Share

Aku Menyerah, Mas!
Aku Menyerah, Mas!
Penulis: Ida Saidah

Aku Menyerah, Mas!

[Transfer berhasil ke nomer 0123xxx Adelia Puspita Rp 5.000.000] Kubaca notifikasi pesan keluar di gawai Mas Gunawan suamiku, untuk Delia adik perempuannya yang sudah menikah setahun yang lalu.

Padahal semalam, ketika meminta uang untuk pengobatan Thalita putri kami, dia bilang kalau saat ini sedang tidak memiliki uang sama sekali. Tapi, kenapa bisa transfer sebesar itu kepada Delia?

“Mas, kamu transfer uang untuk Delia?” tanyaku kepada Mas Gunawan, ingin mendengar alasannya kenapa lebih mementingkan adiknya ketimbang anaknya sendiri.

“Dia sedang butuh uang, Nay. Jadi Mas transfer!” jawabnya tanpa menoleh.

“Terus, kenapa kemarin pas aku minta buat dedek kamu bilang nggak ada uang, Mas?”

Brak!

Dia menggebrak meja hingga membuatku terkesiap.

“Dia itu adikku. Duit yang aku transfer juga uang hasil keringat aku sendiri, tapi kenapa selalu kamu permasalahkan jika aku memberi saudara-saudaraku uang?!” sentaknya.

“Ya jelas aku mempermasalahkannya, Mas. Aku minta lima ratus ribu buat berobat dedek kamu bilang nggak ada uang. Tapi giliran buat adik kamu ada. Dedek itu anak kamu, Mas. Prioritas kamu. Sedangkan Delia, dia Cuma adik kamu. Sudah punya suami pula!”

“Apa kamu nggak kasihan liat hidupnya, Nay. Dia punya suami tapi tidak pernah mementingkan keluarganya. Suami Delia itu selalu mendahulukan kepentingan adik-adik serta ibunya daripada Delia. Apa kamu tidak kasihan?!”

Aku mengangkat satu ujung bibir.

“Berarti suaminya Delia itu sama kaya kamu ya, Mas. Selalu mementingkan saudara daripada anak sama istrinya. Sampai-sampai dia lupa dengan kewajibannya sendiri, menghabiskan hampir seluruh penghasilannya untuk menghidupi adik serta ibunya, membiarkan anak istrinya sering kelaparan juga menderita.”

“Kanaya, cukup!” Mas Gunawan mengangkat tangannya hendak menamparku, namun urung dia lakukan karena tiba-tiba Thalita sudah berada di depan kami.

Wajah lelaki berusia tiga puluh dua tahun itu memerah padam dengan rahang mengeras dan gigi bergemeretak. Tangannya mengepal menahan amarah.

“Mama, kepala dedek sakit ...,” rengek Thalita sembari memeluk kakiku.

Lekas menempelkan punggung tangan di dahi gadis berusia lima tahun itu, dan ternyata panasnya lumayan tinggi.

“Mas, dedek demam lagi!”

Pria dengan garis wajah tegas itu masih tetap berdiri dengan amarah yang masih membuncah.

Aku segera berlari ke kamar, mengambil termometer mengukur suhu badan Thalita dan ternyata panasnya lumayan cukup tinggi. 39 derajat Celsius.

“Mas, kita bawa dedek ke dokter ya. Aku takut dedek kenapa-kenapa.” Aku berujar sembari menggendong tubuh mungil bidadari kecilku.

Lagi, Mas Gunawan hanya diam membisu.

Ya Allah. Apa dia tidak kasihan melihat keadaan anaknya? Padahal Thalita itu putrinya sendiri. Darah dagingnya walaupun dia tidak menginginkan seorang putri lahir ke dunia ini. Dia selalu meminta seorang putra kepadaku, dan ternyata Tuhan memberi kami anak perempuan. Makanya suami tidak begitu peduli dengan Thalita. Padahal, apa pun jenis kelamin anak kami, itu mutlak keputusan Allah. Kita hanya bisa meminta akan tetapi tidak bisa memutuskan.

Ponsel dalam saku celana suami terus saja menjerit-jerit. Pria berhidung bangir itu berjalan sedikit menjauh dariku, menjawab panggilan tersebut dan segera mengambil jaket di dalam kamar.

“Kamu mau ke mana, Mas? Dedek lagi sakit loh?” tanyaku ketika dia pergi dengan terburu-buru.

Tidak ada jawaban. Aku mencoba mengejar Mas Gunawan, menanyakan hendak ke mana dia pergi selarut ini, apalagi saat ini putri kami sedang demam tinggi.

“Mas!”

“Ibu nyuruh aku ke rumah. Katanya dia sakit perut. Kamu pergi ke puskesmas saja sendiri. Ini uangnya buat ongkos naik taksi!” menyodorkan dua lembar uang ratusan ribu.

Mas Gunawan segera naik ke atas motor dan pergi begitu saja tanpa memedulikan aku serta Thalita.

“Mama ..., Dedek haus,” rintih putriku lemah. Kini tubuh mungilnya mulai menggigil. Wajahnya terlihat begitu pucat.

“Iya, Sayang. Mama ambilin minum ya. Habis ini kita ke dokter.” Mengambil gelas yang tergeletak di atas meja, duduk memangku Thalita lalu membantu gadis kecilku untuk minum.

Setelah itu gegas memesan taksi online, membopong tubuh lemas Thalita membawanya masuk ke dalam mobil ketika sang driver sudah sampai di halaman rumah.

“Nak, Sayang?” Mengusap pipinya dengan lembut, karena putriku terus saja memejamkan mata.

“Jangan berisik, Mama. Dedek mau bobok.” Dia menyahut seperti sedang berbisik.

“Iya, Sayang.” Mendaratkan ciuman singkat di kening Thalita.

“Papa ..., Dedek mau digendong Papa.”

Ya Rabb. Rasanya seperti tersayat-sayat ketika dia mengigau memanggil papanya dan meminta untuk digendong. Memang seumur hidupnya, hanya saat dia masih bayi saja Mas Gunawan mau menggendong Thalita. Selebihnya hanya aku yang mengurus dan dia terlihat tidak peduli dengan putrinya.

Aku semakin mempererat dekapan ketika merasakan tangan serta kaki putriku mulai sedingin es.

“Sabar ya, Sholehah. Sebentar lagi kita sampai.” Terus menciumi pipinya, akan tetapi dia tidak lagi merespons.

Apa dia sudah tertidur pulas? Tapi, kenapa dadanya tidak naik turun dan tidak terdengar dengkuran halus seperti biasanya?

Setelah beberapa menit membelah kemacetan kota, mobil yang aku tumpangi akhirnya menepi juga di depan pintu masuk unit gawat darurat sebuah puskesmas. Aku tidak membawa Thalita ke rumah sakit karena keterbatasan biaya. Mas Gunawan hanya memberi uang dua ratus ribu dan sudah dipakai untuk membayar ongkos taksi sebesar tujuh puluh lima ribu. Sisanya mana cukup untuk membawa Thalita ke rumah sakit yang bagus serta peralatannya lengkap?

Dengan berjalan setengah berlari membawa tubuh lemas putriku ke dalam, memanggil perawat yang berjaga meminta mereka untuk segera memeriksa.

“Lita kenapa, Nay?” tanya Dilan, teman sekolahku yang kebetulan bekerja sebagai tenaga medis di puskesmas tersebut.

“Nggak tahu, Dil. Tadi badannya panas banget, tapi sekarang malah sudah sedingin es!” jawabku panik.

Dilan segera memeriksa keadaan putriku. Wajah pria berusia tiga puluh satu tahun itu terlihat menegang. Dia menautkan jari telunjuknya di dekat hidung, meraba leher Thalita seolah sedang memeriksa denyut nadi gadis kecilku.

“Kamu yang sabar ya, Nay. Ikhlaskan Lita. Dia sudah terbang bersama bidadari menuju Nirwana.”

“Maksud kamu, Dil?” Menatap lamat-lamat wajah pria tersebut sambil menahan air mata yang sudah menggelayut di pelupuk.

“Thalita sudah nggak ada, Nay. Dia sudah meninggal.”

Aku meremas ujung gamis yang sedang kukenakan. Bumi tempatku berpijak terasa berguncang. Dada ini seperti dihantam menggunakan benda berat. Sakit juga sesak.

Tidak! Semua ini pasti hanya mimpi. Thalita tidak mungkin sudah meninggal. Dia sedang tidur, sebab tadi dia meminta izin kepadaku untuk istirahat.

“Dil, kamu jangan bohong. Dedek belum meninggal. Dia hanya sedang tidur, Dilan. Dia Cuma tidur!” pekikku sambil menatap wajah Dilan.

“Kamu yang sabar, Nay. Semuanya sudah takdir Tuhan.”

“Tidak. Ini semua bukan karena takdir. Ini semua karena aku tidak becus mengurus anak, Dil. Aku seorang ibu yang gagal.”

Tertatih aku melangkah menghampiri tubuh Thalita, meyakinkan diri kalau bidadari kecilku hanya tertidur. Namun beberapa kali mencoba mengguncang tubuh mungilnya, dia tetap saja memejamkan mata.

“Ya Allah, Nak. Jangan tinggalkan Mama. Mama sayang sama kamu, Sayang. Mama tidak mau berpisah dengan kamu.” Mengusap pipinya yang sudah sedingin es kemudian mendaratkan ciuman, menatap lamat-lamat wajahnya karena sebentar lagi wajah cantik itu tidak akan bisa kupandangi.

“Nay, kenapa Gunawan sulit sekali dihubungi?” Dilan kembali menghampiri.

“Untuk apa menghubungi dia, Dil?”

“Aku cuma mau mengabari dia tentang keadaan Lita.”

“Tidak usah. Aku akan membawa putriku pulang sendiri. Tidak perlu mengabari dia.”

“Tapi, Nay?”

Aku menatap tajam kedua manik dengan iris legam milik Dilan, membuat lelaki dengan wajah penuh kharisma itu langsung terdiam tidak lagi mendebat

Rumah terlihat begitu sepi saat ambulans dari puskesmas masuk ke pekarangan. Seper sekian detik kemudian beberapa tetangga menghampiri, dan langsung memelukku seraya mengucapkan bela sungkawa ketika melihat Thalita pulang dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Pun dengan Pak RT yang segera memanggil warganya untuk berkumpul, bergotong royong membantu mengurus jenazah putriku.

“Mbak Nay, ini sudah siang dan sudah hampir zuhur. Kita harus menguburkan Thalita secepatnya, soalnya sudah lebih dari dua belas jam dia meninggalkan. Kalau Mas Gunawan sedang berada di luar kota, Mbak Kanaya minta izin saja kepada dia untuk menguburkan Thalita sebelum dia sampai di rumah!” ucap Pak RT memberi usul.

Aku segera mengambil ponsel yang sejak tadi tergeletak di atas meja, menekan sebelas digit angka kemudian menggeser tombol hijau menghubungi nomor suami. Tersambung, tetapi tidak kunjung diangkat. Bahkan beberapa kali mengirimkan pesan kepadanya dan memberi kabar kalau putrinya telah tiada, dia tidak jua membaca pesan tersebut.

“Nay, ini suami kamu bukan sih? Kok malah lagi di rumah Shinta?” bisik Arimbi seraya menunjukkan sebuah foto di wa story milik Sinta. Dia memajang foto bersama suamiku dengan caption, ‘Terima kasih untuk waktunya, Mas. Terima kasih juga karena sudah membayar semua biaya pengobatan Ibu. Aku doakan, semoga Allah senantiasa melimpahkan rezeki kamu juga memanjakan umur kamu. Maaf sudah sering merepotkan.’ Hati ini seketika terasa panas membaca status w******p milik sepupu jauh suamiku. Dia begitu royal kepada seluruh anggota keluarganya, tetapi sangat pelit kepadaku. Bahkan dia tidak memedulikan keadaan anaknya hingga Allah akhirnya memilih mengambil amanah-Nya kembali.

Aku menyerah, Mas. Aku akan mundur dan mengakhiri pernikahan kita. Dulu aku bertahan dalam kesakitan karena ada Thalita, takut dia merasakan apa yang aku rasakan dulu ketika kedua orang tuaku bercerai. Sekarang. Thalita sudah tidak ada. Aku akan mundur dan meninggalkan kamu, supaya tidak ada lagi hati yang tersakiti karena sifat egois kamu.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Deshendri Yeni
berpisah lebih baik
goodnovel comment avatar
Mar Yati
berpisah lebih baik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status