Share

Chapter 3

Hari ini hari yang indah sebetulnya. Tapi berubah menyebalkan tatkala sahabatku itu tiba-tiba datang. Meminta bantuan di kala sebagian orang masih terlelap dengan tidurnya. Aku saja baru selesai mengenakan pakaian kerja, belum juga sarapan.

"Cyiiin, temenin gue Cyiin, please gue mohon banget. Ini antara hidup dan mati gue. Luthfi besok nikah. Dan gue nggak ada kesempatan lagi selain hari ini." Haduh, permintaan macam apa sih ini? Masa mau bertemu mantan pacar saja dia minta ditemani, memangnya mau mengambil raport sekolah?

Aku tahu, Luthfi, mantan pacar Kevan ini memang akan melepas status menjadi suami, bagi wanita pilihan kedua orang tuanya. Tapi aku tak pernah berpikir bahwa Kevan akan nekat menemui lelaki bertubuh tinggi itu untuk yang terakhir kali.

"Aduh, lo ngapain sih, masih aja belom bisa move on dari mantan lo itu. Ngapain pake ketemu lagi? Kan lo tau, kalo lo itu-"

"Iya, makanya itu, Beb, gue minta lo temenin. Supaya ada yang ngingetin kalo gue mulai kebawa perasaan lagi," kata Kevan cepat memotong ucapanku.

Dia memandangku dalam, memohon agar aku mau membantu kali ini, menyelesaikan sesuatu yang masih mengganjal dalam hati, mungkin.

Aku mengembuskan nafas kasar. "Kadang gue nggak paham, deh, Kev sama pola pikir lo. Nyari penyakit." Ada jeda. "Minta tolong yang laen aja, deh. Hari ini gue ada kerjaan. Nggak bisa gue tinggal." Lelaki ini berdiri kokoh di depan, mengunci jalanku yang tengah bersiap-siap masuk ke dalam mobil. Ku dorong dia agar mau menyingkir, tapi gagal. Tenaganya terlalu besar untuk kulawan.

"Ay, please. Bentar aja. Lo izin setengah hari. Begitu urusan kelar, lo langsung balik ke kantor." Lelaki ini berusaha bernegosiasi. Tapi apakah harus, demi urusan percintaan semata sampai mengorbankan pekerjaan seseorang?

"Duh, Kev. Gue banyak kerjaan." Aku memandangnya jengah.

Hubungan antara Kevan dan Luthfi ini awalnya baik-baik saja. Seperti pasangan pada umumnya yang selalu terlihat mesra dan bahagia. Namun, itu semua berubah ketika Luthfi secara tiba-tiba memberikan kabar mengejutkan, dia akan menikahi seorang wanita yang sudah dipacari selama tiga tahun lamanya.

Tentu saja, sahabatku ini terluka, merasa dibohongi oleh kekasihnya sendiri. Dia enggan untuk bertemu, memutus semua akses antara mereka. Namun ketika Luthfi memohon untuk bertemu dan berjanji, bahwa ini akan menjadi pertemuan terakhir kalinya, Kevan akhirnya menyerah.

Di usianya yang menginjak angka ke dua puluh delapan tahun, Kevan sudah menjadi pribadi yang jauh lebih terbuka dan terang-terangan mengenai orientasi seksualnya. Tepatnya sejak enam bulan yang lalu, sejak pengakuan itu ia ungkapkan; namun sikapnya yang terbuka itu hanya ia tunjukkan padaku dan Lintang saja, bahkan di second sosial medianya, hanya aku dan Lintang saja teman yang bukan dari kalangan mereka.

Dan jika di depan orang lain, Kevan akan berusaha keras menutupi jati diri dan tidak mengizinkan orang lain yang tak berkepentingan mengacak-acak ranah pribadinya.

Hal yang wajar, mengingat kaum seperti Kevan ini masih seringkali menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Tak sedikit yang mencemooh dan menganggap hina. Dan begitulah cara Kevan melindungi diri. Bersikap normal selayaknya yang ia bisa. Menutupi segala perasaan demi nama baik keluarga.

"Ay, ini handphone kamu ketinggalan, Nduk." Itu bukan suara Kevan, melainkan suara Mama. Mama yang baru saja keluar dari dalam rumah itu menunjukkan handphone yang ada dalam genggaman tangannya. Aku melangkahkan kaki menghampiri Mama. Disusul Kevan yang ada di belakang.

"Oh iya, Aya lupa. Makasih ya, Ma." Mama mengangguk setelah menyerahkan benda persegi panjang itu padaku.

"Loh, ada Kevan? Kok nggak masuk tadi, Kev? Udah lama?" Sahabatku itu tersenyum, mendekati Mama dan mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkanku itu setelah mendapatkan pertanyaan demikian.

Sudah menjadi kebiasaan antara aku, Lintang dan juga Kevan, setiap kali bertemu orang tua masing-masing, harus mencium tangan seperti tadi. Budaya baik yang tak boleh dihilangkan.

"Baru dateng kok, Tan. Ini ada urusan sebentar sama Aya." Lelaki tinggi ini memamerkan cengirannya ketika aku membulatkan mata padanya.

Urusan apa? Aku merasa tidak memiliki urusan dengannya.

"Oh, gitu, ya udah Tante tinggal dulu. Takut masakannya gosong." Mama tersenyum pada Kevan, dan dibalas dengan amat sangat sok manis oleh lelaki di sebelahku ini. "Nduk, kamu hati-hati ya, nyetirnya," pesan Mama, aku mengangguk.

"Ay, please. Ini terakhir kalinya gue ketemu dia. Bantuin." Dia bersimpuh sembari memegang tanganku setelah Mama masuk ke dalam rumah. Aku menunduk dan menemukan sepasang mata penuh permohonan di sana.

"Kev, gue nggak bisa."

"Please, Ay. Gue pengen ngelepas dia tanpa penyesalan. Terakhir kali, Ay, please." Dia masih menatapku dalam.

Aku juga memandangnya lama. Mencoba berpikir, mana yang lebih aku dahulukan. Urusan pekerjaan atau percintaan sahabatku sejak masih kanak-kanak ini.

Rasanya lebih berat pekerjaan. Karena dari sanalah kehidupannya setiap bulannya terpenuhi. Tapi, aku juga tak tega membiarkan Kevan dilanda kegalauan seperti ini.

"Ya udah, ayo. Tapi gue nggak bisa lama," putusku akhirnya.

Sorot matanya berbinar, senyumnya melebar. Dia lalu merampas kunci mobilku dan berjalan lebih dulu mengambil alih kemudi. Aku mendesah pelan. Semoga ini keputusan yang benar.

Aku masih ingat pertama kali mereka berkenalan dulu. Kala itu, Kevan mencari seorang notaris yang bisa membantu mengurus jual beli ruko untuk usaha barunya. Lewat Mas Roshanlah -sepupu Kevan yang kebetulan juga sahabat Luthfi- mereka dipertemukan.

Pertemuan pertama berlangsung di kantor Mas Roshan. Kevan datang dengan mengajakku, seperti biasa.

"Kev, kenalin ini Luthfi," ucap mas Roshan memandang ke arah Kevan. Sahabatku itu bangkit dari duduknya, bersiap-bersiap mengulurkan tangan. "Luth, ini sepupu gue, Kevan." Luthfi tersenyum dan membalas uluran tangan Kevan. Ada jeda, aku merasakan aliran lain dalam interaksi mereka. Ada sesuatu antara dua orang yang saling berjabat tangan itu. Tatapan mata yang terasa lain dari biasanya. Dan senyum yang terpatri di wajah keduanya cukup menjelaskan, mereka saling tertarik di pertemuan pertama.

❤️

"Jadi, apa maksud kamu ngajak kita ketemu?" tanya Kevan to the point.

Kami berdua baru saja tiba di Tea Leaf and Coffee Bean Setiabudi, tempat Kevan dan Luthfi janjian untuk membicarakan permasalahan mereka.

Kevan melarangku memilih kursi di tempat lain, jadilah aku sekarang menjadi semacam kambing conge' ataupun obat nyamuk di antara mantan kekasih yang sedang bersitegang ini.

Luthfi, sosok yang berada di hadapan Kevan itu menatap mantan kekasihnya dengan lembut.

"Sebetulnya aku lebih suka kita ketemu di tempat yang lebih privat," ujarnya.

Kevan mendesah. "Buat apa? Supaya kamu bisa ngerayu-rayu aku lagi?" Sahabatku itu menatap mantan pacarnya dengan tajam.

"Yang, nggak gitu," jawab Luthfi cepat.

"Stop panggil aku begitu. Kita udah putus." Sahabatku itu berusaha merendahkan volume suaranya agar tidak didengar orang lain.

Beruntung tempat ini sedang tidak seramai biasanya, sehingga kedua lelaki dewasa yang pernah menjalin hubungan ini bisa lebih leluasa untuk bicara.

"Oke. Maaf. Aku nggak bermaksud boongin kamu. Aku pikir mas Roshan udah cerita semua soal Windy."

"Kamu nggak bisa, Luth, hidup hanya dengan pemikiran kamu. Aku pacaran bukan sama Mas Roshan, kenapa harus dia yang ngejelasin status kamu? Kenapa nggak kamu sendiri yang cerita kamu udah tunangan dan akan nikah?"

Dengan tenang Luthfi mengambil cangkir Espresso Single Coffee-nya dan menyesap sedikit isinya.

"Aku takut kamu bakalan ninggalin aku kalo cerita," sahut Luthfi menjelaskan. Dibanding Kevan, Luthfi ini terlihat lebih laki-laki, karena memang dalam hubungan mereka, Kevanlah yang bertindak sebagai wanitanya.

"Egois! Tanpa kamu cerita pun aku juga akan tetap ninggalin kamu." Aku menoleh menatap Kevan, lalu beralih menatap Luthfi yang nampak menatapku dengan pandangan segan.

"Kev, gue pindah tempat aja, deh. Kalian selesein berdua." Aku bersiap-siap bangkit dari duduk.

Namun dengan sigap tangan kiri Kevan mencekal lengan kananku. Mencoba menahan agar aku tidak meninggalkan dia berdua saja dengan Luthfi.

"Lo tetep di sini, Ay." Aku menoleh dan mendapati tatapan mengintimidasi dari manik matanya.

Kuurungkan niat untuk meninggalkannya. Aku kembali mendaratkan pantat di tempat semula dan memilih menekuri pure choco blended yang tadi sudah dipesan. Ini adalah salah satu situasi yang aku benci. Drama! Sinetron! Oh, iya, satu lagi, FTV!

Rasanya baru kemarin, aku melihat hubungan mereka baik-baik saja.

Kemana wajah bahagia Kevan ketika mendapat sebuket bunga mawar dari kekasih tercinta? Aku masih inget betul ketika sahabatku itu memposting satu foto tentang dirinya. Foto dengan kemeja pink sembari memeluk buket bunga pemberian Luthfi dengan caption. "Thanks my love." Senyum dan ekspresi itu, aku tahu dia sungguh-sungguh jatuh cinta kala itu.

Tapi sekarang, setelah berselang empat bulan lamanya, waktu sepertinya menjungkir-balikkan semuanya. Tak ada lagi kata-kata cinta di sini, dia seperti menguap bersamaan dengan kisah pelik diantara mereka. Ah, kenapa aku harus menjadi saksi dari kisah kasih itu ya, Gusti?

"Kev, kita masih bisa terus berhubungan. Cuma masalah status aja, tapi selebihnya nggak akan ada yang berubah. Aku nggak bisa, Kev, kehilangan kamu."

"Aku nggak bisa, Luth, nerima keadaan kamu yang akan jadi suami orang. Itu masalahnya. Dan kamu udah memilih kan? Kamu lebih memilih Windy daripada aku. Jadi stop ganggu hidupku lagi." Aku melirik Kevan sekilas.

Drama Indosiarkah ini?

"Kev, jangan bikin keadaanku jadi sulit," pinta Luthfi dengan suara mengiba.

"Siapa yang mempersulit? Aku justru mempermudah. Aku pilih mundur dan mengikhlaskan." Kevan berusaha tersenyum walaupun aku tahu hatinya sebetulnya sakit.

"Kev, aku terpaksa nikah sama Windy, kamu tahu 'kan? Kalo bukan karena keluargaku, aku nggak akan nikahin dia."

Setahuku; berdasarkan cerita Kevan padaku, hubungan Luthfi dan Windy berjalan sudah cukup lama, kurang lebih tiga tahun ini.

Namun itu semua semata-mata karena keinginan orang tua Luthfi. Entah hutang apa di masa lalu, orang tua Luthfi ingin membalas kebaikan orang tua Windy dengan menjodohkan anak mereka, mengingat calon mertua Luthfi sudah sangat menyukai dan menyayangi pria berkacamata bulat itu.

"Aku paham. Makanya aku memilih jalan ini. Semoga kamu berbahagia." Kevan bangkit dari duduknya dengan menggandeng pergelangan tanganku untuk diajaknya pergi. "Dan satu lagi, besok aku nggak akan dateng di acara kamu," sambungnya lagi.

Aku tersenyum canggung dan melambai pada Luthfi yang nampak terpekur dengan keputusan Kevan kali ini.

Pandanganku pun beralih pada Kevan yang berjalan di depan sembari menggandeng lenganku. Ada gelabah dalam hatiku. Barusan kantor menghubungi berulangkali dan memintaku secepatnya datang. Ada pekerjaan penting yang sudah menunggu.

Namun melihat kondisi Kevan yang seperti ini, aku tak yakin lelaki ini akan membiarkanku masuk kerja hari ini.

Lalu, aku harus bagaimana? Mana yang harus aku pilih sekarang?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status