Share

Chapter 7

Aku memandang lurus ke depan. Menghirup udara dengan bebas. Semilir angin menerpa wajah, dan membuat helaian rambutku berlarian kesana kemari. Kuedarkan pandangan mata sekali lagi.

Sungguh luar biasa ciptaanMu Tuhan.

Tahukah kalian apa yang kulihat saat ini? Dihadapanku kini terbentang pemandangan laut berwarna hijau bercampur biru muda dan tua, ombak yang menggulung-gulung, hamparan pasir putih, tebing-tebing menjulang tinggi, batu karang yang besar, dan air laut sebening kristal.

Kudongakkan kepala. Dengan bebas dapat kulihat langit biru yang begitu indah, dengan awan putih berarakan, saling berkejaran.

Aku tersenyum.

Katakan aku kampungan, katakan aku berlebihan. Tapi keindahan ini sungguh nyata. Bukan hanya pemandangan alamnya yang mampu membuatku menggelengkan kepala. Namun juga villa yang akan aku tinggali selama beberapa hari ke depan. Aku bisa menebak harga sewanya pasti mahal. Kisaran tujuh digit permalamnya.

Villa yang kutempati ini berada di puncak tebing pantai Dreamland, daerah Pecatu, dekat dengan Garuda Wisnu Kencana.

Dilengkapi dengan fasilitas yang sangat mewah.

Aku dan Kevan tiba di Bali pada pukul sembilan pagi. Dijemput langsung oleh Mario, teman dekat Kevan. Lelaki yang tadi mengulurkan tangannya padaku itu memiliki darah tionghoa yang kental. Matanya sipit, berkulit putih dan tampan. Dia 'lebih lelaki' dari pada Kevan yang kemayu. Aku menilai Mariolah yang bertindak sebagai 'laki-laki' dalam hubungan mereka.

Ketika kami sampai di Villa ini, tak berapa lama hujan deras mengguyur. Membuat aku, Kevan dan Mario terpaksa harus berdiam diri di villa hingga hujan reda. Menonton DVD players adalah pilihan akhir yang diambil untuk menghilangkan rasa bosan.

"Yang, suapin," ujar Mario kepada Kevan. Dari ekor mata aku dapat melihat Kevan sedang bersandar pada dada bidang Mario itu mulai mengambil cemilan dan menyuapi Mario dengan tangannya. Posisi mereka persis berada di sebelahku. Berada pada satu sofa yang sama, namun sofa yang mereka tempati memiliki ukuran yang lebih panjang, seperti huruf L.

"Enak nggak, Yang?" tanya Kevan gantian. Jomlo harus kuat iman.

"Enaklah, Yang. Kan kamu yang nyuapin," jawab Mario terdengar manja. Jomlo mulai mual!

Aku terdiam di tempatku. Lalu dari ekor mataku, kulihat Mario membelai-belai pipi Kevan. Kevan mengambil tangan Mario dan menciumnya. Jomlo butuh kresek!

Perlu aku perjelas sedikit, supaya tidak menimbukan kesalahpahaman. Jadi bukan karena mereka gay ya sehingga aku mual seperti ini. Tapi karena aku memang jenis manusia yang tak biasa mengumbar kemesraan dimana-mana. Cukup ketika sedang berduaan saja dengan pasangan.

"Kangen ya, Yang?" tanya Mario tersenyum. Kevan mengangguk manja. "Duh, kasian pacar aku." Lalu Mario mengacak-acak rambut Kevan dengan sayang. Akhirnya jomlo mengibarkan bendera putih!

Seketika aku merasa haus. Kuangkat tubuhku menuju ke dapur untuk mengambil segelas air. Tenggorokanku kering tanpa sebab. Aneh.

Ketika berada di dapur, terlintas pemandangan antara Kevan dan Mario tadi. Aku berusaha tak mengingatnya. Bagaimanapun juga aku sudah terbiasa ... seharusnya. Tapi melihat langsung kejadian tadi, membuatku agak merasa ... mmm apa ya? Mungkin semacam risih atau sungkan atau mungkin mual? Entahlah. Tapi yang pasti, kenapa Kevan jadi selebay itu?

Kucoba hilangkan bayangan tadi, dan segera menuju entertainment room lagi, di tempat Kevan dan Mario berada. Namun yang terjadi adalah aku mendapati pemandangan yang membuatku diam seribu bahasa. Aku malu.

Mario mencium Kevan pelan. Kevan nampak menutup matanya, membiarkan bibir kekasihnya melahap setiap celah bibirnya. Lalu Kevan membalas ciuman Mario. Aksi itu semakin menjadi, bahkan sekarang yang ada di hadapanku adalah sepasang kekasih yang saling bertukar saliva. Oh, shit!

Rasanya kakiku sulit untuk bergerak mundur dan mencari tempat persembunyian terdekat.

Posisi mereka menyamping dari tempatku berdiri. Jadi, rasanya akan canggung jika aku langsung berjalan mundur untuk menghindari itu semua. Kevan dan Mario masih dalam posisi mereka. Aku terjebak. Cobaan berat harus kuhadapi. Aduh, Tuhan, ini apa! Aku benci situasi awkward seperti ini.

"Kev, Mar, ini barang-barang gue, gue taro kamar aja ya?" tanyaku basa basi tanpa memandang pada mereka.

Aku malu. Untung saja tadi aku menemukan tas kecilku berisi make up tergeletak di minibar yang bersebelahan dengan sofa yang mereka duduki. Kupakai alasan itu untuk menghindar dari kejadian yang membuat segan ini.

Kevan dan Mario melepaskan tautan mereka. Kevan menatapku. "Oh iya, Ay, lo taro dulu aja." Lalu yang terjadi kemudian aku langsung menghambur menuju kamar dengan langkah seribu.

Aku tak peduli lagi mereka akan melakukan apa setelah kepergianku. Yang penting aku harus menyelamatkan diri terlebih dulu. Hati dan mataku butuh istirahat. Sangat!

ā¤ļø

Aku bersembunyi di kamar hingga ketiduran. Jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul empat sore. Rasanya nyaman sekali kamar ini.

Aku suka interiornya. Minimalis, dengan perpaduan warna putih, krem, abu-abu dan hitam. Sangat teduh dan menenangkan.

Villa ini didesain untuk pasangan yang sedang berbulan madu. Memiliki pantai pribadi yang untuk bisa mencapai ke sana, aku hanya perlu turun ke bawah saja.

"Ibu, mau teh atau apa, Bu? Kevan buatkan." Kudengar suara Kevan sedang berbicara dengan seseorang ketika aku hendak keluar kamar menuju ruang tamu. Setahuku, sebelum aku tertidur tadi hanya ada kami bertiga saja di sini. Lantas siapa sebenarnya sosok yang dipanggilnya 'Bu' tadi?

Kulangkahkan kaki menuju ruang tamu. Sesosok wanita paruh baya tertangkap indera pengelihatanku. Usianya mungkin sekitar enam puluh tahun, namun terlihat masih sehat.

Kevan yang sedang berada di dapur melihat keberadaanku. Lantas dengan gerakan tangannya ia meminta aku bergabung. Lokasi dapur dan ruang tamu memang dalam satu ruangan sehingga memudahkan Kevan untuk melihatku yang baru keluar dari kamar.

"Ibu, kenalin ini Aya, sahabat kecil Kevan." Wanita tersebut menoleh kepadaku dan tersenyum.

Aku suka senyumannya. Begitu tulus dan teduh. Wajahnya mirip Mario. Mario versi wanita kalau boleh kubilang. Cantik.

Kuhampiri wanita itu dan mencium punggung tangannya. Beliau mengusap bahuku dan memandang dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya.

"Cantik sekali. Betul, hanya bersahabat? Bukan pacaran?" Aku terkekeh mendengarnya. "Sini, Nak, duduk sini. Dekat Ibu."

Kuikuti permintaan beliau untuk duduk di sebelahnya, pada sofa besar berwarna putih.

"Ini ibunya Mario, Ay," ucapan Kevan membuatku tertegun.

Ibu Mario? Beliau tahu tidak ya anaknya itu ...

Aku tahu itu urusan Mario dan Kevan. Tapi melihat wanita sebaik ini, aku merasa sedih sendiri.

"Kapan-kapan main ya, Nak Aya, ke rumah. Nanti minta temani Nak Kevan. Ibu anak ada dua. Laki-laki semua. Jadi kalo melihat anak perempuan rasanya sayang." Ibunda Mario itu menggenggam tanganku dan tersenyum untuk yang kesekian kali. Murah senyum sekali.

"Iya Ibu. Nanti kapan-kapan Aya main ya." Aku tersenyum menatap wanita di hadapanku ini.

Guratan keriput memenuhi wajahnya, warna hitam pada rambutnya pun sudah memudar, berganti warna menjadi putih keabu-abuan. Tapi senyuman yang dimilikinya memberikan semangat bagi siapa saja yang memandangnya.

"Ibu ini tehnya ya." Kevan meletakkan secangkir teh di meja dan duduk di sebelah kanan ibunda Mario. "Ibu sudah makan belum? Mau makan apa? Kevan buatin." Aku mengamati gerak gerik Kevan.

"Ibu sudah makan, Nak Kevan. Nggak usah repot-repot."

"Atau mau dibungkus aja, Bu. Kevan pesankan. Ibu mau apa?" Aku masih memperhatikan.

"Nggak usah repot-repot, Nak. Di rumah sudah ada makanan. Nanti malah kebuang," jawab Ibunda Mario sembari memegang tangan Kevan.

Kevan menepuk keningnya. "Ya ampun, Kevan lupa. Kemarin Kevan buat kue. Tunggu sebentar ya, Bu." Kevan menghambur ke kamar. Lalu kembali lagi dengan membawa tiga toples kue. "Ini buatan Kevan, Bu. Dicoba ya. Nanti Kevan buat lagi kalo Ibu suka." Kevan membuka tutup toples tersebut dan meminta Ibunda Mario mencicipinya.

"Enak loh, Ma, buatan Kevan. Dia jago bikin kue. Hobinya masak," timpal Mario yang baru datang dari kamar mandi, promosi.

Dia tersenyum memperhatikan ibu kandungnya bisa rukun dengan 'calon menantunya.'

Ibunda Mario mencoba kue buatan Kevan. Sahabatku menunggu 'calon mertuanya' itu mengucapkan sesuatu.

"Enak, Nak Kevan." Ibunda Mario menganggukan kepala. Ekspresi wajah tulus mengatakan bahwa kue buatan Kevan memang betul-betul enak. Bukan basa basi semata.

Raut bahagia tercetak di wajah Kevan. Aku tertawa. Melihat Kevan yang seperti ini, aku seperti melihat 'anak gadis yang sedang berusaha mengambil hati mertuanya.'

Obrolan terus berlangsung hingga satu jam kemudian. Dapat terlihat bahwa Ibunda Mario begitu menyayangi Kevan, sangat akrab satu sama lain. Aku sedikit berpikir apakah ibunda Mario mengetahui hubungan anaknya dengan Kevan?

"Ibunya Mario taunya gue rekan bisnis anaknya gitu, deh," terang Kevan menjawab pertanyaanku ketika Mario sedang mengantar ibunya pulang.

"Ibunya Mario nggak tau kalo Mario ...?" Aku menggantung pertanyaanku.

"Nggak. Gila kali kalo sampe tau, Neik, bisa disunatin kali pacar eyke." Kevan merebahkan dirinya di sofa sembari memeluk bantal.

"Lah trus lo sama Mario mau terus backstreet gitu?"

Mungkin pertanyaanku terkesan aneh, tapi jujur, aku pun bingung harus bagaimana. Karena sebetulnya aku hanya ingin Kevan mencintai seorang wanita dan menikah.

"Ya, mau gimana, ya, Cyiiin. Mario nggak mungkin cerita karena jantung ibunya lemah."

Aku menghela nafas. "Lo nggak ada niat nikah sama cewek, Kev?"

Harapan itu akan selalu ada. Aku berharap Kevan mau berubah dan belajar mencintai lawan jenisnya. Karena sesungguhnya, walaupun aku dan Lintang terkesan mendukung Kevan, namun tetap saja, hati kecil kami menginginkan yang terbaik bagi sahabatku ini. Semoga suatu saat nanti Tuhan mengabulkan doaku dan Lintang. Amin.

Kevan memiringkan tubuhnya dan memandangku dalam. "Nggak, Cyiinn, gue nggak ada bayangan sama sekali kesana."

Ada kesungguhan dari sorot matanya. Dan itu membuatku menjadi sedih. Sangat mudah baginya untuk mencari perempuan untuk dinikahi. Lantas kenapa dia lebih memilih jalan ini?

"Sama sekali, Kev?"

Dia menggangguk yakin. "Sama sekali, Cyiiin, gue nggak ada rasa tertarik sama cewek. Bahkan lo bugil sekalipun, gue nggak akan nafsu tuh."

Aku tersenyum simpul. Tidak merasa tersinggung sedikitpun atas ucapannya. Karena aku cukup mengenal sosoknya yang terbiasa ceplas ceplos.

Sahabat mana yang tak ingin sahabatnya bahagia? Tapi bahagia menurut versiku. Bukan versi Kevan. Karena versiku pasti akan membuat semua orang bahagia, termasuk keluarganya.

"Kecuali lo numbuh jakun dan operasi kelamin. Itu bisalah jadi bahan pertimbangan gue nantinya ya, Cyiiin." Dia tergelak.

Aku memandangnya malas. Sulit membayangkan bagaimana mungkin pisang tanduk tumbuh di area pribadiku.

"Haduh, gue nggak kepikiran ya bakalan pacaran apalagi nikah sama lo. Yang ada gue mati berdiri tiap hari lo nyinyirin mulu." Terbayang nggak, satu hari bersama dia saja aku bisa darah tinggi. Apalagi setiap hari?

"Lah, gue juga nggak kebayang. Eh tapi kayaknya seru juga ya, Cyiiin. Nanti kita bisa tuh saling meni pedi, luluran bareng. Gue juga sesekali bisa minjem tuh miniset lo. Uh, cucok .... "

Dia mulai membayangkan. Matanya menerawang dan bibirnya berkali-berkali mengulas senyuman.

Aku memandangnya malas. Dia pikir itu rumah tangga macam apa, isinya hanya main salon-salonnya setiap hari? 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Claudia
Lucu... ga brenti senyam senyum baca batinnya Aya. keren lah Thor ceritanya...
goodnovel comment avatar
Winda
Cerita yang sangat bagus šŸ‘šŸ‘šŸ‘ salam dari "Kulakukan Demi Keluarga Season 2"
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status