Kumasukan ponsel ke dalam tas setelah memesan taxi di aplikasi online. Lalu aku melangkah gontai meninggalkan ruang kerja. Sepi, karyawan lain sudah meninggal butik, hanya tinggal Mbak Bella yang masih di ruangannya. Perkataan Mbak Bella tempo hari kembali terngiang-ngiang di telinga. Aku seperti di hadapkan dua jalan, dan bingung harus memilih jalan yang mana. Kebimbangan kembali menyelimuti hati, satu sisi mengatakan untuk diam, satu lagi menginginkan diri ini berkata jujur kepada Mas Adam. KriinggSuara ponsel menggema di dalam tas. Kuambil benda pipih yang sedari tadi meronta-ronta, mencari perhatian. "Assalamu'alaikum...""Waalaikumsalam, saya sudah di luar mbak," ucap seseorang dari balik telepon. "Tunggu sebentar Pak." Kumatikan sambungan telepon. Berjalan lebih cepat menuju taxi online yang sudah menunggu di depan. "Sesuai aplikasi ya mbak?" tanya pak supir saat aku sudah duduk di bangku penumpang. "Iya Pak."Perlahan mobil melaju meninggalkan tempatku mengais rejeki. M
Sama seperti Mas Adam, Jesica terlihat syok namun berusaha menyembunyikan di balik senyumannya. "Selamat Aisyah, kamu akan menjadi seorang ibu." ucapnya sambil berusaha tersenyum. "Mau kamu apa Aisyah? Uang?" tanya Mas Adam membuat dada ini terasa nyeri. Apa semurah itu diriku di matanya? AstagfirullahKuelus dada yang bergemuruh hebat. Kenapa aku harus bertemu lelaki seperti itu? Hingga benihnya tertanam di rahimku. Apa dosa hamba Ya Allah? "Aku hanya butuh pengakuanmu dan akta kelahirannya.Biar bagaimanapun kamu adalah ayahnya. Aku ingin anak ini lahir memiliki akta kelahiran." Kuelus perut yang masih datar. "Berapapun uang yang kamu minta pasti akan aku berikan. Bahkan kebutuhan anak kamu nanti akan aku penuhi. Tapi aku tak bisa menikahimu secara negara. Aku tak akan mau rujuk padamu. Sampai kapanpun hanya anak Jesica nanti yang akan ku akui."DegUcapannya bagai belati yang menusuk hati. Mengoyaknya hingga tak terbentuk lagi. Aku kemari hanya ingin anak-anakku nanti mendapatk
Kubuka mata, kupindai setiap sudut ruangan. Nihil, aku tak tahu ini di mana. Ruangan dengan dominasi warna biru.Teringat dengan Putra, kekasih hati yang tak bisa ku miliki.Dia sangat menyukai warna biru,andai saja dia datang lebih awal untuk melamar ku pasti semua tak akan seperti ini. Sayang garis takdir Tuhan memisahkan kita. Mungkin ini yang namanya mencintai tapi tak dapat memiliki. Benda bulat yang menempel di dinding kamar menunjukkan angka sebelas. Perasaan semakin tak menentu mengingat kejadian terakhir. Aku pingsan di depan ruko yang telah tutup. Dan ketika membuka mata sudah ada di kamar ini. Ya Allah, aku ada di mana? Mencari tas yang tadi kukalungkan di pundak,ingin mengambil ponsel dan menghubungi Mbak Bella. Kucari kanan kiri tapi tak juga ku temukan. "Ah, kenapa aku ganti baju seperti ini?" teriakku memenuhi kamar. Gamis yang ku pakai tadi telah berganti dengan kaos panjang dan celana panjang lelaki. Dan sebuah hijab model ibu-ibu dengan banyak renda menempel di uj
"Good morning Ais, sini sarapan dulu." ajak Putra saat aku berjalan ke dapur. Semalam aku memang terpaksa menginap di kediaman Putra, karena tak mungkin pulang di tengah malam. Bila orang-orang tahu pasti akan menimbulkan fitnah. Ku jatuhkan bobot di kursi, tepat berhadapan dengan Putra. Bik Tutik sudah menyiapkan semangkuk bubur ayam dan teh hangat di untukku. Ku masukkan setiap sendok bubur hingga tandas tak tersisa. Mungkin ini salah satu nikmat yang Allah berikan padaku. Di saat kebanyakan ibu hamil muntah hingga susah makan. Tapi tidak denganku, muntah dan mual hanya beberapa kali saja. Setelahnya aku hanya mudah merasakan lapar. Mungkin karena aku mengandung dua janin di rahim, hingga membuat nafsu makanku meningkat. "Terima kasih Putra, kalau kamu tidak menyelamatkanku, aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku." Ucapku memulai obrolan setelah keheningan menyelimuti kami. "Sama-sama Ais, wajib hukumnya menolong sesama bukan."Ucapannya membuat aku sadar siapa diriku ini. M
Sudah berhari-hari Jesica mendiamkanku setelah insiden tertangkap basah oleh Umi. Telepon tak diangkat.Pesan tak pernah di balas, hanya centang biru saja. Andai saja kamu mau berpindah keyakinan, barang tentu aku akan menikahimu dan menolak perjodohan dengan Aisyah. Jurang dalam hubungan kita terlalu dalam. Sadarkah kamu Jes? Haruskah kita selamanya seperti ini? Aku lelah, sangat lelah. [Sayang, aku ingin bertemu. Akan ku jelaskan semuanya]Kukirim pesan kepada Jesica semoga saja dia mau membalas pesanku ini. Hampir satu jam aku menunggu balasannya namun tetap saja tak ada pesan masuk meski pesanku sudah di baca. Kuacak rambut, frustasi. Aku bisa gila kalau sampai kehilangan Jesica. [Beri aku satu kesempatan Jes, aku tunggu di caffe biasa. Jam lima ya sayang.]Lagi-lagi pesan hanya dibaca tanpa di balas. Jesica jangan perlakukan aku seperti ini! Jarum jam sudah menunjukkan angka empat,ku tutup benda persegi berukuran empat belas inci dihadapanku. Aku harus segera sampai di caff
Sudah satu minggu Jesica mendiamkanku,nomor ponselku pun telah diblokir. Aku seperti kehilangan separuh jiwaku. KriiinggKriiinggSuara ponsel menyadarkanku dari lamunan. Sebuah panggilan dari nomor baru. Aku tak tahu ini nomor siapa? Ah, mungkin saja orang iseng. Kubiarkan saja hingga ponsel diam sendiri. Lagi, ponselku menjerit-jerit. Satu panggilan dari nomor yang sama. Rasa penasaran, akhirnya ku angkat telpon itu. "Assalamu'alaikum...""Waalaikumsalam, Adam?Kamu Adam kan?" tanya seorang lelaki dari seberang sana. Dari suaranya saja aku tak tahu dia siapa? "Iya, saya sendiri, anda siapa ya? Ada perlu apa dengan saya?""Saya papinya Jesica, tolong ke rumah sakit sekarang. Jesica di rawat di sini. Dari kemarin dia selalu menyebut namamu. Om mohon kamu segera ke sini."DEGKamu kenapa Jes, kenapa seperti ini? Pasti semua gara-gara aku. Aku bodoh, membiarkan orang yang aku cintai terluka karena ulahku sendiri. 'Bodoh kamu Dam, bodoh...!'merutuki diri sendiri. "Kamu mendengar uca
Kutatap wajah cantik Jesica, dia terlelap hingga tak mendengar pertengkaran kami. Mungkin pengaruh obat, hingga dia tidur dengan pulas.Kucium tangannya, air bening mengalir dari sudut netra. Aku tak sanggup kehilangan dia. Ya Allah persatukan kami dalam ikatan suci pernikahan."Cepat pergi dari sini! Saya muak melihat kamu!" bentak papi Jesica."Maafkan aku Jes." kubisikan di telinganya. Semoga saja dia memaafkanku."Adam, kamu tak mendengar perkataan saya!""Ba-baik Om, saya titip Jesica. Kalau ada apa-apa tolong hubungi saya." kuangkat bokong dari kursi. Tak ada alasan lagi aku berada di sini.Melangkah gontai, sesekali kulirik Jesica yang masih terlelap. Andai dapat kuulang waktu. Aku akan memilih menolak perjodohan itu. Aku tak sanggup kehilangan kamu Jes. Ini terlalu sakit.*****Kuparkirkan mobil di carport. Berjalan gontai memasuki rumah."Mas Adam sudah pulang? kok tidak terdengar salam?" Aisyah berjalan mendekat mencium tanganku dengan takzim."Kamu tidak mendengarnya mungki
Kami terdiam sembari menatap Jesica, ada kebimbangan di sorot matanya. Aku tahu ini pilihan yang berat untuknya. Aku hanya bisa pasrah. Bila Jesica mau berpindah keyakinan aku siap meninggalkan Aisyah. Dan jika kemungkinan terburuk Jesica memilih mundur, aku hanya bisa menjalani biduk rumah tangga dengan Aisyah walau tanpa cinta."Aku siap berpindah keyakinan pi, mi. Maafkan Jesica.""Papi ikhlas walau berat nak, asalkan kamu sembuh dan bahagia." ucap Om Wibowo. Mereka bertiga akhirnya berpelukan.Aku bernafas lega, setelah ini aku dan Jesica akan hidup bahagia. Untuk restu Umi dan Abi biar datang seiring berjalannya waktu.****Satu bulan setelah kepulangan Jesica dari rumah sakit. Dengan mantap Jesica mengucapkan kalimat syahadat di masjid tak jauh dari kediaman Om Wibowo. Lega bercampur haru menyaksikan itu.Tante Ana berkali-kali menyeka air mata yang jatuh membasahi pipi. Om Wibowo sendiri terlihat berlapang dada melepas putri kesayangannya untuk berpindah keyakinan.Sesuai kesep