Share

Chapter 6

Pernahkah kamu terbangun dari tidur dan tidak memiliki tujuan untuk mengawali hari? Aku pernah. Hari ini tepatnya. Sejak dinyatakan dipecat, otomatis semua kesibukan yang kumiliki menguap bersamaan dengan realita yang ada. Aku seakan hilang arah, tak memiliki tujuan yang pasti lagi sekarang. 

Walaupun hidupku hanya diisi dengan kantor-rumah-kantor-rumah saja selama ini, tapi ada tujuan di sana. Ada senyum yang merekah, ada harapan yang membuncah. Ya, senyum dari teman-teman sekantorku dan juga harapan untuk jenjang karier yang selalu lebih baik lagi setiap tahunnya. 

Tapi kini, semua itu hilang. Terbang bersamaan dengan surat yang membawaku ada di posisi saat ini. Pengangguran. 

Pagi ini, kupaksakan diriku untuk tetap bersemangat apapun yang terjadi. Tetap mandi pagi dan juga sarapan seperti biasanya. 

Aku harus secepatnya mendapatkan pekerjaan. Harus. Demi pengeluaran dan rasa bosan yang semakin merajalela. Walaupun itu mustahil, karena sulitnya mencari pekerjaan di zaman sekarang. Ekonomi sulit, banyak perusahaan yang gulung tikar, dan juga melakukan PHK massal. Aku sadar jumlah sainganku tidaklah main-main. Tapi selama masih ada sejumput doa tempat kumenuju, maka tidak akan pernah ada kata sulit. Semoga saja. 

Kurang lebih lima puluh lowongan pekerjaan yang kukirimkan ke jobstreet.co.id dan jobsdb.com. Semoga salah satu diantaranya ada yang menjadi rezekiku.

Pukul dua belas siang, kegalauan makin melanda. Tepat jam makan siang. Aku rindu teman-temanku. Merindukan sapaan dan ledekan yang selalu mampu membuat kesal dan bahagia datang pada waktu yang bersamaan. Aku merindukan suasana hangat layaknya keluarga. Tidak dipungkiri, bersama mereka seringkali ada selisih paham, saling bersitegang namun secepat itu pula dua jari akan saling bertautan. 

Ingin rasanya jari jemari ini mengetik chat whatsapp untuk mereka, namun kuurungkan niat tersebut. Rasanya terlalu malu. Cukup sadar diri bahwa posisiku dipecat kemarin, bukan karena resign. 

Detik demi detik terasa berjalan begitu lambat. Rasa bosan mulai menyergap. Aku harus melalukan sesuatu, jika tidak maka otakku akan tumpul bersamaan dengan waktu. 

"Cyiinnn, lagi ngapain Cyiinn?" Suara dari seseorang yang kukenal terdengar. Aku menoleh dan tersenyum sangat lebar setelah itu. Penyelamatku datang. Terima kasih Tuhan. 

"Sini, Kev. Sini." Kutepuk-tepuk sofa di sebelahku, memintanya duduk mendekat.

Kevan menghampiri dan mengikuti permintaanku untuk duduk tepat di sebelahku. Senyumnya merekah, menampilkan deretan gigi putih bersih dan rapi. 

"Tante kemana?" tanyanya dengan bibir macem diplintir khas pria kemayu. 

"Keluar kota sama bokap dari kemarin. Anak sahabat bokap ada yang nikah," jawabku cepat. 

Dia mengangguk-angguk. "Pasti lo kesepian. Ke tempat Lintang, kuy? Mau nggak?" Dia menaikturunkan alisnya. 

"Wah boleh-boleh. Gue juga kangen sama Miya, Salsa." Aku merindukan dua balita yang sangat menggemaskan itu, putri dari Lintang.

"Udah makan belum, Cyiin? Nih gue bawain banyak makanan. Tinggal pilih." Dia menunjukkan beberapa makanan dengan berbagai macam merk yang tercetak pada plastiknya. KFC, Pizza Hut dan juga Starbucks. Wah Kevan sangat pengertian. Sahabat idaman. 

"Udah sih tadi sarapan roti. Nanti dibawa aja ke tempat Lintang," sahutku kemudian. Dia mengangguk-angguk setuju. 

"Ya udah, kuy. Siap-siap gih. Udah siang nih, Cyiin. Nanti kita kesorean sampe sana. Eyke nggak mau ah pulang malem-malem." Gestur Kevan kembali kemayu. Lama-lama aku bisa juga terbiasa ternyata.

"Kenapa emang? Lagi ada urusan lo?" tanyaku menoleh padanya yang nampak asik memilin rambutnya sendiri dengan kaki yang ditekuk layaknya anak perawan. 

"Bukan. Anak gadis kan nggak boleh pulang malem-malem, Cyiiin. Pamali."

"Ya udah, pulang subuh aja sekalian," sahutku cuek. 

"Sembarangan. Nanti kalo eyke diperkosa gimana?" Tak lupa juga lelaki ini menutupi bagian dadanya dengan tangan. Totalitas sekali sahabatku ini dalam menjaga auratnya. 

Aku tak menjawab pertanyannya dan lebih memilih menghambur saja menuju kamar. 

Aku mendesah. Kalo dia merasa gadis, trus aku apa?

❤️

"Salsa mana, Tang?" tanya Kevan celingukan begitu sampai di rumah Lintang. 

"Baru aja tidur," jawab Lintang sembari meletakkan gelas berisi sirup di meja ruang keluarga. 

Kevan langsung saja ngeloyor menuju kamar utama setelah mendengar jawaban Lintang. Ingin melihat Salsa, anak bungsu Lintang. Anak itu begitu menggemaskan dengan pipi chubby-nya, tak heran jika Kevan begitu merindukan bayi satu itu.

"Kev, lu mau ngapain? Gue tabok ya kalo sampe anak gue bangun. Jangan lo ganggu. Itu dia baru tidur. Kev!" teriak Lintang frustasi bersiap-siap bangkit dari duduknya untuk menjambak Kevan sepertinya.

Aku tertawa menanggapi kelakuan dua orang sahabatku ini. Hiburan yang mampu membuat segala beban di hati menguap dengan sendirinya. Aku sayang mereka. Sungguh. 

Begitu kalimat terakhir terucap, suara tangisan bayi terdengar dari kamar utama. Salsa menangis. Aku menatap Lintang. Merasa ngeri emak-emak satu ini mengeluarkan amukannya. 

"Haduh, baru juga dibilangin," dengkus Lintang. "Lu apain, Kev anak gue?!" teriak Lintang frustasi berjalan menuju kamar. Ketakutanku menjadi kenyataan. 

Kevan datang dengan menggendong anak berumur satu tahun. Air mata turun dengan deras membasahi pipi Salsa. Bocah berkulit putih itu menangis sesegukan. 

"Dia aus, nih, Cyiiin. Ndusel-ndusel mulu nyariin nenen. Mentang-mentang tetek gue gede," terang Kevan sembari memberikan Salsa pada Lintang. 

Aku dan Lintang tertawa terbahak-bahak. Guratan amarah itu kini terganti dengan tawa yang tak kunjung selesai. 

"Udah waktunya lo pake miniset, Kev. Biar nggak kendor," ledekku, sembari mengusap air mata. Kevan berhasil membuat lelucon hingga pelupuk mataku basah. 

"Ntar gue minjem aja miniset lo, Cyiiin. Punya lo sama punya gue aja gedean punya gue," sahut Kevan santai.

Aku melotot menatapnya. Refleks aku menunduk menatap dadaku. Apakah sekecil itu? Kevan sialan

"Namanya juga masih dalam masa pertumbuhan! Nanti juga akan gede dengan sendirinya!" sahutku kesal menatapnya.

Kevan terbahak-bahak. Dia mengambil slice pizza dan duduk di sebelahku. "Kasian Beb, yang jadi laki lo nanti. Semoga dia banyak sabar ya," katanya. 

Ia mengulurkan tangan kanannya dan mengusap-usap bahuku. Aku menggerakkan bahu, menolak perlakuannya. Menyebalkan!

"Nggak usah pegang-pegang!" rutukku sengit. Aku kesal! Dia kan tidak tertarik dengan wanita, tapi bisa-bisanya mengatakan hal seperti itu. Sok tau!

Kevan tertawa terbahak-bahak sembari memegangi perut. 

Setelah Salsa tertidur, Lintang mulai bertanya kenapa aku dan Kevan datang ke rumahnya di hari kerja dan di jam kerja seperti ini. Kujelaskan dengan perlahan bahwa aku sudah dipecat. Seperti biasa, air mata langsung membanjiri wajah cantiknya. 

"Yah, Ay, terus lu bayar arisan, bayar asuransi, bayar kartu kredit lo gimana? Trus lo nggak bisa belanja Mango, Zara sama H&M lagi dong!" ujarnya sembari menangis, membuatku ingin menangis juga sekencang-kencangnya. 

Haduh, kenapa semua hutangku yang dia ingat ya Tuhan?

"Gue besok mau ke Bali, Cyiin, ketemu Mario. Mau ikut nggak? Lumayanlah daripada di rumah mulu. Suntuk tau Neik," tanya Kevan, alisnya naik turun. 

Mario adalah teman rasa pacar terbarunya. Seorang Fashion Designer yang menetap di Bali. Baru dua bulan berkenalan. Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, Kevan itu mudah berganti pasangan layaknya berganti pakaian dalam. Mati satu tumbuh sejuta, menurutnya. 

Aku memikirkan ulang tawaran Kevan. Aku butuh liburan. Selain untuk menghindari pertanyaan orang tuaku, aku merasa gila jika di rumah tidak melakukan kegiatan apa-apa. Terbiasa dengan rutinitas padat dan tiba-tiba harus kehilangan itu semua, terasa berat untuk kujalani, paling tidak untuk saat ini. 

"Emang nggak apa-apa gitu sama Marionya? Ntar gue ganggu lagi," tanyaku berbasa basi sembari menggigit potongan ayam KFC

"Helah, udah kayak sama siapa aja sih, Cyiinn. Udah ikut aja. Sekalian cari jodoh kita. Eh elu deng. Gue mah udah ada. Elu tuh yang kasian, kaum mblo. Eh berapa taon, Ay, lu jomblo? Ada kali ya tiga tahunan. Pake formalin, Ay? Awet bener." Kevan tertawa dengan keras, sedetik kemudian dia nampak menyeka air matanya. 

Aku mendengkus sebal. Senang betul dia menertawakanku sampai menangis begitu.

"Ya udah gue mau!" pekikku kemudian. 

"Murah banget sih lu, Beb. Bilang maunya cepet banget. Basa basi dulu kek. Sok-sokan mikir gitu. Langsung mau aja. Bikin eyke malu aja."

Bola mataku berputar. Jengah. "Lah, kok jadi elu yang malu?" gumamku pelan. 

"Kan sebagai sesama perempuan," ujarnya memamerkan cengirannya. 

"Auk amat ah, Kev. Jadi mules perut gue," celetuk Lintang malas sembari ngeloyor ke kamar mandi.

Dahiku berkerut. Sebagai sesama perempuan banget?

"Nanti dandan yang cantik ya, Cyiiiin, kali aja ada bule yang kecantol sama you, kan lumayan. Trus itu daster robek-robek yang biasa lu pake, aduh ..., itu jangan dibawa ya. Buang aja, udah waktunya dia pensiun. Nanti kita beli bikini di sana ya, Neik. Pokoknya pulang-pulang lu harus punya pacar." 

Aku tak menggubris ucapan Kevan soal bikini tadi karena yang aku pikirkan hanya liburan di Bali, tak lebih. Otakku butuh penyegaran. Bali dan pemandangannya. Oh, my God. Betapa indahnya tempat itu. 

Dalam benakku, aku sudah bisa membayangkan, di sana aku akan menikmati sunset atau berjemur di salah satu pantai, window shopping di pasar tradisional, mencoba nasi campur, nasi tepeng dan hal lainnya yang patut dicoba ketika berada di Bali. 

Itu semua akan aku lakukan sendiri saja, tak perlu bersama Kevan, karena lelaki itu sudah dipastikan akan sibuk sendiri dengan pacar rasa temannya itu. Jadi lebih baik aku menjelajahi sendiri saja pulau itu. 

Lagipula, kalau aku sendirian, siapa tahu ada seseorang yang tanpa sengaja mengajakku berkenalan layaknya FTV-FTV yang biasa kutonton itu kan? 

Ah, betapa sempurnanya. Aku jadi tertawa-tawa sendiri. 

"Heh! Udah gila lu ya ketawa-ketawa sendiri? Lagi mikir jorok lu ya?" Suara cerewet dibarengi dengan lemparan bantal sukses membuatku tersadar kembali dari lamunan. Kevanlah yang melakukan itu. 

"Ish, berisik banget sih lo! Ngeselin!" rutukku kesal. Dia menganggu kenikmatan orang lain saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status