Share

Chapter 4

"Kev, lo balik pake aplikasi online aja ya? Udah telat, nih. Gue izin cuma setengah hari sama orang kantor, tapi ini udah lewat setengah hari." Sahabatku langsung menatapku dengan puppy eyes-nya setelah ucapan itu terlontar dari mulutku. Sudut bibirnya tertarik ke bawah hingga membentuk ekspresi sedih.

"Ay, please ..., temenin gue," pintanya, seperti biasa. Dia akan selalu seperti ini padaku, manja.

Aku melirik arloji yang melingkar pada pergelangan tangan sebelah kiri. Pukul satu siang. "Nggak bisa, Kev. Gue harus masuk kantor. Ini aja gue harus lembur karena udah telat."

Kevan menangkupkan tangan sebagai bentuk permohonan. "Please, Cyiiin, hati gue sakit banget sekarang. Lo nggak mau kan ada berita laki-laki ganteng nenggak baygon?" Aku mengembuskan nafas kasar. Ancaman macam apa ini?

"Jangan macem-macem, deh," ucapku jengah. Aku tahu, lelaki di hadapanku yang sedang mengenakan tshirt abu-abu dan semakin membuat otot bisepnya terlihat jelas ini tidak akan pernah berani berbuat senekat itu, tapi tetap saja, aku tak menyukai ancamannya.

Kalau nanti ada setan lewat dan mengabulkan semua perkataannya, gimana?

"Makanya temenin gue, Ay." Lagi, ia masih berusaha merayuku. Dia adalah tipe lelaki yang tak akan menyerah jika keinginannya belum berhasil ia dapatkan.

"Gue nggak bisa, Kev. Madam dari tadi udah nanyain gue, ada klien anaknya sakit. Gue harus nyiapin dokumennya." Dia memandangku penuh permohonan ketika aku bersandar pada badan mobil, di pelataran parkir Setiabudi One.

Tentu saja, pekerjaanku jauh lebih penting dari pada sekedar urusan percintaan. Kantor menggaji dan membuatku bisa tetap makan setiap bulannya. Sedangkan masalah cinta, itu adalah dinamika kehidupan, yang wajar dialami setiap manusia.

Lagipula aku tahu sosok Kevan, dia akan dengan mudah mendapatkan pengganti Luthfi setelah ini.

"Kalo lo nggak mau nemenin, gue masuk ke dalem lagi, nih. Ngajak Luthfi balikan."

Bulir-bulir air mata turun dari pelupuk matanya. Dengan tangan kiri ia berusaha menghapus jejak itu. Mata dan hidungnya memerah. Sorot kesedihan itu dapat dengan jelas terlihat dari mata monolidnya. Ada perasaan iba yang menggedor-gedor relung hatiku. Rasanya tidak tega.

Aku membalikkan badan menghindari tatapannya. "Terserah lo!" sahutku seolah-olah tidak peduli sembari membuka pintu mobil dan bersiap-siap masuk ke dalam. Aku dilema karena tanggung jawab di kantor sudah menunggu sekarang.

"Ya udah." Langkah kakinya terdengar meninggalkanku. Aku menoleh menatap punggung yang mulai menjauh itu.

Aku mendesah. "Kev," panggilku pelan.

Aku menimbang-nimbang kembali. Tiba-tiba entah pikiran dari mana hingga aku bisa membayangkan Kevan akan melakukan hal nekat jika membiarkannya sendirian hari ini.

Masih ada temanku yang lain sebetulnya yang bisa menghandle pekerjaan ini. Tapi masalahnya, dia juga sedang izin masuk setengah hari mengurusi ayahnya yang sedang sakit. Tadi aku sempat menghubungi, dia akan masuk hari ini setelah urusan ayahnya selesai. Semoga saja, ayahnya baik-baik saja sehingga rekan kerjaku itu bisa secepatnya datang ke kantor. Ya, semoga saja ....

Aku kembali menatap Kevan. Tak kuasa membiarkannya bersedih seperti ini. Teringat ketika putus cinta dulu, Kevanlah yang selalu ada untuk menemani. Membuatku tertawa dengan guyonan recehnya. Tapi kini, ketika dia membutuhkan kehadiranku, aku tak bersedia untuk menemani.

"Ayo! Gue temenin," ajakku kemudian. Dia tersenyum lebar ketika aku menyuruhnya masuk ke dalam mobil menggunakan gerakan kepala.

"Ay, kenapa percintaan gue begini banget ya, Beb? Apa gue nggak berhak bahagia? Kalo nggak diselingkuhin ya ditinggal nikah. Cowok emang jahat!" curhatnya ketika mobil sudah melaju ke suatu tempat yang aku belum tahu tujuannya.

Aku baru saja menghubungi kantor, meminta izin untuk tidak masuk dengan alasan sakit. Alasan klise yang seringkali dipakai para karyawan jika terdesak. Sesuatu yang tidak dibenarkan dan tak boleh dicontoh sebetulnya.

"Udah tahu jahat, kenapa lo masih suka?" tanyaku sibuk dengan kemudi, tanpa sedikitpun melihat ke arahnya.

"Gue kan cewek, masa disuruh pacaran sama cewek juga?"

"Lo itu cowok Kev, punya sesuatu yang cowok juga punya. Inget itu!"

"Tapi gue cewek, Ay. Perasaan gue rapuh, gue mudah terluka." Aku menoleh pada Kevan ketika lampu lalu lintas sedang berwarna merah. Dia mengucapkan itu sembari memegang dadanya. Bola mataku berputar ke atas. Ada perasaan geli dan malas yang sulit untuk kututupi.

"Terserah lo lah, Kev. "Dia masih terisak. Beberapa kali diambilnya lembar tissue yang ada di dalam mobilku, ia hapus air yang mengalir dari sudut matanya. "Masih aja nangis. Nyesel? Tadi aja di depan dia, lo sok nggak butuh. Eh, sekarang nangis-nangis."

Dari ekor mata, dapat terlihat dia sedang menatapku." Kalo nggak gitu, dia nggak bakalan ngelepas gue. Gue kan nggak mau jadi perusak hubungan rumah tangga orang. Sebagai sesama perempuan. Gue tahu perasaan Windy. Gw juga nggak mau kan suatu saat dapet karmanya. Laki gue direbut perempuan lain. Itu sakit Ay, sakit!"

Aku hanya diam mendengarkan. Kubiarkan cabe-cabean di depanku ini mengeluarkan uneg-uneg semau-maunya.

❤️

"Ay, kita karokean, kuy! Gue mau tereak-tereak, nih, Cyiiin," pinta Kevan tadi ketika masih di jalan. Maka, di sinilah kami sekarang. Di Inul Vista, Kelapa Gading.

Setibanya di room yang sudah ditunjuk karyawan tempat karaoke tersebut, sahabatku itu mulai sibuk memilih lagu-lagu yang akan dinyanyikan. Dan semua yang ia pilih adalah lagu galau! Duh!

Video penyanyi wanita asal Inggris mulai memenuhi layar berukuran 32 inch itu. Lagu mengalun.

Kevan mulai bernyanyi, ketika memasuki reff, volume suaranya semakin dinaikkan. Aku ikut melantunkan lirik yang ada di layar.

But don't you remember? - Tiba-tiba teringat ketika mereka baru berkenalan. Senyum Kevan merekah.

Don't you remember? - Ketika untuk pertama kalinya mereka mengobrol lewat chat. Lagi-lagi senyum itu ada di wajah sahabatku.

The reason you loved me before. - Ketika mereka berpacaran. Senyum yang jauh lebih lebar ada di sana, di wajah lelaki yang kusayangi itu.

Baby, please remember me one more. - Ketika Kevan memposting foto dirinya sedang membawa sebuket bunga pemberian Luthfi. Sembari merangkul lengan kekasihnya, ada senyum manja yang ia torehkan. Dan senyum itu tak kulihat lagi sekarang.

When was the last time you thought of me? - Ketika untuk pertama kalinya mereka mengalami percecokan karena Luthfi sulit dihubungi. Sorot mata itu meredup.

Or have you completely erased me from your memory? - Ketika pertengkaran demi pertengkaran terjadi lagi. Karena hal yang sama. Sahabatku sulit menghubungi kekasihnya. Bulir air mata turun untuk pertama kalinya.

I often think about where I went wrong - Ketika Luthfi tak mau disalahkan, Kevan berpikir bahwa ini mungkin salahnya, terlalu over protektif.

The more I do, the less I know. - Ketika Kevan mulai mencari tahu semua sosial media Luthfi, untuk memastikan bahwa kekasihnya itu tidak seperti yang ia pikirkan. Semakin Kevan mencari tahu, justru ia tidak mendapatkan yang ia cari. Karena sosok Luthfi yang anti sosial media itu.

But I know I have a fickle heart and bitterness. - Ketika Kevan semakin gelisah karena tak menemukan apa yang ia cari.

And a wandering eye, and a heavines in my head. - Dan kegelisahan itu pun berubah semakin besar. Menjadi rasa tak percaya.

Gave you the space so you could breathe. - Hingga akhirnya ia tahu, kekasihnya bertunangan dengan seorang wanita dan akan menikah. Kevan mulai menjaga jarak. Membiarkan kekasihnya itu meneruskan hidupnya, sebelum Kevan hadir di sana.

I kept my distance so you would be free. - Semua menjauh dan tak ada komunikasi lagi di antara keduanya.

And hope that you find the missing piece. - Di antara kesedihannya, Kevan berharap Luthfi menemukan kebahagiaannya. Meskipun tidak bersama Kevan.

To bring you back to me. - Sekuat apapun Kevan mencoba, selalu ada keinginan, Luthfi akan kembali lagi. Walaupun dalam mimpi sekalipun.

When will I see you again? - Berharap mereka bertemu lagi. Walaupun itu hanya sebatas harapannya semata.

Lagu milik Adele itu pun usai. Terkadang aku geli melihat Kevan jika bersama pacar-pacarnya. Namun jika dia sedang patah hati begini, tetap saja aku tidak tega.

"Kev, gue ke kamar mandi bentar ya?" Aku meminta izin. Kevan mengangguk.

Maka kulangkahkan kaki ke toilet sebentar. Ada sesuatu yang mendesak dan minta dikeluarkan pada saat itu. Semacam hajat kecil, sebut saja demikian.

Setelah selesai aku mencuci tangan di wastafel. Bunyi telepon masuk mengganggu aktivitasku. Kurogoh isi dalam tas namun tak kunjung menemukan telpon pintar itu.

Kejadiannya begitu cepat ketika tanpa sengaja aku menjatuhkan benda tersebut dan membiarkannya berenang di dalam wastafel yang krannya belum kututup dengan rapat.

Mataku membulat dengan mulut yang sulit terkatup. Handphone gue! Rasa panik menyergap. Kuambil benda pipih tersebut yang kondisinya langsung basah dan gelap. Tak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Fix, handphoneku rusak!

Tahu kan bahwa handphone adalah barang penting di era sekarang? Tahu kan bahwa manusia seringkali lebih memilih menahan laparnya daripada tidak bisa bergaul di sosial media? Itulah yang terjadi denganku. Demi benda maha penting itu, aku langsung mengajak Kevan menuju ke counter handphone terdekat demi menyelamatkan segala data yang ada di benda kecil tersebut.

Handphone ku terpaksa harus di rawat inap, karena kondisinya membutuhkan waktu untuk perbaikan.

Bunyi notifikasi whatsapp masuk ke dalam ponsel Kevan. Matanya memicing sebentar membaca isinya. Lalu ia menoleh padaku. "Ay, Avisa nyariin tuh. Penting katanya."

Sahabatku itu memberikan handphone-nya. Aku langsung menekan beberapa digit nomor Avisa, teman sekantorku. Begitu telepon tersambung, pada saat itulah aku tahu masalah besar akan menghampiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status