Pov Adam
Tak pernah terbayangkan olehku akan menjalani takdir seperti ini. Terpaksa menikahi wanita yang tak kucinta, bahkan baru bertemu saat ijab qobul. Aku menyetujui pernikahan ini karena paksaan abi dan Umi. Sungguh aku tak ingin menjadi anak durhaka karena melawan permintaan kedua orang tuaku.
Ijab qobul berlangsung di ruang rawat inap di salah satu rumah sakit di kotaku. Tiara Aisyah Kurniawan wanita yang kini menjadi istriku. Ku akui dia memang cantik tapi tak akan menggantikan sosok Jesica di hatiku.
Selesai ijab qobul,ayah Aisyah meninggal dunia. Tangis histeris dari wanita yang kini sah menjadi istriku memenuhi penjuru ruangan. Aku tau pasti sakit kehilangan seseorang yang kita cintai. Mungkin ini yang dia dan aku rasakan. Dia kehilangan sosok cinta pertamanya, dan aku kehilangan impian menikahi wanita yang ku cinta.
*
Hampir sepuluh hari usia pernikahan kami, tapi sampai detik ini aku belum pernah memberikan nafkah batin untuk Aisyah. Bukan karena aku tak tertarik dengan Aisyah. Mana ada lelaki normal menolak wanita secantik Aisyah. Hanya saja aku tak ingin membagi cinta dan tubuhku untuk wanita lain. Karena nama Jesica terpatri di sana.
Aku memboyong Aisyah ke rumahku, dan meminta wanita berbulu mata lentik itu untuk tidur di kamar tamu. Semenjak itu Aisyah tak pernah melepas hijabnya walau hanya ada kami berdua di dalam rumah.
Apa aku salah memperlakukannya?
Aku tak ingin cinta hadir di antara aku dan Aisyah. Aku tak sanggup melihat Jesica menangis karena tahu aku telah menikah. Walau aku tahu, sampai kapanpun cinta kami tak akan bisa bersatu. Ada tembok pembatas yang sangat besar di antara kami, meski kami saling mencintai tapi perbedaan keyakinan membuat pembatas itu sulit untuk di hancurkan.Aku memang tak terlalu paham ilmu agama, tapi sedikit banyak aku mengerti jika menikahi wanita non muslim, haram hukumnya.
*****
Jam menunjukkan pukul setengah dua belas, sebentar lagi waktunya makan siang. Entah kenapa sedari tadi pikiranku hanya tertuju pada Aisyah. Bukan, bukan karena aku mulai menyukainya. Tapi karena rasa bersalah yang merasuk kalbu. Aku tahu dia sakit hati melihat kedekatanku dengan Jesica semalam. Wanita mana yang rela melihat suaminya bermesraan dengan wanita lain tepat di hadapannya.
Saat keluar dari kamar, tak kutemui Aisyah di dapur atau di halaman belakang. Dia mengurung diri di dalam kamar, tak menemaniku sarapan seperti biasanya. Aku memang bersalah, pantas saja Aisyah marah padaku. Tapi walau dalam keadaan marah, Aisyah tetap menyelesaikan tugas-tugasnya. Sarapan telah tersaji di atas meja makan, rumah telah bersih dan rapi. Dia memang istri sholehah tapi tetap saja aku sama sekali tak menyukainya.
"Bapak mau makan siang di luar atau mau saya pesankan?" tanya Lulu menyadarkanku dari lamunan.
"Saya makan di luar saja.Kalau ada yang mencari saya tolong katakan saya sedang keluar sebentar." berjalan melewati sekertarisku itu.
"Baik, Pak."
Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi, aku hanya ingin segera sampai rumah. Memastikan Aisyah telah makan dan baik-baik saja.
Kuparkiran mobil di carport, berjalan menuju pintu depan. Ku putar knop pintu, terkunci. Jangan-jangan Aisyah pergi. Ah, tapi tak mungkin dia pergi tanpa meminta izin padaku.
Pintu kuketuk berulang kali tapi tetap saja tak ada jawaban. Ingin membuka pintu, tapi aku tak membawa kunci duplikatnya. Aisyah, kamu menyebalkan sekali!
Merogohlsaku celanaku, mengambil benda pipih di dalamnya. Segera ku pencet dua belas digit,tersambung.
"Assalamu'alaikum..."ucap Aisyah di seberang sana.
"Waalaikumsalam, kamu di mana Tiara Aisyah Kurniawan."
"Em, ini di butik kakaknya Mas Daniel, kemarin aku ditawari pekerjaan di butik kakaknya.Kamu lupa Mas?"
"Siapa yang memberi izin kamu bekerja?"ucapku ketus.
Bagaimana bisa dia bekerja tanpa meminta izin dariku. Seperti inikah sikap aslinya? Benar-benar membuatku naik darah.
"Bukankah tempo hari Mas bilang, gak akan ikut campur masalah privasiku? Mas lupa?"ku telan saliva yang menempel di tenggorokan
"Aku tak mengizinkanmu bekerja, aku bisa memenuhi semua kebutuhanmu!" ucapku lantang.
Bagaimana kalau abi dan umi tahu Aisyah bekerja, bisa disidang aku!
Tidak, Aisyah tak boleh bekerja, apalagi bekerja di tempat Daniel."Kalau aku tak boleh bekerja, maka akui aku sebagai istrimu!"ucapnya bagai cambuk.
Aku memang tak mengakuinya sebagai istriku, tapi tetap saja tak seharusnya dia bekerja tanpa izin dariku. Harusnya dia bisa memposisikan dirinya sebagai seorang istri. Toh semalam dia biasa-biasa saja saat melihatku bermesraan dengan Jesica. Kenapa sekarang minta diakui sebagai istri? Tak mungkin aku melakukan itu, aku tak mau kehilangan Jesica.
"Tidak bi..."belum sempat ku lanjutkan kata-kataku Aisyah sudah mematikan telepon sepihak.
Argghhh... Menyebalkan!
*****
"Kenapa kamu tak meminta izin padaku, Ais?" tanyaku saat kami lama terdiam.
Dia hanya melirik sekilas lalu asyik dengan ponselnya lagi. Apa dia marah? Bukankah aku yang seharusnya marah karena dia tak meminta izin padaku, padahal aku suaminya. Keluar rumah saja seorang istri harus meminta izin pada suami apalagi untuk bekerja, jelas wajib hukumnya meminta izin dan ridho dari suami.
"Aisyah.." Kunaikan nada bicaraku satu oktaf. Aisyah masih saja tak memperdulikanku. Lama-lama stres juga menghadapi istri macam dia!
Kurampas ponselnya, seketika Aisyah marah. Menatapku dengan tatapan tajam. Salah sendiri tak mau menjawab petanyaanku. Dianggap apa aku ini?
"Kamu apa-apaan sih Mas? tinggal sedikit selesai." tangannya berusaha mengambil ponsel.
Kutepikan mobil, tak ingin hal buruk terjadi akibat perebutan ponsel ini.
"Jelaskan kenapa kamu tak meminta izin padaku?" kutatap tajam netranya.
Aisyah menghembuskan nafas kasar, matanya menatapku tak suka.
"Bukankah Mas sendiri yang bilang, tak akan mencampuri urusanku."
"Tapi bukan begitu caranya!"
"Oh, jadi Mas menginginkan,aku tetap menganggap Mas layaknya seorang suami? Sedangkan Mas sendiri tak pernah menganggap aku seorang istri?" ucapannya sungguh bagaikan cambuk untukku.
Begitu egoiskah diriku ini?
Tok ... Tok ... Tok.... Kuketuk pintu rumah Jesica dengan hati berdebar tak menentu. Semoga saja niat baikku disambut baik oleh Jesica dan keluarganya."Assalamu'alaikum...." ucapku."Waalaikumsalam" jawaban dari dalam rumah. Suara yang dulu sangat kurindu. Dialah wanita yang mati-matian ku perjuangkan meski akhirnya kulukai hatinya perlahan.Pintu di buka dari dalam, Jesica terlihat terkejut saat melihat diriku berdiri tepat di depan pintu. Menatapnya dengan rasa rindu.Rindu ingin memeluknya, meski kutahu dia tak akan mau ku sentuh. Mungkin dia jijik dengan diriku. Lelaki yang tega melukai hatinya. Menggoreskan luka di sanubarinya.Dengan penuh amarah dia berusaha menutup pintu. Namun terganjal kakiku. Sakit saat kaki beradu dengan pintu. Tapi akhirnya tahu tak sesakit hati Jesica."Jesica, tolong buka pintunya. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan dan meminta maaf padamu." ucapku mengiba."Untuk apa kamu kemari?" tanyanya ketus sambil perlahan membuka pintu.Alhamdulillah, akhirn
Pov AdamTiga puluh menit menatap gedung yang penuh kenangan. Perusahaan yang susah payah ku bangun kini hilang begitu saja. Kenapa hidupku menderita seperti ini?Mengambil ponsel dari saku celana. Memesan taxi dari aplikasi online. Tujuanku saat ini adalah rumah masa kecilku dulu. Semoga Abi mengizinkanku tinggal di sana. Bukankah aku anak kandungnya, pasti beliau akan menerimaku meski aku telah mengecewakannya.Sebuah mobil berhenti tepat di hadapanku.Mobil dengan warna putih dan plat yang sama seperti di aplikasi."Dengan Pak Adam?" tanya driver itu."Iya Pak, sesuai aplikasi ya!" ku masukkan koper ke dalam mobil dan menjatuhkan bobot di atas kursi belakang kemudi."Baik Pak."Kendaraan roda empat yang ku tumpangi melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya kemacetan ibu kota. Mobil berwarna putih ini berhenti saat lampu merah menyala. Pandanganku tertuju pada segerombolan pengamen dan pengemis di trotoar jalan.Ya Allah, apa nasibku akan sama seperti mereka?Tak punya tempat t
Pov Adam"Maaf Dam, Abi sudah tak memiliki apapun. Semua harta benda bukan lagi milik Abi."Ucapan Abi bagai halilintar di siang bolong. Bagaimana mungkin harta benda Abi hilang begitu saja? Atau ini hanya akal-akalan Abi saja?Astaga, aku harus bagaimana?Kupijit pelipis yang terasa berdenyut.Menyambar kunci mobil di atas meja. Berjalan sedikit berlari menuju mobil yang terparkir. Aku harus ke rumah Abi, memastikan apa yang barusan kudengar hanya omong kosong belaka. Abi pasti hanya bercanda padaku.Melajukan kendaraan roda empatku dengan kecepatan tinggi. Kuterjang semua yang ada di hadapanku.Tak perduli klakson kendaraan lain berbunyi seperti tengah memprotesku.Yang aku ingin segera sampai di rumah Abi.Keluar dari mobil disambut terik mentari yang menusuk kulit. Melangkahkan kaki masuk kedalam rumah yang tak dikunci. Sepi, sunyi tak ada lagi kehangatan yang selalu kurasakan saat berada di rumahku. Yang terasa hanya kenangan pahit saat kehilangan wanita yang sangat ku cintai, Umi.
Aku duduk di teras rumah seorang diri, tak ada lagi istri apalagi anak. Hidupku kini terasa begitu sunyi.Kemana hilangnya kebahagiaan yang dulu kurasakan?Baru kemarin kurasakan hidupku begitu sempurna. Dan kini berbalik seratus delapan puluh derajat. Kesepian dan sengsara.Apa ini benar sebuah karma? atau hanya cobaan dari Sang Pencipta.Ku pijat pelipis yang terasa berdenyut. Memikirkan nasib perusahaan dan pernikahan yang sedang diujung tanduk.Para investor mulai mencabut kucuran dananya hanya karena sebuah video. Padahal sudah pernah ku jelaskan. Namun nyatanya semua sia-sia belaka.Mereka pikir aku adalah lelaki yang tak bertanggung jawab karena menelantarkan anak dan istri. Bahkan tega meninggalkan Jesica yang tengah sakit. Mereka tak pernah melihat dari sudut pandang ku. Andai mereka jadi sepertiku, mungkin akan bertindak sama seperti yang kulakukan."Ini tehnya Pak." Bibi meletakkan secangkir teh di atas meja."Terima kasih,Bi," Kuseruput teh hangat. Sedikit memberi ketenanga
Aku duduk di ruang tunggu bersama Daniel. Menunggu seorang suster memanggil namaku. Sudah dua puluh menit kami menunggu. Hingga membuatku merasa bosan. "Nyonya Tiara Aisyah Kurniawan." panggil seorang suster. Berjalan memasuki ruang periksa dokter dengan tangan digandeng Daniel. "Selamat siang Dok...." sapaku kepada dokter Asih, dokter yang menangani ku saat hamil si kembar dulu. "Selamat siang, Bu Aisyah apa kabar?Bagaimana keadaan si kembar?" tanyanya basa-basi. Mungkin dia masih ingat kalau aku pasiennya dulu. "Alhamdulillah sehat dok.""Nah, gitu dong Pak. Kalau istrinya periksa kandungan di temani. Jangan seperti dulu. Kasihan istrinya." ucap dokter Asih membuatku dan Daniel saling pandang. Mungkin wanita di hadapanku ini mengira jika dulu ayah si kembar adalah Daniel. Daniel hanya mengangguk. Menjelaskan secara rinci juga tak mungkin. "Saya belum tahu istri saya hamil atau tidak dok. Tapi sudah telat satu minggu." ucap Daniel. "Baik Pak, biar saya periksa terlebih dahul
Aku duduk di teras sambil menyuapi Mukhlas dan Mukhlis. Ya, sekarang mereka sudah bisa makan bubur saring karena usia mereka sudah delapan bulan. Kedua buah hatiku dengan lahap memakan bubur saring dengan hati ayam dan brokoli. Mereka menyukai bubur buatan sendiri dibandingkan bubur kemasan. Ini membuat PR untukku agar lebih kreatif dalam membuat makanan agar mereka tak bosan. "Suapan terakhir sayang," ucapku pada Mukhlas.Mukhlas menutup mulut rapat-rapat sama seperti Mukhlis. Mungkin keduanya sudah kenyang. Karena hanya satu sendok yang tersisa. Suara mobil berhenti di depan rumah. Lelaki yang kini menemani hari-hariku keluar dari mobil dengan wajah sumringah. "Mbak Sari, tolong bersihkan bekas makan yang menempel di pipi ya." Mbak Sari mengangguk lalu mendorong stroller masuk ke dalam rumah. Meninggalkan diriku di teras rumah. "Assalamu'alaikum,Sayang." Daniel mendekat. Bau terasi terdeteksi oleh indera penciuman. Semakin lama semakin mendekat. Kenapa Daniel baunya seperti ini