"Saya terima nikahnya Tiara Aisyah Kurniawan binti Kurniawan dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas 10 gram dibayar tunai."ucap Mas Adam lantang dengan satu tarikan nafas.
"Sah"
"Sah..." ucap mereka serempak memenuhi ruang rawat inap ayah.
"Baarakallahu laka wabarakoa 'alaika wajma'a bainakumaa fii khoir." ucap Pak Penghulu.
Kucium punggung tangan Mas Adam dengan khidmat, lelaki yang kini telah menjadi imamku. Lelaki yang baru kukenal hari ini di hari pernikahanku.
Mungkin kebanyakan orang tak percaya, menikah dengan orang yang sama sekali kita tak kenal. Tapi memang kenyataannya seperti itu. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Bukankah sebagai seorang anak kita harus mematuhi perintah orang tua? Inilah salah satu alasanku menerima pernikahan ini.
Mas Adam membacakan doa dan mencium keningku. Kutahan gejolak yang ada di dada. Menahan sesak yang kian memuncak. Aku harus kuat, tak boleh menangis di depan ayah. Aku tak ingin melihatnya sedih karena tahu aku terpaksa menyetujui pernikahan ini.
Seberapa besar ku coba tak menjatuhkan air mata namun aku tak kuasa membendungnya. Bulir kristal jatuh dari sudut netra. Segera kuhapus, sebelum ayah melihatnya.
Dalam hidup tak pernah aku bermimpi menikah dengan seseorang yang sama sekali tak ku kenal. Apakah aku mampu menjalani biduk rumah tangga dengan Mas Adam, sedang di dalam sanubari telah terukir nama orang lain. Putra teman semasa kuliahku yang kini telah singgah di hati.
Ya Robb, aku pasrah dengan semua skenario yang telah Engkau tuliskan untukku.
Beranjak mendekati ayah hendak mencium tangan beliau. Ayah seperti tertidur lelap, tapi bukankah beliau tadi tersenyum saat melihat Mas Adam selesai membacakan ijab qabul. Secepat inilah ayah terlelap?
Ku pegang tangan kanannya, dingin seperti es. Tak ada gerakan saat tangan ini menyentuh pipinya. Kugoncang pelan tubuhnya, ayah tetap saja tak memberikan respon.
Ya Allah, kenapa ayah?
Pikiran buruk terlintas begitu saja."Innalillahi w* innailaihi rajiun..." ucap Pak Umar, ayah Mas Adam.
"Ayah...bangun yah." kugoncang-goncang tubuhnya.
Masih tak ada respon. Ayah tidur terlalu pulas, hingga tak bangun meski sudah ku goncang tubuhnya. Tak mungkin ayah meninggalkanku sendirian.
"Sabar ya Syah,Allah lebih sayang ayahmu." ibu Mas Adam mengelus pundakku. Berusaha memberi kekuatan untukku.
Tidak...
Ayah tak mungkin tega meninggalkanku sendiri. Semuanya bohong, ayah masih hidup. Ayah hanya tidur dan nanti akan bangun lagi.
"Aisyah sudah penuhi permintaan ayah, ayah senang kan? Bangun yah!" kupegang pipi ayah,
Bulir bening lolos begitu saja,aku terisak. Sesak memenuhi dadaku. Tak bisa ku bayangkan begitu berat cobaan hidupku. Aku harus menikah dengan orang yang sama sekali tak seekor kucintai dan di hari pernikahan ini Allah mengambil ayah, keluargaku satu-satunya.
Apakah pernikahan ini permintaan terakhir ayah?
"Ayah bangun yah..." kupanggil ayah, dia hanya membisu. Senyum terukir di wajah pucat pasinya.
"Aku sudah menikah dengan pilihan ayah tapi kenapa ayah meninggalkanku?" kutatap wajah ayah, lalu ku tatap Mas Adam, lelaki yang kini menjadi suamiku.
Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut lelaki yang kini sah menjadi suamiku, walau hanya sah di mata agama.
Mas Adam justru pergi meninggalkan diriku yang sedang terpuruk menatap tubuh kaku ayah.
"Adam urus administrasinya dulu Bi..." pamitnya pada Pak Umar tanpa sedikitpun mencoba menenangkanku.
Apakah ini suami yang ayah pilihkan untukku?
*****
Acara pemakaman ayah berjalan dengan lancar. Walau berat hati, kucoba mengikhlaskan kepergian ayah. Karena sejatinya semua akan kembali kepada Sang Pemilik, hanya menunggu waktu saja.
Satu persatu pelayat sudah meninggalkan rumahku. Kini hanya tinggal Mas Adam dan kedua orang tuanya. Nanti malam akan di adakan tahlilan, untuk semua keperluan sudah di urus abi.
Aku ada di dalam kamar ayah, menciumi pakaian yang ada di almari. Mencoba melepas rindu. Walau aku tahu tak mungkin lagi dapat berjumpa. Aku merasa sepi di dunia ini, tak ada tempat untukku bersandar melepas penat dan lelah. Ayah, aku merindukanmu. Tak terasa air mata kembali membanjiri pipi.
"Aisyah, makan dulu nak. Kamu belum makan sedari tadikan?" Umi masuk ke dalam kamar.
"Aisyah tidak lapar mi," tolakku. Karena tak ada sedikitpun selera untuk makan.
"Kamu harus makan, supaya tidak sakit."rayu Umi.
"Iya mi, nanti Aisyah makan."
Umi keluar dari kamar, tapi tak berselang lama beliau kembali dengan sepiring nasi dan ayam goreng.
"Adam...Adam." Umi memanggil suamiku.
"Iya mi, sebentar," ucapnya dari luar kamar.
Mas Adam masuk ke dalam kamar ayah. Menatapku dingin.
"Ada apa,Mi?" tanyanya
"Suapi istrimu, kasihan dia belum makan dari tadi pagi. Kasihan kalau sampai sakit." Umi menyerahkan piring nasi ke tangan Mas Adam. Kemudian pergi meninggalkan kami di dalam kamar. Tak lupa Umi menutup pintu.
Hening, tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami. Karena kami tak mengenal satu sama lain. Bagiku dia orang adalah orang asing yang berstatus suami.
"Bisa makan sendiri kan? Gak usah manja!" ucapnya ketus sambil menaruh piring di atas nakas.
Ya Allah, lelaki macam apa yang menikahiku?
Tak tahukah bagaimana keadaanku saat ini?Tanpa menatapku dia berlalu pergi meninggalkanku.
Kuatkan hamba Ya Robb menghadapi suami seperti dia. Semoga aku mampu menjalani biduk rumah tangga ini, karena ini permintaan terakhir ayah.
Kuambil piring, dan memasukkan sedikit demi sedikit nasi ke dalam mulut. Aku tak boleh sakit, apalagi sampai menyusahkan lelaki yang bergelar suamiku itu. Tidak sakit saja perlakuannya begini, apa lagi kalau sampai aku sakit.
Aku harus kuat!
Mungkin karena kami tak saling mengenal, jadi Mas Adam bersikap seperti itu.Selamat membaca, jangan lupa tinggalkan jejak teman-teman💕💕💕💕
Azan isya berkumandang, segera kami berwudhu dan melaksanakan shalat wajib empat rakaat. Kami shalat berjamaah di imami Mas Adam. Suara merdu Mas Adam saat melantunkan ayat-ayat suci. Ku cium tangan Umi dan Abi dengan khitmat. Ku cium tangan Mas Adam. Ini kulakukan semata-mata karena Mas Adam adalah suamiku. Tak pernah lebih dari itu. Aku dan Mas Adam berada di depan untuk menyambut para tetangga yang hadir di acara tahlilan ayah. Para tetangga mulai berdatangan dan setiap orang yang melewati kami selalu menatap Mas Adam dengan penuh tanda tanya. Maklumlah, karena baru pertama kali Mas Adam menginjakkan kaki di rumah ini. "Saya turut berduka cita ya mbak, semoga Almarhum Pak Kurniawan diterima di sisiNya, mbak Asiyah yang sabar ya." Bu Marni menatapku dengan iba lalu menatap Mas Adam dengan penuh selidik. "Aamiin Bu, terima kasih atas doanya." kuberikan seulas senyum walaupun berat. "Mbak Aisyah, maaf, yang di samping mbak ini siapa ya? Saya kok baru lihat ya." tanya Bu Marni. "
Setelah selesai acara tujuh harian ayah, Mas Adam memboyongku tinggal di rumahnya. Sebenarnya Abi dan Umi mengharapkan kami tinggal di rumah beliau tapi Mas Adam tak mau. "Tinggal bersama Umi,ya, Dam?"pinta Umi saat membantuku berkemas. "Adam ingin hidup mandiri Mi, biarkan kami saling mengenal. Iya kan Aisyah?" Mas Adam melirikku. Tepatnya memintaku mengatakan iya kepada Umi. "Iya mi, Mas Adam benar, Aisyah janji akan sering-sering main ke rumah Umi." Umi memelukku erat.Pelukan hangat, mengingatkan sosok bunda yang telah tiada saat aku duduk di bangku sekolah dasar. Aku bahagia memiliki mertua seperti Umi dan Abi. Mereka sangat menyayangiku, aku seperti memiliki kedua orang tua. Mungkin ini alasan ayah memintaku menikah dengan anak temannya. Agar ayah tenang meninggalkanku. Meski sikap suamiku berbanding terbalik dengan Umi dan Abi. Mas Adam mengantarkan Umi dan Abi, baru setelah itu menuju rumah Mas Adam.Aku duduk di belakang bersama Umi. Umi masih saja memelukku. Dari Umi aku
Kriiingg ... Kriiingg.... Suara ponsel membangunkanku. Siapa yang meneleponku? Dari pada terus berbunyi, kuambil ponsel yang masih ada di dalam tas. Nama Putra terlihat di layar ponselku. Bingung antara menjawab teleponnya atau tidak, mengingat diri ini sudah memiliki suami. Meski Mas Adam tak menganggapku ada. Akhirnya kubiarkan bunyi ponsel berhenti dengan sendirinya. Aku belum sanggup mendengar suara Putra. Bagaimana mungkin aku dapat mendengar suara orang yang aku cintai setelah aku menancapkan belati di hatinya. TingSatu pesan masuk. Ku buka, benar saja Putra mengirim pesan setelah teleponnya ku abaikan. [Aisyah, tolong angkat teleponku. Aku ingin berbicara serius. ]Tak berselang lama, ponselku kembali berbunyi. Putra benar-benar ingin berbicara denganku. Apa dia sudah tahu kalau aku sudah menikah? "Assalamu'alaikum..." suara Putra sedikit bergetar. Apa dia habis menangis? Apa benar dia sudah tahu pernikahan siriku? Bagaimana aku bisa mengatakan pada Putra kalau sebenarny
"Mas Adam..." Mas Adam dan wanita itu menoleh ke arahku. Mas Adam membisu, wajahnya menegang seperti maling yang sedang ketahuan mencuri. Ada apa ini, dan apa hubungan mereka sebenarnya? Beberapa saat kami saling terdiam, sibuk dengan praduga masing-masing. "Siapa dia Mas?" matanya melirik ke arahku lalu berpindah ke Mas Adam."Perkenalkan nama saya Aisyah, saya is...""Dia sepupuku Jes," Mas Adam memotong ucapanku. DEG...! Sepupu? Ada gemuruh yang disini, di hati ini. Sebegitu malukah dia mengakuiku sebagai istri? Apa aku benar-benar tak dianggap? "Saya Jesica, pacar Mas Adam, senang berkenalan dengan kamu Aisyah." Jesica mengulurkan tangan. Ku sambut ulur tangannya dengan menahan gemuruh di dalam hati. Jadi ini alasan Mas Adam tak menyentuhku, bukan karena berduka atas meninggalnya ayah. Tapi karena cinta dan hatinya milik Jesica. Sekarang aku paham, akulah orang ketiga dalam hubungan mereka sekalipun aku istri pertama, tapi aku hadir di tengah-tengah hubungan mereka.
Sayup-sayup terdengar muadzin sedang mengumandangkan azan subuh. Kubuka mata, berjalan perlahan ke kamar mandi. Bukan untuk mandi, hanya untuk berwudhu dan segera melaksanakan ibadah sholat subuh. Kutengadahkan tangan, meminta pada Sang Pemilik hati untuk menyatukan hatiku dan Mas Adam. Karena sesungguhnya Dialah yang mampu membolak-balikan hati hambanya. Bukan karena aku mulai mencintainya, tapi karena sebuah ikatan suci tak layak dijadikan permainan. Tak mengenal dan tak mencintai bukan berarti dengan gampang menjadi alasan untuk berpisah. Sedikit lega yang kurasakan saat dapat mencurahkan isi hati kepada Sang Pemilik kehidupan. Ku lipat mukenah, lekas ku buka pintu kamar. Berjalan menaiki anak tangga, membangunkan Mas Adam untuk menjalankan ibadah wajib. Tok... Tok.... "Mas shalat subuh dulu." Hening tak ada jawaban. Jangan-jangan Mas Adam masih tidur lagi. Tok... Tok.... "Subuh dulu mas." Tak ada sahutan, sepertinya Mas Adam memang masih tidur pulas. KlikKnop pintu kuput
"Diminum teh hangatnya, Mas." Kuberikan secangkir teh hangat pada Mas Adam. Tak butuh waktu lama teh di dalam cangkir tinggal setelahnya. "Buka mulutnya Mas!" Kuberikan sendok yang berisi nasi dan telur dadar. "Gak mau makan, nanti kamu racunin lagi!"ucapnya menyilangkan kedua tangan di dada. Kumasukan sendok ke mulut, segera ku kunyah dan kutelan. "Puas Mas?""Ha..." Kumasukan nasi ke dalam mulutnya yang sedang terbuka lebar, tak perduli Mas Adam mau bilang apa. "Buruan telan dan habiskan, setelah itu minum obat. Pakai air putih ya, jangan teh."Tanpa protes dan banyak bicara Mas Adam menghabiskan makanan. Sekali-sekali anteng, kan tambah cakep Mas. Ups...! "Buat istirahat Mas," Kubawa piring dan gelas ke lantai bawah. "Ais..."Kutoleh ke belakang. Mas Adam menatapku. Tatapannya membuat jantungku berdebar, kaki ku gerak-gerakkan karena salah tingkah. "Terima kasih." Seulas senyum tergambar jelas di wajahnya. Senyum ketulusan. ****Tok... Tok... Tok.... "Sebentar..." Aku be
Sebuah pernikahan pada hakikatnya adalah menyatukan dua hati, dua pikiran dan dua karakter untuk satu tujuan kebahagiaan. Tapi jika dalam sebuah pernikahan tak ada yang bisa di satukan, mampukah kebahagiaan itu tercapai? Ah, kurasa tidak! Apakah aku kuat menjalani biduk rumah tangga yang penuh kepura-puraan? Apakah aku sanggup bertahan? Atau aku akhiri saja, karena masih banyak kebahagiaan di luar sana. Pikiran-pikiran itu selalu menghantuiku. Meski lelah, aku akan bertahan. Aku tak mau mengecewakan ayah, umi dan abi. Apakah aku terlalu bodoh bila memilih berjuang. Walau kurasa itu sangat sulit. Ku rebahkan tubuh ini di atas ranjang, mencoba memejamkan mata. Tapi bayang-bayang Mas Adam sedang bermesraan dengan Jesica menari-nari di benakku.Tiap kali ku tutup mata, bayangan itu selalu hadir. Jarum jam sudah menunjukkan angka tiga, tapi mata ini tetap saja enggan terpejam. Akhirnya kuputuskan untuk shalat tahajud dan bertadarus. Samar-samar terdengar adzan subuh berkumandang, ku
"Masuk mbak." Daniel membukakan pintu mobil. "Saya duduk di belakang saja ya Mas," ucapku tak enak hati. Bukan niat tak sopan, aku hanya takut menimbulkan fitnah. Terlebih statusku sekarang adalah seorang istri, meski tak diakui Mas Adam. "Lho, kenapa mbak? Saya bukan sopir lho." Daniel menatapku, seakan keberatan jika aku duduk di belakang. "Takut jadi fitnah Mas, Mas Daniel kan bukan mahram saya. Kalau Mas Daniel tidak mau, saya bisa naik tadi online kok Mas." Kutundukkan kepala. Sungguh aku benar-benar tak enak hati. "Oke, baiklah." Daniel membuka pintu bagian belakang. "Terima kasih Mas.""Kembali kasih." Sulas senyum tergambar di wajahnya. Sepanjang perjalanan Daniel terus saja bercerita. Dari status lajangnya sampai kesibukannya sehari-hari. Daniel, tipe orang yang mudah bergaul dengan siapapun. Termasuk orang yang baru dia kenal, seperti diriku ini. "Mbak Aisyah benar sepupunya Adam?" tanyanya sambil terus menyetir. "Em, i-iya Mas." jawabku tergagap. Ya Allah maafkan