POV Gunawan
Aku menengok jam di layar gawai, ternyata sudah pukul sembilan malam. Ada banyak sekali panggilan masuk dari Kanaya istriku, yang sengaja kuabaikan karena dia pasti akan mengomel jika tahu lagi-lagi aku membiayai saudaraku.Entah mengapa dia begitu sentimen terhadap keluargaku dan tidak pernah mau menerima mereka. Selalu saja dipermasalahkan jika aku membagi sedikit saja rezeki yang kudapatkan.Rumah dalam keadaan sepi ketika kendaraan roda dua milikku menepi di halaman rumah. Biasanya setiap kali pulang, sudah ada Kanaya ataupun anaknya yang menyambut kedatanganku. Mungkin saat ini mereka sudah tertidur. Baguslah. Setidaknya tidak ada yang mengajakku cekcok, dan malam ini bisa beristirahat dengan tenang.Memutar hendel pintu, berjalan melewati ruang tengah dan ternyata Kanaya sedang duduk memaku sendiri di atas kursi. Sepertinya dia sedang melamun sehingga tidak menyadari kedatanganku.Tanpa memedulikan istri gegas aku masuk ke dalam kamar, segera merebahkan bobot yang terasa lelah setelah seharian menemani Santi menjaga ibunya di rumah sakit. Kantuk yang tengah melanda membuat diri ini langsung terlelap tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu, hingga tanpa sadar malam telah menjelma menjadi pagi.“Nay, tolong buatkan kopi!” perintahku kepada istri seraya turun dari tempat tidur.Kanaya tidak menyahut, apalagi menghampiri. Aku menggeleng kepala merasa kelakuan istri semakin menjadi akhir-akhir ini.Apa aku perlu mempertimbangkan omongan Ibu untuk menikah dengan Santi dan meninggalkan Kanaya?Menggosok rambut yang basah dengan handuk ketika keluar dari dalam toilet, menoleh ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan Thalita. Biasanya bocah itu sudah lari-larian kesana kemari membuat kepalaku pusing melihat tingkahnya. Tapi, kenapa pagi ini begitu sepi?“Nay, Kanaya!” berteriak memanggil istri ketika membuka tudung saji dan tidak ada apa pun di atas meja. Pun dengan kopi yang kupinta. Ke mana dia, kenapa tidak menyiapkan sarapan untuk suaminya. Dasar istri tidak berbakti.Dengan langkah lebar berniat mencari keberadaan istri di teras, siapa tahu sedang merumpi pagi-pagi begini. Awas saja kalau kepergok sedang mengobrol ketika suami belum berangkat bekerja. Akan kuberi pelajaran dia dan tidak kuberi ampun.Hiks! Hiks! Hiks!Terdengar suara tangisan di di pojok ruangan. Aku lihat Kanaya sedang menangis sambil memeluk baju Thalita. Apa-apaan ini? Pagi buta sudah disuguhi drama air mata oleh dia.“Kenapa kamu menangis pagi-pagi begini?” Mencengkeram rahangnya sambil menatap tajam manik dengan iris coklat milik wanita yang sudah menemani hidupku selama enam tahun itu.Dia membalas tatapanku tajam. Biasanya dia selalu menunduk jika aku memindai wajahnya dengan amarah.“Mana kopi dan sarapan aku?”Hening. Bahkan tangis Kanaya seketika berhenti. Air mata yang tadinya berlomba-lomba merebak dari balik kelopak kini telah mengering dan tidak lagi keluar.“Talak aku, Mas. Pulangkan aku ke rumah orang tua aku!”Tanganku mengendur dan melepas cengkeraman. Dia meminta perpisahan? Apa karena Dilan kembali datang ke kampung ini sehingga dia ingin lepas dariku?“Apa karena kamu ingin kembali dengan Dilan sehingga meminta aku menceraikan kamu?!” sentakku dengan nada meninggi.Kanaya bungkam. Bibirnya terkatup dan bergetar, tetapi matanya tetap menatap nyalang ke arahku. Sorot kebencian terpancar jelas di kedua netranya.“Kenapa kamu tidak menjawab panggilan dariku, Mas. Sesibuk itukah kamu mengurus orang lain, sampai lupa dengan anak dan tidak peduli dengan apa yang menimpa kami berdua? Silakan kamu pergi dari rumah ini dan tinggallah bersama saudara-saudara kamu, Mas. Aku sudah tidak peduli lagi sama kamu. Aku benci sama kamu!” pekiknya.Gila! Dia mengusir aku dari rumahku sendiri. Dasar wanita kurang waras. Tidak tahu diri! Pasti dia sengaja mengusirku dan akan membawa si Dilan tinggal di sini.“Aku tidak akan pernah melepas kamu, Kanaya. Aku tidak akan membiarkan kamu bersatu dengan Dilan. Camkan itu!”“Dan ingat, jangan pernah larang aku memberi uang kepada keluargaku. Mereka semua prioritas. Sedangkan kamu hanya orang lain yang menumpang hidup kepadaku.”Mengayunkan langkah, menyambar kunci motor serta ponsel lalu berniat pergi ke rumah Ibu. Malas berada di rumah sendiri, meladeni istri tidak tahu diri seperti Kanaya.Dering ponsel dalam genggaman membuatku sedikit terganggu. Ada panggilan masuk dari Santi, namun kuabaikan karena takut Kanaya mendengar percakapan kami lalu marah-marah.Mataku memicing karena ternyata banyak panggilan masuk juga dari Dilan, juga beberapa pesan dari Kanaya.[Mas, tolong cepat pulang. Dedek sudah nggak ada dan mau dikuburkan sebelum Ashar] Tanganku bergetar ketika membaca salah satu pesan dari Kanaya, hingga ponsel yang sedang kupegang jatuh tanpa sadar.Pantas saja rumah terasa sepi. Wajar saja jika Kanaya pagi-pagi sudah menangis sambil memeluk pakaian putri kami.Ya Allah. Kenapa semuanya tega kepadaku. Kenapa tidak ada yang menjemput aku ke rumah sakit dan memberi kabar? Kenapa Kanaya hanya menelepon saja tanpa berinisiatif menyusulku ke rumah sakit?Aku melungguh lemas di kursi teras, merasa bersalah karena selama ini tidak pernah memperhatikan Thalita.“Dedek, kenapa Dedek tega ninggalin Papa.” Mengusap air mata yang sudah berlomba-lomba meluncur dari balik kelopak, berharap semua hanya mimpi.Deru mesin kendaraan membawa kami menjauh dari halaman pusat perbelanjaan. Salwa kembali memejamkan mata, sementara aku berusaha untuk tetap fokus mengemudi.Sesampainya di rumah kembali kugendong perempuan berusia tiga puluh lima tahun itu, merebahkannya di atas pembaringan kemudian membantunya melepaskan hijab yang menutup kepala.“Mas buatkan teh hangat mau?” tawarku dengan intonasi dibuat selembut mungkin.“Kalau tidak merepotkan. Aku mau salat isya dulu tapi.” Dia menjawab dengan nada pelan, persis seperti orang sedang berbisik.“Mas tidak pernah merasa direpotkan oleh kamu.” Beranjak dari bibir ranjang, mengayunkan kaki perlahan menuju dapur kemudian lekas menjerang air dan membuat segelas teh manis hangat untuk istri.Saat kembali ke dalam kamar aku lihat wanita yang selalu kulukai hatinya itu tengah melakukan ibadah wajib empat rakaat, lalu bermunajat serta berzikir sebelum akhirnya menghampiri diriku yang sedang duduk d
Sesuai janji, selepas magrib aku mendatangi tempat yang sudah kami janjikan. Aku sengaja datang terlebih dahulu, supaya nantinya Dilan serta Kanaya tidak perlu menunggu lama-lama. Tidak enak karena semua masalah ini berasal dari Salwa, dan mereka harus membuang-buang waktu berharga mereka untuk menemui kami. “Assalamualaikum!” Aku menoleh mendengar suara berat seorang laki-laki mengucapkan salam. Dilan berdiri sambil menggandeng tangan mantan istriku, menampakkan kemesraan serta keserasian antara keduanya. “Waalaikumussalam, silakan duduk, Dil, Nay.” Mempersilakan mereka untuk duduk. Salwa menundukkan wajah ketika melihat sepasang suami istri itu datang. Sementara aku terus berusaha menahan degup jantung yang terasa semakin tidak karuan saat menatap ke arah Kanaya yang terlihat semakin memesona. Dia begitu anggun, cantik meski tanpa polesan. “Mbak Salwa apa kabar?” Perempuan di sebelahku terlihat gugup ketika Kanaya menyapanya.
[Assalamualaikum, Dil. Bisa ketemuan nggak? Ada hal penting yang ingin saya dan istri bicarakan] Segera mengirimkan pesan kepada Dilan, berniat mengajak dia bertabayyun agar masalahku dengan istri tidak berlarut-larut.[Waalaikumussalam, ada apa? Kebetulan besok saya off. Insya Allah bisa.] Balas pria keturunan Tionghoa itu.[Jangan lupa ajak Kanaya juga.][Loh, memangnya ada keperluan apa dengan istri saya?][Pengen meluruskan masalah antara saya dan dia. Biar Salwa istri saya tidak terus menerus curiga.][Oh, baik kalau begitu. Nanti biar saya sampaikan kepada istri.][Terima kasih atas pengertiannya. Maaf mengganggu waktunya.][Sama-sama.]Aku segera meletakkan ponsel di atas nakas, kemudian kembali berbaring di sebelah Salwa yang sepertinya sudah terlelap. Semoga saja besok tidak ada halangan, dan semua masalah serta kecurigaan Salwa lekas pergi dari hidupku ini.Samar-samar
Aku segera menyalami tangan mertua dan mencium bagian punggungnya dengan takzim ketika melihat dia beranjak dari kursi. Pun dengan Salwa.“Titip Salwa, Gunawan. Assalamualaikum!” ucapnya lagi, sembari menepuk pelan pundakku ini.Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, sambil melirik ke arah istri yang tengah berdiri di sisiku.“Dek ...,” panggilku pelan, seraya berjalan menghampiri istri.“Maaf, Mas. Aku mau istirahat. Dan perlu kamu tahu, aku tidak pernah selingkuh dengan siapa pun. Aku masih tau batasan juga takut dengan dosa. Walaupun aku tahu suamiku tidak mencintai aku, tetapi aku akan selalu berusaha setia.” Dia berujar sambil berjalan menuju kamar tamu.“Salwa dengerin Mas dulu. Mas tahu kamu tidak pernah membagi cinta dengan siapa pun. Begitu juga dengan Mas. Mas percaya sama kamu, dan aku mohon, agar kamu juga percaya sama Mas!” Mencekal lengannya lalu menarik tubuh perempuan itu ke dalam pelukan. Dia berusaha member
Tuhan, di mana pun dia berada, tolong lindungilah Salwa. Dia pergi karena mungkin sudah tidak bisa memendam lagi amarahnya kepadaku. Meskipun dia wanita sholehah serta taat, tetapi Salwa juga manusia yang tidak pernah luput dari dosa. Hatinya juga hanya terbuat dari sebongkah daging yang mudah sekali terluka.“Abah sama ummi juga sudah mencari Salwa ke rumah-rumah saudara, tapi dia tidak ada di sana. Kemarin ponselnya sempat aktif, sekarang nomor sudah tidak bisa lagi dihubungi.” Abah kembali berujar, dengan mata sudah dipenuhi kaca-kaca. Gurat kekhawatiran terlihat jelas di kedua sorot netranya, membuat diri ini semakin bertambah merasa bersalah.“Saya janji, secepatnya akan menemukan Salwa dan membawa dia pulang, Bah!”“Terima kasih, Gunawan. Kamu memang seorang suami yang baik.” Lelaki berkemeja biru tua itu menepuk pundakku. “Abah juga akan membantu mencari Salwa semampu Abah. Semoga anak itu segera ditemukan. Abah sangat khawatir dengan keadaann
“Ummi serius?” tanyaku memastikan.“Serius lah, Gun. Untuk apa Ummi berbohong. Memangnya kalian sedang ada masalah?” Ibu mertua menatap menyelidik.“Eh, ada Nak Gunawan. Ummi ini bagaimana, sih. Masa ada tamu malah nggak disuruh masuk?” Tiba-tiba abah sudah berada diantara kami. Dia lalu menyuruhku masuk, mempersilakan duduk serta menawarkan minuman.“Sebenarnya ada apa, Gun? Tadi kalau nggak salah denger, kamu nanyain Salwa. Memangnya dia ke mana?” tanya lelaki berkoko putih itu seraya menatap lamat-lamat wajahku.“Tadi dia pamit mau ke sini, Bah. Makanya saya susul, eh, ternyata malah nggak ada.” Aku menjawab takut, khawatir Abah marah dan menyalahkan diriku.Bapak mertua terlihat menghela napas perlahan. Dia lalu membuang pandang keluar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu. Mungkin khawatir dengan putrinya juga kecewa kepadaku.“Saya minta maaf karena belum bisa menjadi suami yang baik buat Salwa, Bah!” ucapk