam memberikan nafkah batin padamu. InsyaAllah akan Mas usahakan menyentuhmu jika Alin sedang tak ingin melayaniku. Untuk sementara ini, mengalahlah untuknya." Aldo menatap Afi dalam untuk memastikan istri pertamanya ini memahaminya.

"Pulanglah, jangan pernah berjanji kalau kamu tidak bisa melaksanakannya. Jangan bawa-bawa Tuhan untuk sesuatu yang tidak kau kuasai. Dan satu lagi, jangan paksa aku dengan kata mengalahmu itu, aku muak!" Afi meninggalkan Aldo yang tercengang atas jawabannya. 

Dengan langkah gontai, Aldo keluar rumah Afi dan menemui Alin yang masih menunggunya di depan pintu. Ia melihat Alin yang sedang berjongkok dan menangis.

"Dek, kenapa kamu keluar malam-malam? Kamu nggak mikirin anak kita? Ayo pulang," ucap Aldo lembut. Ia tak mau membuat keributan di luar rumah dan segera menggandeng Afi untuk pulang. Alin hanya menuruti ucapan suaminya dan melangkah pulang.

Tak ada pembicaraan selama di perjalanan, karena jika di luar Alin tak akan berani marah-marah dan menjatuhkan reputasinya sebagai istri baik. Lebih tepatnya, istri yang berpura-pura baik.

Alin memang terbiasa melakukan hal-hal nekat yang kadang tak memikirkan resiko setelah itu. Baginya, segala sesuatu yang diinginkan harus ia dapatkan.

Alin mendapatkan Aldo juga bukan perkara mudah. Sejak ia diterima menjadi karyawan di perusahaan Aldo, ia sering melihat Aldo mengajak Afi ke kantor. Para karyawan juga tahu, jika Aldo sangat mencintai Afi.

 Sejak itulah, ia merasa ingin memiliki Aldo. Perhatian  dan kasih sayang yang nampak tulus  kepada istrinya membuat Alin iri sekaligus benci. Selama ini ia hidup dalam kurangnya kasih sayang. Salahkan ia juga mendapatkan cinta seperti itu? Akhirnya Alin mencari informasi yang dapat membuatnya masuk ke dalam rumah tangga atasannya itu.

Sekarang bukan hanya kebahagiaan yang ia dapatkan tapi juga tak sedikitpun ia kekurangan dalam hal materi. Suaminya seorang pemilik perusahaan besar, sangatlah gampang memberikan apa yang ia mau. Tapi ia belum juga puas, jika masih ada Afi di samping Aldo. Ia akan berusaha menyingkirkan Afi dari rumah tangganya dan menjalani rumah tangga bahagia seperti yang ia impikan.

Alin dan Aldo memasuki rumahnya dan segera mengajak istrinya itu menuju kamar dan mendudukkannya perlahan. Alin yang berpura-pura membuang muka dan menangis membuat Aldo tak tega memarahinya.

"Kamu kenapa nyusul Mas kesana? Kan tadi aku sudah bilang akan tidur di rumah Afi. Kenapa masih ngotot nyusul ke sana? Nggak takut sama kandunganmu ini? Ingat Alin, kehamilanmu masih muda dan sangat rentan. Jangan di ulangi lagi ya. Mas takut kamu kenapa-napa." Aldo mengelus rambut Alin dan mengelap air mata dengan jarinya.

"Kamu kan sudah janji mau kesini, kalau Mbak Afi udah pulang. Aku nggak bisa tidur kalau nggak ada kamu, Yank!" ucap Alin terisak lirih.

"Iya, tapi Afi masih marah. Bahkan ia tadi bertambah marah waktu tau kamu nyusul Mas ke rumahnya. Ingat, Afi juga istri Mas. Kamu harus paham jika Afi juga mempunyai hak yang sama denganmu." Aldo masih berusaha menasehati Alin dengan pelan berharap ia akan mengerti maksud yang ia bicarakan.

"Kok kamu malah marahin aku? Aku memang hanya wanita yang kau nikahi untuk melahirkan anakmu. Maka kamu seenak itu menyalahkanku jika Mbak Afi marah. Aku benci kamu, sangat! Bahkan kamu nggak bisa memahami perasaanku." Alin memasuki kamar mandi dan menangis kencang agar Aldo merasa bersalah telah menceramahinya barusan. Sebenarnya ia sengaja ingin membuat pelajaran padanya. Perasaan iri dan juga ego ingin memiliki Aldo sepenuhnya, membuat ia menjadi wanita mengerikan ketika marah.

"Dek! Tolong buka pintunya! Mas minta maaf kalau sudah menyakiti hatimu. Mas hanya mencoba bersikap adil pada kalian. Kalian orang yang sama berartinya dalam hidupku, mengertilah  Dek. Tak ada yang aku beda-bedakan diantara kalian berdua."

Tampak tak ada suara sahutan dari dalam membuat Aldo terus menggedor pintu kamar mandi kencang. 

"Aaaarrgghh!" 

Suara teriakan Alin membuat Aldo dengan segera mendobrak pintu kamar mandi, dan mendapatkan darah yang mengalir dari kakinya.

"Dek, darah? Ayo cepat kita ke rumah sakit!" Tanpa persetujuan Alin, Aldo membopong tubuhnya menuju garasi. Ia memakai mobil Alin karena mobilnya berada di rumah Afi. Aldo panik karena melihat Alin yang merintih kesakitan. Ia begitu khawatir akan kondisi istri mudanya ini.

"Tahan ya, Dek. Kita mau kerumah sakit. Tolong bertahankah dengan dede bayi kita. Aku menyayangimu, sungguh. Jangan ragukan rasa cinta ini lagi." Aldo selalu membisikan kata-kata indah untuk menyemangati Alin yang sedang kesakitan. Aldo melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status