Share

Chapter 5

Aku meremas surat yang baru saja kubaca. Baru sebagian, namun cukup memahami makna dibaliknya. Oke, ini bukan surat cinta biasa, bukan. Sama sekali jauh dari itu semua. Karena tidak ada pujian ataupun sanjungan di sana. Karena ini adalah surat ... PHK. 

Tadi ketika membaca surat tersebut, mataku berhenti pada satu kalimat, 'Pemutusan Hubungan Kerja'. Kalimat yang sempat membuatku terpekur sesaat, memikirkan nominal di rekening apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama masa-masa tak berpenghasilan. 

Ini salahku. 

Aku izin tidak masuk kerja di waktu yang tak tepat. Ketika kantor sedang dalam keadaan darurat karena salah seorang klien besar mendadak mendaftarkan asuransi anaknya yang baru lahir. Bayi tersebut mengalami masalah sehingga harus menjalani operasi. Aku yang bertanggung jawab atas proses pendaftaran asuransinya, namun aku memilih tidak masuk kerja dan sulit dihubungi.

Aku juga salah karena terlalu berharap pada teman satu teamku yang lainnya. Seharusnya ia memang masuk setengah hari setelah mengurus ayahnya yang sakit. Namun naas, takdir berkata lain. Temanku tak bisa masuk kerja karena ayahnya ternyata meninggal dunia.

Satu team tak ada yang bisa dihubungi ketika keadaan kantor sedang mendesak. Kesalahan paling fatal jelas berada di pundakku karena sudah berbohong dan hampir saja mengorbankan nyawa seorang bayi tak berdosa.

Dan karena hal itulah, apapun keputusan yang kantor berikan aku akan terima. Tak sedikitpun menolak ataupun meminta pengertian. Sekali lagi, ini kesalahanku. Jadi sudah sepatutnya aku menerima resiko yang diberikan. Bisa dibilang, aku masih beruntung karena klien tersebut tak meminta ganti rugi.

Keesokan paginya, Kevan menawarkan diri untuk mengantarkan ke kantor. Dia ingin menjelaskan segala sesuatunya. Namun kutolak tawarannya. Aku ingin menyelesaikan masalah ini sendiri. Ini adalah tanggung jawabku. Kantor tidak akan menerima alasan yang tidak masuk akal seperti ini. Menemani sahabat. Alasan macam apa itu? Sungguh lucu. Aku tertawa geli. 

Setibanya di kantor, security langsung menghadang. Tak mengizinkanku masuk ke dalam ruangan dan mengawal dengan ketat, membawaku ke ruang tamu. Aku seperti orang asing, bukan bagian dari perusahaan. Merasa ada sesuatu yang janggal, maka kuminta Kevan untuk datang menemani. Dukungan darinya sangat kuperlukan saat ini. 

Dan hidupku di kantor benar-benar selesai, tidak ada kesempatan lagi, ketika bagian HRD menemuiku, membuat segala praduga yang sempat terlintas menjadi nyata. 

"Ay, kenapa harus sampe kayak gini? Lo tau seberat apa tugas gue?" Avisa, sahabatku yang merupakan bagian dari Human Resources Departement berusaha menahan perasaannya di depanku.

Namun aku dapat merasakan perubahan dari sikapnya siang ini. Dia terlihat sendu dari awal aku memasuki ruangan ini. Jauh berbeda dari Avisa yang kukenal.

Ia adalah sahabat terbaikku, sejak aku diterima bekerja di tempat ini, empat tahun yang lalu. Berawal dari ketidaksukaannya padaku, karena menurutnya ketika pertama kali masuk, semua perhatian staff laki-laki langsung terfokus padaku. Entahlah, padahal aku merasa biasa saja. 

Dari segi fashion, menurutku Avisa jauh lebih unggul. Semua barang yang dikenakannya, dari ujung kaki hingga ujung kepala adalah merek ternama. Gucci, Hermes, dan Christian Louboutin adalah sebagian dari koleksinya. Wajar saja, Avisa ini anak pengusaha terkenal. Bukan hal yang sulit baginya untuk bisa mendapatkan itu semua.

"Sori Vis, ini salah gue." Aku menunduk. Tak sanggup menatap matanya. Dia adalah orang pertama yang sudah aku kecewakan hari ini.

"Kenapa lo lebih milih pergi sama Kevan dan mengabaikan tanggung jawab lo di sini. Bos marah besar tau nggak?"

Aku mengangkat kepala dan memandang Avisa. Ia menatapku dalam. Sorot matanya menampilkan dua hal, sedih dan kecewa.

"Gue mau bantu lo, Ay. Tapi nggak bisa. Ini di luar batas kemampuan gue," ucapnya lirih. 

Ada rasa sakit yang kurasakan melihat raut wajahnya yang seperti ini. Aku tahu, dia berusaha menahan air matanya. 

"Lo nggak usah bantu apa-apa, Vis. Jangan korbanin kerjaan lo demi gue."

"Lo segitu cintanya ya sama Kevan?" Tudingnya tanpa aling-aling sembari menatap Kevan yang sedang duduk di luar ruangan, dekat meja resepsionis.

Dari tempatku sekarang -yang merupakan ruangan kaca ini-, dapat terlihat lelaki itu nampak tidak tenang. Sesekali menatap ke arahku untuk memastikan aku baik-baik saja. "Ay, bener kan lo suka sama dia?" ulang Avisa dengan volume yang sedikit dinaikan. 

"Hah?" Aku terperangah mendengar tudingan sahabatku ini. 

Avisa tidak mengetahui tentang rahasia Kevan. Wajar jika ia berpikiran demikian. Kedekatanku dengan Kevan seringkali menimbulkan anggapan yang berbeda memang. Avisa hanyalah salah satu dari orang-orang itu. 

"Iya. Lo segitu cintanya sama dia. Lo nggak pernah bisa nolak semua kemauan Kevan. Bahkan ketika lo sakit aja masih bisa nemenin dia ke Bandung. Sampe akhirnya harus diopname," rentet Avisa mengingatkanku pada kejadian satu bulan yang lalu. Aku memang menemani Kevan untuk urusan bisnisnya dan itu berhasil membuat typus ku kembali menyerang. 

"Vis, lo tau kan, Kevan itu sahabat gue. Wajar gue ngelakuin itu."

"Bullshit, Ay, cowok sama cewek sahabatan untuk jangka waktu yang lama tanpa perasaan apa-apa."

Bersahabat dengan seseorang yang berbeda jenis kelamin memang seringkali akan menimbulkan sesuatu yang berbeda, rasa nyaman yang berubah menjadi sayang lalu naik levelnya menjadi suka atau bahkan cinta. Tapi hubunganku dengan Kevan ini jelas berbeda. Karena seperti yang kalian tahu. Dia gay.

Avisa berdiri, menyenderkan pinggulnya pada meja dan bersedekap memandangku. "Lo suka kan sama dia, Ay?" ujarnya kemudian. 

Aku mendongak memandang Avisa. Dari sorot matanya ia berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya lewat pupil mataku. 

"Untuk saat ini, hanya sebatas sahabat Vis." 

"Nggak menutup kemungkinan untuk lebih?"

Hening.

Waktu terasa berhenti. Kami masih saling bersitatap, sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Avisa dengan tanda tanyanya. Dan aku dengan kebimbanganku untuk menjelaskan bagaimana bentuk hubunganku dengan Kevan. 

"Gue nggak tahu," sahutku kemudian.

Terlalu banyak jawaban, maka akan semakin banyak pertanyaan. Jadi, aku memilih untuk diam saja. Itu lebih baik, biarkan orang lain sibuk dengan perkiraannya. Dan biarkan aku tetap konsisten pada janji yang pernah terucap, untuk menjaga rahasia Kevan dari seluruh dunia.

Kevan bukan hanya sahabat bagiku. Tapi lebih dari itu, dia menempati ruang spesial dalam hati, bukan sebagai pacar, tapi lebih dari itu, aku sulit mendeskripsikannya. Tapi kira-kira seperti ini, ia adalah seseorang yang ketika terluka, maka akulah orang pertama yang akan ikut merasakan lukanya. Sesayang itu? Iya sesayang itu aku pada Kevan. 

Avisa sedikit maju, menunduk dan memelukku dengan sangat dalam. "Ay, jangan benci gue karena hal ini, gue terpaksa. Maafin gue." 

Setelah pelukan itu berakhir, ia memberikanku surat sialan itu. Surat yang pada akhirnya membuatku resmi menjadi seorang pengangguran. 

❤️

Setibanya di rumah, aku langsung menghitung kembali segala tagihan yang kumiliki. Mencocokkannya dengan nominal uang yang ada di rekening. Memastikan sampai kapan uang di tabungan dapat menjamin hidupku hingga ke depan. 

Kepalaku berdenyut. Hanya cukup untuk tiga bulan. Mencari pekerjaan sedang sulit sekarang, apakah aku bisa berlomba dengan waktu yang ada? 

"Gimana, Ay, tabungan lo cukup buat kapan?" Sahabatku itu mendaratkan pantatnya di sofa setelah tadi dia pergi ke dapur untuk mengambil minum. 

Dia melihat-lihat rincian tagihan yang sudah kusalin. Matanya fokus membaca satu persatu catatan beserta angka yang tercetak di sana. Cicilan mobil, tagihan kartu kredit, tagihan wifi beserta tv cable, bahkan pulsa untuk satu bulan juga tak luput dari hitunganku. 

"Tiga bulan aja, nih. Gue harus gercep, Kev."

"Pinjem uang gue dulu aja, Ay. Ini kan salah gue sampe lo dipecat gini."

"Heh, pelan-in suara lo. Ntar emak gue denger," bisikku memberikan kode padanya. 

Lelaki itu menutup mulut dengan sebelah tangan. Dia juga tak ingin Mama tahu kalau aku sudah tak bekerja lagi sekarang. Mungkin sama sepertiku, merasa takut Mama akan memarahinya apabila aku dianggap tak becus bekerja karena menemani dirinya kemarin. 

"Eh iya, maaf-maaf."

"Ay, Mama ke rumah Budhe sebentar ya sama Bik Onah. Hari ini kamu nggak kemana-mana tho, Nduk?" Suara Mama terdengar. 

Aku menoleh dan mendapati Mama yang nampak sibuk memasukkan makanan dari tupperware ke dalam dua kantung plastik ukuran besar. Seperti biasa, Mama dan Budhe seringkali saling mengirimi makanan apabila ada waktu untuk berkunjung. 

"Aku di rumah aja kok Ma sama Kevan."

"Oh ya udah, Mama jalan dulu ya. Itu Mama udah masak kesukaan kamu. Ajak Kevan makan ya." Mama terlihat terburu-buru hendak berjalan keluar rumah dengan dua kantung plastik berisi makanan di tangan. 

"Dia mah nggak usah diajak juga biasanya ngambil sendiri." Kevan memajukan bibirnya ketika aku mengucapkan hal tersebut. 

"Ya nggak apa-apa. Kevan kan udah seperti anak Mama sendiri." Seringkali seperti itu, Kevan selalu saja mudah mengambil hati semua orang termasuk orang tuaku dan orang tua Lintang. Karena di mata mereka, sahabatku itu terkenal lucu dan pintar dalam menghidupkan suasana. 

"Tuh, dengerin! Anak sendiri."

Aku mencebik. Merasa tidak terima Mama mengadopsi anak lagi. Cukup aku saja yang menjadi anak semata wayangnya. Jangan ada tambahan lagi, apalagi yang bentuknya seperti Kevan ini, terlalu menyebalkan untuk dijadikan saudara. 

Kevan celingak celinguk ke sekitar ruangan. Begitu ia yakin Mama dan Bik Onah sudah pergi, ia kembali bersuara. 

"Cyiin, lo pinjem uang gue dulu aja ya. Gue tanggung jawab, Cyiiinn sama hidup lo selama belom dapet kerjaan." Suara kemayu itu datang lagi setelah menyadari kondisi mulai aman.

Begitulah Kevan, dia akan menjadi dirinya sendiri hanya ketika sedang bersamaku dan Lintang. Di luar itu, ia akan menutupi jati dirinya dengan gestur laki-laki dan suara beratnya. 

Sahabatku ini mengeluarkan dompet dari dalam kantong celananya. Lalu memilih salah satu kartu ATMnya. Dia mengulurkan kartu ajaib itu padaku. 

"Nih! Pake ya," ucapnya dengan senyum tulus. 

Aku mendorong tangannya, menolak dengan halus. "Nggak lah, gue mau usaha dulu aja cari-cari kerjaan. Tenang, Kev, gue masih bisa cari jalan lain kok nanti. Lagipula gue kan dapet uang pesangon. Cukuplah itu dipake sementara. Mungkin gue akan buka usaha kecil-kecilan kalo dua bulan masih aja belum dapet kerjaan." 

Bukannya menolak niat baik yang Kevan berikan. Namun selama aku masih bisa berusaha sendiri. Itu jauh lebih baik kan? Lebih baik tangan di atas daripada tangan di bawah, itu prinsipku. 

"Oke, deh. Tapi kalo beneran lo butuh sesuatu, jangan segan untuk bilang ya, Cyiin. Gue bertanggung jawab atas hidup lo sekarang. Karena ini salah eyke kan, Neik." Dia tersenyum ketika kuanggukan kepala menanggapi niat baiknya. 

Semoga saja aku secepatnya mendapatkan pekerjaan. Karena membuat kedua orang tua bersedih merupakan salah satu hal yang paling aku hindari dan aku tak tahu bisa bertahan berapa lama hidup dalam kebohongan seperti ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status