"Kamu diam aja dan patuhi saja semua perintahku supaya selamat, Mila. Mas pria bebas dan masih sangat merindukan keturunan. Kamu bisa mengerti maksud mas bukan? Sebenarnya mas tidak ingin membicarakan hal ini secepat ini, tapi kamu terus memaksa. Jadi ... apa daya. Mas terpaksa mengatakan ini semua sama kamu supaya kamu tahu. Mas akan mencari ibu baru untuk anak-anak mas! Dan perempuan itu bisa saja Yuni atau pun perempuan lainnya!" ucap Purnomo tegas tanpa keraguan sedikitpun sambil menatap Mila dengan tatapan tajam.
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut lelaki di depannya itu, Mila menggigit bibir. Jantungnya bergolak tak karuan. Pengakuan Purnomo telah sukses membuat hatinya terkoyak.
Ia tak mengira rasa cinta lelaki itu padanya ternyata hanya sebatas memperoleh keturunan saja. Saat ia tak mendapatkan itu darinya, saat itu juga Purnomo berpaling darinya. Semudah itu.
Padahal selama ini ia mengira Purnomo cinta mati padanya dan bersedia melakuka
"Suster, tolong! Istri saya mau melahirkan!" ujar Arga panik sambil memanggil perawat berbaju putih-putih yang tengah berada di unit instalasi gawat darurat."Oh, istrinya di mana, Pak? HPL-nya kapan?" Suster yang tengah berjaga di ruangan itu menanggapi dengan sigap."HPL-nya sebenarnya masih bulan depan, Sus. Tapi nggak tahu kenapa, barusan istri saya mengalami kontraksi hebat," terang Arga."Oh, apa ada kemungkinan prematur ya? Baik, Bapak tenang dulu. Sekarang ibunya di mana? Kita akan bawa masuk untuk diperiksa ya, Pak." Suster itu kemudian meminta rekan sejawatnya untuk menyiapkan brankar dan memindahkan pasien dari mobil ke ruang IGD.Andin yang sudah kesakitan dan sudah mengeluarkan cairan ketuban dari dalam rahimnya berkali-kali mengeluh kesakitan. Baru kali ini ia mengalami hal seperti ini, melahirkan sebelum cukup bulannya. Namun, sepertinya itulah yang akan terjadi.Wanita itu kemudian dengan cepat dipindahkan ke ruang kebidanan karena
"Pak Arga!" Purnomo memanggil. Diulanginya lagi sampai sosok Arga menoleh dan mengernyitkan keningnya saat melihatnya berada di rumah sakit yang sama."Pak Purnomo? Siapa yang sakit?" tanya Arga sambil mendekati Purnomo dan tersenyum sambil mengulurkan tangannya memberi salam."Istri saya. Kemarin jahitan bekas operasi pengangkatan rahimnya bermasalah jadi kemarin ini dijahit lagi. Bapak sendiri siapa yang sakit?" tanya Purnomo."Istri saya, Pak.. Kemarin habis melahirkan," sahut Arga sambil tersenyum bahagia."Oh, sudah melahirkan istrinya ya, Pak? Wah ... wah ... wah selamat ya. Apa jenis kelaminnya, Pak Arga?" Purnomo ikut gembira."Laki-laki, Pak. Alhamdulillah, sesuai keinginan kakak-kakaknya," sahut Arga lagi."Kakak-kakaknya?"Arga mengangguk. "Kakaknya 'kan dua orang perempuan. Jadi, mereka ingin punya adik laki-laki. Alhamdulillah dikabulkan Tuhan, Pak Pur.""Oh." Purnomo manggut-manggut. "Kalau begitu, sekali lagi sel
"Baiklah, aku hanya minta Mas beri aku uang, membangunkan rumah, memberiku mobil dan asisten rumah tangga serta sopir. Mas akan menikah lagi. Nggak mungkin aku terus berada di rumah ini sementara mas sudah punya istri lagi. Terserah mas mau mempertahankan aku sebagai istri atau tidak, tapi yang jelas, aku tidak bisa tinggal bersama dengan Yuni lagi. Aku tahu mas punya kekayaan yang cukup. Jadi, berikan sebagian buatku. Setelah itu aku akan menandatangani berkas permohonan poligami yang mas ajukan dengan sukarela. Oke?" jawab Mila sambil menatap Purnomo.Mendengar persyaratan yang wanita itu ajukan, Purnomo menghela nafas. Syarat itu cukup berat. Selain dia belum ingin berpisah dengan Mila, ia juga tak cukup punya uang untuk membangunkan istrinya itu rumah baru dan membeli mobil. Harta kekayaan yang ia miliki meskipun masih cukup banyak, tetapi semuanya masih atas nama ia dan istri pertamanya, Mayang.Kalau ia alihkan sebagian aset itu atas nama Mila sekar
Mila berjalan mendekati jendela kamar dan membuka gorden saat mendengar deru halus mobil Purnomo baru saja memasuki halaman rumah. Perempuan itu lantas melirik jarum jam yang tergantung di dinding kamar dan mendapati hari ternyata sudah pukul sepuluh malam.Purnomo memang biasa keluar malam. Tak heran jam segini baru pulang, apalagi tadi siang lelaki itu mengatakan akan mengurus berkas izin poligami yang harus ia tanda tangani segera nanti.Teringat akan berkas itu, Mila pun mengulum senyum. Sekelebat rencana sudah ada di kepalanya sedari tadi. Ya! Ia tidak akan menandatangani berkas itu semudah yang diinginkan Purnomo. Ia akan menggunakan cara apa saja untuk membuat posisi mereka berimbang.Ia akan menandatangani berkas itu asalkan Purnomo juga bersedia memberikan apa yang ia inginkan sebagai syarat kesediaannya memberikan tanda tangan. Itulah yang sedang ia pikirkan saat ini.
Setelah Purnomo menutup kembali pintu kamarnya, Mila membuka matanya lalu bangkit dari tempat tidur.Tadi saat ia mendengar langkah kaki suaminya itu mendekati kamarnya, wanita itu memang buru-buru naik ke atas tempat tidur dan menarik selimut, pura-pura sudah terlelap.Ia berencana membuat suaminya dan Yuni mengira ia sudah tidur. Ia ingin kedua orang itu menganggapnya tak melihat dan lantas berbuat yang tak seharusnya mereka lakukan di belakangnya. Nanti saat dua orang itu tengah terlena, ia akan mengabadikan apa yang mereka lakukan dan menjadikan itu sebagai senjata untuk mengancam mereka.Setelah lewat setengah jam dan aktivitas di dapur yang dilakukan Purnomo dan Yuni sepertinya sudah selesai, Mila pun buru-buru membuka pintu kamarnya dengan gerakan hati-hati.Dengan langkah kaki perlahan, ia kemudian mendekat ke arah kamar tidur Yuni. Semakin mendekat semakin jelas ia bisa mendengar suara-suara khas sepasang manusia yan
"Yuni, apa yang kamu lakukan?" tanya Purnomo kaget saat melihat tubuh Mila yang jatuh tersungkur di atas lantai. Lelaki itu spontan memeriksa bagian belakang kepala Mila yang barusan dipukul Yuni dan menemukan bagian belakang kepala istrinya itu ternyata terluka cukup dalam hingga mengeluarkan darah segar yang langsung merembes ke atas lantai."Maaf, Mas aku spontan. Habis Mila menyebalkan! Buat apa sih dia merekam video kita segala? Mau meras? Nggak bisa selagi aku masih hidup!" tukas Yuni tak merasa menyesal telah melukai Mila hingga tak sadarkan diri."Tapi ini gimana? Kepala Mila luka ini. Kita harus segera membawanya ke rumah sakit kalau masih mau menyelamatkan dia," ucap Purnomo panik dan merasa kesal pada Yuni yang terlihat tidak peduli pada kondisi wanita yang barusan ia aniaya itu.Ia tak mau Mila meregang nyawa karena perbuatan mereka bisa-bisa membawa mereka masuk penjara.
Memang jalan yang mereka lalui masih merupakan jalan umum, tapi bukan jalan lintas melainkan jalan menuju desa yang lokasinya terpencil.Purnomo tak menjawab tapi menurut saja dengan menghentikan laju roda empatnya, lalu memarkirkannya di jalan yang agak menjorok ke dalam hutan.Setelah selesai memarkirkan mobilnya, Purnomo gegas membuka pintu belakang mobil lalu menggendong tubuh Mila yang tak bergerak menuju ke dalam hutan, diikuti Yuni yang mengekor dari belakang.Setelah berjalan beberapa saat, Yuni pun kemudian memberi isyarat pada Purnomo untuk berhenti."Mas, gimana kalau di sini saja kita tinggalkan mayat Mila?" ujar Yuni sambil menunjuk sebuah pohon besar yang sisi kanan dan kirinya dipenuhi rerimbunan perdu. Kalau mayat Mila diletakkan di sana, sudah barang tentu tak akan ada orang yang melihatnya."Oke!" Purnomo pun
Wisnu menyahut dengan menganggukkan kepalanya."Apa kemungkinan dia masih bisa diselamatkan ya, dokter?" tanya Septian, asisten Wisnu yang berdiri di sebelah laki-laki itu."Semoga bisa selamat. Berdoa saja," jawab sang dokter lagi.Wisnu dan Septian kembali mengangguk kemudian memandang sosok Mila yang tampak belum juga sadarkan diri. Hanya saja sekarang keadaannya terlihat sudah jauh lebih baik setelah tubuhnya dibersihkan dan pakaiannya sudah diganti oleh perawat.*****Mila membuka matanya perlahan. Seketika dirasanya bagian kepalanya terasa berat dan sakit tak kepalang. Netranya pun begitu susah untuk dibuka.Namun, dipaksanya juga untuk terus membukanya, mengalahkan rasa sakit yang terasa di sekujur tubuhnya, terutama di bagian kepala dan kening yang terluka itu.