Share

Bab 6. Durjana Kepergok, Elma Mulai Beraksi

Dengan tangan gemetar Elma mulai menscroll laporan penjualan. Baik laporan penjualan di toko induk ini maupun seluruh toko cabang yang tersebar di beberapa  kota  kabupaten, berbagai kota kecamatan bahkan desa. Semuanya mesti memberikan laporan penjualan secara on-line ke toko induk. Setiap hari pula kasir di setiap toko cabang harus mentransfer uang hasil penjualan ke rekening toko.

Rekening toko memang atas nama Elma sebagai pemilik resmi. Namun, kartu ATM atas nomor rekening itu ada di tangan Binsar. 

Elma lalu mengetik pemberitahuan di layar laptop.

[Kepada seluruh kasir toko cabang Usaha Panglong Elma Bersinar, mulai hari ini uang hasil penjualan harian harap di transfer ke rekening pribadi pemilik Usaha langsung atas nama Elma Rosaline dengan nomor Rekening 131-xxxx-xxx-xx  karena rekening toko yang biasa sudah dibekukan. Demikian untuk dipatuhi. Tertanda pemilik Usaha Panglong Elma Bersinar, Elma Rosaline.]

“Kak El, ini maksudnya apa?” Riris terbelalak kaget membaca  kalimat itu

Elma tak menyahut. Wanita itu lalu mengirim teks tersebut ke e-mail seluruh toko cabang.

Riris yang mulai curiga segera melapor pada Binsar melaui panggilan ponselnya. “Cepat Abang ke sini, Kak Elma bertingkah aneh! Dia memerintahkan semua kasir cabang untuk transfer hasil penjualan harian ke rekening pribadinya, bukan ke rekening toko!” lapornya.

Elma tak peduli. Setelah yakin semua kasir cabang  sudah menerima kiriman pemberitahuan penting itu, dia lalu merogoh ponsel di saku piyama tidur yang masih melekat di tubuhnya.

“Iya, Pak! Tolong blokir  nomor rekening ini segera! Kartu ATM saya hilang. Jika ada yang mengambil uang di saldo rekening itu dengan kartu ATM tersebut, itu berarti bukan saya.”

“Baik, Bu! Akan segera kami urus!” Itu jawaban dari ujung sana.

“Terima kasih, Pak! Selamat pagi!”

“Elma? Sayang?” Binsar menatap istrinya tak percaya. “Kenapa diblokir? Bukankah Kartu ATM toko Abang yang pegang? Bukan hilang! Kalau diblokir, bagaimana Abang bisa mengambil uang buat biaya operasi kamu nanti?” Binsar datang dengan tergopoh-gopoh.

“Tenang, Abang! Aku akan mengurus semuanya. Abang tidak perlu repot.”

Dengan susah payah Elma berusaha bangkit dari duduknya. Berpegangan di meja kasir, tubuhnya terhuyung, hampir saja terjatuh ke lantai. Terpaksa dia terduduk kembali. Berupaya bangkit lagi, tubuh kurus tak bertenaga itu  akhirnya bisa berdiri.

Binsar dan Riris hanya menonton, tak ada niat untuk menolong.  Binsar sibuk dengan pikirannya yang mulai berkecamuk. Bingung dengan sikap Elma yang tiba-tiba memblokir kartu ATM yang selama ini dia kuasai.

Bukankan selama ini dia bertahan dalam pernikahan  karena kartu ATM itu?  Dia  berusaha tetap mencintai Elma, perhatian dan sayang, meski  tak pernah lagi menadapat nafkah batin. Tubuh ringkih, kurus, dan wajah jelek Elma sama sekali tak menarik lagi. Namun, dia berusaha tetap pura-pura cinta. Lalu, kenapa sekarang Elma malah memblokirnya?

Sedang Riris justru sedang menikmati penderitaan Elma. Wanita itu sedang mencari waktu yang tepat, untuk lebih menghancurkan psikis Elma. ‘Aku pastikan kau tak akan pernah sanggup menjalani operasi itu!’ batinya tertawa jahat.

“Oh, Ibuk di sini rupanya, maaf, saya agak telat pagi ini.” Bik Darmi datang tergopoh-gopoh ke dalam toko.  “Ibuk mau mandi sekarang? Ayo, kita ke kamar Ibu!” ucapnya memapah tubuh Elma.

“Iya, Bik. Tolong bantu saya siap-siap ke rumah sakit. Sekalian Bibik masak yang enak nanti, ya! Mertua dan anak-anak sebentar lagi sampai.”

“Oh, Non Vika dan Den Tampan mau datang? Syukurlah!” Bik Darmi ikut merasa senang. Sudah tiga bulan anak-anak majikannya itu dibawa ke kampung oleh sang nenek.  Dia tak tega melihat Elma semakin menderita karena sengaja dipisah  dengan kedua balitanya dengan alasan takut penyakit Elma menular. Alasan yang tak masuk akal. Tetapi Bik Darmi tak bisa berbuat apa-apa, selain merasa iba.

“Iya, Bik. Saya akan tambah semangat menjalani operasi nanti setelah bertemu mereka.” Elma terlihat begitu semringah. Kehilangan suami tak menjadi masalah baginya sekarang. Ada dua anak yang menjadi tumpuan harapannya sekarang. Itu yang menjadi alasan baginya untuk  tetap hidup. 

“Oh, iya, Kak! Barusan Tante nelpon, katanya mereka gak jadi datang!” Riris menyela. Sontak langkah tertatih Elma terhenti.

“Lho, kenapa?” Kening Elma mengernyit keras.

Riris tertawa dalam hati, tawa jahat penuh kemenangan. Kalimat berikutnya akan membuat kau drop, mudah-mudahan pingsan sekalian, begitu doanya.

“Tampan demam tinggi, bahkan sempat kejang!” ucapnya  lantang.

“Apa? Tampan demam bahkan sampai kejang. Ya, Allah, anakku!”

Harapan Riris terkabul. Elma sontak limbung. Bik Darmi kesulitan saat menangkap tubuh ringkih itu.

“Ibuk, sabar, Buk! Jangan pingsan! Ibuk!”

Binsar memburu tubuh istrinya lalu menggendongnya menuju kamar utama. Riris tersenyum miring penuh kemenangan.

“Non Riris kalau ngasi info seperti itu mbok ya, ditahan, Non! Jangan bilang sama Ibuk! Anak-anak biasa demam. Pasti neneknya akan merawat dengan baik. Demamnya akan turun. Tapi efeknya sama Bu Elma, liat!” sesal Bik Darmi menasehati Riris.

“Kenapa, kamu hanya babu di rumah ini, tidak usah sok menasehati saya, kamu kerjakan saja semua pekerjaanmu! Berhenti membuat aku kesal kalau tidak mau aku pecat!” Riris malah mengancam.

“Edan! Memangnya siapa situ mau mecat saya!” umpat Bik Darmi, tapi tidak jelas terdengar oleh Riris. Wanita paruh baya itu buru-buru mengejar majikannya.

Elma merasakan tubuhnya dibaringkan di atas kasur, di kamarnya. Kesadaran wanita itu belum hilang sepenuhnya. Semua kejadian kembali melintas di benak. Bayangan sepasang insan di sofa malam itu, pakaian dalam yang tercecer di ruang televisi, lalu tadi pagi dia pergoki suaminya bersama Riris di dalam kamar ini, dan baru saja.  Berita tentang putranya yang sakit.

‘Tidak, aku harus kuat. Tidak boleh lemah. Aku pasti bisa melewati ini semua. Tampan pasti sembuh. Paling hanya tumbuh gigi. Biasa anak balita tiba-tiba demam.’

Elma sibuk menguatkan dirinya sendiri.

“Sayang, kamu baik-baik saja?” Binsar mengelus lembut kepala Elma.  Sekarang dia mulai sibuk menyusun rencana. Jika Elma mulai brtindak diluar kendalinya, maka akan lebih baik operasi itu dibatalkan saja. Jika dalam keadaan sakit saja Elma  mampu  mengendalikan keuangan toko, bagaimana pula bila dia sehat nanti.

“El, kamu lemah banget, Sayang! Aku akan telpon Dokter David, operasi ditunda. Kamu istirahat saja, ya!” ucapnya lalu meraih ponsel di saku kemeja.

“Tidak!” sergah Elma tiba-tiba.

“Kamu sudah sadar, Sayang?”  Binsar  terperangah. “Kamu tidak pingsan lagi? Ok, kamu tenang, ya! Jangan pikirin dulu operasinya! Aku akan batalkan, kita tunggu samapi kamu benar-benar siap.”

“Jangan dibatalin! Aku kuat! Aku mau kita berangkat sekarang!” Elma membuka kelopak mata dengan susah payah.

“Jangan dipaksa, Sayang! Yang ada malah kamu nanti ….”

“Mati? Abang khawatir aku mati?”

“El!”

*****

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Agustina
berentiin aj Riris langsung jngn pake ba bi Bu lg...beres
goodnovel comment avatar
Nur meini
Bagus El, kuatkan hatimu kamu harus bertekad untuk sembuh...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status