Share

Bab 8.  Elma Teronggok Di Mobil Van

“Iya, kenapa? Kamu sepertinya panik sekali?” tanya sang supir  kebingungan.

“Tidak, bukan. Eh, maksud saya, hati-hati nanti nyetirnya! Sudah, ya! Terima kasih!” Elma  mengakhiri panggilannya, lalu menatap Riris dengan tajam. Wanita itu menunduk, menyembunyikan wajahnya.

“Apa maksud kamu sebenarnya?” Elma berjalan pelan mendekati wanita itu. Bik Darmi membantu memapahnya.

Binsar yang melihat gelagat perang segera turun dari mobil dan memburu istrinya. “Sayang, kita berangkat sekarang, ya! Dokter David sudah terlalu lama menunggu. Ayo!” ucapnya langsung menggendong tubuh ringkih Elma.

“Aku mau bicara dulu dengan Riris, tunggu sebentar!”

“Jangan pedulikan Riris, Sayang! Biar nanti abang yang urus, ya!”

“Aku mau pecat dia, Abang! Aku pecat dia sekarang!”

“Iya, iya!” Binsar meletakkan tubuh Elma di jok depan, langsung menutup rapat pintu mobil. Elma berusaha meronta, namun tak dihiraukan. Mobil itu langsung melaju dengan kecepatan tinggi.

Sebuah notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel Binsar. Pria itu langsung membaca sambil menyetir. Pesan dari Riris.

[Abang bawa mobilnya lewat jalan Gatot subroto, orang-orang suruhanku sudah menunggu di lampu merah pertama. Abang ikuti saja apa kata mereka nanti!]

Itu pesan dari Riris. Binsar sempat bingung. Namun, panik  yang makin melanda  membuat pria itu tak lagi berpikir panjang. Mobil dia arahkan menuju jalan yang disuruh Riris.   Pria itu tampak gelisah saat mobil sudah berada di simpang empat, tepat di lampu merah pertama.

Sebuah mobil van langsung mengambil posisi tepat di samping mobil Binsar. Hanya dalam hitungan detik, tubuh Elma sudah berpindah ke dalam mobil itu. Binsar bahkan tak sempat berpikir, apalagi mempertahankan istrinya. Pria itu hanya melogo kebingungan.

“Siapa kalian? Apa ini? Lepaskan! Tol ….”  Elma yang kaget meronta dan berusaha berteriak. Namun, jeritannya tertahan karena sebuah tangan kekar membekap kasar mulutnya. Wanita lemah itu lunglai teronggok di jok tengan mobil van.

Saat lampu lalu lintas berubah warna,  mobil itupun berlalu dengan kecepatan sedang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. 

*

“Hallo, anak buahku sudah berhasil membawa perempuan itu ke markasku! Kamu di mana?”

“Serlok, dong, Bang, aku mau ketemu Abang, sekarang!”

“Ok, kau bawa maharnya, kan?”

“Siap, Bang!”

Riris memesan sebuah taksi, lalu  memberi komando  kepada karyawan toko yang lain. Dengan alasan menyusul sang majikan ke rumah sakit, dia meninggalkan toko pagi itu.

Taksi yang dia pesan menuju sebuah café, sesuai dengan lokasi yang di share melalui aplikasi hijau di ponselnya. Seseorang  telah menunggunya di meja nomor delapan.

“Bang Alva!” sapa Riris mengulas senyum.

“Kamu yang bernama Mbak Riris?”

Seorang pria tampan menajamkan pandangan. Perawakan tinggi, kumis dan jambang tebal melengkapi penampilan. Tatapan mata menukik tajam setajam mata elang memberi kesan  seram.  Baju kaus buntung yang menempel ketat di tubuh atletis itu, memperlihatkan setangkai mawar merah yang terukir  di lengan kekarnya.

Dia adalah Alva. Seorang pimpinan preman kambuhan. Salah seorang anggotanya adalah kenalan Riris. Wanita itu  sengaja menghubunginya tadi pagi. Dengan janji memberi imbalan sejumlah uang, wanita itu meminta kepada sang preman untuk menculik Elma.

“Ok, silahkan duduk! Tapi, maaf! Aku tidak punya waktu banyak. Langsung saja Mbak serahkan maharnya sesuai kesepakatan!”  ujar pria itu to the point.

“Jangan tergesa-gesa, dong, Bang! Aku pasti bayar! Tapi, tugas Abang belum selesai! Aku akan  bayar dua kali lipat!”

“Maksud Mbak, apa?”

“Ini!”

Riris menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat.

“Apa ini?”

“Surat pernyataan sekaligus surat kuasa. Tolong paksa wanita itu menanda tangani surat ini! Jika Abang berhasil, aku akan bayar dobel!”

“Apa isinya?”

“Jadi begini, Bang! Perempuan itu telah berhasil menipu tunangan saya! Semua asset toko dan juga tabungan tunangan saya, berhasil dia pindahkan ke rekening pribadinya. Kami udah tempuh jalan damai. Tapi dia berkeras  enggak mau kembaliin. Makanya saya butuh bantuan Abang!”

“Jadi perempuan itu telah menipu tunangan Mbak? Dasar perempuan matre!” umpat Alva tersenyum kecut.

“Itulah, Bang! Tolong bantu saya, ya, Bang!”

“Ok, tapi aku harus terima maharnya sekarang! Begitu aku dapat tanda tangannnya, anak buahku akan segera mengantar surat itu ke alamat Anda!”

“Harus saya bayar tunai sekarang, ya, Bang?”

“Ya, Anda harus percaya kalau  kami tak pernah gagal.  Saya tidak punya waktu untuk bertemu Mbak lagi untuk urusan bayaran!”

“Tapi ini, separuh adanya, Bang! Nanti kalau sudah ….”

“Maaf, saya tidak punya waktu untuk bernego!”

“Oh, iya. Baik! Ini kalung dan cincin saya, ini senilai …”

“Baik, tunggu saja hasilnya!”

Pria itu menyambar amplop berisi uang beserta seperangkat perhiasan milik Riris.

***

“Di mana wanita itu?”  tanya Alva begitu memasuki gedung berlantai dua.

“Di lantai atas, Bang!” Empat orang pria yang sedang asik bermain catur serempak menoleh dan menjawab pertanyaan sang bos.

“Kalian tempatkan dia di lantai atas, sementara kalian semua di sini? Siapa yang mengawasinya di atas, hah?”

“Target kita itu perempuan penyakitan, Bang! Jangankan untuk lari, turun dari kasur itu saja dia tak sanggup.”

“Apa?”

Pria  itu segera menuju ke arah tangga. Dengan gerakan cepat dia menapaki anak tangga menuju ke lantai dua. Dua orang anak buah mengikutinya.

Dengan kasar pria itu membuka pintu kamar yang terkunci dari luar. Netranya segera menyapu pemandangan di atas kasur. Seorang wanita tergolek lemah di sana. Tubuh ringkih itu tidur dengan posisi miring menghadap dinding. Terlihat jelas tulang pinggul wanita itu yang menonjol  seolah tanpa daging.

Alva mendekat, lalu dengan ujung jari dia meneleng kepala Elma.

“Hey, kamu masih hidup, kan?”

Tak ada sahutan. Hanya desah napas tersengal yang terdengar. Alva menjadi ragu. Bahkan rasa khawatir mulai menyergap benak. Bagaimana kalau targetnya mati sebelum dia berhasil menjalankan aksi.

“Hey! Bangun! Anak buahku tidak berbuat macam-macam sama kamu, kan?”

“Eeeegh, dingiiin, eeeugh …. selimut, tolong! Aku kedinginan!” 

Gumaman itu membuat Alva tergidik. “Sial! Kenapa perempuan itu menyuruh aku menculik wanita sial ini! Bagaimana kalau dia mati di sini,  haduh!” sesalnya menggaruk kepala yang tak gatal.

“Eh, jangan mati, ya! Tolong! Aku memang preman, tapi belum pernah terlibat dengan urusan nyawa, paham!”

“Kenapa kalian culik saya? Tolong pinjam selimut! Saya menggigil!”

“Tidak ada selimut! Kamu kira ini hotel, apa? Bangun! lalu tanda tangan surat ini!” perintah Alva tak menghiraukan rintihan Elma.

“Saya kedinginan, tolong! Saya sudah enggak kuat!”

“Kamu bangun dulu, dong! Tanda tangan surat pernyataan ini dulu! Baru kamu kami lepas, enggak usah drama! Ayo, bangun!”

“Dingiiiiin …!”

“Sial! Nih!”

Alva melemparkan sehelai selimut tipis kepada Elma. Namun, teronggok begitu saja di atas punggung wanita itu. Elma tak punya kekuatan untuk meraih apalagi memakaikan ke badannya.

 *****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status