Share

Bab 7. Usul Riris Melenyapkan Elma

“Bik Dar! Tolong bantu saya siap-siap, Bik! Saya gak usah mandi, elap dengan air hangat saja!” titah Elma pada Asistennya.

“Baik, Buk!”

“Tolong tunggu di luar, Bang! Siapkan mobil!”  pinta Elma melirik Binsar.

Binsar tak bisa menolak lagi. Dengan enggan dia keluar dari kamar itu.  Namun langkahnya bukan menuju garasi, melainkan ke toko. Riris menyambutnya dengan senyum lebar.

“Gimana istri Abang, drop lagi, kan? Gak jadi operasi, kan? Abang, sih! Bukannya dihalang-halangi istrinya minta operasi, malah didukung, sekarang liat, Abang gak bisa bebas lagi gunakan kartu ATM Abang, kan?” semprotnya begitu Binsar sudah dekat.

“Kamu benar, Ris. Aku salah sangka. Kukira Elma itu perempuan bodoh. Kasihan dia penyakitan, begitu pikirku. Rupanya sakit saja dia berbahaya, bagaimana pula kalau sehat.”

“Makanya aku dan Mama Abang ngarang  cerita kalau Tampan demam. Biar dia gak jadi operasinya.”

“Jadi, Tampan gak benar-benar sakit?”

“Tidak. Mama Abang sengaja menunda  tiba lebih cepat. Supaya Kak Elma panik, drop dan gak jadi operasi.”

“Hem, masalahnya Elma hanya kaget sebentar. Dia bahkan terlihat makin kuat dan makin nekat untuk melakukan operasi itu.”

“Apa?”

“Iya, Ris. Ini benar-benar gawat. Bagaimana kalau Elma sembuh beneran.”

“Kira-kira kenapa, ya, Kak Elma bertingkah aneh, sampai blokir kartu ATM Abang segala? Apakah dia curiga sama kita?”

“Sepertinya begitu. Aku menangkap sorot marah di mata Elma. Dan semua ini gara-gara kamu, kamu nekat benar masuk ke kamarku.”

“Maaf, Abang! Salah Abang juga, sih, kenapa gak kunci pintu kamarnya. Aku cinta banget sama Abang, rasanya setiap detik ingin bermesraan aja. Entah dengan Abang. Sepertinya aku ini cuma pemuas saat dibutuhin aja!”

“Gak begitu, Ris. Tapi kamu harus tahu situasinya! Sekarang benar-benar buntu, kan! Aku sudah hancur! Elma sudah bertindak. Mungkin itu juga yang membuat dia begitu berkeras untuk segera lakukan operasi tumor di rahimnya. Dia mau mendepak  aku, sepertinya.”

“Abang jangan putus asa, dong!”

“Bagaimana tidak putus asa, aku sudah miskin sekarang! Apa kamu masih mau pacaran sama aku jika aku benar-benar  didepak oleh Elma begitu dia sembuh nanti, hah?”

“Hem, kenapa kita tidak duluan  singkirin dia saja?” Riris mengusulkan begitu sebuah ide cemerlang melintas di otak liciknya.

“Maksud kamu?” tanya  Binsar menautkan kedua alisnya.  Sebenarnya dia paham apa maksud kalimat Riris, tetapi belum paham caranya.

“Sini aku bisikin!” Riris meraih bahu sang kekasih, lalu menariknya agar condong ke arahnya. “Kita akhiri saja penderitaan istri Abang itu! Ngapain nunggu Tuhan mencabut nyawanya? Kelamaan! Kita bantu dia, Bang!” bisiknya di telinga Binsar.

“Maksud kamu, kita  …?”

“Iya, Abang takut?”

“Gila, kamu memang benar-benar, Ris! Tak kusangka kamu punya niat sejahat itu!” Binsar melepaskan peganagn Riris di bahunya. “Sampai-sampai kamu punya niat melenyapkan nyawa Elma!” tuduhnya geleng-geleng kepala.

“Lalu gimana, Abang? Abang mau nunggu Tuhan yang mengakhiri hidupnya dengan tumor rahim itu? Iya kalau mati, kalau dia sembuh, gimana? Kemungkinan besar operasinya berjalan lancar, kan? Kalau kak Elma sembuh, Abang siap-siap aja jatuh miskin!”

“Tapi, apa tidak ada cara lain selain  itu? Aku masih cinta sama Elma, Ris. Biar bagaimanapun dia itu ibu dari kedua anak-anakku! Aku gak bisa lenyapkan dia.”

“Kalau gak bisa ya, udah! Siap-siaplah Abang hancur!  Toh, Abang juga sudah pecat aku. Aku pergi, ya! Daah …!”  ketus Riris pergi  meninggalkan toko menuju rumah utama.

“Ris Ris! Tunggu! Kau mau ke mana?” Binsar berusaha menahan gadis itu.

“Pulang kampung!” seru Riris semakin ketus.

“Jangan kau tinggalakn aku dalam keadaan bingung begini! Semua masalah ini kau akar musababnya! Coba saja kau bisa menahan diri, pasti Elma tidak akan mencium hubungan kita! Setelah kacau begini kau mau pergi begitu saja, iya?” Binsar mencekal lengan gadis itu.

“Lepas, Bang! Sakit!”

“Jangan pergi! Berjanjilah kau tak akan pergi!”

“Lepas, Bang!”

“Berjanjilah, Riris! Kau tak akan meninggalkanku! Aku akan ikuti saranmu!”

“Saran?” sela Elma mengagetkan keduanya. Wanita itu terpaku dipapah Bik Darmi di ujung teras.

“Sayang, kamu sudah siap? Kita berangkat sekarang? Sebentar, aku keluarkan mobil, ya!” Binsar berlari kecil menuju garasi, sengaja menghindari tatapan curiga istrinya.

“Saran apa, Ris? Kamu menyarankan apa pada Bang Binsar?”  tuntut Elma dengan suara bergetar.

“Oh, itu, Kak. Aku sarankan agar, eh, itu. Anak Kakak si Tampan, agar dirawat  di rumah sakit di Medan ini saja! kasihan,  baru saja mertua Kakak nelpon lagi, Tampan makin tinggi demamnya.” Riris mengarang cerita untuk menutupi gugupnya.

“Kenapa mertuaku haya nelpon kau terus? Kenapa tidak nelpon aku?”

“Oh, mungkin dia sengaja, agar Kakak tidak kepikiran. Padahal Tampan makin lemah katanya. Takutnya Tampan kenapa-napa, lho, Kak!” Riris kembali menakut-nakuti Elma.

“Aku mau bicara dengan mama sekarang! Tolong kamu hubungi! Kalau aku yang nelpon pasti gak diangkat!”

“Baik, Kak. Bentar, ya!” Riris langsung menyalakan ponselnya, pura-pura menelepon. “Duh, enggak diangkat, Kak! Sepertinya anak Kakak makin parah, deh!” ucapnya dengan wajah panik.

Elma terlihat makin pucat. Degup jantungnya tak karuan. Kadang cepat sesaat kemudian melemah. Itu membuat Elma terlihat makin lemas.

“Hape saya, Bik! Tolong keluarin dari tas!” pintanya kepada Bik Darmi yang ikut panik melihat kondisinya.

“Kakak mau ngapain? Mau nelpon Tante? Sia-sia! Gak akan diangkat! Yang ada malah nambah panik Mereka semua yang di kampung!” cegah Riris.

“Sayang, mobilnya sudah siap, ayo, naik!” panggil Binsar yang sudah menyalakan mesin mobil.

“Gak jadi, Bang! Kak Elma batalin ke rumah sakit! Tampan sepertinya makin parah!” Riris berteriak. Elma tak menyahut. Jemarinya sibuk menscrol daftar kontak, mencari nama Buyung.

Dia sempat menyimpan nomor kontak pria itu saat mengantar ibu mertuanya tiga bulan yang lalu.  Buyung adalah  tetangga mertuanya di kampung. Pernah bekerja di kota sebagai supir pribadi. Setiap mertuanya hendak ke Medan, dia akan merental mobil dan Buyung dia sewa sebagai supir.

“Hallo, Bang Buyung, kan?” sapa Elma begitu panggilannya tersambung.

“Iya, benar. Ini  Elma, kan, istri si Binsar?”

“Benar, saya boleh minta tolong, Bang?”

“Ada apa, El? Kami masih istirahat ini di Sibolangit, setengah jam lagi sampai, kok! Pasti kamu kangen anak-anak kamu, kan? Sabar, ya! Mereka juga sepertinya juga sudah tidak sabar mau cepat cepat jalan lagi. Tapi, Bik Risda katanya masih capek. Kami istrirahat dulu sesaat lagi, ya!”

“Ka-kalian udah di Sibolangit?  Artinya, kalian udah di perjalanan? Anak-anak? Em, Tampan, gimana?  Dia … maksud saya dia …?”

“Tampan sedang bermain itu!  Dia enggak lupa tadi bawa bola,  bosan nunggu neneknya, dia main sama kakaknya.”

“Tampan main bola?”

****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur meini
Riris sundal bolong alias licik alias pelakor......
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status