“Hah, aku terjerat lagi! Tadi anak-anaknya, sekarang ibunya! Kenapa aku tak bisa lepas dari mereka!” keluh Alva meremas kasar rambut gondrongnya. Sementara Binsar dan Riris sudah hilang di ujung lorong.“Auus, to … long …!” Rintihan Elma kembali terdengar.“Astaga, Bu Elma?” Sontak Alva berbalik lalu setengah berlari mendekati ranjang pasien.“Maaf, Bu Elma, saya lupa. Suami Anda baru saja pergi. Saya sampai lupa kalau tadi Anda minta minum,” ucapnya seraya meraih gelas berisi air putih yang tak lagi hangat di atas nakas. Membuka pipet yang masih berbungkus, lalu mendekatkan gelas ke arah mulut Elma.“Ini minumnya, Bu! Coba buka mulutnya!”Elma menggerakkan bibir, lalu membukanya perlahan. Sepertinya begitu kesulitan.“Sedikit lagi buka bibir, Ibu! Semuatnya pipet ini saja!” titah Alva memasukkan ujung pipet di antara celah bibir kering dan terkelupas milik Elma. Wanita itu menurut. Matanya masih saja terpejam.“Ya, berhasil, sekarang hisap pelan pipetnya, ya, Bu! Pelan-pelan saja!
“Mama …. Dompet dan ponsel Elma hilang …!”Bu Risda dan Rosa sontak berlari ke arah kamar utama. Riris yang sedang berganti baju juga langsung membuka pitu kamar dan berlari ke kamar Binsar. Baju tidur yang dia kenakan belum terkancing seluruhnya. Itu membuat dada gadis itu terlihat nyata. Apalagi dia sedang tak memakai bra. Namun, sedikitpun dia tak menyadarinya. Teriakan Binsar di tengah malam buta itu membuat seisi rumah panik.Hanya Arfan yang tak mendengar apa-apa. Pria itu tetap tidur dengan begitu lelap di kamar tamu. Suara dengkurnya terdengar kencang. Dia tidur persis seperti orang pingsan. Apalagi jika siangnya dia kelelahan.“Mama! Tolong, Ma!” sekali lagi Binsar menjerit.“Kenapa kau, ha! Ada apa? Seperti melihat setan saja, kau, kutengok!” Risda ikut berteriak. Ketiga perempuan itu kini sudah berada di kamar Binsar.“Lihat, Ma! Tas Elma isinya tinggal sebungkus tisyu saja! Ke mana dompet dan hp-nya, Ma!” Binsar mengacak-acak isi tas Elma, lalu menuangkan isinya
“Minta maaf? Kau mau aku minta maaf! Jangan harap! Yang ada aku akan menyelidiki hubungan kalian! Aku jadi curiga, penyakit Elma tambah parah bukan hanya karena tumor yang kian berkembang di rahimnya. Tetapi karena makan hati akibat ulah kalian! Aku akan selidiki itu!” ancam Rosa.“Selidiki aja! Sampai kering pun badan Kakak, Kakak gak akan temukan bukti apa-apa! Dan aku sangat tersinggung dengan tuduhan Kakak! Aku juga akan memikirkan cara untuk membalas sakit hatiku pada Kakak!” balas Riris tak mau kalah.“Memangnya apa yang bisa kau lakukan, hah! Kau mau apa?” Rosa naik pitam, dia mendorong bahu Riris dengan kasar. “Liat penampilanmu ini! Apa maksud kamu gak kancing baju, ha? Mau pamer buah dada kau, ya? Cih! Dasar perempuan murahan!” tuding Rosa sambil meludah di dekat Riris.“Kak Rosa gak bisa giniin aku! Tante … aku mau pulang kampung saja! Aku akan bilang sama Bapak perbuatan kalian ini!” ancam Riris berjalan ke arah pintu.“Apa kau bilang? Mau ngadu kepada bapakmu! Ngadu k
“Eh, Riris! Op! Sini aku bantu! Ayo!” Arfan repleks menangkap tubuh ramping namun sangat sintal itu.“Pening, Bang! Kepala saya pening!” Riris mengalungkan tangannya di leher Arfan sambil memejamkan mata. Kepala dia sandarkan di bahu sang pria.“Abang bantu ke kasur kamu, ya! Ayo, jalan pelan-pelan!” bujuk Arfan merasa risih sekali sebenarnya. Apalagi saat merasakan tonjolan di dada Riris menempel erat di dadanya. Terasa begitu kencang dan hangat. Piyama tidur gadis itu yang tak terkancing sempurna, ditambah tak ada pelapis bra, membuat degup jantung Arfan tak karuan. Jiwa kelaki-lakiannya bergejolak hebat.“Saya tidak sanggup berjalan, Abang. Sepertinya pelipis saya terlalu banyak mengeluarkan darah. Saya kehilangan banyak darah, kepala saya pening, Abang!” rengek Riris makin mengeratkan pelukan.“Begitu, ya? Ya, sudah saya gendong saja kamu, ya! Hep!”Arfan yang lugu dan polos tak tahu akan drama wanita itu. Tanpa ragu dia menggendong tubuh sintal Riris menuju ranjang. Lalu dia let
“Ris! Udah selesai!” Arfan mencoba menggeser kepala Riris dari pangkuan, dan mengurai pelukan tangan gadis itu di pinggangnya.“Aku takut, Abang! Hick … hick … hick ...!” tangis Riris pecah lagi sembari mengeratkan pelukan tangannya di pinggang Arfan.“Kenapa taku? Takut apa?” Arfan kembali dia buat bingung.“Kenapa kepalaku peningnya gak hilang-hilang? Aku takut hantaman sudut pintu tadi membuat aku geger otak, abang, hick … hic … hick ….”“Enggak mungkinlah, Ris! Kan, yang kena hantam pelipismu, bukan bagian lainnya!”“Tapi aku takut.”“Kamu terlalu jauh mikirnya, Ris! Ya, sudah, kamu tenangkan dulu dirimu, ya! Aku akan menunggu sampai kau tenang, cep cep, udah jangan nangis!!” bujuk Arfan menahan hati yang mulai kesal. Dia harus bersabar sedikit lagi. Sedikit lagi.“Abang baik sekali, ya! Sabar, gak gampang marah, tidak seperti laki-laki lain! Bahagia sekali Kak Rosa mempunyai suami seperti Abang!” puji Riris kembali melancarkan aksinya.“Terima kasih sudah memuji Abang! Jadi g
“Ampun … sakit, Abang! Rintih Riris terpaksa mengikuti tarikan tangan Binsar. Jika melawan, maka jambakan di rambutnya akan bertambah kencang.“Kukira kau perempuan baik-baik! Kukira kau setia dan masih punya sedikit saja harga diri. Kukira kau bertingkah seperti lont* murahan hanya padaku saja. Kukira kau bersikap seperti pelac*r hanya bila di depanku saja! Aku begitu bangga karena kau selalu sangat memuaskankan. Aku begitu bangga menikmati setiap layananmu. Ternyata aku salah duga. Kau rupanya melakukan hal yang sama terhadap laki-laki lain pula! Kau murahan, Riris! Kau sampah!”Binsar menghentakkan tubuh Riris ke atas ranjang. Dengan kasar piyama gadis itu dia robek, hingga Riris benar-benar bugil. Binsar lalu melampiaskan kemarahan dengan caranya. “Sakit! Ampuun! Jangan begini, abang! Aku mohon, jangan sakiti tubuhku! Sakit ….” rintih Riris, namun tak dia hiraukan. Tubuh Riris dia perlakukan seperti binatang. Tak ada rayuan, tak ada kelembutan, apalagi cumbuan. Setelah pria it
“Tolong berhenti menangis! Saya sudah bilang, kan, saya benci melihat perempuan menangis?! Jadi, tolong! Tolong jangan nangis!” Bukannya kasihan, pria ini justru merasa sangat jengkel melihat Elma tetap menangis.“Ba-baik!” lirih Elma berusaha menghentikan tangis, meski isaknya masih terdengar sesekali.“Ibu tadi bermimpi, ingat, hanya mimpi! Jadi, tak perlu di tangisi! Saya berjanji akan melindungi anak-anak Ibu! Ibu tak perlu khawatir, ok!” tukas Alva penuh tekanan.“Ba-baik, Pak. Mertua dan suami saya ingin memisahkan saya dan anak-anak. Saya takut mereka beneran dibawa pergi lagi!”“Ya, saya sudah berjanji pada ibu bahwa saya akan melindungi mereka! Bagi saya janji adalah utang. Dan satu lagi, saya tidak suka basa-basi, ok! Sekarang Ibu tidur lagi!!” tegas Alva bermaksud meninggalkan perempuan itu untuk melanjutkan tidurnya di sofa.“Sebentar, Pak! Maaf, Bapak sebenarnya siapa? Kenapa Bapak ada di sini? Suami saya mana? Abang saya juga? Ke mana semua?” tanya Elma mengagetkan Alv
“Mama!” Vita terlihat begitu girang. Gadis kecil itu berlari menghampiri Elma. Memeluk lengan kanan yang tak ada selang infusnya, lalu menciumi pipi sang bunda.“Mammmma … ma … mamma ….” celoteh Tampan melorotkan diri dari gendongan seorang wanita berusia empat puluhan.“Mana Om Alva, Sayang?”Kalimat itulah yang pertama keluar dari mulut Elma. Mata cekungnya menanti seseorang muncul di ambang pintu. Tetapi, tak ada siapa-siapa lagi yang datang setelah itu. Elma meneguk ludah penuh kecewa. Kenapa?“Om Alva? Mama nyari Oom Alva?” tanya Vita membulatkan kedua matanya. Gadis kecil itu menatap Elma bingung. “Oom kan, jagain Mama tadi malam. Kata Oom Alva, dia jaga mama di sini, Vita sama Adek, disuruh bobok di rumahnya. Mama tahu, Ma, rumah Oom Alva besaaaaar sekali. Kayak rumah putri putri. Vita dan Adek bobok di kamar yang beeeesaaaar. Kami juga dibeliin baju baru sama Oom Andre.”“Oh, Om Alva jagain mama ya tadi malam?”“He em.”“Terus, Om Andre itu siapa?”“Abangnya Oom Alva.”“Oh,