"Resusitasi jantung paru memerlukan napas buatan dari mulut ke mulut." Napas hangatnya menyapu bulu mataku yang basah kuyup. Dia lalu berkata, "Dokter Raisa, apa kamu sedang memberiku isyarat?"Bunyi benturan terdengar dari dinding keramik. Belakang kepalaku membentur tangan pria itu yang sengaja ditopangkan terlebih dahulu. Ketika ciuman dengan aroma darah mendarat di pembuluh leherku, suara air dari shower yang jatuh ke lantai menutupi suara erangan tertahan dari tenggorokanku.Beberapa saat kemudian, pria itu pergi begitu saja, meninggalkanku seorang diri di dekat bak mandi.Tubuhku yang semula dingin dan kaku, perlahan mulai terasa hangat.Malam itu, Ardi tidak pergi, tetapi dia tidur di kamar tamu.Sedangkan aku, tetap tidur di kamar utama sendirian.Untuk dua orang yang akan segera bercerai, semua ini terdengar agak aneh. Namun saat teringat pamanku masih terbaring di ICU, aku menekan perasaanku dan memaksakan diri untuk tetap terbaring.Malam itu, aku tidur tidak nyenyak.Keesok
Entah sudah berapa lama aku berdiri di sana, seluruh tubuhku seperti mati rasa. Selain suara hujan yang tajam dan deras, di sekelilingku justru hanya ada kesunyian yang mencekam. Lampu-lampu di atas kepalaku padam satu per satu, hanya tersisa satu atau dua saja yang tetap menyala.Tiba-tiba, cahaya terang menyorotiku dari kejauhan. Dua petugas keamanan berlari ke arahku dan langsung mengapit di kedua sisi."Itu dia." Salah satu dari mereka berkata dengan galak, "Jangan biarkan dia kabur. Tunggu sampai pemilik mobil datang.""Dari tadi hanya mondar-mandir dengan gerak-gerik mencurigakan. Pasti bermaksud buruk…."Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari apa yang sedang terjadi. Aku disangka maling mobil. Aku buru-buru menjelaskan, "Kalian… salah paham… Aku…."Namun bibirku sudah kaku karena dingin, bahkan berbicara pun sulit.Saat itulah, suara lain terdengar dari kejauhan. "Pemilik mobil datang. Biar dia yang urus."Aku mengangkat kepala. Benar saja, orang yang muncul dengan wajah me
Saat Ardi mengatakan ini, nadanya seperti sedang mengejekku.Selesai bicara, dia masih sempat melirik Zelda yang berdiri di sampingnya dengan tatapan penuh perasaan. Sorot matanya menyiratkan sebuah godaan.Aku sangat mengenal sorotan matanya yang tidak asing ini. Itu adalah tatapan yang hanya muncul ketika Ardi sedang bergairah.Gadis itu juga sepertinya menyadari sesuatu. Awalnya, mata besarnya yang indah itu menunjukkan rasa terkejut, lalu perlahan-lahan menghindari tatapan Ardi dengan malu-malu. Senyum tipis di sudut bibir Zelda menghidupkan pesona khas seorang gadis yang sedang jatuh cinta. Sebelum mengalihkan pandangan, Zelda masih sempat melirik ke arahku. Aku melihat dengan jelas ada rasa puas yang terlihat di mata Zelda.Entah sengaja atau tidak, pada saat itu Zelda menarik lengan Ardi dan memperlihatkan cincin berlian besar yang melingkar di jari manisnya. Dia lalu berkata dengan nada lembut dan sedikit malu-malu, "Kak Raisa juga pasti sudah cukup lelah. Bagaimana kalau kalia
Saat menunggu Ardi dan Zelda selesai makan, Ardi tiba-tiba menelepon, "Datang kemari, bawa barang."Hanya satu kalimat saja, telepon langsung dimatikan.Awalnya aku masih kebingungan, sampai aku berada di depan toko elite dan bertemu mereka. Aku baru tahu, ternyata mereka sudah siap makan dari tadi dan sekarang lagi dia sedang mengajak gadis itu jalan-jalan dan belanja.Di samping kaki Zelda, sudah ada lima atau enam kantong belanjaan.Tentu saja ini bukan pertama kalinya Ardi membeli barang untuk Zelda, aku pun sudah tidak heran melihatnya. Jadi aku hanya melakukan peranku sebagai seorang pembantu, mengikuti dan membawa barang belanjaan mereka.Untungnya barang belanjaan mereka tidak berat, meskipun kantongannya begitu banyak tetapi isinya ringan. Jadi setelah ikut mereka keliling, aku juga tidak merasa capek. Sampai akhirnya, Ardi membawa Zelda masuk ke dalam toko permata.Wanita itu berdiri di depan etalase, melihat sana sini dan akhirnya memilih sepasang cincin berlian dan mencoban
Meskipun aku sudah menduga hasilnya bakal seperti ini, saat mendengar kabar ini, aku tetap saja merasa terpukul.Aku bersiap langsung pergi menemui Ardi.Tanpa memberi tahu Rian dan Bu Ratna.Saat tiba di Departemen Bedah Saraf, aku baru tahu Ardi sudah pulang kerja."Ardi sudah pergi makan malam bersama Zelda," ucap Jessy. Dia melihatku dengan kepala terangkat tinggi, sambil tersenyum melanjutkan, "Mungkin, sekarang mereka sudah berada di tempat parkir mobil."Aku segera mengeluarkan ponselku dan menelepon Ardi, tetapi tidak diangkat.Aku pun tergesa-gesa turun ke bawah. Saat sampai di bawah, kebetulan aku melihat mobil Mercedes Ardi melaju tidak jauh. Lalu aku teringat ucapan Dokter Hendra yang mengatakan 48 jam, kemudian aku melirik jam tanganku. Dengan nekat, aku menghadang mobil Ardi yang sedang melaju itu.Aku menghentikan mobil Ardi pas di arah pintu keluar parkir.Pria itu pun dengan cepat mengerem mobil, membuka pintu dengan jengkel, lalu melangkah cepat dan berdiri di hadapan
“Tapi kalian juga tahu, saat ini aku yang bertanggung jawab atas pasien ini. Dokter Ardi juga sangat sibuk, dia belum tentu punya waktu.” Sebelum pergi, Dokter Hendra berbaik hati mengingatkan, “Selain itu, pada kasus serupa di luar negeri itu, pasien menjalankan operasi ketiga kalinya dalam waktu 48 jam setelah operasi kedua. Jadi, kalau kalian ingin mencoba ambil kesempatan, kalian harus cepat."Waktu 48 jam, itu berarti waktu yang diberikan pada kami sebagai keluarga pasien sudah kurang dari satu hari. Dengan kata lain, kalau kami ingin meminta bantuan Ardi. Kami harus mendapatkan persetujuan darinya pada hari ini juga.Saat Nyonya Larasati menyadari hal ini, dia langsung memukul dadanya dan menghentakkan kakinya. Setelah itu, dia menggenggam tanganku dan berkata dengan panik, “Raisa, menurutmu, apakah Ardi akan setuju menolong pamanmu? Raisa, ini semua salahku, aku tidak seharusnya pergi ke kediaman keluarga Wijaya …. Aku ….”“Bu,” aku langsung menyela ucapannya dan menenangkanny